Andre perlahan memejamkan kedua matanya. Suara ketukan pelan di pintu belakang rumahnya masih saja terdengar.
Jam di dinding telah menunjukkan pukul 00.00. Siapa gerangan di tengah malam begini mengetuk-ngetuk pintu? #bacaceritaseru #ceritaseram
Itu sering terdengar sejak ia menempati rumah bekas tempat tinggal bibinya tersebut.
Tidak ada apa-apa yang dijumpainya di sana. Hanyalah kosongnya malam serta semilir angin aneh yang membuat bulu kuduknya merinding yang ia jumpai
Andre teringat akan pamannya yang kini menghilang entah ke mana. Diduga pamannya lah tersangkanya.
Lalu kenapa dia kabur? Hal itulah yang membuat kecurigaan semua orang menguat kepadanya.
Suara ketukan pelan mendadak berubah menjadi suara gebrakan yang nyaring, membuat Andre tersadar dari lamunannya.
"Siapa itu?" serunya seraya beranjak dari tempat tidur.
Cahaya temaram dari bohlam lampu menerangi dapur yang sebagian dinding dan langit-langitnya dipenuhi sarang laba-laba. Ia memang belum sempat membersihkan
Andre mendekat pintu dapur yang langsung mengarah ke alam bebas tersebut. Suara gebrakkan sudah tidak terdengar lagi. Namun tiba-tiba.....
Suara serak sedikit bergema terdengar seperti mengalun melalui angin malam di luar sana.
"Brakkkk"
Mendadak pintu dapur terbuka diikuti hembusan angin yang sangat kencang.
Andre yang mendadak panik berusaha menutup kembali pintu, namun nihil.
"Andre...."
"Siapa kamu?" teriak Andre dengan panik berusaha menutup pintu.
"Si... si... siapa itu?" Andre benar-benar panik saat melihat sosok tersebut.
"Sial! Apa itu barusan? Mana aku sendirian lagi di sini..." rutuk Andre dengan nafas terengah-engah.
Kini ia berbalik hendak kembali ke kamar. Namun tiba-tiba sesuatu yang menyeramkan berdiri di hadapannya.
Yang jelas Andre di situ tidak dapat berbuat apa-apa selain mematung dengan ekspresi wajah yang tidak terperikan ketakutannya.
Ia terus berlari hingga mencapai kampung sebelah yang lokasinya berdekatan.
"Tampaknya arwah Bu Rodiah penasaran," ujar salah seorang pemuda kampung itu.
"Jangan bicara sembarangan. Bu Rodiah sudah tenang di
"Saya sering mendengar, pak. Jika seseorang mati dengan cara tidak wajar, arwahnya akan bergentayangan."
Saat itu Andre sedang ditenangkan oleh beberapa orang warga yang kebetulan sebelumnya yang menemukannya pingsan di depan gang.
"Diawasi siapa, Pak Somad?" tanya Andre penasaran.
"Sesuatu yang jahat, yang datang dari hati yang jahat," ucap sesepuh desa bernama Pak Somad itu.
"Terkadang sesuatu yang tidak terlihat namun berbahaya datangnya dari hati manusia yang telah dikotori segala sifat jahat yang ada di dirinya. Kemunculan mereka (para demit) tidak lepas dari jahatnya hati manusia yang dengki."
"Tanah tempat berdirinya rumah itu adalah tanah sengketa. Sengketa itu dimenangkan pamanmu, namun pihak seberang tidak terima. Entah apa yang telah mereka lakukan sehingga tanah itu menjadi tidak aman untuk ditempati siapapun."
Tanah sengketa? Ia memang pernah mendengar desas-desus soal status kepemilikan tanah yang di atasnya kini berdiri rumah yang ditempatinya.
"Silahkan, pak. Saya nanti akan menghubungi bapak jika ada apa-apa lagi di rumah itu," tukas Andre seraya turut berdiri.
Namun tiba-tiba ia berhenti ketika hendak mencapai pintu keluar. Selanjutnya ia menoleh ke arah Andre.
"Nak Andre, sebaiknya kamu tidak usah menempati rumah itu dulu. Pulanglah ke rumah orangtuamu."
Pak Somad tersenyum pahit. Ia menggeleng, membuat Andre penasaran.
Andre mengangguk setuju dengan perkataan Pak Somad.
"Saya akan selalu mengingat wejangan Pak Somad."
"Baiklah, kalau begitu saya pamit. Assalamu'alaikum," ucap Pak Somad seraya melangkah keluar.
"Wa'alaikumsalaam wa rohmatullah."
