, 74 tweets, 11 min read
My Authors
Read all threads
-Sandekala-

Ketika sandekala tiba, anak-anak harus masuk ke dalam rumah. Lalu, kunci pintu rumahmu rapat-rapat.

@bacahorror #bacahorror
Sandekala adalah waktu terbenamnya matahari di ufuk barat, dengan meninggalkan warna oren kemerahan di sepanjang horizon dan bumantara.

Dengan kata lain, sandekala bisa dibilang senja hari atau waktu maghrib.
Tahukah kalian dibalik keindahan senja, tersimpan banyak misteri dan mitos, khususnya pada masyarakat Indonesia?

Mereka percaya jika sandekala adalah waktunya para setan dan jin berkeliaran.
Mitos ini sudah berkembang sejak nenek moyang kita adalah seorang pelaut.

Di-era milenial sekarang, sebagian besar dari penduduk negara +62, masih mempercayai mitos tersebut.

Bagaimana jika mereka yang tidak mempercayainya?
Agus dan Bejo adalah dua orang sahabat. Sedari kecil mereka selalu bermain bersama hingga kini menginjak kelas 6 SD.

Sore itu mereka memutuskan untuk pergi menuju lapangan, sekedar bermain bola dengan teman-teman desa yang lain.
Di lapangan mereka bertemu dengan teman satu SD-nya yang bernama Tulus dan Cipto.

"Gus, koe nembe sunat toh wulan wingi?" (Gus, kamu baru sunatkan bulan kemarin?) Tanya Cipto kepada Agus.

Agus mengangguk, "Iyo, arep ndelok koe?" (Iya, mau lihat lo?).
Cipto menggeleng, "Gausah, aku yo nduwe." (Gausah, aku juga punya.)

"Lah kamu kapan sunat?" Tanya Tulus kepada Bejo.

"Iyo, wes arep kelas nenem kok durung sunat, piye toh." (Iya, udah mau kelas 6 kok belom sunat. Gimana toh." Ucap Cipto.
"Taun ngarep." (Tahun depan.) Kata Bejo merasa tidak nyaman dengan pertanyaan temannya.

"Ojo kesuwen, mengko gak iso dolan mbengi, digondol wewe gombel" (Jangan lama, nanti gak bisa main malam, diculik wewe gombel.) Lanjut Cipto menakuti.
"Ra wedi aku." (Gak takut gue) Ujar Bejo.

"Wes wes, ndang main bola." ( Udah, cepet main bola saja.) Ajak Agus sambil memasuki lapangan.

Akhirnya mereka para anak-anak bermain bola dan melupakan sejenak tentang masalah sunat.
Beberapa menit kemudian, Agus merasa kelelahan yang membuat dirinya harus beristirahat dahulu.

"Aku wes kesel, ngaso sek aku ya." (Aku dah cape, istirahat bentaran ya.) Izin Agus yang kini sudah terduduk di pinggir lapangan.
Dalam istirahatnya, Agus melihat ke sekeliling. Lapangan ini letaknya sedikit masuk kedalam hutan. Walau ada beberapa rumah, namun tetap saja masih banyak pohon besar.

Di sebelah barat lapangan itu terdapat hamparan sawah yang sejauh mata memandang.
Waktu berlalu, kini matahari sudah ditepi horizon meninggalkan langit dengan warna kemerahan.

"Jo, ayo balik, wes arep maghrib ki!" (Jo, ayo pulang, udah mau magrib nih) Teriak Agus kepada Bejo.
Namun Bejo tidak menghiraukan perkataan Agus. Dia masih asyik bermain bola dengan teman-temannya.

Agus berdecak, "Ck, Jo ayo balik."

"Disitan ae, aku iseh arep maen bal-balan." (Duluan aja, aku masih mau maen bola) Ujar Bejo dengan tak acuh.
"Yowes, tapi baline ojo kebengen yo, Jo." (Yaudah, tp pulangnya jangan kemalaman ya.) Ucap Agus kepada Bejo yang tengah asyik menggiring bola.

Kini, Agus mulai berjalan menjauhi lapangan dan melewati kebun-kebun warga.
Sampai akhirnya Agus sampai di pemakaman desa. Sore itu memang masih terang, tapi tetap saja, sinar matahari tidak sanggup untuk menembus rindangnya pohon di kuburan.

"Sstttt."

Agus terlonjak kaget, matanya memandang ke sekitar, tapi tak ditemui apa-apa.
Anak yg baru naik kelas 6 SD itu kembali berjalan, namun pikirannya terbayang oleh pohon bambu dan beringin ditepi kuburan.

