FLASHBACK 20 TAHUN
"Kate lapo le nduk?" tanya si kakek (Mbah Rijan)
"Mau ngapain nak?"
"Ini mau lihat tanah kek, katanya dijual"
"Lho ape mbuk nggo opo le kok tuku lemah gok kene" dengan wajah heran hingga nampak dahinya mengerut
"Lho mau kamu buat apa kok beli tanah disini?"
"Hendak saya bangun rumah dan masjid kek, semoga kelak tambah rame dusun kita" jawab pria itu
Sebut saja namanya Pak Sutar
"Awakmu ngerti ta kepiye kawitane daerah iki. Nekat ape mbuk adeki omah?"
"Kamu tahu kan gimana asalmula daerah ini. Nekat mau bangun rumah disini?"
"Pak, pripun? Sido tumbas lemah sing wingi iku?" Bu Sutar memulai pembicaraan sambil menyodorkan teh hangat untuk suaminya.
"Yo sido toh Buk, lhawong murah opomaneh pinggir dalan. Cocok kanggo usaha mengarele" jelas pak Sutar
"Ya jadi dong Buk, sudah murah apalagi pinggir jalan. Cocok buat usaha kedepannya"
"Halah rapopo, sokmben nek wes rame ora ngarah medeni maneh" tandas Pak Sutar
"Halah gapapa, nanti kalo udah rame gaakan nyeremin"
Sebenarnya disendang itu hanya ada tanah lapang, pohon - pohon trembesi besar yang mungkin sudah berumur ratusan tahun dan sumur minyak tua peninggalan belanda
"Pak niki kopi kalih jaminane, monggo" ucap seorang wanita kepada beberapa pekerja
"Pak ini kopi sama cemilannya, silahkan"
"Iya Bu taruh disana saja terimakasih"
Seseorang berlari dengan tergopoh gopoh menghampiri Pak Dasar
"Pak, Wage Pak, drijine prutul kegraji" ujar pria itu
"Pak, Wage Pak, jarinya putus kena gergaji"
"Kenopo koe mau Ge?" tanya Pak Dasar
"Kenapa kamu tadi Ge?"
"Pak, kulo badhe sanjang kalihan Pak Sutar"
"Pak, saya mau memberitahu sesuatu kepada Pak Sutar" ucap Wage
Pak Dasar hanya mengangguk kepada salah satu kuli, teman Wage
"Gimana nak ada apa?"
Wage menghela nafas panjang dan menunduk sejenak hingga kemudian menatap Pak Sutar kembali
"Ngeten Pak, kula mboten badhe meden medeni nopo ngrecoki. Kula namung badhe nyanjangi njenengan nopo sing kedaden wau"
Semua orang diruangan menatapnya dengan seksama
"Mbah Jebung , Mbah Jebung serik umpami dalane diadekne omah"
"Mbah Jebung gak suka kalo dibangun rumah ditengah jalannya"
"Saya tidak menyalahkan Bapak atas putusnya jari saya"
"Nanging niki peringatan Pak saking penunggu ingkang mboten setuju kalih pembangunan niki"
"Tapi ini peringatan Pak dari penunggu yang tidak
Pak Sutar hanya menatap tajam Wage, tanpa sedikitpun ekspresi ditampakkan oleh wajahnya. Tiada sepatah katapun terucap dari mulutnya, hingga ia memutuskan untuk keluar dari ruangan yang disusul oleh langkah istrinya.
Di sisi lain, Wage dan teman temannya masih memperbincangkan hal hal mengerikan yang terjadi kepada mereka di bangunan yang sedang mereka garap tersebut.
salah satu teman Wage membuka pembicaraan
"Ge, bukan kamu doang yang didatangi. Aku juga tiap hari ngelihat, tapi untungnya pikiranku tidak pernah kosong"
"Demit Bangsat!" umpat temannya yang lain
"Rabetah cuk aku mergawe nek godane koyo ngeneiki. Iso iso mati ngadek aku" temannya ikut menimpali
"Ga tahan aku kalo kerjaan banyak masalah gini. Bisa mati
Suasana menjadi hening karena mereka semua membayangkan kembali gangguan yang mereka terima sejak bekerja disana.
Kembali ke beberapa hari lalu...
Tess.. tes.. tes...
Terdengar suara tetesan dari arah kamar depan yang mereka bangun. Suara yang jelas tertangkap oleh indera pendengaran mereka, hampir seperti gemericik air dari keran yang bocor.
Sambil mengipas kipaskan karung bekas semen kearahnya, walaupun tidak sesejuk angin yang keluar dari kipas angin, setidaknya hal itu bisa membuat sedikit gerah yang dirasanya berkurang
"Keran liur dari mulutmu mungkin. Pam saja belum dipasang gimana mau nyalain keran"
"Lha tapi kemrecek opo kui pakde kok tas tes deres nemen"
"Lalu suara gemericik apa itu Pakdhe kok tetesannya deras gitu"
Tiba tiba semuanya diam, hening, mereka seperti
Hingga akhirnya
"Wes gek ndang cobo diprikso"
"Udah coba periksa sana" perintah Pak Dasar
Barulah kaki mereka sampai didepan ruangan yang bahkan belum terpasang daun pintu diujungnya, mereka dikagetkan oleh berliter liter darah yang berceceran di lantai separuh jadi tersebut
Pak Dasar yang terkejut pun tak sadar ikut berlari menjauh
"Lho ono opo iki kaget aku"
"Ada apa ini? ikutan kaget saya" tanya Pak Dasar
"Ono getih pakdhe, banjir banjir gok kamar ngarep kono. Deloken talah"
"Ada darah Pakdhe, darahnya membanjir di kamar paling depan. Liat aja sendiri" jelas Mas Wage
Betapa terkejutnya ia ketika berbalik. Didapatinya seekor monyet besar yang entah datang dari mana. Karena disini adalah hutan
Ia mencoba mendekati monyet gempal tersebut, terlihat menjijikkan dengan taring cukup panjang keluar dari bibirnya, dan juga tidak mempunyai ekor pada bagian belakang tubuhnya, namun tiba tiba monyet tersebut berbalik lari melesat keluar
Pak Dasar berfikir bahwa mungkin itu monyet biasa yang tidak sengaja bermain hingga ke tepian hutan.
Ia segera keluar dan menjelaskan pada anak buahnya bahwa tidak ada apa apa di dalam kamar yang mereka maksud.
Mereka pun melanjutkan pekerjaan masing2.
Esoknya...
*Kreeeek* bunyi resleting yang dibuka
Teman Wage buang air kecil di pohon pisang belakang rumah itu
"Asu Jancuk Picek ¥\*'+=$):,!?^©"
Umpatnya
Dia berusaha untuk segera melarikan diri, namun seperti ada yang menahan kakinya.
Sosok itu tengah memeluk kakinya dengan kedua tangan tanpa pergelangan dan badannya yang hanya separuh keatas tanpa kaki.
Makhluk itu tampak tengah menjilati sisa air kencing yang masih menetes
Hingga senyum itu diiringi oleh jeritan terakhir si kuli sebelum akhirnya pingsan
"Aaaaaaa...."
Mereka menemukan temannya tergeletak dibawah pohon pisang dengan keadaan yang belum memakai kembali celananya.
"Mulo kabeh wae nek mergawe ojo lali dungo lan zikir saben wayah. Ojo nganti pedhot"
(Makanya kalian semua jangan lupa doa dan zikir setiap waktu. Jangan sampai putus)
"Wis mari iki sesuk wengi podo melu aku gok omahe Mbah Rijan"
(Habis ini besok malam ayo ikut aku kerumah Mbah Rijan)
Di malam hari berikutnya mereka berangkat ke salah satu rumah di dusun tersebut.