"Saya masih bingung, Pak Dadang. Bagi saya pulang kemudian tinggal di rumah kedua orang tua sama dengan berhenti kerja. Sedangkan di
Pak Dadang terlihat mengurut kening. Ia tampaknya sedang berpikir. Lalu ia pun berbicara setelah beberapa detik mengurut kening.
"Saya merasa itu ide yang bagus, pak. Tapi ada satu hal yang mengganjal di hati saya."
"Apa keponakan bapak normal?"
Pertanyaan macam apa itu?
"Tampaknya hidup berdua dengan pasangan sah lebih baik daripada hidup berdua dengan sesama. Hii."
Ia rupanya sedang membersihkan ruangan yang banyak dipenuhi sarang laba-laba. Maklum saja ia selama ini terlalu sibuk untuk mengurus rumah sendirian.
"Apa paman lupa menyimpan sertifikat ini, ya? Aku menemukannya di kolong
"Permisong."
Mendadak dari teras rumah terdengar suara seseorang sembari mengetuk pintu. Lantas Andre bergegas menuju teras.
"Kenalkan gue Thomas, ponakan Pak Dadang," ucap remaja tengil itu seraya menyodorkan tangan mengajak salaman Andre.
"Oh, kamu yang namanya Thomas. Kamu siap berjaga di sini?"
"Demitnya?"
"Bukan, tapi guenya yang lari. Bahahaha."
Thomas tertawa lepas. Sementara Andre hanya mengernyitkan kening merasa aneh dengan kelakuan bocah itu.
"Sekarang kamu masuk. Mandi sana, jangan lupa berdandan ala JOKER agar kamu bisa melihat setidaknya satu di antara mereka," kata Andre sekenanya.
"Pak Dadang bilang keponakannya normal. Nggak tahunya seperti ini. Salahku tidak jelas menanyakan soal normal yang seperti apa," gumam Andre.
Remang-remang cahaya lampu bohlam di rumah-rumah warga menambah suasana syahdu di malam itu.
Malam terus berlalu, semakin malam semakin sunyi. Kegelapan terus mengiringi seolah tiada henti.
Sepasang kakinya yang tidak beralas seolah tidak menapak di atas tanah. Naik ke arah badan, terlihat kurusnya badan laki-laki berpakaian serba hitam itu.
Bammm......
Seraut wajah kurus dihiasi urat-urat biru yang menonjol tampak jelas di wajahnya. Kedua kelopak matanya menghitam. Kedua bola matanya tampak seolah hendak keluar dari kelopaknya.
Bibirnya yang tebal agak keriput melelehkan cairan amis.
Ada beberapa hal yang membuat para mantri dan dokter enggan bekerja di desa tersebut. Apapun itu penyebabnya, Andre tidak dapat menerimanya.
Andre menghela nafas ketika penciumannya menangkap bau familiar saat ia tengah berada di teras puskesmas.
Andre mencoba menajamkan penglihatannya. Sosok tersebut rupanya berjalan ke arah puskesmas. Semakin dekat semakin kentara saja wujudnya.
Namun, sosok tersebut tiba-tiba berbalik arah ketika Andre menghampirinya.
"Paman, tunggu..." Andre berusaha mengejar sosok pamannya itu, namun sosok tersebut sudah tidak terkejar lagi.
"Celaka. Aku terlalu jauh pergi. Aku harus kembali."
Andre pun mempercepat langkah kembali ke
Namun baru beberapa langkah berjalan, Andre mendengar suara rintihan dari sisi jalan tepatnya semak-semak di pinggir jalan.
Dengan ragu-ragu Andre melirik ke arah sumber suara tersebut dan .....
WAAAAOOOO.......HIHIHIHIHI......
"Kebakaran? Di mana itu? Oh, tidak, jangan-jangan!"
"Thomas...." Andre memanggil-manggil remaja itu.
"Di mana Thomas?" Andre sembari terengah bertanya ke salah seorang warga yang sedang memadamkan api.
Tak lama muncul Pak Dadang dengan raut wajahnya yang tegang. Sesekali ia bertanya kepada warga yang ditemuinya.
Ia pun akhirnya bertemu Andre.
"Saya tidak tahu apa-apa soal ini, pak. Saya malam ini
Andre hanya terdiam. Ia tidak tau harus berbicara apa mengenai peristiwa yang baru saja menimpa Thomas dan juga rumahnya.
Selanjutnya ia bersama warga memeriksa salah satu kamar yang diduga adalah di
Thomas tidak ada di rumah ketika terjadi kebakaran? Lalu ke mana gerangan anak itu?