"Ssttt."

Suara itu kembali terdengar, kini agus melihat pohon bambu yang rimbun tersebut.
Sesosok wanita berambut panjang, dengan wajah yang rusak serta banyak bisul ditubuhnya. Payudaranya 😍 menjuntai bebas kebawah seperti buah pepaya.

"Asu. Setan alas." Umpat Agus sambil berlari kencang tanpa menoleh sedikitpun.
Agus berlari hingga perkampungan rumahnya, dadanya naik turun seirama dengan detakan jantungnya.

"Koe lapo, Gus?" (Kamu kenapa, Gus?) Tanya Ayahnya ketika melihat putra bungsunya berlari seperti dikejar-kejar dept collector.
"Rapopo, Pak." (Gapapa, pak.) Denial Agus dengan tergopoh-gopoh.

"Yawes, ndang adus, mengko lungo meng langgar." (Yaudah, cepet mandi, nanti langsung ke musholla) Perintah Ayahnya.

Agus mengangguk, kemudian masuk ke dalam rumah.
Saat sedang mandi, Agus terfikir akan nasib Bejo yang ia tinggal di lapangan. Bejo pasti pulangnya sendiri, karena rumahnya tidak searah dengan teman-teman yang lain.

Bagaimana nasib Bejo jika bertemu dengan wewe gombel itu, batin Agus.
Di tempat lain, Bejo dan teman-temannya sudah selesai main bola. Langit sudah mulai gelap.

"Jo, aku balek sek yo." (Jo, aku pulang dulu ya) Kata Cipto kepada Bejo.

Bejo hanya mengangguk, tapi hatinya tidak senada. Bejo takut pulang sendiri.
"Eh." Ujar Bejo sedikit berteriak kepada Tulus dan Cipto.

"Apa lagi, Jo?" Tanya Tulus. "Hayoo, koe ra wani yo balik dewekan?" (Hayo, kamu gak berani ya pulang sendiri?) Ledek Tulus dengan senyum yang menjengkelkan.
Bejo hanya diam.

"Jarene ra wedi, yowes balek dewekan to." (Katanya gak takut, yaudah balik sendiri) Kata Cipto yang kemudian berjalan pulang diikuti oleh Tulus, meninggalkan Bejo sendirian di lapangan itu.
Sebenarnya Bejo takut, bahkan dia sangat takut. Namun ia sudah terlanjur menolak ajakan Agus tadi. Mau gimana lagi, akhirnya ia pulang sendiri.

Bejo berjalan menyusuri jalanan kecil itu hingga sampai ditepi pemakaman.
Batinnya ingin menolak, namun hari mulai gelap. Lagipula hanya ini satu-satunya jalan menuju rumahnya.

Bejo melanjutkan perjalanan, kali ini dengan langkah yang cepat. Suara jangkrik yang bersahutan itu semakin menambah seram suasana senja itu.
Gue slow update, gue saranin bikin kopi aja.
Intinya gue update, selagi ini mbak-mbak satu belom tidur yak wkwk. Soalnya gue rada-rada bingung basa jawa wkwk.
Sampai akhirnya Bejo tiba di dekat pohon beringin dan bambu itu, batinnya merasa tidak enak.

Ia melihat ke arah pohon bambu yang berada disebelah kanannya, sosok wewe gombel yang sebelumnya dilihat oleh Agus itu kini terlihat juga oleh Bejo.
Bejo ingin lari namun pandangannya kabur, sosok wewe gombel itu mendekat, memeluknya dibelahan buah dadanya.

Ia merasakan dingin saat itu, Bejo ingin memberontak dan berteriak, namun tidak bisa, kini pelukannya semakin erat.
Di Musholla, Agus baru selesai menunaikan ibadah sholat maghrib.

Kini ia dan ayahnya sedang berjalan pulang ke rumah. Namun mereka terhenti ketika ada ramai-ramai di depan rumah Bejo.

Batin Agus sudah tidak enak pada saat itu.
"Ono opo iki kok rame-rame?" (Apa apa ini kok rame) Tanya Ayah kepada bapak-bapak yang ada disana.

"Iki mas, putrane Pak Slamet (Si Bejo) dereng wangsul." (Ini mas, anaknya Pak Slamet belom pulang) Jawab salah satu dari mereka.
"Loh memang si Bejo kemana?" Tanya Ayah kembali.

"Jarene mau sore si Bejo kui dolan. Tapi nganti seprene durung balik, Pak."(Katanya tadi sore si Bejo itu main. Tapi sampe sekarang belum pulang) Jawab mereka kembali.
Agus semakin tidak tenang, pikirannya sudah kemana-mana. Ia semakin getir memikirkan nasib sahabatnya itu.

