, 35 tweets, 14 min read
My Authors
Read all threads
Saya agak hati2 dlm cuitkan soal #KrisisIklim di suasana banjir Jabodetabek ini. Karena mudah sekali disalahpahami & akhirnya kontraproduktif serta pesan akan urgensi dalam #KrisisIklim itu tak tersampaikan dgn baik.

Sdh ada teman2 yg twit soal itu kemarin, buahnya dicacimaki.
Namun kemarin pagi saya akhirnya unduh peta sebaran hujan. Ini bahan utama utk bicara krisis iklim.
BNPB & BMKG sudah bicara. BNPB bilang curah hujan terburuk sjk 1996, dan BMKG malah skrg lbh detil lagi: tertinggi sjk 1886!

Tahan komen dulu, ini bkn mau buang body ke hujan.
Seperti apa sih peta sebaran hujan dari tgl 31 Des 2019 7 pagi sampai 2 Jan 2020 7 pagi.

Spt dibwh

Klaim saya di awa: “sd lama saya tidak melihat situasi gambar no 1”.
Namun akhirnya saya sadari: saya jg baru pertama kali melihat spt ini.
buat saya dibawah bukti #krisisiklim
Kalau ada jurnalis (biasanya asing) yg wawancara saya soal #climatechange, maka saya selalu bilang ini beda tantangan dgn di Eropa dan Amerika, dll. Yg paling urgen itu hujan ekstrem. Terutama hujan ekstrim turun dlm waktu singkat, spt yg sempat genangi GBK dan depan PS.
Buat saya, penurunan muka tanah itu bukan terkait #krisisiklim, tapi dia memperparah dampak #krisisiklim, terutama terkait bencana hidrometereologi. Jika bicara soal #krisisiklim ya saya selalu bilang hujan ekstrim.
Kemarin siang saya nonton video penjelasan dari BMKG. Soal bagaimana korelasi antara pemanasan suhu laut antara Indonesia-Australia, pembentukan awam, pembenturan 2 angin dll dll. Namun saya tdk tahu ada korelasinya tdk dgn kebakaran hutan di Australia.

Pagi ini @hariankompas mengeluarkan konten khusus yang sangat baik dan sayangnya hanya bisa dibaca oleh yang berlangganan.
Tulisan panjang soal hujan ekstrem dan #krisisiklim, bersumber dr BMKG.
Mohon Kompas gratiskan akses utk publik dong 🙏

Krn setdknya BMKG sdh bicara, kaitkan juga bencana hidrometereologi dan #krisisiklim, saya baru berani twit.

Capek tahu baca mention penuh hinaan & asumsi SKSD, pdhal kenal saja gak. Tp tentu saja dgn bekal data2 BMKG tidak serta merta juga seritwit saya bakal bebas cacian wkk😂
Saya screenshotkan tulisan di Kompas, krn ada poin2 menarik. Mohon dibaca hingga usai. Ini baik utk memahami #krisisiklim dan karakteristiknya. Jika sdh paham, baru kita bisa diskusi apa yang perlu kita lakukan? Mitigasi? Adaptasi? Pulau Jawa? Indonesia?
Lanjutannya:

Tapi tetap berharap @hariankompas membuka akses tulisan penting ini 🙏
Yang paling penting dari omongan BMKG itu bukan soal curah hujan tertinggi sepanjang 150++ thn. Itu kesekian pentingnya.

Tapi justru ini: TIDAK TERPREDIKSI.

Cuaca ekstrim hasil #KrisisIklim sebabkan fluktuasi dan lonjakan cuaca skala harian. BMKG jg tak tahu: ADA APA?
Poin kedua yang penting: ada peningkatan intensitas curah hujan maksimun tiap tahunnya.

Berarti thn2 berikutnya kita bakal hadapi hujan yg lbh mengerikan dr kemarin.
Peningkatan intensitas:
Banjir 2007 340 mm/hari 1 titik Kemayoran
Banjir 2015 361 mm/hari 1 titik Tj Priok
Banjir 2020 bbrp titik diatas 200 mm/hari (226, 212, 209, 243, 377 dan 335mm/hari)

Dibwh perbandingan 2015 dan 2020.
2007 blm ada peta kek dibawah hehehe.
Pak Siswanto pun menyatakan bahwa hujan ekstrim kali ini bisa dikategorikan sebagai anomali cuaca, .... sebagai dampak perubahan iklim.

