, 300 tweets, 44 min read
My Authors
Read all threads
"TEROR PEMILIK JALAN"

a thread based on true story

#bacahorror @bacahorror
#memetwit @InfoMemeTwit
Bagi siapapun yang mengetahui latar, tokoh, dan segala bentuk keterkaitan dengan kejadian. Mohon tetap menjaga kerahasiaan.
Agar alurnya lebih runtut dan mudah dipahami, cerita ini saya rekonstruksi sedemikian rupa. Hal - hal tersebut nyata diaalmi oleh orang2 disekitar saya.
Berada jauh dari hiru pikuk kota, tepat di bagian selatan kabupaten yang terkenal dengan hutan jati dan sumber minyaknya. Kabupaten yang berbatasan langsung dengan Jawa Timur, hanyalah terpisah oleh bengawan sebagai pembatas.
Tempat itu persis dipinggir jalan raya yang membelah hutan, hutan yang selalu menyuguhkan guguran dedaunan dikala kemarau menyapa. Namun hanya segelintir orang yang tahu mengenai kisah dibaliknya.

FLASHBACK 20 TAHUN
Di sore hari sepulang dari tegalan (lahan hutan yng dibuka untuk ditanami warga) dan mencari pakan ternak, pria seusia berkisar 50 tahunan berjalan menghampiri dua orang yang tengah berdiri di pinggir jalan.

"Kate lapo le nduk?" tanya si kakek (Mbah Rijan)

"Mau ngapain nak?"
"Niki badhe ningali lemah mbah, terose disade" jawab seorang pria
"Ini mau lihat tanah kek, katanya dijual"

"Lho ape mbuk nggo opo le kok tuku lemah gok kene" dengan wajah heran hingga nampak dahinya mengerut

"Lho mau kamu buat apa kok beli tanah disini?"
"Badhe kula bangun griya kalihan masjid mbah, ngawiti teng mriki, mugi - mugi bakdo niku tambah rame dukuhe"

"Hendak saya bangun rumah dan masjid kek, semoga kelak tambah rame dusun kita" jawab pria itu
Sebut saja namanya Pak Sutar
Mbah Rijan meletakkan sak rumput dan sabitnya ke tanah, lalu menengok jauh kedalam hutan jati yang ada persis dihadapannya

"Awakmu ngerti ta kepiye kawitane daerah iki. Nekat ape mbuk adeki omah?"

"Kamu tahu kan gimana asalmula daerah ini. Nekat mau bangun rumah disini?"
Pak Sutar pun meyakinkan Kakek tersebut bahwa semua akan baik baik saja. Seakan enggan berdebat, Mbah Rijan segera pamit untuk pulang.
Pak Sutar sebenarnya sudah tahu sejak awal mengenai tanah yang akan ia beli. Tanah yang cukup luas, hanya saja tempatnya ditepi hutan dan persawahan. Dan pada masa itu jarak antar rumah penduduk disana masih sangat berjuhan, bahkan rumah tetangga terdekatnya pun berjarak 100m.
Faktanya tanah itu masih merupakan bagian dari salah satu kerajaan jin yang ada di hutan tersebut. Bahkan tanah itu merupakan gerbang utama dan jalan besar tak kasat mata bagi kerajaan "mereka".
Diruang tamu, ia letakkan tas ditepi meja dan segera merebahkan diri di bayangan (kursi kayu panjang untuk tidur)

"Pak, pripun? Sido tumbas lemah sing wingi iku?" Bu Sutar memulai pembicaraan sambil menyodorkan teh hangat untuk suaminya.
"Pak, gimana? Jadi beli tanah yang kemarin?"

"Yo sido toh Buk, lhawong murah opomaneh pinggir dalan. Cocok kanggo usaha mengarele" jelas pak Sutar

"Ya jadi dong Buk, sudah murah apalagi pinggir jalan. Cocok buat usaha kedepannya"
"Tapi Pak, jere wong wong kok lemah iku seje, opomaneh pinggir alas, mburine yo ono sendang tuo. Sampean ngerti dewe to ikumono sendang kanggo pamujan" sahut Bu Sutar dengan penuh kegelisahan penuh mengisi dadanya.
"Tapi Pak, kata orang tanah itu beda, apalagi ditepi hutan, dibelakangnya juga ada sumur tua. Kamu tau sendiri kan itu sumur pemujaan pesugihan?"

