Lelaki tua itu mengayuh sepedanya dengan kecepatan sedang.
Sebenarnya ia ingin mempercepat laju sepeda itu lebih kencang lagi.
Tapi apalah daya dan upaya, kalau sepeda butut tsb sudah tak mampu lagi menambah daya kecepatannya, walaupun pedalnya di genjot sekuat tenaga.
Gerimis kecil yg tadinya membasahi tanah di siang hari itu, kini telah berubah menjadi hujan dgn butiran air besar-besar.
Si lelaki tua itu sedikit panik, tergesa-gesa ia makin mengayuh sepedanya, agar segera sampai ke tempat tujuannya.
*****
Aku terpekur sendirian di depan sekolah.
Teman-teman sekelas dan murid-murid yg lain sudah berhamburan pulang, hampir sekitar setengah jam yg lalu.
Mereka pulang menggunakan sepeda masing-masing, ada yg di jemput, ada juga pula yg memakai angkutan umum, yg kami sebut oplet.
Aku pun sedang menunggu bapak yg yg akan menjemput juga.
Mungkin dikarenakan hujan yg sedang turun ini, mengakibatkan ia sedikit terlambat.
Biasanya sebelum tepat pukul 12 siang, ia sudah siap menantiku di depan sekolah. Dan kebiasaan ini telah beliau lakukan semenjak aku masuk SMP.
Sebelumnya, di masa aku masih murid SD, jarak sekolah dan rumah memang cukup dekat.
Bedanya, kali ini jarak gedung SMP tempatku bersekolah lumayan agak berjauhan dari rumah.
Mengingat aku tak mungkin utk berjalan kaki ke sekolah karena masalah jarak tadi, akhirnya bapak berinisiatif mengantar jemput diriku di setiap harinya.
Kami memang hanya punya satu kendaraan saja dirumah, berupa sepeda tua satu-satunya yg dipakai bapak utk pergi bekerja sehari-hari.
Aku pun harus rela di bonceng bapak dgn sepeda butut itu , baik waktu pergi dan sepulangnya dari sekolah.
Lagipula, kondisi ekonomi keluarga kami terlalu pas-pasan utk bisa membeli sebuah motor bebek, ataupun utk membayar ongkos naik oplet setiap harinya.
Tak masalah sebenarnya buatku. Aku sudah cukup dewasa utk sadar akan segala kekurangan keluarga. Sebisa mungkin, aku tak akan menuntut yg macam-macam kepada kedua orang tuaku.
Aku juga sudah tahu, sebenarnya bapak telah mengorbankan jam istirahat siangnya hanya karena mau menjemputku pulang dari sekolah.
Dan beliau juga harus berangkat kerja sepagi mungkin demi mengantarkanku ke sekolah dgn sepedanya.
Bapak memang hanya seorang tukang bangunan. Profesi ini yg beliau jalani sedari muda dulu bahkan hingga sekarang di usia yg menuju ke 55 tahunnya. Bapak juga tak bisa membaca dan menulis,hal yg lazim pada seseorang yg baru datang dari pedalaman ke kota pada waktu itu.
Dengan kehidupan yg serba ngepas ini, untungnya kami sekeluarga masih bisa untuk selalu saling menyayangi.
Bapak adalah sosok yg sangat mengasihi anak-anaknya. Terutama ke aku, sebagai anak perempuan beliau satu-satunya.
Lamunanku terhenti tatkala kulihat seseorang sedang bersusah payah mengendarai sepedanya di tengah derai hujan.
Ia mendekat ke tempat aku berdiri menunggu dgn gerakan tergesa-gesa di atas sepedanya.
Ah, bapak.
Sekujur tubuhnya basah. Mantel hujan yg dipakainya itu terlalu usang dan dipenuhi robekan di beberapa bagian. Tentu saja tak sanggup mencegah air hujan utk tidak membasahi badan bapak.
"Lama kau menunggu? " tanya bapak dgn nafas sedikit tersengal.
Aku menggeleng. Tersirat rasa haru di batinku saat melihat bapak dgn kondisinya yg seperti ini. Kutahu, ia pasti lelah.
Ekspresi lelah di wajahnya membuat ia terlihat jauh lebih tua dari usia beliau yg semestinya.
"Maaf bapak terlambat! Hujannya tiba-tiba saja jadi deras! " lanjut bapak lagi.
"Pulang sekarang atau tunggu reda dulu? ".