Terima kasih pak atas pernyataannya, krn itu saya jadi nekat bikin utas ini #ehhh

Ini bukti kuat bhw #krisis iklim terjadi dan makin parah.
Hujan kemarin semoga jadi wake up call akan #KrisisIklim kita semua.

Walau saat saya melihat & ketemu korban banjir, saya jd termenung krn ya mereka ini gak butuh kuliah2 soal #krisisiklim. Ditambah mrk yg tinggal di tempat “vulnerable” sll jd korban pertama terkait “proyek”.
Apakah pemerintah kita (provinsi manapun dan pusat) siap dgn #krisisiklim ini?
Tidak.

Mengakui jg blm tentu. Kalau akui ya blm tentu yg digenjot terus menerus energi fossil, ekstraksi, infrastruktur raksasa yg boros sumber daya, dll.
Climate change denial terbesar: pemerintah.
Lalu bagaimana Jakarta?
Dari 2018 saya sudah bertanya (retorik sih, maksudnya mau bilang Jakarta gak siap hehehe)?

Intinya Jakarta tidak siap untuk hujan ekstrim, baik yg jatuh dlm tempo waktu singkat maupun total seharian nya ekstrim.

Hujan ekstrim tempo singkat (misalnya 150mm dlm 3 jam) itu punya daya rusak tinggi. Bisa bikin jebol tanggul dan merusak bangunan.
150 mm dalam 3 jam akan beda dgn 150 mm dalam 24 jam. Cilakanya yg 150 mm dalam 3 jam makin sering, kita baru alami tengah Desember yg GBK-PS.
Jika hujannya ekstrim, lalu kemaraunya juga ekstrim dong, Iya bener.
Apalagi kebiasaan manusia, kalau gak dapat air, dia akan gali makin dalam atau eksploitasi langsung ke hulu. Padahal eksploitasi makin dalam sumber air tanah bisa menurunkan debit air sungai.
Jk seluruhnya terkait, hujan “kelebihan air” & kemarau “kekeringan air akut”, saya lebih percaya solusi berbasis lingkungan.

Kenapa? Mirip2 spt prinsip “jk bangun jalan baru akan makin macet”, maka utk kasus Jkt perbesar drainase atau pertinggi tanggul blm tentu solusi lestari.
Saya hitung kasar, wil terbangun Jakarta skrr 80%, beton semua tuh. brp banyak yg punya sumur resapan? Ruang Terbuka Biru 3%an, RTH Publik 9.9%, RTH privat yg trwiil2 hal rumah ndak akan setara RTH publik & sisanya jalan.

Kalau hujan kek dibawah, mau bikin drainase sebesar apa?
Sementata 80% lingkungan terbangun itu, tadinya ya rawa, kebon, utan, dll. Lalu diganti beton, dan harapannya airnya dilarikan semua ke drainase publik.

UDAH GAK BISA GITU LAGI BAMBANG.
Kalau gitu, nanti balik lagi ke pertanyaan “mau Jakarta isinya drainase semua?”
Karena itu paling pertama dan urgen sekarang terkait hujan lokal, kamu dan kita dan saya harus sama-sama tangung jawab atas hujan yg jatuh di persil masing2 dulu.
Ini bukan konsep spektakular, negara2 lain pada tahu & terapkan kok konsep zero run-off.
Zero run off itu konsep mengurangi volume air permukaan dengan cara meresapkan dan/atau menyimpan air sementara.

Jika ada hujan 100mm jatuh ke lahan Grand Indonesia, ya GI harus meresapkan atau menyimpannya semaksimal mungkin, dan sisanya baru dialirkan ke drainase kota.
Metodenya apa? Mau “drainase vertikal ala2 DKI” alias sumur resapan, roof garden, ditaruh di tandon sementara, kombinasinya ll dll. Banyak.