"Halah rapopo, sokmben nek wes rame ora ngarah medeni maneh" tandas Pak Sutar

"Halah gapapa, nanti kalo udah rame gaakan nyeremin"
Ya, di dusun itu terdapat dua sendang. Satu sendang berada di sebelah utara yang biasa digunakan untuk memenuhi kebutuhan air dan tempat biasa diselenggarakannya sedekah bumi. Sedangkan yang satunya lagi? Sangatlah jarang dijamah oleh warga.
Selain karena letaknya di hutan, warga juga percaya bahwa disana merupakan pusat kehidupan alam lain di daerah mereka.

Sebenarnya disendang itu hanya ada tanah lapang, pohon - pohon trembesi besar yang mungkin sudah berumur ratusan tahun dan sumur minyak tua peninggalan belanda
Beberapa bulan berlalu hingga dimulailah pembangunan diatas tanah tersebut.

"Pak niki kopi kalih jaminane, monggo" ucap seorang wanita kepada beberapa pekerja

"Pak ini kopi sama cemilannya, silahkan"
"Inggih Bu, silap teng mriku mawon. Suwun" sahut Pak Dasar, kepala tukang disitu

"Iya Bu taruh disana saja terimakasih"
"Aaaaa... " tiba tiba terdengar jeritan yang mengagetkan semua orang

Seseorang berlari dengan tergopoh gopoh menghampiri Pak Dasar

"Pak, Wage Pak, drijine prutul kegraji" ujar pria itu

"Pak, Wage Pak, jarinya putus kena gergaji"
Pak Dasar segera menyuruh salah satu kuli untuk mengambil motor, sementara ia menolong Wage untuk dibawanya ke Puskesmas terdekat.

"Kenopo koe mau Ge?" tanya Pak Dasar
"Kenapa kamu tadi Ge?"
Wage masih terbaring lemas dengan perban di tangan kirinya.

"Pak, kulo badhe sanjang kalihan Pak Sutar"
"Pak, saya mau memberitahu sesuatu kepada Pak Sutar" ucap Wage

Pak Dasar hanya mengangguk kepada salah satu kuli, teman Wage
Ia pun melangkah keluar ruang IGD puskesmas dan segera kembali bersama Pak Sutar dan istrinya
"Piye le ono opo?" tanya Pak Sutar pada Wage
"Gimana nak ada apa?"

Wage menghela nafas panjang dan menunduk sejenak hingga kemudian menatap Pak Sutar kembali

"Ngeten Pak, kula mboten badhe meden medeni nopo ngrecoki. Kula namung badhe nyanjangi njenengan nopo sing kedaden wau"
"Gini pak, saya bukannya mau menakuti ataupun mengganggu. Saya cuma mau menjelaskan apa yang tadi terjadi"

Semua orang diruangan menatapnya dengan seksama

"Mbah Jebung , Mbah Jebung serik umpami dalane diadekne omah"
"Mbah Jebung gak suka kalo dibangun rumah ditengah jalannya"
"Kula mboten badhe nyalahke jenengan sakin pedote drijine kula" lanjut Wage

"Saya tidak menyalahkan Bapak atas putusnya jari saya"

"Nanging niki peringatan Pak saking penunggu ingkang mboten setuju kalih pembangunan niki"

"Tapi ini peringatan Pak dari penunggu yang tidak
setuju dengan pembangunan ini"

Pak Sutar hanya menatap tajam Wage, tanpa sedikitpun ekspresi ditampakkan oleh wajahnya. Tiada sepatah katapun terucap dari mulutnya, hingga ia memutuskan untuk keluar dari ruangan yang disusul oleh langkah istrinya.
Terlihat ia membayar biaya pengobatan kulinya itu.