"Kulanuwun"
(Permisi) ucap Pak Dasar saat diambang pintu
"Monggo"
(Silahkan) sahut seorang pria tua yang tengah duduk di kursi kayu dalam rumahnya.
"Piye le tumben kok dolan mrene onok masalah opo"
(Gimana nak tumben berkunjung kesini ada masalah apa) lanjutnya
(Gini mbah...) jawab Pak Dasar yang belum selesai perkataannya langsung dipotong oleh Mbah Rijan
"Iyo aku ngerti opo kekarepanmu kabeh mrene"
(Saya udah tau apa maksud kalian datang kesini) lanjut si Kakek
"Isok, omah iku isok dibangun nanging sarate madep
(Rumah itu bisa dibangun asal menghadap selatan. Karena jalan empunya wilayah itu menghadap timur, jadi rumah itu gaakan bisa dipagari bila
"Nanging masio dibangun madep ngidul, sing manggon nang omah kono yo kemrungsu le, oraiso ayem, howone panas"
(Tapi meskipun dibangun menghadap selatan, yang tinggal dirumah itu tetap tidak akan tentram, hawanya panas)
Ia mengambil gelas kopi di hadapannya, dan meminumnya tanpa menawarkan sama sekali kepada para tamu itu. Maklum, ia sudah lama tinggal sendiri di gubuk tua itu.
"Sopo wae sing mrono yo bakal digudo le"
(Siapapun yang kesana juga akan diganggu nak)
"Wes diweruhi opowae koe kabeh iki?"
(Sudah ditampakkan apa saja kalian semua) tanya si kakek
"Katah mbah, wonten beruk, tiang estri ingkang namung separo, tangan mrambat kalih sikil tanpo awak"
(Banyak kek, ada kera, perempuan yang badannya tinggal
jelas salah satu anak buah Pak Dasar yang juga ada disana
"Hahaha, amung iku tok? Durung ono sing ngerti Mbah Lurah?"
(Haha, hanya itu saja? Belum ada yang melihat Mbah Lurah?) tanya Mbah Rijan
Semuanya bingung dengan perkataan
"Mbah Lurah sinten mbah?"
(Mbah Lurah siapa mbah?) tanya salah satu dari mereka
"Yo sopo maneh. Sepuh Jebung"
(Ya siapa lagi. Tetua Jebung" jawab si kakek
Mereka saling menatap satu sama lain hingga satu dari
Tangannya berkeringat. Malam yang dingin itu terasa pengap, udara yang awalnya sangat sejuk menenangkan kini memberi hawa lembab.
"Wonten mbah, Kang Wage sampun dipun pirsa"
(Sudah kek, Mas Wage sudah ditemui) ucapnya seraya menunduk.
Teman Wage tersebut melanjutkan perkataannya
"Kang Wage ketepak apes mbah, drijine kegraji. Terose amergi dipuruki kalih Mbah Jebung"
(Wage kena apes kek, jarinya putus saat ditemui oleh Mbah Jebung)
Mbah Rijan yang mendengar pernyataan mereka pun nampak terkejut, terlihat dari pupilnya yang melebar itu.
Hingga akhirnya dia menemukan salah satu kerajaan jin yang ada di sudut hutan. Ia tergiur mengasah kesaktiannya dengan mengajak pemimpin disana bertarung.
Penguasa disana tidaklah bodoh.
Pertarungan pun terjadi, dan seperti apa yang bisa kalian
Mbah Jebung ditahan di alam mereka tak tahu hingga kapan. Ia tidak mati ataupun hidup karena bumi menolak tubuh mereka.
Seandainya ia berada di alam asalnya mungkin
(Bawalah garam ini) ucap Mbah Rijan
"Sabendino koe kabeh disugati kopi to. Sisehno kopimu secangkir wae, tambahno uyah iki gok kopimau, seleh nok gawangan mburi ben orak njaluk neko neko wae"
(Tiap hari kalian disuguhi kopi kan. Sisakan secangkir saja,
Setelah mengangguk pertanda mengerti, mereka pamit untuk pulang.
Esok harinya mereka melakukan apa yang diperintahkan Mbah Rijan, dan benar saja
Percaya atau tidaknya tergantung pribadi masing2. Tapi bagi orang orang tersebut, mereka percaya bahwa pertukaran mungkin diperlukan. Seperti mengganti harga keselamatan mereka dengan hal yang disenangi oleh makhluk makhluk itu.
Kini keluarga kecil Pak Sutar mulai menempati rumah itu. Rumah yang terpaksa dibangun menghadap ke timur
"Alhamdulillah nggih pak, akhire awak dewe gadah omah malih"
(Alhamdulillah ya pak akhirnya kita
Ucap Bu Sutar dengan senyum tampak menghiasi wajahnya yang ayu.
"Nggih buk, dongakne rejekine bapak lancar. Ben isok gawe omah maneh"
(Iya buk, doakan rejeki bapak lancar. Biar bisa bikin rumah lagi) jawab Pak Sutar sambil mengelus kepala putranya yang
Iya, syukuran pindah rumah ini dibarengi oleh akikah dan satu bulanan putra ketiga mereka.
Dari sini semuanya dimulai.
*Kratak kratak klak*
Terdengar keras sekali dari arah dapur, seperti sesuatu yang tengah dibanting dan diremukkan.
"Masyaallah..." semua terkejut mendengar suara itu
Pak Sutar segera berlari ke dapur untuk mengecek apa yang terjadi, dan disusul oleh beberapa pria
Beberapa pria tadi ikut membantu Pak Sutar, diantaranya membereskan peralatan makan yang berserakan di lantai.
"Astaghfirullah...
(Astaghfirullah kok bisa gini pak) ucap seorang warga
Tampak hancur kaca belakang lemari itu, dan semua besinya bengkok tak beraturan seperti habis diremas oleh sesuatu.
"Bener jareku to, opo yo trimo Mbah Jebung nek awak dewek ngaji ndo kene"
(Benar kataku kan, Mbah Jebung gaakan terima kita ngaji disini) bisik seorang santri
Terdengar suara tawa anak anak kecil entah darimana asalnya. Tawa itu menggema dari seluruh penjuru
Mereka semua pun memberi ucapan selamat kepada keluarga Pak Sutar lalu berpamitan kembali kerumah masing masing.
Bukan hanya 1 atau 2 rumah, tapi seluruh rumah menyaksikan mayat terbungkus itu. Suara jeritan dari para wanita dan anak anak membuyarkan keheningan malam itu.
Bahkan sebagian anak anak pingsan dan terkena sawan hingga demam mendadak.
Para santri, dan keluarga Pak Sutar segera keluar dari rumah dan memastikan apa yang sedang terjadi.
Mereka berjalan ke halaman salah seorang warga. Disana nampak beberapa anak kecil tergeletak pingsan.
(Ada apa ini Bu?) tanya seorang santri kepada ibu ibu yang tengah menenangkan anaknya yang menangis sangat kencang.
"Mari bancakan seko omahe Pak Sutar kabeh omah ditekani pocong mas. Podo sembujur ning nduwur mejo"
(Sini pak bu) undang seorang santri yang membawa seteko air dan beberapa gelas ditangannya.
Ia membagikan air minum itu kepada anak anak yang menangis dan warga yang pingsan.