Aku menjawab, " Kalau sekarang saja bagaimana pak? " .
Sambil tersenyum, ia pun menyuruhku untuk duduk di boncengan sepedanya. Dan dengan mengayuh perlahan, kami berdua pulang sambil menerobos derasnya hujan di siang itu.
*****
Hari ini adalah hari Jumat. Masih sama seperti hari-hari lainnya, bapak sudah menungguku di depan sekolah sebelum bel pulang di bunyikan.
Ia sudah berada di atas sadel sepeda nya, bersiap utk membawaku pulang.
Aku pun bergegas menghampirinya. Dengan posisi duduk yg manis, segera saja beliau memboncengku menuju pulang ke rumah.
Langit mendung di siang hari itu. Matahari bersembunyi di balik awan yg menebal.
Bapak tidak mengayuh sepedanya dgn cepat, ia malah cenderung berjalan santai.
Tidak biasanya ia bersepeda lamban ketika membawaku pulang dari sekolah. Timbul sedikit rasa aneh di hati.
Bapak bahkan bernyanyi kecil lagu-lagu Mandarin lawas favoritnya. Sepertinya, beliau sedang bergembira.
Tapi, entah hal apa yg di gembirakannya, aku juga tak mengerti.
Daripada penasaran, ada baiknya ku tanyakan saja langsung ke padanya.
"Bapak kok kelihatannya senang begini? Kenapa sih? " tanyaku, dengan maksud bergurau.
Ia berhenti bernyanyi.
Ia diam, tapi sepeda masih tetap dikayuhnya pelan-pelan.
"A Ling.. " ucapnya.
"Nanti kalau bapak sudah tak ada, kamu jaga mamak dan adikmu ya! "
Eh? Aku tak paham maksud perkataan nya barusan.
"A.. apa pak? " tanyaku, kemudian.
"Nanti kalau bapak sudah tak ada, kamu harus kuat ya! Jaga mamak dan adik! Sekolah yg rajin, biar gak bodoh seperti bapak!" ucapnya lagi.
Bapak kenapa sih? tanyaku dalam hati.
"Memangnya bapak mau ke mana? ", kataku bertanya sekali lagi.
Tapi, ia hanya diam. Sesaat ia menoleh kepadaku dan hanya sedikit senyum yg diberikannya.
Aku sungguh tak mengerti.
Sepanjang sisa perjalanan di siang itu kuhabiskan dgn melamun. Bapak juga berdiam diri, ia tak bernyanyi lagi seusai percakapan yg ganjil tadi.
Saking keasikan melamun, aku tersadar tahu-tahu sudah tiba di depan rumah.
"A Ling! Kamu sudah pulang? Kenapa tak menunggu bapak? ", kata suara itu sesampainya aku di pintu pagar rumah yg terbuat dari kayu.
Aku mendongak melihat ke arah datangnya suara. Itu bapak yg sedang menenteng sepeda, seperti nya ia akan bersiap-siap mau pergi.
"Lho kok? Kita kan baru sampai, pak. Mau kemana lagi? " tanyaku.
"Ini bapak baru mau pergi menjemput mu. Tadi ban sepeda bocor, terpaksa bapak tambal dulu. Kamu pulangnya dgn siapa? Jalan kaki ya? " ucap bapak.
Sumpah, aku jadi bingung lagi. Jelas sekali aku pulang bersamanya barusan. Tapi, begitu tiba di rumah, malah kutemukan bapak yg baru mau berangkat menjemput.
Dengan rasa bergidik, kuceritakan kejadian yg kualami tadi saat berboncengan dgn sosok yg mirip bapak.
Mamak dan bapak terkejut begitu mendengarnya.
Diriku gelisah dan sedikit takut.
*****
Sekian hari setelah kejadian yg membingungkan tsb, aku terkena demam. Panasnya lumayan tinggi, kepalaku serasa berat utk diangkat.
Terpaksa bapak memintakan ijin dari sekolah agar aku bisa beristirahat dulu di rumah.
Kedua orangtuaku panik gara-gara peristiwa kemarin.
Mamak bilang, aku 'keteguran'. Menurut beliau, aku diganggu makhluk halus yg menjelma sebagai bapak. Karena fisik dan mentalku yg lemah, akhirnya aku jatuh sakit.
Bapak adalah orang yg paling cemas akan keadaanku. Ia sampai pergi ke seorang pintar yg biasa kami sebut sebagai Louya.