Dan percaya gak percaya udah ada PP hingga Pergub utk aturan zero run off,
Kalau 80% wilayah terbangun Jakarta yg kemarin kejatuhan hujan ekstrim menyimpan 50% aja air yang jatuh, tentu ceritanya akan beda hari ini.

Selama ini (terutama KemenPU) cuma sibuk ngoprekin RTB yg cuma luasnya cuma 3% itu, tapi lupa sama yg 80% beton kabeh itu.
Zero Run Off bisa atasi #krisisiklim gak sih?

Zero Run Off lebih utk atasi dampak hujan. Jika terkait hujan ekstrim, maka dia akan mengurangi beban volume kepada drainase, jalan dan RTB kita.

Apalagi dgn RTB yg udah keburu di tanggul, mau lari kemana tuh air, kealang tangguk.
Jadi kalau jangka pendek gimana kak terkait hujan lokal ekstrim kemarin? (Btw, ini saya gak bicara soal banjir DAS Ciliwung ye, usulan solusinya lain)
Selain soal perawatan rutin, Pemprov DKI hrs lbh galak pastikan zero run off. Bisa dimulai dari kawasan yg rawan banjir genagan.
Kewajiban utk wujudkan zero run off itu ada di pemilik/pengelola persil. Pemerintah yg melakukan penegakan dan pengawasan.

Metode zero run off nya, sekali lagi bisa macam2, dr sumur resapan, tandon, roof garden, daur ulang air hujan, dll dll. TERSERAH, yg penting ZERO RUN OFF.
DKI 2019 bikin sumur resapan. Imut sih jumlahnya, mungkin skrg udah 1000. Terutama di bangunan mereka sendiri, tapi saya sempat lihat video dari JSC dimana ada warga diwawancara krn ikut program nabung air hujan dki (mungkin dibuatkan sumur resapan).
TAPI ITU KURANG BAMBANG!
Kurang banyak maksudnya.
Jika saya tidak salah ingat, saya pernah lihat presentasi JSC (Jakarta Smart City), bahwa butuh setidaknya 40rb sumur resapan lagi. Semoga cara hitung mereka benar, dan gunakan intensitas hujan yg ekstrim hehehe.
Tahun 2020, diluar program yg rutin2 terkait pemeliharaan badan air dan persiapan hujan, saya sungguh berharap @DKIJakarta bisa tegas pada pemilik gedung2 dan kapling besar, agar mereka benar2 zero run off. Sdh gak bisa pakai model GERAKAN. PAKSA.
Saran saya, hentikan juga meme soal Pak Jokowi yg klaim lbh mudah bereskan banjir jika jadi Presiden. Itu mlh makin menanamkan di benak pikiran terdalam akan ilusi “Jakarta bs BEBAS BANJIR”.

Tidak, krn sayangnya scr topografi Jkt yg kek papan setrikaan, air butuh waktu mengalir.
Yang bisa dilakukan Jakarta terus mengurangi daerah genangan dan durasi genangan.

DAN ITU GAK AKAN BISA DILAKUKAN KALAU 80% NYA MAGER TERUS DAN CUMA BISANYA KIRIM AIR DOANG KE DRAINASE KALI KANAL DAN SUNGAI!
Ulasan tambahan mas @aik_arif. Beliau jurnalis spesialis bencana. Saya kerap membaca tulisan beliau. Trims mas 🙏

Saya lbh berharap agar Pemprov & Pusat (tmsk kota2 sblh) lbh fokus di pencegahan. Tentu jenis pencegahan yg ndak nambah masalah baru, ya.

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh.

Enjoying this thread?

Keep Current with Elisa

Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

Twitter may remove this content at anytime, convert it as a PDF, save and print for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video

1) Follow Thread Reader App on Twitter so you can easily mention us!

2) Go to a Twitter thread (series of Tweets by the same owner) and mention us with a keyword "unroll" @threadreaderapp unroll

You can practice here first or read more on our help page!

Follow Us on Twitter!

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just three indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3.00/month or $30.00/year) and get exclusive features!

Become Premium

Too expensive? Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal Become our Patreon

Thank you for your support!