Sejenak waktu berlalu, keadaan mulai tenang dan membaik. Semua warga kembali ke rumah.
Betapa terkejutnya mereka melihat makanan yang terlihat enak dan menggiurkan tadi berubah menjadi lembek, lengket dan mengeluarkan bau seperti makanan basi.
(Jangan dimakan) terdengar suara yang familiar dari tengah jalan
"Ojok dipangan nek do ra pengen loro weteng. Badokan bar di iyak iyak demit"
(Jangan dimakan kalo gamau sakit perut. Makanan abis diinjak injak demit)
"Wes ndang do dilebi kabeh lawange"
(Sudah cepat tutup semua pintunya) perintahnya
Semua orang segera menuruti aba aba itu, dan menutup jendela serta pintu rumah mereka.
Para santri dan keluarga Pak Sutar yang masih berada di pelataran dusun itupun nampak heran. Akhirnya mereka memutuskn untuk kembali ke rumah Pak Sutar dan melanjutkan pengajian.
"Lho pak bu, lawange kok tutupan. Nopo ndek wau wonten sing ngunci ta"
(Lho pak bu, pintunya kok tertutup. Apa tadi ada yang ngunci?) tanya seorang santri
"Mboten niku mas, wau buru buru mboten sempat nglebi lawange"
(Nggak tuh mas, tadi buru buru gak sempat
"Buk, Damar endi?!"
(Buk, Damar mana?!) tanya Mas Galuh, anak pertama Pak Sutar dengan panik
"Lho ibuk gak ngerti Luh, Ibuk kawit mau nututke bapakmu"
(Lho ibuk ga tau Luh, dari tadi ibuk ngikutin bapakmu)
"Pak, lawange mboten saget dibuka. Ketingale dikunci"
(Pak, pintunya gabisa dibuka. Katanya dikunci) seorang santri berteriak pada Pak Sutar yang berada di dekat pagar rumahnya.
"Mosok toh. Aku yo orak ngancing mau"
(Masak sih. Aku ya gak ngunci)
"Pak, Damar hilang pak" adu Bu Sutar pada suaminya
"Astaghfirullah opo maneh iki"
(Astaghfirullah apalagi ini) keluh Pak Sutar yang semakin bingung. Pintu masih belum bisa terbuka, ditambah hilangnya Damar
(Mas tolong pinjamkam linggis di rumah tetangga) pinta Pak Sutar pada salah seorang santri.
Santri itu mengangguk dan segera berlari menuju salah satu rumah. Ia kembali dengan membawa apa yng dipinta oleh Pak Sutar tadi
(Ini pak)
Pak Sutar segera meraih linggis itu dan berusaha membuka pintu dengan mencongkelnya.
Pintu berhasil dibuka dan semua orang mencari Damar.
"Mar.. Damar!"
"Nak, pundi toh awakem mar"
(Nak, dimana sih kamu nak)
"Niki damar ketemu teng mriki"
Rupanya damar meringkuk dibalik pintu kamar belakang. Kamar itu gelap gulita, dan bau cat yang masih baru menjalar di seisi ruangan.
"Masyaallah le, lapo koe kok neng kene"
(Masyaallah nak ngapain kamu disini)
Damar masih saja menangis sesenggukan dan keadaannya yang tidak karuan membuat semua orang merasa kasihan.
"Ja hat.. Jah at.. Huu Da mar we di"
(Jahat.. Damar takut) ucap damar dengan terbata bata
Entah apa yang terjadi pada anak itu hingga baju koko putih yang dikenakannya menjadi kotor berantakan.
Tangis damar mulai mereda. Kini ia telah lelap dipangkuan kakaknya Galuh
"Mpun buk ampun sedeh. Adek gakpopo ngono. Wes ndang leren sik istirahat"
"Mene, Candra tak pondonge"
(Sini, Candra biar aku gendong) pinta Pak Sutar pada sang istri
Ia pun memberikan putra bungsunya pada sang suami lalu masuk ke dalam kamar
Diluar masih terdengar lantunan ayat ayat suci yang dibaca oleh para santri. Pelan pelan suara itu semakin menipis hingga tak terdengar lagi di telinga Bu Sutar. Tanda bahwa ia sudah terlelap.
Tiupan kecil terasa pada wajahnya. Mau tak mau ia membuka pelan matanya.
Gelap
Ia yakin masih berada di kamarnya tadi. Tapi mengapa semuanya gelap? Ia berusaha untuk bangkit dari tempat tidurnya, lalu berjalan kearah saklar lampu. Mati, lampunya tidak menyala.
"Pak.. Pak.." Bu Sutar berusaha memanggil suaminya
Ia berpikir bahwa mungkin pengajian telah usai
"Pak.., Luh.., ngendi to kok gaenek sopo sopo"
(Pak, Luh, dimana sih ko gaada siapa siapa)
Suara berisik terdengar dari arah dapur. Suara yang sangat ramai, terdengar banyak orang yang sedang bercakap cakap.
Bu Sutar mulai berjalan kearah dapur. Dibukanya pintu pembatas ruang belakang dengan dapur itu. Hanya sejengkal ia membuka pintu itu.
Bukan dapur! Bukan dapur yang dilihatnya tetapi malah pasar templek (pasar kaget). Terlihat banyak orang berlalu lalang disana.
"Apa ini? Dimana aku? Kenapa dapurnya hilang?" disaat semua pertanyaan itu
Bu Sutar terkesiap dan segera membalikkan badannya. Nampak seorang wanita cantik bergaun merah dengan payung terbuka ditangan kirinya.
Saat tiba disana, Bu Sutar melihat banyak sekali monyet tanpa ekor dengan mata merah memenuhi ruangan. Puluhan, mungkin ratusan monyet berkumpul disana seperti sedang menanti mangsa.
"Aaaaaaaaaaa"
*DUGG DUG DUGGG*
suara hantaman pada tembok sekeliling rumah Pak Sutar
"Ibuk! Ibuk! Tangi buk enek opo buk?"
(Buk! Ibuk! Bangun buk ada apa buk?)
tanya Mas Galuh sembari mengguncang guncangkan tubuh ibunya yang menggelinjang tak karuan.
Bu Sutar belum juga sadar. Suaminya yang panik pun segera mengguyurkan air minum ke wajah istrinya itu.
Akhirnya ia sadar. Badannya tergolek lemas diatas kasur. Matanya terbuka, terlihat mengalir air mata dari ujungnya. Tangis mereka pun pecah.
Beberapa santri hanya melihat dari luar kamar, bukan karena tiada rasa simpati. Namun mereka sibuk mengatasi situasi diluar.
*DUG DUG DUG*
Suara hantaman terdengar lagi
Kali ini lebih keras
Semua santri mengaji lebih keras lagi, semakin keras dan beradu dengan suara benturan benturan di tembok itu.
Pak Sutar memeluk erat Damar sambil menggendong Candra di dekapannya.
"Buk piye wes mendingan?"
(Buk gimana udah mendingan?)
Bu Sutar baru menyadari bahwa yang ia alami tadi adalah mimpi. Namun, bagaimanapun ia masih syok karenanya.
"Sa mpun Pahk"
(Su dahh Pah k)
Disisi lain, suara benturan pada dinding telah hilang dan berganti dengan ketukan pada kaca kaca rumah mereka.
Masih sangat jelas ingatan yang tertanam pada
Ratusan pasang mata menatap orang orang didalam rumah, tampak sangat jelas para makhluk itu memperlihatkan wujud mereka.
Tangan mereka berebut menggedor2 kaca rumah tersebut hingga suara bentakan menghentikan mereka.