"Ini sedikit melegakan karena Thomas tidak sedang di rumah saat terjadi kebakaran," ucap
"Padahal saya berpesan agar dia tidak ke mana-mana, dan ia mengiyakan," tukas Andre seraya melihat ke arah sebuah panci masak berisi mi instan yang telah gosong. "Bencananya dari sini."
Sebuah tabung gas melon 3 kg
"Jangan-jangan dia lari sesaat setelah gas mengalami kebocoran?" gumam Andre.
"Dia akan melapor jika ada kejadian, nak Andre. Saya tahu betul Thomas anaknya selalu jujur," tukas Pak Dadang.
Akhirnya malam itu terpaksa Andre tidur di salah satu
Barangkali hanya rumahnya yang sedikit lebih modern daripada rumah-rumah warga. Itulah kenapa Andre lebih suka menolak untuk tinggal di
Itu merupakan kehidupan yang tidak biasa ia jalani. Namun kali ini ia terpaksa menginap di salah satu rumah warga.
Gadis itu tampak canggung meski tidak tahu kalau tamunya sudah terbangun.
Sedangkan Andre terpaksa pura-pura tidur meski kadang matanya memicing
Setelah gadis tersebut beranjak pergi ke dapur, Andre pun bangkit dari posisinya kemudian menuju dapur ke arah tempat air atau tempayan untuk berwudhu.
Sedangkan untuk pencarian Thomas, Pak Dadang telah mengerahkan para warga di sekitar lingkungannya. Ia tampaknya yakin jika Thomas masih hidup karena mayatnya tidak ditemukan di reruntuhan rumah Andre.
Andre masih berada di puskesmas setelah melayani para pasien yang rata-rata adalah warga kampung sini, di mana puskesmas berada.
Menjelang jam 9, saat ia hendak mengunci pintu depan,
Dengan menggunakan tongkat, nenek itu berjalan hingga mencapai pintu gerbang puskesmas.
"Ada yang bisa dibantu, nek?" ujar Andre.
"Sebaiknya nenek masuk dulu biar saya periksa," ucap Andre mempersilahkan nenek berpakaian serba hijau itu masuk ke ruang periksa.
"Sudah berapa lama batuknya, nek?" tanya Andre seraya menatap nenek itu.
"Sudah sejam yang lalu, nak. Batuknya membuat nenek susah bernafas," tukas nenek tak berkerudung itu.
"Barangkali nenek
"Iya, nak. Nenek baru pindah kemari," jawab nenek itu.
"Nenek pindahan dari mana?" tanya Andre.
Sontak Andre terperanjat mendengar jawaban si nenek yang di luar dugaan. Kekagetannya semakin menjadi tatkala menyaksikan nenek itu tertawa mengikik diikuti perubahan wujudnya menjadi menyeramkan.
Dalam kikikkannya yang tidak berhenti, kepala nenek tersebut terlepas dari leher kemudian menggelinding ke arah Andre.
"Aaaahhh" Andre berteriak ketakutan seraya menghindar.
Pintu diterjangnya hingga terbuka. Andre berlari kencang keluar dari puskesmas. Ia terbirit-birit kemudian mendadak menghentikan larinya ketika melihat seseorang berdiri menghadang jalannya.
Seorang remaja bertubuh kurus berambut keriting. Siapa lagi kalau bukan?
"Tolongin gue, kak," Thomas berucap pelan dengan suara lemas.
Andre tercekat setelah mendengar ucapan Thomas.
"Dia akan datang, kak. Tolongin gue." Suara Thomas masih terdengar lemas seperti ucapan seseorang yang sedang sakit parah.
Langkah Andre terhenti. Ia tercekat menyaksikan sesosok negatif di belakang Thomas. Sosok tersebut tinggi besar mengenakan pakaian serba merah. Wajahnya sangat menyeramkan dengan sepasang taring panjang di antara gigi-giginya yang besar.
"Kak Andre, tolong gue...." Dalam sekejap suara Thomas melenyap seiring terkaman makhluk berbaju merah tersebut.
Makhluk itu menerkam kepala Thomas dan memisahkannya dari tubuhnya.
Darah membuncah setelah terputusnya leher dengan badan. Pemandangan mengerikan itu benar-benar membuat Andre mengalami trauma berat.
Kejadian itu telah lama berlalu. Namun bayangan-bayangan yang berseliweran setiap malam di desa itu masih sering muncul.
Bayangan-bayangan yang disebut sebagai Pejalan Malam seolah ingin menyampaikan pesan kepada semua orang di desa.
