Dampak tak memiliki akta nikah ini sangat luas. Dewi Kanti tak berhak
Begitu pun saat nanti hamil dan melahirkan,
“Pintu masuk diskriminasi kerap datang dari administrasi sipil. Seperti KTP, akte kelahiran, akte perkawinan,” ucap Dewi kepada INILAH, belum lama ini.
Kondisi
Bagi penghayat yang tidak siap dengan tekanan, mereka
Dewi mengatakan,
“Tapi oleh aparatur diterjemahkan, itulah agama
Hingga kini tak semua penghayat Sunda Wiwitan mengantongi e-KTP. Bahkan ada penghayat yang di-Konghucu-kan dalam e-KTP. Kondisi ini tak hanya terjadi di Cigugur Kuningan, tapi juga di daerah lain. Contohnya yang
“Namanya Djani Karjani seorang seniman. Di kolom agama terpampang Konghucu. Padahal dia jelas-jelas Tolotang,” ucap Dewi.
Tak hanya itu, tahun 2010 lalu saat masih tinggal di Jakarta, dia berniat mengganti KTP. Dalam KTP
Dia pun kembali mengajukan pembuatan KTP untuk memperbaiki kolom agama. Lagi-lagi aparat menganggap enteng dan menuliskan agama di luar keyakinan Dewi.
Kejadian lain yang tak kalah menyedihkan ketika dia kehilangan dompet. Untuk mengurus KTP dan ATM yang raib bersama dompet tersebut, Dewi mendatangi kepolisian hendak membuat surat
Dia pun mulai ditanya identitas diri untuk diisi ke form surat kehilangan yang sudah komputerize. Begitu masuk ke kolom agama, polisi kebingungan.
“Saya jawab, agama saya kepercayaan. Polisi bertanya, apa tuh? Gak ada di kolomnya. Saya meminta untuk dikosongkan, dan
Belum lagi ketika berbicara soal PNS. Dewi bercerita, beberapa
Sebenarnya, sambung Dewi, yang diperjuangkannya selama ini bukan hanya pengakuan dalam selembar KTP. Yang dibutuhkan penghayat
“Bahkan leluhur kami ikut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, meskipun mendapat
Dari Masa ke Masa
Anak tetua adat Sunda Wiwitan Dewi Kanti mengatakan, diskriminasi yang diperoleh para penghayat sudah terjadi sejak zaman Belanda. Karena bersikukuh pada spiritual leluhur, para penghayat kerap
Belanda mengadu domba penghayat dengan kalangan muslim dan kelompok pesantren seolah penghayat ingin mendirikan agama baru bernama Jawa Sunda. Padahal, Sunda Wiwitan menggali spiritual lama bukan baru.
“Mengapa kami seolah-olah menjadi musuh besar,
Perlawanan lewat budaya ini sengaja dilakukan para sesepuh Sunda Wiwitan,
Namun
Bahkan dia sempat dituduh
Zaman Jepang
Tekanan terhadap penghayat tak berhenti di
Untuk menarik simpati muslim, Jepang mendirikan catatan Kantor Urusan
Ketika Wongsonegoro menjadi menteri,
Saat itu, kampung dikepung, tetua adat dicari untuk dibunuh. Gesung Paseban dan kampong dibakar. Namun
“Sesepuh adat menyamar jadi petani dan berhasil diselematkan. Dia dan keluarga akhirnya mengungsi ke Bandung. Tahun 1960-an kondisi sedikit aman, keluargapun kembali ke Cigugur,” terangnya.
Tahun