(Pergi! Sini bukan wilayah kalian!) bentak seorang pria
Ya, siapa lagi jika bukan Mbah Rijan. Namun ada yang berbeda dengannya, di belakangnya ada sosok pria yang kelihatan sudah sangat tua, berbadan tinggi tegap dengan rambut hitamnya.
"Monggo mlebet mbah"
(Silahkan masuk mbah) tawar Pak Sutar
"Gakpo le, wes seko kene wae. Ojo lali jogoen anakmu sing ragil. Ambune marakno barang seko njero
(Gapapa nak, disini saja. Jangan lupa jaga anak bungsumu. Baunya membuat penghuni dalam keluar hingga sini) jelas kakek itu
(Satu lagi, jangan menggalkan istrimu sendirian apalagi saat ini belum selesai masa nifasnya)
"Wes ngono wae, tak bali sek"
(Sudah dulu, aku mau pulang) tutup Mbah Rijan
Salah seorang santri yang memiliki kelebihan menjelaskan pada Pak Sutar maksud perkataan Mbah Rijan tadi.
Menurutnya, anak bungsu Pak Sutar memiliki kelebihan dan kebetulan wetonnya berjumlah sangat tinggi.
Dan tentang Bu Sutar, ia baru saja diganggu oleh gadis gaun merah dan kera keranya yang suka dengan bau darah kotor
Pak Sutar hanya terdiam mendengar pernyataan santri itu. Sesekali ia menengok istrinya yang tengah menyusui
Memang begitulah sifatnya, ia tidak pernah merespon bila ada orang yang memberitahunya tentang hal hal mistis. Entah apa yang ada di pikirannya, hingga seperti acuh tak acuh meskipun sudah banyak bukti nyata dihadapannya
Para santri akhirnya pamit untuk pulang. Dan malam itu mereka sekeluarga tidur di kamar utama, di ranjang besar yang cukup untuk menampung 5 orang dewasa.
Esok harinya,
Pak Sutar berangkat ke kantor dengan wajahnya yang
Mas Galuh tetap dirumah untuk menjaga ibu dan adik adiknya. Siang itu mereka habiskan untuk membereskan sisa sisa barang yang belum sempat ditata kemarin.
Di sore harinya,
"Assalamualaikum" ucap Pak Sutar sambil melangkah masuk kedalam rumahnya
"Candra ndi buk kok gak sampean gendong"
(Candra mana buk kok gak kamu gendong)
"Pak, wes mantuk toh?"
(Pak, udah pulang toh?) ucap Bu Sutar yang datang dari arah dapur sambil menggendong Candra
Pak Sutar sangat terkejut mendapati istrinya itu
Sosok itu hilang seketika saat Pak Sutar berbalik kearah makhluk itu duduk tadi.
(Ada apa pak?) tanya istrinya kembali
"Gakpo, masak opo mau?"
(Gapapa, masak apa tadi?) entah mengapa ia menyembunyikan apa yang baru saja ia alami dari istrinya. Mungkin ia masih tidak mau mengakui bahwa pilihannya menentang saran orang2 adalah hal yang salah.
Istrinya masih kesal karena banyak perabotan di dapur yang rusak tiba tiba. Seperti lemari beserta isinya kemarin yang dihancurkan oleh entah makhluk apa.
(Pak gimana sekolahku?) tanya Galuh
Galuh pada saat itu baru saja memasuki masa sma
"Wes bar tak ijinke kanggo sewulan"
(Udah bapak mintakan ijin absen untuk sebulan) jelas Pak Sutar
Mas Galuh tampak tersenyum tenang mendengar perkataan bapaknya
(Luh Galuh, baru aja masuk sma kok mau gak masuk sebulan) timpal ibunya
"Alah wes rapopo ben njogo awakmu karo adek adeke sek. Njagani nek aku raono nomah"
(Alah gapapa biar jagain kamu sama adek adeknya. Semisal kalo aku
Malam haripun tiba, Pak Sutar, istri beserta Damar dan Candra tidur sekamar. Sedangkan Mas Galuh tidur di kamar sebelahnya.
Saat semua sudah terlelap tiba tiba terdengar suara ramai di luar kamar mereka
Sesekali terdengar suara gemerincing delman dan hentakan dari kaki kuda
Ia turun dari ranjang dan bergegas membuka pintu kamar. Tidak ada siapapun disana, bahkan suara yang berisik tadi lenyap seketika.
Kosong, tangannya tidak mendapati Damar yang seharusnya tidur disana. Ia terkesiap dan segera berlari keluar kamar.
Menengok sudah pukul 3 pagi dan Damar hilang entah kemana, ia bingung dengan apa yang harus diperbuat. Hingga...
*Tok tok tok*
Suara ketukan terdengar dari pintu depan
(Bapak... Damar pulang) suara anaknya terdengar dari luar
Pak Sutar bergegas membuka pintu depan.
Damar, ya dia seorang diri berdiri di depan pintu.
"Koe ki ko ndi wae toh le kok ngilang tengah wengi!"
(Kamu ini dari mana kok ngilang tengah malem!)
Damar yang takut mulai menangis dengan teriakan khas anak seusianya.
"Wes ayok melbu ojo nangis mengko ibukem tangi"
(Udah ayo masuk jangan nangis nanti ibumu bangun) ajak Pak Sutar
"Koe mau metu ngendi le?"
(Kamu tadi kemana nak?) tanya Pak Sutar dalam posisi berlutut di lantai
"Tumbas jajan pak"
(Beli jajan pak) jawab bocah itu
Pak Sutar bingung, rumah ini jauh dari pasar, lagipula ini tengah malam, sangat tidak mungkin ada orang yang berjualan.
"Lha Damar kok iso metu mau piye nak?"
Putranya menatapnya lalu menggerakkan tangannya, isyarat agar ayahnya mendekat. Ia lalu berbisik
"Damar medal kalih bulik"
(Damar keluar sama tante) bisiknya lirih
Tante? Pak Sutar adalah anak tunggal.
Dahinya mengerut, matanya menelisik setiap detail tubuh putranya.
"Damar tumbas jajan opo wae mau nak?"
(Damar beli jajan apa aja tadi nak?) tanya Pak Sutar)
Si anak merogoh sakunya
Matanya terbelalak melihat ungker jati dan berbagai serangga mati didalam bungkusan itu. Ia membuka mulut putranya, tampak bekas bekas kunyahan dari serangga yang telah dilahapnya
(Tanteee..) seru Damar sambil melambai lambaikan tangannya kearah kaca depan
"Bulek mlebet mriki a..."
(Tante masuk sini dong...) senyum mengambang diwajah kecil itu
Hawa dingin yang tiba tiba menyelimuti tubuh Pak Sutar membuat rasa takutnya tak tertahan lagi
*Khi hihihihi... *
tawa khas kunti terdengar dari belakangnya
Ia segera berbalik dan mendapati beberapa sosok perempuan tengah berkerumun diujung ranjang
Ia melangkah mendekat untuk memastikan apa yang ada di dekapan wanita itu.
Candra!!! Candra tengah terlelap pulas di gendongan wanita itu. Pak Sutar segera membentak mereka, namun para perempuan itu
*Brakk Prak Bug*
Suara hantaman dari entah apa membuat Bu Sutar yang tadi masih pulas terkesiap.
"Opo iku pak?"