Namun siapa yang tahu mengenai pesan itu, termasuk Andre yang pada hari itu tengah bersiap pulang ke tanah kelahiran. Ia akhirnya menyerah dengan segala tetek bengek yang terjadi di desa tempat ia
Padahal ia sudah cukup lama mengabdi di desa itu, meski hampir setiap malam diganggu makhluk-makhluk iseng yang salah satunya adalah hantu si nenek.
Sedangkan mengenai Thomas, pihak keluarga tampaknya sudah merelakan kepergiannya untuk selamanya. Namun,
Ia masih menyimpan kepenasaranan terhadap sosok pamannya yang hampir tiap malam ia lihat. Namun sosok itu tidak pernah berhadapan langsung dengannya.
Hal itu disadarinya ketika mengingat tentang sebuah foto yang terpajang di rumah Pak Dadang, di mana saat itu Pak Dadang pernah bercerita bahwa
Orang tersebut kalah dalam sengketa melawan paman Andre. Setelah kekalahan tersebut disinyalir ia meminta bantuan dukun ilmu hitam untuk mendapatkan kembali tanahnya yang direbut paman Andre.
"Sayang sekali, nak Andre pulang. Padahal besok akan datang anak-anak dari kota yang hendak KKN di sini," ucap Pak Dadang.
"Sudahlah, nak Andre. Kami sekeluarga telah mengikhlaskannya. Semoga ia tenang di alam sana," tukas Pak Dadang.
Kepergian Andre diikuti dengan pandangan Pak Dadang maupun warga yang turut melepas kepergian Andre.
"Bebek-bebek itu memang bandel ya. Padinya sudah pada rusak saja," gumam Andre saat menemukan
"Hmm, tetanggaku bisa langsung jatuh miskin kalau RUU itu jadi disahkan." Andre kemudian meluruskan batang-batang padi yang rubuh itu.
"Mas Andre, ada seseorang ingin bertemu," ujar seseorang dari arah belakang.
"Mau apa kau ke sini?" ucap Andre sinis ketika tiba di hadapan Dodi.
"Hanya ingin mengunjungi keluarga. Bagaimana kabar uda dan uni?" tukas Dodi tanpa mempedulikan sikap sinis Andre.
"Siapa yang bilang begitu? Justru atas dasar kesedihan itu aku datang kemari. Hanya kalian keluarga yang kupunya saat ini. Ayah menghilang dan ibu meninggal dengan tragis,"
"Mungkin kau masih menganggap kami keluarga tapi kami, baik uda dan uni tidak lagi menganggapmu sebagai bagian dari keluarga ini. Kau telah melakukan perbuatan bejat dan hina itu!" kata Andre dengan nada tajam.
"Semoga penyesalanmu bukan omong kosong, Dodi!" Andre menghela nafas.
"Aku akan menerima apapun resikonya, termasuk tidak diterima lagi di keluarga ini. Aku akan menemui mereka, dan meminta maaf
Andre hanya berdiri mematung di pematang sawah, tanpa menoleh ke arah Dodi.
Begitulah ucapan kasar yang diterima Dodi setelah ia menemui uda dan uni Andre yang juga uwaknya. Meski ia telah menangis meminta maaf, hati keduanya tetap tidak luluh.
Dodi pun akhirnya pergi dengan membawa
Ia pergi tak tentu arah.
(Di sini tokoh utama akan berganti ke si Dodi)
Siapkah dengan petualangan baru yang kini melalui perspektif Dodi? #ceritahoror #ceritaseram
Dodi yang mengendarai motor tersebut tampak begitu letih. Maklum saja seharian ini ia berkendara cukup jauh.
Tiba di depan sebuah rumah warga, Dodi menitipkan sepeda motornya untuk melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki menuju tanah milik kedua orang tuanya yang terletak agak menurun melewati turunan curam berupa tanah
Dodi sejenak termangu menyaksikan rumahnya tinggal puing.
Benar kata Andre, rumahnya sudah hancur. Hancur karena kebakaran yang diduga karena kelalaian seorang remaja yang baru semalam tinggal di rumah itu menemani Andre.
Kedua matanya tampak berbinar ketika menemukan sesuatu dari balik tumpukan reruntuhan rumahnya.
"Kalung ini rupanya masih ada. Aku akan mengembalikannya," gumam Dodi seraya beranjak
Namun, sayup-sayup ia mendengar suara rintihan seorang wanita dari arah sungai tidak jauh dari reruntuhan rumahnya.
"Dodi, kemari, nak." Dodi terhenyak saat suara tersebut menyebut namanya.
"Ibu? Tidak mungkin ibu masih..." Dodi ternganga menyaksikan sosok ibunya di depan mata.