Tiba-tiba dari arah dalam, Pak Slamet keluar rumah dan menghampiri Agus dan Ayahnya.
"Koe mau dolan neng endi, Gus?" (Kamu tadi main kemana, Gus) Tanya Pak Slamet kepada Agus. "Karo si Bejo, kan?" (Sama Bejo kan) Lanjut Pak Slamet.

Agus mengangguk, "Iyo Pak, mau aku dolan karo Bejo neng lapangan, balbalan." (Iya, aku main bola di lapangan sama Bejo).
Agus menambahkan, "Pas arep balek, aku wes ngejak Bejo balek, tapi Bejo gak gelem." (Pas mau pulang, aku udah ngajak Bejo, tapi dianya gak mau.)

Pak Slamet hanya menghela nafas, "Koe kan ngerti Bejo kui wedinan, Gus." (Kamu kan tau Bejo itu penakut).
Agus hanya diam, ia tahu jika Bejo itu penakut. Namun bagaimana lagi, ia sudah mengajak Bejo untuk pulang, tapi Bejo tidak mau.

"Yowes, saiki tenang sek." (Yaudah, sekarang tenang dulu.) Kata Ayah menepuk pundak Pak Slamet.
"Aku muleh sek, ngenterno Agus. Koe kumpulno warga liyo." (Aku pulang dulu nganterin Agus. Kamu kumpulin warga yang lain) Perintah Ayah kepada Pak Slamet.

Pak slamet mengangguk, menjalankan perintah Ayah.
Saat perjalanan pulang, Ayah bertanya kepada Agus, "Koe mau pas muleh mlayu-mlayu, emang ndelok opo Gus?" (Kamu tadi pas pulang lari-lari, emang liat apa Gus).

"Wewe gompel pak, neng wit bringin pinggir kuburan." (Liat wewe di pohon beringin pinggir kuburan) Jawab Agus.
Ayah hanya mengangguk, tanpa melanjutkan pembicaraan kembali. Bahkan setelah sampai di rumah, beliau langsung pergi lagi.

"Mau kemana toh pak?" Tanya Ibu.

"Gone Pak Slamet bu, iku si Bejo durung muleh." (Kerumah pak Slamet, si Bejo belom pulang) Jawab Ayah.
"Loh emang Bejo kemana?" Tanya Ibu lagi.

"Mau dolan karo Agus, tapi Agus muleh disit, tapi si Bejo nganti seprene durung muleh." (Tadi main sama Agus, tapi Agus pulang dulu, Si Bejo malah belom pulang sampe sekarang) Jawab Ayah kemudian pergi setelah berpamitan.
Ayah sampai di rumah Pak Slamet, disana sudah kumpul bapak-bapak.

"Langsung jalan wae po iki?" (Langsung Jalan nih?) Tanya Ayah sesaat setelah sampai.

"Iyo ndang." (Ayo buru) Jawab Pak Slamet dengan memberi kentongan kepada Ayah.
Btw, purnama nih. Jadi ngeri-ngeri sedap begini.
"Kita ke arah lapangan ya." Perintah Pak Slamet kepada bapak-bapak.

Mereka berjalan menuju lapangan, melalui jalanan yang terdekat, yaitu melewati kuburan.

Sebenarnya ada jalanan lain dan lebih ramai, namun itu memutar sangat jauh.
Sesampainya di kuburan, hanya ada suara burung dan jangkrik, padahal hari itu belum terlalu malam, yaitu selepas magrib.

"Met, mau aku dicritoni neng Agus, de'e ndelok wewe neng wit bringin kui." (Met, aku diceritain Agus, dia liat wewe di pohon beringin itu) Ucap Ayah.
"Oh mosok, ojo ngedeni ngonolah, Mas." (Ah masak, jangan nakutin gitulah mas) Ucap Pak Slamet kepada Ayah.

"Aku kan mung ngandani koe tok, Met." (Aku kan cuma nyeritain doang, Met) Sanggah Ayah kemudian.
Barisan bapak-bapak itu menelusuri pohon beringin dan bambu ditepian makam.

"Jo. Bejo." Teriak Pak Slamet berharap anaknya mendengar teriakannya.

Namun tidak ada jawaban, bahkan mereka kini sudah masuk ke halaman makam, namun tidak menemukan Bejo.
Mereka kembali mengitari pohon beringin dan bambu itu, namun setelah beberapa kali pengecekan, tetap saja si Bejo tidak di ketemukan.