(Apa itu Pak?) tanya sang istri sambil
"Lho pak, Candra ngendi pak Ya Allah anakku endi pak"
(Lho pak, Candra mana pak, Ya Allah anakku dimana pak) tanya Bu Sutar sangat panik
Ia mulai menangis histeris,
Pak Sutar menyadari bahwa para wanita yang tadi
"Metu koe kabeh!!! Iki mono dalanku, omahku, panggonku! Sopo sing gawe wiwilan neng kene yo kudu keno awune"
Mereka mengenali suara itu, suara Mas Galuh. Hanya saja terdengar lebih serak dan berat.
"Le, Luh, nopo awakmu ki nak?"
"Mene Tar Sutar!!! Koe mileh lungo opo anakmu tak gowo?"
(Sini kamu Sutar!!! Kamu milih pergi apa anakmu kubawa?) ucap Mas Galuh dengan mata melotot
(Maaf) hanya kata itu yang terucap dari mulut Pak Sutar
Damar gemetar ketakutan melihat kakaknya itu. Entah makhluk apakah yang merasuki raga kakaknya.
*Kratak*
Suara patahan tulang leher karena Mas Galuh menjambak kepalanya sendiri hingga lehernya patah ke kiri.
Ia tiba tiba lari melesat ke arah tangga dan naik menuju lantai atas
Saat Bu Sutar hendak menyusul putra pertamanya itu tiba tiba
*Brukkk*
Seperti ada yang jatuh di halaman depan. Pak Sutar segera berlari menuju kesana
*Grok grokk grok*
Suara senggal napas dari tenggorokan Mas Galuh.
*Tok tok tok*
"Kulonuwun"
(Permisi) ucap Mbah Rijan
"Monggo mbah, wonten nopo kok jam sementen dateng mriki"
(Silahkan mbah, ada apa kok jam
"Wes ayo melu aku, tulung iwangi nangeni wong lanang sing sekirane iso tak jaluki tulung"
(Udah ayo ikut aku, bantu bangunin para pria yang kemungkinan bisa dimintai tolong) perintah Mbah Rijan
Akhirnya terkumpul sekitar tujuh pria disana.
(Mau ngapain kita mbah?) tanya salah satu diantaranya
"Ono sing ganjil. Ayo podo jug omahe Sutar"
(Ada yang tidak beres. Ayo pergi ke rumah Sutar) jawab Mbah Rijan
Tepat ketika mereka sampai disana, Mas Galuh baru saja melompat dari lantai atas.
"Tulungi kui! Wong loro ayo melu aku. Loro maneh tulung urusi bojo karo anake"
(Cepat tolong mereka! Dua orang ikut aku, dua lainnya tolong urus anak dan istrinya)
Pak Sutar sangat syok dan merasa teramat hancur akibat kebodohannya sendiri. Jika saja ia tak memaksakan kehendak untuk membangun rumah diatas tanah itu.
Di dalam rumah~
Satu pria membantu Bu Sutar berjalan dan mencoba menenangkannya yang masih menangis histeris. Dan satu lainnya menggendong Damar menjauh agar tidak melihat apa yang terjadi saat itu.
Di sisi lain Bu Sutar dan Damar diantar oleh para warga kerumah orang tuanya yang berada di desa yang menjadi induk dari dukuh itu
"Bojo goblok!"
(Suami bodoh!) umpat ayah mertua Pak Sutar
"Ngonokui nek ora ndungokno cangkeme wongtuo"
"Wes ndang adus nduk, Damar tak dusine. Sing kuat yo mari iki sholato, pandungo kanggo Candra ben cepet ketemu"
(Yang sabar ya nak, Damar biar ibu mandiin. Kamu yang kuat, sholat dan berdoa biar Candra cepat ketemu)
Sedangkan Bu Sutar? Tatapannya kosong. Wajahnya datar tanpa ekspresi, bahkan airmata tidak lagi nampak berada disana. Mungkin batinnya sudah terlalu sakit saat ini.
Kedua pria tadi diminta memagari rumah dengan bambu kuning dan garam. Mbah Rijan yakin Candra hanya disembunyikan disekitar rumah.
(Kalau kalian sudah selesai memagari, temui aku di sendang sana) perintah Mbah Rijan pada keduanya
"Nggih mbah"
Mereka segera menuju pekarangan salah satu warga dan membabat sebagian besar bambu kuning itu.
"Uyahe ndi iki kang?"
(Garamnya mana nih bang?) tanya salah satunya
"Golekono gok pawon jal"
(Coba cari di dapur sana)
Seorang dari mereka segera melesat ke dapur
Mereka kemudian berlari kearah sendang belakang rumah tersebut.
"Pomo mengko aku melek cepet buntelen nganggo mori iki, telat sedelok wae nyowomu iso ciloko"
(Kalo nanti mataku terbuka, cepat bungkus badanku dengan kafan ini, telat sebentar
Mereka berdua hanya menelan ludah dan merasa ngeri
"Opo wae sing ketok mengko ojo direken, nek perlu tinggalen kojah dewe"
(Apa saja yang nampak nanti jangan digubris, kalau perlu tinggal ngoceh sendiri)
(Satu lagi, panggil semua wanita kesini, suruh mereka mencari Candra sampai ketemu setelah kalian berdua membungkusku)
Itulah pesan terakhir Mbah Rijan pada mereka
Dua pria tadi mulai merasakan hawa tidak enak. Salah seorang segera mengambil mori di sebelah Mbah Rijan, jaga jaga agar mereka tidak kecolongan.
(Bang, kok panas dingin gini badanku) keluh salah satu orang
"Podo wae aku yo ngono. Ayo mbahas opo ngono lho"
(Sama aja aku juga. Ayo bahas apa kek gitu) timpal kawannya
Mereka mulai hanyut dalam obrolan panjang, meskipun pada dasarnya
"Mas kok gak mantuk, anakmu goleki loh"
(Mas kok ga pulang, anak kita nyariin loh) tiba tiba terdengar suara seorang wanita mendekat kearah mereka
(Heh itu loh istrimu) ujar satu pria pada kawannya
"Hahaha kleru kang, genah bojomu ngono bendino dikeloni mosok lali hahaha"
(Hahaha salah bang, orang istrimu kok, tiap hari tidur bareng masa lupa) mereka tertawa terbahak bahak
*Hi hi hihi hi*
"Pehhh radoyan aku nek ngeneki, ayu Lasemi seng nde warung pojokan kae loh hahaha"
(Beh, ga doyan aku sama beginian. Cantikan Lasemi yang punya warung dipojokan sana itu loh hahaha) canda mereka
"Nek awak dewe ndelik nganggo iki aman kang ketone"
"Yowes ayo gage lakoni selak mati"
(Yaudah ayo cepetan keburu mati)
Dan rencana mereka berhasil. Tubuh Mbah Rijan yang entah dikuasai oleh siapa mendekat kearah mereka. Perangkap yang dipasang telah dimasuki,
1 2 3...
Bersama sama mereka keluar dari dalam kafan dengan tiba tiba lalu segera menangkap tubuh Mbah Rijan dengan kafan tadi.
"He jin rendahan, sak duwure derajatmu yo jeh duwur manungso"
Dengan sigap mereka menali Mbah Rijan yang terbungkus kafan dan meninggalkannya di dekat sumur itu. Tampak badannya kini sudah tak bergerak lagi.
Akhirnya mereka semua menuju rumah Pak Sutar, semua wanita disuruh untuk mencari keberadaan Candra, dan para pria membawa tubuh Mbah Rijan ke halaman depan.
"Iki lho bocahe gok kene"
(Ini lho anaknya disini) tampak seorang wanita muda membuka gentong tempat menyimpan beras
Para ibu ibu yang panik
Tunggu, siapakah wanita tadi?