Itu tidak mungkin ibunya, karena ibunya telah lama meninggal dan ia sempat
Saat itu Dodi sedang menjalani hukuman penjara karena telah memperkosa dan membunuh seorang gadis di kota S tempat ia kuliah.
Meski sedang menjalani hukuman, ia dapat izin pulang untuk menemui ibunya untuk terakhir kali.
Dodi masih termangu di tempat. Sejenak kemudian ia tersadar jika hari sudah beranjak malam.
Gelapnya malam mulai menyelimuti area sekitarnya. Suara-suara binatang
"Jika engkau memang ibuku, pulanglah. Karena aku tahu ibuku telah tiada. Sedangkan kau pasti sesuatu yang lain yang tidak seharusnya ada di sini." Selesai berbicara begitu, Dodi menyaksikan sosok ibunya
Dodi sontak lari meninggalkan makhluk yang sedang bertransformasi itu. Ia terus berlari hingga menaiki tanjakan kemudian ke arah perkampungan.
Orang tersebut mempersilahkan Dodi masuk ke dalam rumahnya. Setelah Dodi masuk ke dalam rumah, warga tersebut segera masuk kemudian menutup pintu erat-erat.
Dari luar terdengar suara gemuruh dan suara riuh yang membahana.
"Sebenarnya itu apa?" tanya Dodi kepada warga pemilik rumah.
"Mereka sedang bergerak," bisik warga itu membuat Dodi penasaran.
"Maksudnya?" tanya Dodi.
"Sangkasena," bisik warga itu lagi.
Mendadak pintu terbuka dan terbanting hingga menimbulkan suara menggebrak yang keras.
Warga pemilik rumah itu pun menutup pintu kembali namun ia tampaknya kesulitan. Dodi pun berinisiatif membantunya.
Ia pun merasakan kesulitan yang sama dengan warga pemilik rumah itu
Mereka pun merasakan jika pintu sedang didorong dari luar oleh sesuatu yng mereka tidak ketahui
Sosok tersebut sedang merentangkan kedua tangannya yang panjang dan berjari seperti ranting.
Namun terlambat, makhluk tersebut keburu menyadari sedang diintip oleh seseorang yang berada di dalam rumah.
BRUAGGGG.........
Sementara Dodi dan yang lain terbanting keras ke atas tanah.
Namun yang mencerabut rumah ini adalah kekuatan luar biasa dari sesosok makhluk mistis berpakaian serba merah yang disebut sebagai SANGKASENA.
"Ayo, cepat," ujar Dodi seraya membantu salah seorang mahasiswa memasuki gerbang puskesmas yang dihadang palang bambu.
Astaga, benda tersebut rupanya sebuah rumah yang diterbangkan kemudian ditabrakkan ke bangunan puskesmas hingga rata dengan tanah.
Kini mereka sedang berupaya mencari tempat untuk berlindungan dari serangan brutal sosok mistis itu.
Malam itu jelas menjadi malam yang sangat panjang bagi mereka. Namun,
Ke mana gerangan para warga yang lain?
"Kita tidak mungkin melarikan diri ke desa seberang sana. Jaraknya terlalu jauh. Juga desa itu dipisahkan hutan lebat yang sangat luas dari desa ini. Kita hanya dapat berlindung untuk sementara ...
"Di mana rumah Pak Somad, pak? Apa tidak jauh dari sini?" tanya Dodi.
Pak Halim sejenak tercenung. Ia terlihat gamang untuk menjawab.
"Bukan soal jauh atau dekat. Rumah Pak Somad kemungkinan besar tidak akan kita temukan dalam keadaan begini. Pagar gaib yang mengelilingi rumah Pak Somad akan membuatnya menjadi tidak terlihat jika ...
Dodi kemudian menoleh ke arah para mahasiswa yang tampak sedang berbisik-
Wajah mereka jelas memancarkan ketakutan dan kekhawatiran. Mereka saat ini merasa bingung dengan peristiwa yang sedang menimpa mereka.
Selanjutnya ia memutarkan pandangan ke sekeliling. Tampaklah sekelilingnya adalah pepohohan besar diselingi bongkahan batu besar berdiri di sana.
Pandangan Dodi sejenak berhenti pada salah satu bongkah batu besar yang tampaknya adalah penutup pintu goa. Ia pun berpikir jika di balik batu tersebut terdapat goa.
"Hari belum juga beranjak pagi. Sangkasena akan segera tiba," ucap Pak Halim seraya memberi ....