"Kita ke lapangan terus ke dusun seberang, kali aja si Bejo ke rumah temennya, Met." Saran Ayah kepada Pak Slamet.
Kelompok bapak-bapak itu pergi ke lapangan. Tanah lapang yg setiap hari selalu ramai, kini tampak tidak ada kehidupan.

Mereka berjalan ke arah utara, menuju perkampungan yang ada disana. Masih satu desa, namun berbeda dusun saja.
Sesampainya disalah satu warung disana, mereka dihampiri oleh warga dusun itu.

"Ono opo tah rame-rame ngono?" (Ada apa rame-rame begitu) Tanya salah satu warga.

"Iki anakku durung balek." (Anakku belom pulang). Jawab Pak Slamet.
"Mau dolan bal-balan neng lapangan, tapi nganti seprene durung balik, mas." (Tadi main bola, tapi belum pulang sampe sekarang) Ucap Pak Slamet kembali.

"Kali aja dia main dulu ke rumah temannya disini." Lanjut Pak Slamet.
"Weh, ono Pak Slamet, ono opo pak lek?" (Wih ada Pak Slamet, ada apa pak) Tanya Tulus yang tiba-tiba hadir ditengah-tengah bapak-bapak itu.

"Koe bareng karo Bejo gak?" (Kamu bareng sama Bejo gak) Tanya Pak Slamet kepada Tulus.
"Gak o lek, si Bejo sampun wangsul wau loh. Ono opo, lek?" (Gak pak, Bejo udah balik tadi kok. Emang kenapa) Tanya Tulus keheranan.

"Si Bejo durung balik." (Bejo belom balik) Jawab Pak Slamet.
"Kok iso, mau tenan o de'e wes mulih. Aku ndelok lek, de'e lewat dalan kuburan." (Kok bisa, tadi beneran aku liat dia pulang, lewat jalan kuburan) Ucap Tulus.

Tulus hanya menggelengkan kepala, "Mosok digondol wewe." (Masa diculik wewe) Gumam Tulus.
"Berarti si Bejo gak disini, Mas." Ujar Pak Slamet yang kemudian diangguki oleh Ayah.

"Lus, kamu panggil Mbah Dalang, ceritain ke dia semuanya ya." Perintah Ayah kepada Tulus.

Tulus menyanggupi, kemudian pergi ke rumah Mbah Dalang.
"Wes Met, ngko pasti ketemu si Bejo." (Udah met, nanti ketemu si Bejo) Ucap Ayah menenangkan Pak Slamet.

"Donga wae meng gusti Allah." (Doa saja ke gusti Allah) Lanjut Ayah.

"Iyo mas." Ujar Pak Slamet lirih.
Tak selang lama, Tulus kembali dengan Mbah Dalang.

"Anakmu pasti ketemu, Met." Ucap Mbah Dalang tiba-tiba.

"Tapi saiki, kita sholat isya sek yo, ngko dilanjut." (Tapi sekarang kita sholat isya dulu, dilanjut) Perintah Mbah Dalang.
Setelah selesai sholat isya, mereka para warga berkumpul kembali di pelataran mushola.

"Saiki, podo balik gowo wajan, gowok tempe, opo waelah sing ono neng wajanmu gowo wae." (Sekarang pulang, lalu bawa wajan, tempe, apa aja dah yg ada di wajan bawa saja) Perintah Mbah Dalang.
Para warga kembali ke rumah masing-masing untuk membawa apa yg diperintahkan oleh Mbah Dalang.

"Met, ngko kumpule neng ngarep kuburan yo." (Met, nanti ngumpulnya di depan kuburan ya) Ucap Mbah Dalang kepada Pak Slamet dan Ayah.
Ayah dan Pak Slamet pulang, namun di depan pohon beringin dan bambu tersebut, sekali lagi mereka mencoba mencari Bejo, namun tetap saja hasilnya nihil.

"Tadi si Agus sih bilangnya di pohon ini." Gumam Ayah. "Tapi tetap gak ada." Lanjutnya.
Setelah beberapa lama, akhirnya para warga membawa peralatan dapur masing-masing.

Kini mereka berada di jalan masuk ke kuburan.

"Sakdurunge dimulai, moco donga sek." (Sebelum dimulai, baca doa dulu) Perintah Mbah Dalang.
"Wes saiki ditutuki wajanne, seirama yo." (Sekarang dipukul wajannya, seirama) Perintah Mbah Dalang Kembali.

Para warga mengikuti perintah Mbah Dalang.

Mereka berjalan melewati pohon beringin dan bambu, masih belum ada tanda-tanda.
Kini mereka berjalan menelusuri pemakaman. Berputar sembari berteriak memanggil Joko.