Mereka tidak mengenalnya, karena tentu saja ia bukan warga dusun. Lalu kemana perginya si gadis?
"Wes ayo ndang diparakno nok gone bukne. Ya Allah le saake temen awakmu"
(Mari cepat diantar ke ibunya. Ya Allah kasian banget nak kamu) ucap seorang ibu ibu
Di luar rumah, para pria tengah merokok dan berbincang bincang di depan rumah Pak Sutar sambil menunggu matahari terbit lebih tinggi, baru membukakan ikatan di tubuh Mbah Rijan.
(Pak... ini anaknya udah ketemu ayo cepetan diantar kesana) ucap ibu tadi
Merekapun segera mengendarai motor menuju desa induk. Disana nampak rumah orangtua Bu Sutar sangat ramai, penuh sesak oleh para tetangga yang ingin
"Buu.. Niki nak Candra mpun ketemu"
(Bu... Ini nak Candra nya udah ketemu)
Bu Sutar yang baru saja selesai sholat segera berlari keluar rumah melewati banyak orang yang sedari tadi berkerumun dirumahnya.
"Alhamdulillah... " ucap serentak para warga
"Wes nduk ndang digowo melbu disusoni sakno mesti ngelak temen"
(Udah nak cepat dibawa masuk disusuin, kasian dia pasti haus sekali) ujar seorang warga
"Maturnuwun sanget nggeh Pak, Bu"
(Makasih banyak ya Pak, Bu) ucap Bu Sutar pada mereka
Di sisi lain Pak Sutar yang berada diambulan bersama putra sulungnya menuju ke semarang menangis di sepanjang perjalanan.
Dua orang tetangga yang membantunya sedari
Terdengar bunyi telefon genggam dari saku Pak Sutar. Pada zaman itu telefon genggam adalah barang yang tidak semua orang bisa memilikinya.
"Halo?" ucap Pak Sutar
Entah apa yang di dengarnya di telefon. Wajahnya berubah menjadi merah padam lalu segera mematikan panggilan itu.
Kakek mana yang berpikir nyawa cucunya tidaklah penting? Dan orangtua mana yang akan tega meninggalkan anaknya disaat seperti ini?
Di sisi lain~
Mbah Rijan masih tergeletak di halaman rumah Pak Sutar. Kain yang membungkus tubuhnya belum juga dilepas.
"Pakdhe kok gak dibuka buka iku?"
(Paman kok itu gak dibuka buka?) tanya anak kecil seusia Damar
(Nunggu mataharinya agak tinggi dulu nak, daripada isinya belum keluar sepenuhnya) jawab lelaki itu
Setelah beberapa saat menunggu akhirnya tubuh yang dipocong itu bangkit untuk duduk.
"Meneo opo sing mbuk wedeni toh yu yu, kui mono Mbah Rijan"
(Yang kalian takutin apa toh mbak mbak, itu cuma Mbah Rijan) ejek salah seorang pria
"Pripun mbah? Sae sae mawon?"
(Gimana mbah? Baik baik aja?)
"Ngelu ndasku, wenei banyu jeruk tulung"
(Pusing kepalaku, tolong minta air campur jeruk purut) pinta Mbah Rijan pada warga
Saat meminumnya ia nampak sangat kesakitan hingga hampir meronta, entah apa yang dirasakannya.
~
Siang itu para warga yang tadinya berkumpul dirumah orangtua Bu Sutar tampak sudah kembali ke rumahnya masing masing.
Terlihat mobil sedan tua terparkir di halaman depan rumah itu, dan datanglah pemuda kesana
"Assalamualaikum, kulanuwun" ucap Kang Adi sembari mengetuk pintu rumah
"Waalaikumsalam, meneo le lungguh sek"
(Waalaikumsalam, sini nak duduk dulu) ibunda Bu Sutar mempersilahkan tamunya untuk duduk
"Pripun bu? Wonten nopo kok kula dipadosi bapak?"
"Nyuwun tulung Mbak Retno diterke njug semarang yo le. Orausah tak ceritani koe mesti yo wes krungu"
(Minta tolong Mbak Retno kamu antar ke semarang ya nak. Tanpa saya ceritain juga pasti kamu udah dengar) jelasnya
(Ini kuncinya bawa dulu, sekarang pulanglah ambil keperluanmu, habis itu datang lagi kesini trus kita berangkat) perintah wanita tua yang Kang Adi anggap seperti ibunya sendiri itu
(Iya bu, mari) tutupnya
Selesai mengemasi barang bawaannya itu Kang adi segera menuju rumah tetangganya tadi, terlihat Bu Sutar menunggu kedatangannya.
"Di.. Mangkato, sing ati ati yo le mbake dijogo"
(Di... Berangkatlah, hati hati ya nak tolong jaga mbakmu)
Bocah itu tampak sangat lengket dengan Eyang Kakungnya..
"Nggih Pak, kula mangkat rumiyen nggih"
(Iya pak saya berangkat dulu ya) jawabnya sambil meraih tas di tangan Bu Sutar lalu memasukkannya ke mobil
"Monggo mbak"
(Silahkan mbak)
"Sing sabar nggih mbak, insyaallah Galuh saget sehat malih"
(Yang sabar ya mbak, insyaallah Galuh bisa sehat lagi) kata Adi Pada Bu Sutar
"Iyo Di pandongane"
(Iya Di doakan) balas Bu Sutar
Tak bisa dipungkiri, ia masih memikirkan wanita beranak tiga itu. Mbak Retno yang hanya selisih dua tahun lebih tua darinya.
Ia hanya bisa mengamati Retno dari kejauhan, hingga tak terasa sudah 16 tahun usia pernikahan wanita itu, Adi masih saja belum mendapatkan sosok pengganti Mbak Retno dihatinya.
Setibanya di rumah sakit semarang, mereka segera mencari
"Galuh ndi"
(Galuh mana) tanya Bu Sutar dengan nada dan ekspresi datar pada suaminya yang berada diluar ruang ICU
"Ning jero Buk, sejam maneh arep dioperasi"
(Didalam buk, satu jam lagi hendak dioperasi) jawab Pak Sutar dengan penuh rasa bersalah
Satu jam telah berlalu, Galuh dibawa keluar menuju ruang operasi. Bu Sutar menatap putranya yang tak sadarkan diri itu, mengundang iba bagi siapapun yang
Jika semua rasa sakit itu bisa ia gantikan, tentulah ia akan memilih menanggung apa yang dialami putranya kini. Sebegitu besarnya
Pak Sutar meminta kunci mobil yang ada ditangan Kang Adi. Ia mengatakan akan pulang terlebih dahulu bersama dua tetangga yang tadi menemaninya.
Kang Adi menatap Bu Sutar dan hanya dibalas anggukan seolah tak peduli olehnya.
~
Entah hendak dibawa kemana cucu kesayangannya itu.
Perjalanan memakan waktu sekitar satu jam untuk sampai ke tempat tujuan.
Jalannya masih sangat buruk, hanya tanah dan bongkahan kecil bebatuan yang disebar perhutani. Dalam, sangat dalam mereka memasuki hutan itu
Mulai nampak sebuah rumah tua yang sangat usang, genting gentingnya terlihat tipis dan menghitam, kayu yang dipasang sebagai dinding pun
Didepannya terdapat pohon beringin yang sangat besar dan rindang, akar akarnya menjulur dari dahan atas hingga menutupi batang raksasanya.