Tujuan bapak mendatanginya utk memastikan apakah aku baik-baik saja seusai peristiwa tempo hari yg lalu. Ya, beliau sangat kuatir akan keselamatanku.
Tapi, kata Louya tsb, bapak tak perlu resah dan gelisah. Sosok yg menyerupai dirinya utk menjemputku kemarin adalah sosok penjaga keluarga kami.
Dan kenapa sosok penjaga itu meniru bentuk bapak, karena bapak adalah orang terpenting dalam keluarga kami. Kata Louya itu juga, diriku akan baik-baik saja. Demam yg kuderita hanya dikarenakan aku sedikit shock.
Bapak mencoba utk memahami, walau masih begitu banyak pertanyaan yg bergelayut di pikirannya.
******
Selang beberapa bulan berlalu, di suatu siang.
Pamanku mendadak datang ke sekolah. Waktu itu pelajaran masih belum berakhir, tapi paman meminta ijin kepada wali kelas utk boleh membawaku pulang saat itu juga.
Kulihat ada kesan panik di wajah paman. Perasaanku jadi tak nyaman. Sesuatu yg tidak menyenangkan sepertinya sedang terjadi di rumah.
Dan firasatku benar.
Rupanya bapak terkena serangan jantung. Hal ini di alaminya ketika sedang menggali sumur di tempat kerjanya. Begitu penjelasan singkat paman kepadaku.
Aku terdiam membisu mendengar kabar mengerikan tsb.
Dirumah telah ramai tetangga dan kerabat sedang berkumpul.
Diruang tengah, kulihat tubuh ringkih bapak terbujur kaku telah berselimut dgn kain putih.
Ia tak tertolong. Ia sudah tiada.
Mamak dan adikku menangis di sisinya.
Sejujurnya, aku sudah bisa menduga tentang semua kejadian ini. Peristiwa yg kualami beberapa saat yg lalu, sepertinya merupakan sebuah isyarat akan kepergian bapak.
Dan aku telah mencoba utk tetap tegar.
Terbayang di benakku akan permintaan yg dikatakan sosok yg menyerupai bapak ketika itu.
Aku harus kuat, ketika bapak sudah tak ada. Begitu pesannya.
Kutenangkan mamak dan adik dgn menghibur mereka sebisaku, walau sesak kesedihan di hatiku ingin pecah di saat itu juga.
*****
Sebelum di kuburkan, jenazah bapak dititipkan di sebuah yayasan utk di urus sembari mempersiapkan pemakamannya.
Sekitar tiga hari bapak berada di tempat itu, dan selama tiga hari itu juga aku masih tetap berada di samping bapak.
Tak ada rasa lelah dan kantuk yg menyertai.
Yang kuinginkan, hanyalah ingin tetap bersama bapak sampai nanti menjelang waktu ia akan di makamkan.
Ingatan membawaku lagi ke masa kecil hingga remajaku kini, bersama keluarga.
Memang kami tidak kaya, tpi kami bahagia. Bapak sangat sayang pada kami semua.
Rasa sayang beliau cukup terasa sangat membahagiakan daripada harus memiliki banyak harta sekalipun.
Kuucapkan doa utk bapak. Semoga tenanglah ia di sana, dan mendapatkan kasih sayang juga di sisiNya. Layaknya kasih sayang yg ia berikan kepada kami, keluarga kecilnya yg sederhana.
******
Malam itu, setelah prosesi pemakaman bapak telah selesai.
Tubuhku terasa amat lelah. Tapi, mata ini belum bisa terpejam.
Terlalu banyak hal yg kupikirkan.
Dan aku masih memikirkan bapak.
Entah kenapa, ingin sekali rasanya aku melihat sepeda bapak.
Sepeda tsb tersandar rapi di sudut ruang tamu. Ku perhatikan baik-baik benda tua itu.
Terlihat noda-noda sisa tanah yg mengering dan juga karat yg menempel di sana. Ku ambil lap basah dan dgn perlahan kubersihkan bagian-bagiannya yg kotor.
Besok, aku akan mencucinya hingga benar-benar bersih, niatku.
Aku juga berjanji akan selalu merawat sepeda ini dgn sepenuh hati.
Terlalu banyak kenanganku bersama bapak dulu sewaktu kami mengendarainya.
Pedal sepeda itu sedikit bergoyang dengan sendirinya. Apa aku salah lihat? batinku.
