Sdh ada teman2 yg twit soal itu kemarin, buahnya dicacimaki.
BNPB & BMKG sudah bicara. BNPB bilang curah hujan terburuk sjk 1996, dan BMKG malah skrg lbh detil lagi: tertinggi sjk 1886!
Tahan komen dulu, ini bkn mau buang body ke hujan.
Spt dibwh
Klaim saya di awa: “sd lama saya tidak melihat situasi gambar no 1”.
Namun akhirnya saya sadari: saya jg baru pertama kali melihat spt ini.
buat saya dibawah bukti #krisisiklim
Tulisan panjang soal hujan ekstrem dan #krisisiklim, bersumber dr BMKG.
Mohon Kompas gratiskan akses utk publik dong 🙏
Capek tahu baca mention penuh hinaan & asumsi SKSD, pdhal kenal saja gak. Tp tentu saja dgn bekal data2 BMKG tidak serta merta juga seritwit saya bakal bebas cacian wkk😂
Tapi justru ini: TIDAK TERPREDIKSI.
Cuaca ekstrim hasil #KrisisIklim sebabkan fluktuasi dan lonjakan cuaca skala harian. BMKG jg tak tahu: ADA APA?
Walau saat saya melihat & ketemu korban banjir, saya jd termenung krn ya mereka ini gak butuh kuliah2 soal #krisisiklim. Ditambah mrk yg tinggal di tempat “vulnerable” sll jd korban pertama terkait “proyek”.
Tidak.
Mengakui jg blm tentu. Kalau akui ya blm tentu yg digenjot terus menerus energi fossil, ekstraksi, infrastruktur raksasa yg boros sumber daya, dll.
Climate change denial terbesar: pemerintah.
Dari 2018 saya sudah bertanya (retorik sih, maksudnya mau bilang Jakarta gak siap hehehe)?
Intinya Jakarta tidak siap untuk hujan ekstrim, baik yg jatuh dlm tempo waktu singkat maupun total seharian nya ekstrim.
150 mm dalam 3 jam akan beda dgn 150 mm dalam 24 jam. Cilakanya yg 150 mm dalam 3 jam makin sering, kita baru alami tengah Desember yg GBK-PS.
Apalagi kebiasaan manusia, kalau gak dapat air, dia akan gali makin dalam atau eksploitasi langsung ke hulu. Padahal eksploitasi makin dalam sumber air tanah bisa menurunkan debit air sungai.
Kenapa? Mirip2 spt prinsip “jk bangun jalan baru akan makin macet”, maka utk kasus Jkt perbesar drainase atau pertinggi tanggul blm tentu solusi lestari.
UDAH GAK BISA GITU LAGI BAMBANG.
Kalau gitu, nanti balik lagi ke pertanyaan “mau Jakarta isinya drainase semua?”
Ini bukan konsep spektakular, negara2 lain pada tahu & terapkan kok konsep zero run-off.
Jika ada hujan 100mm jatuh ke lahan Grand Indonesia, ya GI harus meresapkan atau menyimpannya semaksimal mungkin, dan sisanya baru dialirkan ke drainase kota.
Dan percaya gak percaya udah ada PP hingga Pergub utk aturan zero run off,
Selama ini (terutama KemenPU) cuma sibuk ngoprekin RTB yg cuma luasnya cuma 3% itu, tapi lupa sama yg 80% beton kabeh itu.
Zero Run Off lebih utk atasi dampak hujan. Jika terkait hujan ekstrim, maka dia akan mengurangi beban volume kepada drainase, jalan dan RTB kita.
Apalagi dgn RTB yg udah keburu di tanggul, mau lari kemana tuh air, kealang tangguk.
Selain soal perawatan rutin, Pemprov DKI hrs lbh galak pastikan zero run off. Bisa dimulai dari kawasan yg rawan banjir genagan.
Metode zero run off nya, sekali lagi bisa macam2, dr sumur resapan, tandon, roof garden, daur ulang air hujan, dll dll. TERSERAH, yg penting ZERO RUN OFF.
TAPI ITU KURANG BAMBANG!
Jika saya tidak salah ingat, saya pernah lihat presentasi JSC (Jakarta Smart City), bahwa butuh setidaknya 40rb sumur resapan lagi. Semoga cara hitung mereka benar, dan gunakan intensitas hujan yg ekstrim hehehe.
Tidak, krn sayangnya scr topografi Jkt yg kek papan setrikaan, air butuh waktu mengalir.
DAN ITU GAK AKAN BISA DILAKUKAN KALAU 80% NYA MAGER TERUS DAN CUMA BISANYA KIRIM AIR DOANG KE DRAINASE KALI KANAL DAN SUNGAI!
Saya lbh berharap agar Pemprov & Pusat (tmsk kota2 sblh) lbh fokus di pencegahan. Tentu jenis pencegahan yg ndak nambah masalah baru, ya.