Ketika sandekala tiba, anak-anak harus masuk ke dalam rumah. Lalu, kunci pintu rumahmu rapat-rapat.
@bacahorror #bacahorror
Dengan kata lain, sandekala bisa dibilang senja hari atau waktu maghrib.
Mereka percaya jika sandekala adalah waktunya para setan dan jin berkeliaran.
Di-era milenial sekarang, sebagian besar dari penduduk negara +62, masih mempercayai mitos tersebut.
Bagaimana jika mereka yang tidak mempercayainya?
Sore itu mereka memutuskan untuk pergi menuju lapangan, sekedar bermain bola dengan teman-teman desa yang lain.
"Gus, koe nembe sunat toh wulan wingi?" (Gus, kamu baru sunatkan bulan kemarin?) Tanya Cipto kepada Agus.
Agus mengangguk, "Iyo, arep ndelok koe?" (Iya, mau lihat lo?).
"Lah kamu kapan sunat?" Tanya Tulus kepada Bejo.
"Iyo, wes arep kelas nenem kok durung sunat, piye toh." (Iya, udah mau kelas 6 kok belom sunat. Gimana toh." Ucap Cipto.
"Ojo kesuwen, mengko gak iso dolan mbengi, digondol wewe gombel" (Jangan lama, nanti gak bisa main malam, diculik wewe gombel.) Lanjut Cipto menakuti.
"Wes wes, ndang main bola." ( Udah, cepet main bola saja.) Ajak Agus sambil memasuki lapangan.
Akhirnya mereka para anak-anak bermain bola dan melupakan sejenak tentang masalah sunat.
"Aku wes kesel, ngaso sek aku ya." (Aku dah cape, istirahat bentaran ya.) Izin Agus yang kini sudah terduduk di pinggir lapangan.
Di sebelah barat lapangan itu terdapat hamparan sawah yang sejauh mata memandang.
"Jo, ayo balik, wes arep maghrib ki!" (Jo, ayo pulang, udah mau magrib nih) Teriak Agus kepada Bejo.
Agus berdecak, "Ck, Jo ayo balik."
"Disitan ae, aku iseh arep maen bal-balan." (Duluan aja, aku masih mau maen bola) Ujar Bejo dengan tak acuh.
Kini, Agus mulai berjalan menjauhi lapangan dan melewati kebun-kebun warga.
"Sstttt."
Agus terlonjak kaget, matanya memandang ke sekitar, tapi tak ditemui apa-apa.
"Ssttt."
Suara itu kembali terdengar, kini agus melihat pohon bambu yang rimbun tersebut.
"Asu. Setan alas." Umpat Agus sambil berlari kencang tanpa menoleh sedikitpun.
"Koe lapo, Gus?" (Kamu kenapa, Gus?) Tanya Ayahnya ketika melihat putra bungsunya berlari seperti dikejar-kejar dept collector.
"Yawes, ndang adus, mengko lungo meng langgar." (Yaudah, cepet mandi, nanti langsung ke musholla) Perintah Ayahnya.
Agus mengangguk, kemudian masuk ke dalam rumah.
Bagaimana nasib Bejo jika bertemu dengan wewe gombel itu, batin Agus.
"Jo, aku balek sek yo." (Jo, aku pulang dulu ya) Kata Cipto kepada Bejo.
Bejo hanya mengangguk, tapi hatinya tidak senada. Bejo takut pulang sendiri.
"Apa lagi, Jo?" Tanya Tulus. "Hayoo, koe ra wani yo balik dewekan?" (Hayo, kamu gak berani ya pulang sendiri?) Ledek Tulus dengan senyum yang menjengkelkan.
"Jarene ra wedi, yowes balek dewekan to." (Katanya gak takut, yaudah balik sendiri) Kata Cipto yang kemudian berjalan pulang diikuti oleh Tulus, meninggalkan Bejo sendirian di lapangan itu.
Bejo berjalan menyusuri jalanan kecil itu hingga sampai ditepi pemakaman.