Di sisi lain, Wage dan teman temannya masih memperbincangkan hal hal mengerikan yang terjadi kepada mereka di bangunan yang sedang mereka garap tersebut.
"Ge, ora mung koe tok sing ditekani. Aku yo sabendino diwerohi, nanging untunge pikiranku oratau kosong"

salah satu teman Wage membuka pembicaraan

"Ge, bukan kamu doang yang didatangi. Aku juga tiap hari ngelihat, tapi untungnya pikiranku tidak pernah kosong"
Tampak sorot matanya yang begitu iba melihat temannya terkena nasib sial

"Demit Bangsat!" umpat temannya yang lain

"Rabetah cuk aku mergawe nek godane koyo ngeneiki. Iso iso mati ngadek aku" temannya ikut menimpali

"Ga tahan aku kalo kerjaan banyak masalah gini. Bisa mati
berdiri aku"

Suasana menjadi hening karena mereka semua membayangkan kembali gangguan yang mereka terima sejak bekerja disana.

Kembali ke beberapa hari lalu...
Siang itu saat mereka tengah beristirahat di area yang akan menjadi teras,

Tess.. tes.. tes...

Terdengar suara tetesan dari arah kamar depan yang mereka bangun. Suara yang jelas tertangkap oleh indera pendengaran mereka, hampir seperti gemericik air dari keran yang bocor.
"Pakdhe nyalakne keran to?" salah satu kuli bertanya pada Pak Dasar

Sambil mengipas kipaskan karung bekas semen kearahnya, walaupun tidak sesejuk angin yang keluar dari kipas angin, setidaknya hal itu bisa membuat sedikit gerah yang dirasanya berkurang
"Keran iler seko lambemu kui. Pam wae durung dipasang tekan kene kok iso nyalakno keran tekan ndi" jawab Pak Dasar dan disambut oleh tawa para anak buahnya

"Keran liur dari mulutmu mungkin. Pam saja belum dipasang gimana mau nyalain keran"
Kulinya tersebut tidak merasa terejek dan justru ikut tertawa seakan malu menyadari kebenarannya

"Lha tapi kemrecek opo kui pakde kok tas tes deres nemen"

"Lalu suara gemericik apa itu Pakdhe kok tetesannya deras gitu"

Tiba tiba semuanya diam, hening, mereka seperti
membenarkan perkataan temannya tersebut. Mereka memperhatikan bunyi tersebut, berusaha mencerna suara apa yang ditangkap oleh telinga mereka.

Hingga akhirnya

"Wes gek ndang cobo diprikso"

"Udah coba periksa sana" perintah Pak Dasar
Semuanya mengangguk, karena mereka semua penasaran akhirnya semuanya ikut memeriksa kedalam.

Barulah kaki mereka sampai didepan ruangan yang bahkan belum terpasang daun pintu diujungnya, mereka dikagetkan oleh berliter liter darah yang berceceran di lantai separuh jadi tersebut
"Astaghfirullah opo iki kang!!!" teriak salah satu dari mereka hingga mengagetkan semuanya. Merekapun berhamburan lari keluar rumah tersebut.

Pak Dasar yang terkejut pun tak sadar ikut berlari menjauh

"Lho ono opo iki kaget aku"
"Ada apa ini? ikutan kaget saya" tanya Pak Dasar
Wajah mereka semua memucat, menyiratkan ketakutan yang mulai menyelimuti siang itu.

"Ono getih pakdhe, banjir banjir gok kamar ngarep kono. Deloken talah"

"Ada darah Pakdhe, darahnya membanjir di kamar paling depan. Liat aja sendiri" jelas Mas Wage
Tanpa aba aba Pak Dasar segera melesat menuju kamar tersebut. Ia keheranan karena disana tidak ada apapun, tidak seperti yang diceritakan anak anak.

Betapa terkejutnya ia ketika berbalik. Didapatinya seekor monyet besar yang entah datang dari mana. Karena disini adalah hutan
jati yang bukan merupakan habitat mereka.

Ia mencoba mendekati monyet gempal tersebut, terlihat menjijikkan dengan taring cukup panjang keluar dari bibirnya, dan juga tidak mempunyai ekor pada bagian belakang tubuhnya, namun tiba tiba monyet tersebut berbalik lari melesat keluar
jendela.

Pak Dasar berfikir bahwa mungkin itu monyet biasa yang tidak sengaja bermain hingga ke tepian hutan.