"Ra enek nang kene." (Gak ada disini) Ucap Mbah Dalang.

Mereka kemudian berjalan keluar kuburan. Mereka masih memukul wajan dengan seirama.
Saat mereka baru saja meninggalkan area pemakaman tiba-tiba ada suara benda jatuh dari sela-sela pohon bambu.

"Bruk."

"Opo kui?" (Apa itu) Teriak salah satu warga.

"Dicorongi wit bambune kui." (Disenterin pogon bambunya) Perintah Mbah Dalang.
Saat senter menyinari arah pohon bambu, disana Bejo sudah tergeletak lemas di tanah.

Pak Slamet berlari ke arah Bejo, kemudian memeluknya.

"Weh Pak, dari tadi aku manggilin bapak, bapak malah nyelonong pergi." Ujar Bejo sangat lirih.
"Ki, kon ngumbe sek iku anakmu." Ucap Ayah sembari memberi sebotol air mineral.

Bejo meminumnya hingga tandas, sepertinya ia sangat haus sekali.

"Takoke ngko wae, saiki gowo muleh sek." (Tanyanya nanti saja, bawa pulang dulu) Perintah Mbah Dalang.
Akhirnya mereka membawa Bejo hingga di depan rumahnya. Para warga masih berkumpul, ingin mendengar kisah dari Bejo.

"Kok koe iso nang kono?" (Kok kamu bisa disitu) Tanya Pak Slamet.

"Aku digondol wewe o Pak." (Diculik wewe Pak.) Jawab Bejo.
Akhirnya Bejo menceritakan hal yang menimpanya pada waktu maghrib tadi. Sampai dia di dekap di dada wewe gombel tersebut.

"Aku mau ndelok bapak-bapak seng pertama goleki, tak celok tapi raiso." (Aku tadi liat bapak yg pertama nyari, aku panggil tp gak bisa) Cerita Bejo.
"Pas mau Bapak karo Ayahnya Agus neng ngarepan wit bambu, aku kui nyelok bapak, tapi bapak gak sadar." (Tadi Bapak dan Ayahnya Agus di depan bohon bambu, aku itu manggil bapak, tp bapak gak denger.)
"Padahal aku kui teriak." (Padahal aku teriak) Lanjut Bejo.

"Nah pas terakhir kui, waktu kalian mukul wajan, tiba-tiba wewenya ngelepasin aku, dia nari-nari gitu." Ujar Bejo. "De'e lepasno pelukane." (Dia ngelepas pelukannya) Lanjutnya.
"Makane aku ngaseh tiba koyo ngene." (Makanya aku sampe jatuh begini.)

"Yoweslah, sing penting saiki koe wes slamet." (Yaudah, yg penting kamu udah selamat.) Kali ini Mbah Dalang berbicara.
"Mulane, koe nek mangsane wes magrib kui ndang bali o." (Makanya, kamu kalo waktunya maghrib tuh cepat pulang) Nasehat Mbah Dalang. "Sandekala kui waktune setan berkeliaran o Jo." (Sandekala itu waktunya setan berkeliaran.) Lanjut Mbah Dalang.
"Iki go pelajaran sakabehane wong. Wektu magrib iku neng ngumah ato ndak lungo meng langgar, dudu dolan." (Ini buat pelajaran semua orang. Sandekala itu di rumah atau gak pergi ke mushola, bukannya main) Kata Mbah Dalang.
Satu persatu para warga mulai meninggalkan rumah Bejo.

"Yauwes, aku muleh yo, Met." (Yaudah, aku balik ya, Met) Pamit Ayah kepada Pak Slamet.

"Suwun o wes rewangi ki." (Makasih udah dibantuin)

Ayah mengangguk, kemudian berjalan pulang
Jadi, dibalik keindahan senja, ada sandekala sebagai bayangannya.

"Senja memang menawan tapi sandekala lebih menggoda," Eh 🤣

Sampai jumpa di thread berikutnya, Nan.
Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh.

Enjoying this thread?

Keep Current with Call Me, Nan.

Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

Twitter may remove this content at anytime, convert it as a PDF, save and print for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video

1) Follow Thread Reader App on Twitter so you can easily mention us!

2) Go to a Twitter thread (series of Tweets by the same owner) and mention us with a keyword "unroll" @threadreaderapp unroll

You can practice here first or read more on our help page!

Follow Us on Twitter!

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just three indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3.00/month or $30.00/year) and get exclusive features!

Become Premium

Too expensive? Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal Become our Patreon

Thank you for your support!