Kemudian, pedal itu berputar sekali lagi dgn gerakan perlahan, seakan ada seseorang yg memainkannya.
Pasti bapak, kata hatiku.
Dan air mata yg kutahan selama berhari-hari akhirnya mengalir deras di kedua mata ini.
Aku menangis semalaman.
Bapak...
Aku rindu bapak...
*****
Tubuhku terbaring tanpa daya di atas ranjang. Nafas yg kuhembuskan pun keluar hanya satu persatu.
Mataku sayu dan sukar utk ku buka lebar. Telinga ini pun sudah tak sanggup menangkap suara apapun lagi. Aku benar-benar sedang sekarat.
Tapi, setidaknya aku tahu, saat ini di sekelilingku masih ada beberapa orang yg tetap dengan setianya menemani.
Menemani di detik-detik akhir sisa hidupku.
Mereka adalah anak-anak dan suamiku, beserta karib kerabat terdekat.
Mereka sedang berderai air mata menyaksikan aku yg bersiap akan pergi jauh sesaat lagi.
Memang aku sudah siap. Bahkan sangat luar biasa siap sejak dari awal, semenjak vonis kanker otak yg mengancamku tak akan dapat bertahan hidup lebih lama.
Ah, bukan masalah besar bagiku. Aku sudah sempat merasakan indahnya kebahagiaan hidup dgn memiliki seorang suami penyayang dan juga tiga anak yg sangat cerdas dan lucu-lucu.
Kulihat lagi mereka semua yg masih menangisiku. Walau penglihatanku sangat samar, bisa kulihat juga ada mamak dan beberapa famili yg telah meninggal dunia jauh sebelum ini. Mereka tertawa sambil melambaikan tangan utk memanggilku.
Memori akan masa lalu itu terulang sekali lagi di kepalaku. Semuanya terlalu indah dan terasa sangat singkat. Aku sadar ini sudah saatnya untuk pergi, waktuku sudah habis.
Detak di jantungku melemah, tak mampu lagi aku menghirup udara. Seutas air mata mengalir mengiringi tertutupnya mataku utk yg terakhir kali.
*****
Aku kembali di sekolah. Masih seperti biasa, masih setia menanti bapak menjemput utk membawaku kembali ke rumah.
Gerimis turun mengiringi kedatangan bapak yg sedang mengayuh sepedanya.
Ia terlihat sehat. Sangat sehat.
Ia tersenyum melihatku, sambil ia mengulurkan tangannya.
Tentu aku menuruti ajakannya.
Ku duduk di atas boncengan bapak sepeda bapak,seraya memegang erat pinggangnya.
Sepeda tua itu pun berjalan perlahan.
Seketika kurasakan kebahagiaan saat itu juga.
Kebahagiaan akan kerinduanku yg teramat dalam .
Kebahagiaanku yg akhirnya bisa bertemu dgn bapak.
Dan juga, kebahagiaanku yg akan selalu tetap bersamanya di alam sana.
******
*****
Kupersembahkan kisah sederhana ini utk sahabatku D. A. S yg telah berpulang ke pangkuanNya.
Beristirahatlah dengan tenang dalam damai bersamaNya di sana🤲
Selesai
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Hai sob!
Malem ini ane akan menuliskan kisah dari seorang kenalan ane,tentang pengalaman mistisnya sewaktu ia bekerja di sebuah gedung bioskop dulu.
Seperti biasa, nama tokoh dan lokasi kejadian akan ane samarkan.
Dan seperti biasanya juga, yuk ramein trit nya dgn rt like dan komen sekalian biar makin seru.
Malem sob!
Cerita yg akan ane tulis di bawah ini berdasarkan pengalaman seseorang yg bernama Teguh ( nama samaran), yg mana masih ada hubungan kerabat dgn ane sendiri.
Seperti biasa, sebelum kita mulai yuk ramein tritnya dgn rt, like dan komennya sekalian biar ane semangat juga nulisnya. 😊
Malam sob!
Ijinkan kami sedikit bercerita utk menemani weekend kalian malam ini. Tapi seperti biasa, sebelum kita mulai, yuk ramein tritnya dg rt, like, komen dan follow sekalian ya😊
Kalo udah, so let the haunt begin!
Widya. Yah, Widya. Nama itu selalu terngiang-ngiang di benakku belakangan ini.
Bukan hanya namanya saja, sosok cantiknya pun selalu menari-nari di pikiranku.