Bejo melanjutkan perjalanan, kali ini dengan langkah yang cepat. Suara jangkrik yang bersahutan itu semakin menambah seram suasana senja itu.
Ia melihat ke arah pohon bambu yang berada disebelah kanannya, sosok wewe gombel yang sebelumnya dilihat oleh Agus itu kini terlihat juga oleh Bejo.
Ia merasakan dingin saat itu, Bejo ingin memberontak dan berteriak, namun tidak bisa, kini pelukannya semakin erat.
Kini ia dan ayahnya sedang berjalan pulang ke rumah. Namun mereka terhenti ketika ada ramai-ramai di depan rumah Bejo.
Batin Agus sudah tidak enak pada saat itu.
"Iki mas, putrane Pak Slamet (Si Bejo) dereng wangsul." (Ini mas, anaknya Pak Slamet belom pulang) Jawab salah satu dari mereka.
"Jarene mau sore si Bejo kui dolan. Tapi nganti seprene durung balik, Pak."(Katanya tadi sore si Bejo itu main. Tapi sampe sekarang belum pulang) Jawab mereka kembali.
Tiba-tiba dari arah dalam, Pak Slamet keluar rumah dan menghampiri Agus dan Ayahnya.
Agus mengangguk, "Iyo Pak, mau aku dolan karo Bejo neng lapangan, balbalan." (Iya, aku main bola di lapangan sama Bejo).
Pak Slamet hanya menghela nafas, "Koe kan ngerti Bejo kui wedinan, Gus." (Kamu kan tau Bejo itu penakut).
"Yowes, saiki tenang sek." (Yaudah, sekarang tenang dulu.) Kata Ayah menepuk pundak Pak Slamet.
Pak slamet mengangguk, menjalankan perintah Ayah.
"Wewe gompel pak, neng wit bringin pinggir kuburan." (Liat wewe di pohon beringin pinggir kuburan) Jawab Agus.
"Mau kemana toh pak?" Tanya Ibu.
"Gone Pak Slamet bu, iku si Bejo durung muleh." (Kerumah pak Slamet, si Bejo belom pulang) Jawab Ayah.
"Mau dolan karo Agus, tapi Agus muleh disit, tapi si Bejo nganti seprene durung muleh." (Tadi main sama Agus, tapi Agus pulang dulu, Si Bejo malah belom pulang sampe sekarang) Jawab Ayah kemudian pergi setelah berpamitan.
"Langsung jalan wae po iki?" (Langsung Jalan nih?) Tanya Ayah sesaat setelah sampai.
"Iyo ndang." (Ayo buru) Jawab Pak Slamet dengan memberi kentongan kepada Ayah.
Mereka berjalan menuju lapangan, melalui jalanan yang terdekat, yaitu melewati kuburan.
Sebenarnya ada jalanan lain dan lebih ramai, namun itu memutar sangat jauh.
"Met, mau aku dicritoni neng Agus, de'e ndelok wewe neng wit bringin kui." (Met, aku diceritain Agus, dia liat wewe di pohon beringin itu) Ucap Ayah.
"Aku kan mung ngandani koe tok, Met." (Aku kan cuma nyeritain doang, Met) Sanggah Ayah kemudian.
"Jo. Bejo." Teriak Pak Slamet berharap anaknya mendengar teriakannya.
Namun tidak ada jawaban, bahkan mereka kini sudah masuk ke halaman makam, namun tidak menemukan Bejo.
"Kita ke lapangan terus ke dusun seberang, kali aja si Bejo ke rumah temennya, Met." Saran Ayah kepada Pak Slamet.
Mereka berjalan ke arah utara, menuju perkampungan yang ada disana. Masih satu desa, namun berbeda dusun saja.
"Ono opo tah rame-rame ngono?" (Ada apa rame-rame begitu) Tanya salah satu warga.
"Iki anakku durung balek." (Anakku belom pulang). Jawab Pak Slamet.
"Kali aja dia main dulu ke rumah temannya disini." Lanjut Pak Slamet.