Ia segera keluar dan menjelaskan pada anak buahnya bahwa tidak ada apa apa di dalam kamar yang mereka maksud.
Pastilah keheranan muncul diantara mereka, karena apa yang mereka lihat berbeda dengan apa yang Pak Dasar lihat.

Mereka pun melanjutkan pekerjaan masing2.

Esoknya...

*Kreeeek* bunyi resleting yang dibuka

Teman Wage buang air kecil di pohon pisang belakang rumah itu
Ketika ia sedang sibuk menuntaskan kegiatannya, tiba tiba sebuah benda jatuh menghantam kepalanya. Ia masih tidak menghiraukan hal tersebut. Hingga untuk kedua kalinya ada yang jatuh diatas kepalanya lalu merayap menuruni tubuhnya hingga ke tanah.
Betapa kagetnya saat dia mendapati dua buah tangan yang terpotong merayap ke sela sela tumpukan batu bata.

"Asu Jancuk Picek ¥\*'+=$):,!?^©"
Umpatnya

Dia berusaha untuk segera melarikan diri, namun seperti ada yang menahan kakinya.
Ia berbalik dan matanya menangkap sesosok bayangan wanita, semakin terlihat jelas.

Sosok itu tengah memeluk kakinya dengan kedua tangan tanpa pergelangan dan badannya yang hanya separuh keatas tanpa kaki.

Makhluk itu tampak tengah menjilati sisa air kencing yang masih menetes
Ketika matanya beradu tatap dengan si kuli, senyum menyeringai yang mengerikan tampak di wajah wanita tersebut. Wajah yang penuh dengan sayatan sayatan kecil.

Hingga senyum itu diiringi oleh jeritan terakhir si kuli sebelum akhirnya pingsan

"Aaaaaaa...."
Para pekerja lain yang mendengar jeritan salah satu temannya itupun berhamburan menghampiri asal suara teriakan tersebut.

Mereka menemukan temannya tergeletak dibawah pohon pisang dengan keadaan yang belum memakai kembali celananya.
Teman Wage itupun memutuskan untuk tidak lagi bekerja disana. Ia mencari pengobatan ke orang orang pintar karena konon katanya, organ vital miliknya mengalami pembengkakan luar biasa setelah kejadian yang menimpanya itu.
Kembali saat dimana Wage telah kehilangan 2 jarinya.

"Mulo kabeh wae nek mergawe ojo lali dungo lan zikir saben wayah. Ojo nganti pedhot"
(Makanya kalian semua jangan lupa doa dan zikir setiap waktu. Jangan sampai putus)
Lanjut Pak Dasar

"Wis mari iki sesuk wengi podo melu aku gok omahe Mbah Rijan"
(Habis ini besok malam ayo ikut aku kerumah Mbah Rijan)

Di malam hari berikutnya mereka berangkat ke salah satu rumah di dusun tersebut.

"Kulanuwun"
(Permisi) ucap Pak Dasar saat diambang pintu
sebuah rumah gubuk yang berdinding kulit kayu jati.

"Monggo"
(Silahkan) sahut seorang pria tua yang tengah duduk di kursi kayu dalam rumahnya.
"Piye le tumben kok dolan mrene onok masalah opo"
(Gimana nak tumben berkunjung kesini ada masalah apa) lanjutnya
"Ngeten mbah... "
(Gini mbah...) jawab Pak Dasar yang belum selesai perkataannya langsung dipotong oleh Mbah Rijan

"Iyo aku ngerti opo kekarepanmu kabeh mrene"
(Saya udah tau apa maksud kalian datang kesini) lanjut si Kakek

"Isok, omah iku isok dibangun nanging sarate madep
ngidul. Amergo dalane sing ndue wilayah iku madep ngetan, dadi omah kui ora ngarah iso dipageri yen lurus sejalur. Sak lawase dadi liwatan"
(Rumah itu bisa dibangun asal menghadap selatan. Karena jalan empunya wilayah itu menghadap timur, jadi rumah itu gaakan bisa dipagari bila
lurus sejalur. Selamanya jadi jalur mereka) jelas kakek itu dengan sesekali menghisap rokok lintingan di tangannya
Mereka semua masih memperhatikan penjelasan Mbah Rijan.