Dibawah pohon itu, ada sumur yang lengkap dengan timbanya.
"Kulanuwun"
(Permisi)
"Monggo"
(Silahkan) terdengar jawaban dari belakang rumah
"Lho kang, ayo ayo melbu"
(Lho bang, mari mari masuk) jawab seorang
"Yong... Gawene wedang, Kang Woto karo Yu Niti ono kene iki loh"
(Yong... Buatkan minum, Bang Woto sama Mbak Niti disini)
*Note : Yong/Biyong = Emak
Biasa ditujukan untuk istri ataupun ibu
Tak lama perempuan seusia mereka
"Monggo Kang, Yu, wes suwe rak mrene kok ora ngabari sek toh"
(Silahkan Mas, Mbak, udah lama ga kesini, giliran kesini ko ga ngabarin dulu) gerutunya pada kedua tamu itu
(Ada perlu dek, kami buru buru kesini) jawab Nyi Niti yang langsung disambut oleh rangkulan perempuan yang dipanggilnya Dek tadi.
Benar, Eyang Parwoto dan Nyai Niti Genuk adalah nama orang tua Bu Sutar.
(Gimana bang ada apa sebenernya?) tanya si tuan rumah
Belum sempat menjawab pertanyaan pria itu, Damar segera menyelak pembicaraan
"Eyang Wiro, Damar angsal dolanan kalih kelincine nopo mboten?"
(Eyang Wiro, Damar boleh main sama kelincinya nggak?)
"Yo pareng to le cah bagus"
(Ya boleh dong nak, anak tampan) jawab istri Eyang Wiro dengan senyum lebarnya
Damar segera bermain keluar rumah menuju kandang kelinci bersama teman teman lamanya.
~
"Ngene dhi, ono masalah karo Retno. Aku bingung opo sing dadi masalah nganti kabeh iso koyo ngene"
(Gini dek, ada masalah dengan Retno,
Eyang Prawiro adalah pemilik rumah itu bersama istrinya Ni Sastri. Ia adalah sepupu laki laki dari Eyang Parwoto
"Cobo ceritakno kabeh Kang"
(Coba ceritakan semuanya Bang) pinta Eyang Wiro
Eyang Wiro mendengarkan dengan seksama cerita itu.
"Dadi maksud sampean Sutar nekat gawe omah nok kono? Opo raono sing menging Kang"
(Jadi maksut kamu, Sutar nekat bangun rumah disitu? Apa gaada yang ngelarang Bang) tanya Eyang Wiro
(Semua orang sudah mengingatkan dek, tapi ya begitu sifat Sutar, tidak ada yang bisa menggoyahkan keputusannya) jelas Eyang Woto
Eyang Wiro seketika memejamkan matanya, beberapa menit
"Mantumu iku ono sing mekso. Bocah iku wes mudeng lemah opo sing deweke bangun, tapi yo alasane nganti gelem dipekso aku durung ngerti Kang"
(Menantumu itu ada yang maksa. Dia udah tau tanah apa yang dia tempati. Tapi alasan dia hingga mau dipaksa, aku
Ia menghela nafas panjang
"Galuh sengojo dipasang Kunto laknat ben ilmune lueh duwur bandane lueh okeh"
(Galuh sengaja ditumbalkan Kunto laknat itu biar ilmunya lebih tinggi, hartanya makin banyak)
"Mulo Sutar dikon gawe omah nok kono. Bocah goblok
(Makanya Sutar disuruh buat rumah disana. Bocah bodoh, gak tau kalo anaknya mau dijadikan tumbal ayahnya sendiri) lanjutnya
"Njur saiki awak dewe kudu piye Dhi..."
(Lalu kita harus gimana dek) tanya Eyang Woto
(Bu ayo cepat beresin barang, siap siap sekarang kita berangkat kesana) perintah Eyang Wiro pada istrinya
"Nggih pak" jawab Ni Sastri
Selagi Ni Sastri berkemas, orang orang tua itu melihat Damar yang tengah asik bermain
(Damar... Sini nak) panggil Eyang Wiro
Damar berjalan mendekat ke saudara eyangnya itu
"Wonten nopo Eyang?"
(Ada apa Eyang?) tanyanya dengan polos
"Ayo melu Eyang mlebu, Eyang kangen karo Damar, pengen ngerti cerito ceritone Damar. Oleh?"
Eyang Wiro bercengkerama dengan Damar, anak itu cepat sekali bergaul dengan orang.
(Damar temannya dirumah baru banyak ya? Coba cerita ke Eyang) pinta kakek itu
"Heem Yang, akeh tapi Damar mboten ngertos asmane sinten"
(Iya Yang, banyak tapi Damar gatau siapa namanya) jawabnya sambil memainkan
"Waduh... Piye iki mosok gak diajak kenalan"
(Waduh... Gimana masak ga diajak kenalan) ucapnya sambil menepuk jidat lalu berguling seperti orang kehilangan keseimbangan
Tingkahnya itu berhasil mebuat Damar tertawa cekikikan
(Damar abis diajak jalan jalan Tante, Yang) ucap Damar tiba tiba
Eyang Wiro mengerutkan dahinya, lalu matanya menengok kearah Nyai Niti dan abangnya.
Ternyata mereka berdua pun bingung mendengar pernyataan cucunya itu
(Tante siapa sih mar, kan bapak ibumu ga punya adek, gimana sih nak) telisik Eyang Wiro
"Damar gadah bulek kok Eyang, terose Bulek, Bulek adike Bapak"
(Damar punya tante kok Eyang, Tante itu adeknya bapak)
Akhirnya kini Eyang Wiro mengerti, wanita yang tadi tampak berada di sendang saat ia menerawang kesana adalah adik Pak Sutar, orang yang ditumbalkan terlebih dulu sebelum Galuh.
Namun Eyang Wiro sangat mengenal besan dari abangnya itu. Ia hanya mempunyai satu
Anak yang ia korbankan pastilah putri dari salah satu simpanannya.
Mereka semua segera pergi ke rumah Eyang Parwoto.
Setibanya disana, Eyang Prawiro segera mengajak ke rumah Mbak Retno.
Disitu ia memulai ritualnya,
Beberapa menit setelahnya, datanglah semua makhluk halus itu, tidak terkecuali Mbah Jebung.
"Ono opo le, awakmu ki sopo"
(Ada apa nak, kamu ini siapa) tanya Mbah Jebung
"Aku yo mung manungso biasa Mbah.
(Aku cuma manusia biasa, hanya ingin tahu apa salah yang diperbuat Sutar hingga cucuku menerima akibatnya) ucap Eyang Wiro
*Hahahahahah*
Semua makhluk disana tampak tertawa
"Salahe siji amergo wes wani ngadekno omah ning dalan iki, pindo, anake wes diwehno dewe karo Kunto"
(Salahnya satu karena ia berani membangun rumah disini. Kedua, anaknya telah diserahkan
"Gaiso! Putuku raoleh dijawil sopo sopo. Gowo wae kui Kunto"
(Gabisa! Cucuku gak boleh disentuh siapapun. Bawa saja itu Kunto) bentak Eyang Wiro
"Menurutmu sopo sing lueh ala? Mbah sing numbalno putune opo Pak sing macak raroh opo opo?"
Mata Eyang Wiro terbelalak heran. Ia tampak mencerna kata kata yang baru saja dilontarkan oleh makhluk itu.
"Maksudmu opo?"