"Koe bareng karo Bejo gak?" (Kamu bareng sama Bejo gak) Tanya Pak Slamet kepada Tulus.
"Si Bejo durung balik." (Bejo belom balik) Jawab Pak Slamet.
Tulus hanya menggelengkan kepala, "Mosok digondol wewe." (Masa diculik wewe) Gumam Tulus.
"Lus, kamu panggil Mbah Dalang, ceritain ke dia semuanya ya." Perintah Ayah kepada Tulus.
Tulus menyanggupi, kemudian pergi ke rumah Mbah Dalang.
"Donga wae meng gusti Allah." (Doa saja ke gusti Allah) Lanjut Ayah.
"Iyo mas." Ujar Pak Slamet lirih.
"Anakmu pasti ketemu, Met." Ucap Mbah Dalang tiba-tiba.
"Tapi saiki, kita sholat isya sek yo, ngko dilanjut." (Tapi sekarang kita sholat isya dulu, dilanjut) Perintah Mbah Dalang.
"Saiki, podo balik gowo wajan, gowok tempe, opo waelah sing ono neng wajanmu gowo wae." (Sekarang pulang, lalu bawa wajan, tempe, apa aja dah yg ada di wajan bawa saja) Perintah Mbah Dalang.
"Met, ngko kumpule neng ngarep kuburan yo." (Met, nanti ngumpulnya di depan kuburan ya) Ucap Mbah Dalang kepada Pak Slamet dan Ayah.
"Tadi si Agus sih bilangnya di pohon ini." Gumam Ayah. "Tapi tetap gak ada." Lanjutnya.
Kini mereka berada di jalan masuk ke kuburan.
"Sakdurunge dimulai, moco donga sek." (Sebelum dimulai, baca doa dulu) Perintah Mbah Dalang.
Para warga mengikuti perintah Mbah Dalang.
Mereka berjalan melewati pohon beringin dan bambu, masih belum ada tanda-tanda.
"Ra enek nang kene." (Gak ada disini) Ucap Mbah Dalang.
Mereka kemudian berjalan keluar kuburan. Mereka masih memukul wajan dengan seirama.
"Bruk."
"Opo kui?" (Apa itu) Teriak salah satu warga.
"Dicorongi wit bambune kui." (Disenterin pogon bambunya) Perintah Mbah Dalang.
Pak Slamet berlari ke arah Bejo, kemudian memeluknya.
"Weh Pak, dari tadi aku manggilin bapak, bapak malah nyelonong pergi." Ujar Bejo sangat lirih.
Bejo meminumnya hingga tandas, sepertinya ia sangat haus sekali.
"Takoke ngko wae, saiki gowo muleh sek." (Tanyanya nanti saja, bawa pulang dulu) Perintah Mbah Dalang.
"Kok koe iso nang kono?" (Kok kamu bisa disitu) Tanya Pak Slamet.
"Aku digondol wewe o Pak." (Diculik wewe Pak.) Jawab Bejo.
"Aku mau ndelok bapak-bapak seng pertama goleki, tak celok tapi raiso." (Aku tadi liat bapak yg pertama nyari, aku panggil tp gak bisa) Cerita Bejo.
"Nah pas terakhir kui, waktu kalian mukul wajan, tiba-tiba wewenya ngelepasin aku, dia nari-nari gitu." Ujar Bejo. "De'e lepasno pelukane." (Dia ngelepas pelukannya) Lanjutnya.
"Yoweslah, sing penting saiki koe wes slamet." (Yaudah, yg penting kamu udah selamat.) Kali ini Mbah Dalang berbicara.
"Yauwes, aku muleh yo, Met." (Yaudah, aku balik ya, Met) Pamit Ayah kepada Pak Slamet.
"Suwun o wes rewangi ki." (Makasih udah dibantuin)
Ayah mengangguk, kemudian berjalan pulang
"Senja memang menawan tapi sandekala lebih menggoda," Eh 🤣
Sampai jumpa di thread berikutnya, Nan.