Pak Halim berjalan menyeruak gelapnya malam diikuti Dodi dan para mahasiswa. Tampaknya ia menemukan cara menghindari kejaran Sangkasena. Entah apa yang akan ia lakukan masih menjadi pertanyaan.
"Ini salah saya yang tidak mengindahkan peringatan bapak," ucap Dodi merasa menyesal karena terlambat merespon larangan Pak Halim waktu sedang menahan pintu.
"Jadi, kejadian ini ada hubungannya dengan hilangnya ayah saya?" tanya Dodi.
"Bisa jadi, nak. Kedua orang tuamu mendapat bencana karena tanah larangan itu. Bukan tidak mungkin mereka berdua menjadi
"Ada apa, pak?" tanya Dodi seraya melihat ke arah tanah yang tidak jadi dijejak Pak Halim.
"Ini bukan tanah, tapi rawa. Namanya Rawa Gaib. Meski terlihat seperti tanah lapang
"Kita tidak bisa ke mana-mana lagi. Kita terkepung," kata Pak Halim lagi membuat Dodi dan yang lain semakin panik.
Dodi tiba-tiba terperanjat saat menyaksikan sesosok laki-laki berpakaian serba hitam muncul dari permukaan tanah
"Ayah?" seru Dodi ketika mengenali sosok itu.
"Pak Mahfud? Apa itu anda, pak?" kata Pak Halim ketika melihat sosok ayahnya Dodi. "Oh, tidak. Apa yang terjadi denganmu?" gumamnya.
Kedua bola matanya yang menonjol menatap sayu ke arah Dodi seolah ingin menyampaikan pesan.
Dodi dan yang lain hanya dapat celingukan. Mereka tidak tahu harus berbuat apa untuk menyelamatkan diri.
Sementara sosok Pak Mahfud hanya berdiri terdiam di
Termangu dan terus termangu hingga sosok besar berpakaian serba merah muncul di hadapan Dodi dan yang lain.
Termangu dan terus termangu hingga sosok besar berpakaian serba merah muncul di hadapan Dodi dan yang lain.
Makhluk mistis tersebut tampak melangkah pelan ke arah Dodi yang posisinya menghalangi Pak Halim dan para mahasiswa yang berkumpul di belakangnya.
"Tidak, nak Dodi. Saya bersama kamu bukan karena kebetulan, tapi saya ...
"Desa akan selamat jika kamu selamat, nak Dodi. Segala kepedihan, dan kehilanganmu tidak
Ia tidak dapat berkata-kata setelah mendengar perkataan Pak Halim barusan.
Namun, sebenarnya apa yang ingin disampaikan Pak Halim mengenai kejadian itu?
Dodi terdiam. Perasaan bersalah itu kembali menggelayutinya. Ia merasa seperti sudah tidak pantas hidup.
Pemikiran itu juga sempat muncul ketika sang iblis berhasil mengejarnya hingga ke Rawa Gaib.
"Singkirkan pemikiran buruk itu, nak. Iblis
"Simpan dulu kepenasarananmu, nak Dodi. Pak Mahfud rupanya bereaksi dengan kedatangan Sangkasena," ujar Pak Halim sontak membuat Dodi menoleh ke belakang tepat
"Ayah?" ucap Dodi.
"Tetap melihat ke depan, nak Dodi. Dia semakin dekat," kata Pak Halim seraya mengeluarkan sesuatu dari balik saku bajunya.
Mendadak Pak Halim menyayat tangan kanan Dodi menggunakan benda yang baru dikeluarkan dari saku bajunya. Benda itu rupanya adalah sebilah kujang berukuran kecil.
"Apa-apaan ini, pak!" pekik Dodi seraya melompat terus melihat ke arah Pak Halim.
"Maaf, nak Dodi. Saya
Dodi hanya bisa meringis menahan perih lukanya yang masih merembeskan darah. Ia kemudian melihat ke arah Sangkasena
Makhluk itu berhenti melangkah setelah Pak Halim mendapatkan darah Dodi melalui kujang mini yang dibawanya.
Sedangkan Pak Halim tampak berbicara sepatah dua patah kata dengan sosok Pak Mahfud.
Mereka merunduk untuk menghindari terjangan material yang mengarah ke mereka. Terdengar suara hela nafas berat dari sosok Sangkasena yang
Pak Halim turut mendampingi Pak Mahfud menghadang Sangkasena.
Melihat itu sontak Dodi berteriak.
"Pak Halim, jangan lakukan itu. Bapak bisa terbunuh!"
Ia tidak dapat mencegah Pak Halim mendampingi sosok Pak Mahfud ...