(Maksudmu apa?) tanya Eyang Wiro
(Aku tahu kamu bukan orang biasa nak, berangkatlah keruman Kunto. Kamu bakal tahu semuanya) perintah Mbah Jebung
Ia tiba tiba menghilang dengan semua makhluk yang tadi berkerumun disana.
"Heh Kunto bangsat metuo!"
(Hei Kunto bangsat keluarlah!) teriak Eyang Wiro dari kejauhan
"Sabar Dhi... Rapenak didelok wong akeh"
(Sabar dek, gaenak diliat orang banyak) ujar Eyang Woto
"Lho wonten pak besan, monggo mlebet pak"
(Lho ada pak besan, silahkan masuk pak) sambut istri Kunto
Mereka berdua memasuki rumah besar itu. Rumah yang sangat megah, memang Kunto lah orang terkaya di desa itu.
"Lho tibake wes podo teko toh. Wah durung sempet mlayu aku"
(Lho ternyata udah pada datang toh. Wah belum sempat lari nih aku) ejeknya dengan nada merendah
Ia menelan rambut itu bulat bulat lalu merapalkan mantra.
"Ilmunem durung sepiro asu. Lagake ape numbalno putuku!"
"Aku wes roh kabeh kelakoan kewanmu kui"
(Aku sudah tau semua perbuatan hewanmu itu) tegas Eyang Wiro
*Cklek Brug*
Suara pintu mobil terdengar dari arah depan
Badannya terasa dingin tiba tiba. Dahinya mulai deras mengeluarkan keringat.
"Ora pak ora anak laknat kabeh!"
Istri kunto hanya menatap dari sudut ruang tamu tanpa berani bertindak apapun, ia tampak menahan tangisnya
(Bang, kamu mau tau ga kalakuan menantu sama besanmu ini?) tanya Eyang Wiro yang dijawab anggukan oleh Eyang Woto
"Manungso goblok kui mari dolanan karo wedokane pak e dewe"
(Manusia bodoh itu pernah *main*
"Besanmu kui malah mek kesempatan! Deweke ngancem mantumu kui supoyo ngaleh mrono nek ora pengen diwadulno nok anakmu"
(Besanmu itu ngambil kesempatan! Dia ngancam menantumu itu supaya pindah kesana kalau gamau perbuatannya diadukan
Eyang Woto yang mendengar itu tampak menahan amarah yang sangat besar. Wajahnya merah padam, matanya melotot dan juga tangannya mengepal kuat sekali.
Ia menghampiri Sutar lalu segera menamparnya. Pak Sutar hanya diam membatu.
Eyang Wiro dan Kunto yang tengah
Ia membanting menantunya kelantai
"Ceritakno kabeh!"
(Ceritakan semuanya) perintah Eyang Woto
"Ngapuntene kula pak. Kula ngaku salah"
(Maafkan saya pak. Saya mengaku salah) ucapnya pada si ayah mertua
Kunto yang mengetahui hal itu segera memanfaatkannya. Ia memberi perintah pada Sutar agar membangun
~
Selang beberapa lama, Kunto akhirnya dikalahkan oleh Eyang Wiro. Dicabutlah semua ilmu milik Kunto meskipun
(Yang kuberi bibit sudah ada ditangan, tinggal mengambil buah ganti dari cucumu) ucap Mbah Jebung yang diikuti oleh melesatnya siluman ular itu kearah Sutar, melilitnya, meremukkan tulangnya lalu dibawa
Eyang Wiro tidak bisa berbuat apa apa untuk menolong Sutar, karena ia sendiri yang tadi berunding dengan Mbah Jebung lalu mengambil pilihan untuk menukar Galuh dengan jiwa Sutar. Meskipun hatinya tak kuasa, namun apa boleh buat.
Hingga Sutar terkapar lemas ditanah dengan tatapan matanya yang kosong.
Di kota lain, Kang Adi dan Mbak Retno tengah menanti berjalannya operasi Galuh
"Di... Wes tuo kok gak ndang rabi, anakku wae wes semene gedene lho"
(Di... Udah tua ga nikah nikah, anakku aja udah segitu gede lho) ucap Retno yang tiba tiba membuka obrolan
"Yo piro mbak, amung kacek kalih taun kalih panjenengan"
(Ya berapa mbak, cuma selisih dua tahun sama kamu) jawab Adi yang masih menatap wajah itu
(Lha kenapa ga nikah nikah)
"Tasik ngerantos tiang mba"
(Masih menunggu seseorang mbak) jelas Adi
Mbak Retno hanya diam, Adi pun tak lagi memandang Retno, ia menundukkan wajahnya
Kesadaran Galuh belum juga kembali, Mbak Retno akhirnya menelfon orangtuanya untuk mengabarkan kondisi Galuh
"Retno nduk, piye Galuh nak?"
(Retno, nak, gimana keadaan Galuh?) tanya Nyai Niti Genuk
ucap Retno
"Alhamdulillah"
"Seourane yo nduk ibuk durung biso nyusul, bapakmu karo paklik wiro ijeh ono urusan"
(Maaf ya nak, ibuk belum bisa nyusul, bapakmu sama om wiro masih ada urusan) jelas Nyai Niti
"Inggih buk mboten nopo2 teng mriki
(Iya bu gapapa disini kan ada Adi)
*cklekk*
Terdengar suara pintu dibuka
"Assalamualaikum" ucap Eyang Woto yang masuk bersama Eyang Wiro
"Waalaikumsalam" jawab Nyai Niti yang lalu berpamitan kepada putrinya
"Wes sek yo nduk pakmu teko"
(Udah dulu ya nak
Mungkin ia merasa kasihan pada putrinya jika harus mendengar kabar apapun yang didapat ayahnya, maka ia memilih menyembunyikannya dahulu hingga Retno siap.
(Gimana pak?) tanya Ni Sastri pada suaminya
"Sutar wes raono, Kunto ijeh urip nanging wes kepisah karo sukmone"
(Sutar sudah tiada, Kunto masih hidup tetapi terpisah dari sukmanya) ucap Eyang Wiro
Mendengar pernyataan adik sepupu suaminya tersebut Nyai Niti
(Sukma Galuh sudah dilepas Bang, Mbak. Tapi karena tubuhnya berada jauh, dia bingung caranya kembali gimana) ucap Eyang Wiro
"Iki orak iso diberno ngene wae. Kudu ono sing
(Ini ga bisa dibiarin gini aja. Harus ada yang nuntun Galuh) timpalnya lagi
Akhirnya Eyang Wiro memanggil beberapa teman seperguruannya dulu. Mereka mencoba mencari sukma Galuh disekitar rumah Sutar dan Retno.
Entah ritual apa yang mereka lakukan, dan akhirnya
*Note : penulis ga tau ritualnya kaya gimana karena si narasumber juga gatau so mohon dimaklumi 😂
Candra dan Damar gimana? Mereka pastinya belum tahu bahwa ayah mereka telah
Mas Galuh dan Bu Sutar? Mereka berdya juga baru tahu semua yang terjadi sepulang dari semarang. Awalnya mungkin berat tapi mereka tabah,
Rumahnya? Sudah pasti dibiarkan kosong hingga lebih dari 12 tahun sampai akhirnya ada salah satu PT yang mengontrak rumah itu, dijadikan mess untuk karyawannya.
Kang Adi gimana? Jadi Ayah mereka bertiga 👍🏻
Tolong jadikan pembelajaran terlepas dari fakta fakta yang ada.
FYI : Galuh hanya satu dari sebagian orang yang berhasil lolos dari jerat penumbalan. Semoga kalian semua dihindarkan dari orang orang berniat jahat seperti Kunto