"Pak Dadang telah tiada karena kau, iblis! Begitupun keponakannya. Kau sudah saatnya dihentikan! Katakan siapa yang membangkitkanmu!!" ujar Pak Halim dengan suara bergetar.
Sretttt................
Tangan sebelah kiri Sangkasena yang seperti ranting melesat kemudian menancap di dada Pak Halim.
Pak Halim pun berteriak kesakitan seraya memegangi dadanya dan berusaha mencabut tangan Sangkasena yang menembus dadanya.
Tubuh Pak Halim melorot kemudian jatuh berdebum ke atas tanah. Sementara sosok Pak Mahfud tidak bergeming. Ia tidak menoleh ke arah Pak Halim. Wajahnya masih tanpa ekspresi.
Dodi dan yang lain saat ini ....
Kini Dodi berada paling depan, tepat di belakang sosok ayahnya yang masih berdiri tidak bergeming.
Mendadak Dodi teringat sesuatu. Barangkali itu harus ia ambil dan ia gunakan.
Ketika hendak mengambil kujang tersebut, mendadak tubuh Dodi terangkat ke udara kemudian terbanting dengan keras ke atas tanah.
"Ugghhh.." Dodi mengaduh kesakitan seraya
Ia terus mencoba menggapai kujang tersebut namun hasilnya selalu gagal. Bahkan ia hampir sekarat karena seringnya terbanting oleh kekuatan yang menghalanginya.
Melihat Dodi kepayahan, para mahasiswa yang berjumlah empat orang itu mencoba membantunya.
Mereka hanya bisa meringis kesakitan setelah terlempar oleh kekuatan gaib yang melindungi kujang tersebut.
Apa yang harus Dodi lakukan untuk melawan Sangkasena yang kini sedang ..
Berbekal tekad dan keyakinan, Dodi merangsek ke arah kujang mini. Orang-orang yang bersamanya pun
Rupanya itu berhasil Dodi lakukan. Ia berhasil menggapai kujang tersebut tanpa terkena serangan gaib lagi.
Namun hal itu membuat Sangkasena mengalihkan perhatiannya dari sosok Pak Mahfud.
"Mas Dodi, gawat! Dia melihat ke arah kita. Dia akan membunuh kita," ujar salah seorang mahasiswa dengan nada ...
"Sebentar lagi tanganku mencapai kujang. Hkkkhkk," ucap Dodi dengan suara tercekat karena kuatnya dorongan kekuatan Sangkasena. Sementara ujung jarinya tinggal beberapa senti lagi mencapai
Nafasnya kini terasa sangat berat karena kuatnya tekanan kekuatan Sangkasena yang telah dinetralkannya. Jika tidak dinetralkan menggunakan kalung misterius itu, maka kekuatan Sangkasena bisa kembali melontarkannya bersama yang lain. Apalagi kini posisi mereka
Jika mereka terlontar lagi, dipastikan akan terlempar ke Rawa Gaib dan tidak akan bisa kembali lagi dari sana.
Kali ini Dodi berhati-hati menggapai gagang kujang mini yang bilahnya berwarna merah karena darahnya.
Mendadak!!!
Namun serangan mendadak dari Sangkasena membuat Dodi terjengkang, dan kujang yang berhasil diraihnya terlempar ke belakang tepat ke area Rawa Gaib.
Wujud Sangkasena meronta-ronta hingga hilang di balik gelapnya
Suara gemuruh dan cicitan burung-burung misterius mengiringi hilangnya wujud Sangkasena di tengah Rawa Gaib.
Suara gemuruh semakin keras terdengar kemudian terjadilah ledakan keras yang membuat Dodi kehilangan kesadaran.
Penglihatan Dodi memutih kemudian memasuki alam bawah sadar, di mana ia tiba-tiba mendapati dirinya sedang berada di suatu jalan setapak berbatako (paved road).
Dodi tampak mengenakan setelan kasual dengan sebuah tas punggung berwarna biru di punggungnya.
Dodi antara merasa sadar dan tidak sadar saat berada di jalan kecil tersebut. Namun ia terkejut ketika dirinya berjalan di jalan tersebut. Ia kemudian melihat-lihat sekujur tubuhnya yang kini berjalan
Saat itu hari menjelang sore. Di sekeliling jalan kecil itu terdapat rumpun-rumpun bambu yang sangat rimbun.
Sayup-sayup terdengar suara gemerisik dari balik salah satu rumpun bambu tersebut.
Mendadak dua orang berpakaian preman muncul
Dua orang tersebut membawa tubuh Dodi keluar dari van kemudian memasuki rumah besar bercat putih itu.
Di dalam rumah, mereka disambut oleh seseorang yang membuat Dodi mengernyitkan
"Pak Dadang?" gumam Dodi dengan suara yang tentu tidak terdengar oleh mereka semua.
Pak Dadang berdiri menyambut kedua orang preman yang membawa Dodi.
"Kerja bagus. Sekarang kita tinggal menunggu malam tiba. Ki Rawuk sedang menunggu di tempat pertapaannya," kata ...
Singkat cerita, malam pun tiba. Pak Dadang bersama dua preman itu berada di dalam ruangan bawah berdiri mengelilingi tubuh Dodi yang terbaring di atas tanah.
"Keluarga Mahfud akan hancur sehancur-hancurnya. Dia telah berani merebut tanah pengurbanan! Inilah saatnya"
Pak Dadang menjadi pemandu sembari menyorotkan senternya ke depan. Cahaya senter menampakkan lorong yang dindingnya berupa batu terjal itu.
Keluar dari gua, Pak Dadang bersama dua preman yang membawa tubuh Dodi terus berjalan menuju suatu area yang banyak ditumbuhi pepohonan tinggi menjulang.
Di dalam gua, mereka mendapati sesosok kakek tua brewok putih berpakaian putih kusam dengan bagian dadanya telanjang.
"Sampurasun Ki Rawuk," ucap Pak Dadang seraya ber
Ki Rawuk menatap tajam ke arah Pak Dadang. Dengan suara serak ia berkata.
"Dina hiji wanci nu geus ditangtukeun, nonoman ieu bakal nyieun karuksakan pikeun kulawargana."
Ki Rawuk kemudian meminta agar tubuh Dodi ditaruh di atas batu datar mirip meja di hadapannya.
Setelah tubuh Dodi ditaruh di atas meja batu tersebut, Ki Rawuk meminta salah seorang preman
Setelah preman tersebut berbaring di samping Dodi, Ki Rawuk mengambil beberapa tetes darah Pak Dadang, preman itu, dan menyatukannya dengan darah Dodi yang telah diambilnya.
Darah dari ketiganya ia taruh di dalam cawan tembikar. Setelah itu
'Srinngggggg'
Ki Rawuk menyayat dada si preman kemudian menumpahkan darah di cawan ke luka di dada preman itu. Selanjutnya ia kembali merapal mantra.
Ajaib, wujud si preman berubah menjadi sosok Dodi. Kini ada
"Apa-apaan ini!" Gigi Dodi gemeretak menyaksikan adegan tersebut.
Misteri yang tidak terpikirkan olehnya pun kini terkuak. Ditambah lagi ia menyaksikan sendiri adegan pemerkosaan dan pembunuhan yang
Pak Dadang rupanya di balik semua ini. Namun, Pak Dadang tidak akan melakukan hal laknat itu jika sosok seperti Ki Rawuk tidak ada.
Kini semuanya jelas, apa yang dikatakan Pak Halim tentang Dodi benar adanya.
Dodi membatin. Tubuhnya tetap belum bergerak dari atas meja batu tersebut. Ingin rasanya ia menggerakkan
Namun, sejenak Dodi teringat dengan kalung yang didapatkannya dari TKP pembunuhan Ratih.
Dodi menatap ke arah dua tangannya yang transparan karena sedang berada dalam wujud halus. Ia menatap ke arah pergelangan tangan kanannya di mana kalung Ratih melilit.
Ia sejenak melihat ke arah Ki Rawuk yang masih dalam kondisi
Dodi dalam wujud halus berupaya menggapai tubuh asli Dodi yang masih berada di sana. Sedangkan Dodi palsu tampaknya telah kembali ke wujud aslinya setelah menyelesaikan tugasnya.
Terdengar suara Ki Rawuk bergumam.
"Aya nu nenjokeun urang!" (Ada yang melihat kita!)
"Dodi, bangun. Ini Andre..." panggil seseorang yang membuat Dodi terbangun.
"Hhhhahhh....." Dodi celingukan mendapati dirinya sedang di atas tempat tidur dikelilingi orang-orang yang sebagian ia kenali.
"Andre? Uda, uni?" Dodi melihat ke arah Andre, uda, dan uni secara bergantian.
Dodi masih belum berucap.
"Paman sudah kembali, Dodi. Ia sudah ditemukan. Ternyata ia selama ini disesatkan oleh seseorang berilmu hitam," kata Andre.
Ia tahu siapa dukun ilmu hitam yang disebut-sebut Uda. Namun ia belum siap memberitahu siapapun.
~Sekian~
Akhirnya tamat juga pemirsa. Silahkan berkomentar jika cerita ini menurut teman2 masih menggantung.....