"Nanging masio dibangun madep ngidul, sing manggon nang omah kono yo kemrungsu le, oraiso ayem, howone panas"

(Tapi meskipun dibangun menghadap selatan, yang tinggal dirumah itu tetap tidak akan tentram, hawanya panas)
jelas Mbah Rijan.

Ia mengambil gelas kopi di hadapannya, dan meminumnya tanpa menawarkan sama sekali kepada para tamu itu. Maklum, ia sudah lama tinggal sendiri di gubuk tua itu.

"Sopo wae sing mrono yo bakal digudo le"
(Siapapun yang kesana juga akan diganggu nak)
pungkas kakek tua itu.

"Wes diweruhi opowae koe kabeh iki?"
(Sudah ditampakkan apa saja kalian semua) tanya si kakek

"Katah mbah, wonten beruk, tiang estri ingkang namung separo, tangan mrambat kalih sikil tanpo awak"
(Banyak kek, ada kera, perempuan yang badannya tinggal
separuh, tangan merambat hingga kaki tanpa badan)
jelas salah satu anak buah Pak Dasar yang juga ada disana

"Hahaha, amung iku tok? Durung ono sing ngerti Mbah Lurah?"
(Haha, hanya itu saja? Belum ada yang melihat Mbah Lurah?) tanya Mbah Rijan

Semuanya bingung dengan perkataan
si kakek. Mereka tidak tahu siapa yang dimaksud dengan Mbah Lurah

"Mbah Lurah sinten mbah?"
(Mbah Lurah siapa mbah?) tanya salah satu dari mereka

"Yo sopo maneh. Sepuh Jebung"
(Ya siapa lagi. Tetua Jebung" jawab si kakek

Mereka saling menatap satu sama lain hingga satu dari
mereka membuka suara.

Tangannya berkeringat. Malam yang dingin itu terasa pengap, udara yang awalnya sangat sejuk menenangkan kini memberi hawa lembab.

"Wonten mbah, Kang Wage sampun dipun pirsa"
(Sudah kek, Mas Wage sudah ditemui) ucapnya seraya menunduk.
Mereka semua merasa canggung karena Wage adalah cucu Mbah Rijan.

Teman Wage tersebut melanjutkan perkataannya

"Kang Wage ketepak apes mbah, drijine kegraji. Terose amergi dipuruki kalih Mbah Jebung"
(Wage kena apes kek, jarinya putus saat ditemui oleh Mbah Jebung)
Rasa bersalah karena salah satu dari teman mereka terkena musibah nampak jelas dimata mereka.

Mbah Rijan yang mendengar pernyataan mereka pun nampak terkejut, terlihat dari pupilnya yang melebar itu.
Menurut apa yang diceritakan para sepuh, Mbah Jebung dulunya adalah manusia. Ia merupakan orang yang sangat sakti pada masa hidupnya. Ia jugalah yang membabat tepian alas untuk dijadikan dukuh dan persawahan. Konon katanya ia bahkan membabat tanpa perlu bantuan siapapun dan alat
apapun. Ia mencabuti begitu banyak pohon jati besar hanya dengan kedua tangannya.

Hingga akhirnya dia menemukan salah satu kerajaan jin yang ada di sudut hutan. Ia tergiur mengasah kesaktiannya dengan mengajak pemimpin disana bertarung.

Penguasa disana tidaklah bodoh.
Ia menggunakan segala tipu daya dengan penawaran. Ia menyetujui pertarungan dengan syarat jika ia kalah, ia akan pergi meninggalkan kerajaannya, dan jika ia menang, Mbah Jebung akan selamanya mengabdi pada kerajaan itu.

Pertarungan pun terjadi, dan seperti apa yang bisa kalian
pikirkan, makhluk2 itu begitu licik dan tidak peduli bagaimanapun caranya asal mencapai tujuan mereka.

Mbah Jebung ditahan di alam mereka tak tahu hingga kapan. Ia tidak mati ataupun hidup karena bumi menolak tubuh mereka.

Seandainya ia berada di alam asalnya mungkin
saat ini telah berupa Bethoro Karang. Namun karena ia hidup di alam "mereka", ia masih ada hingga saat ini. Dan seringkali menampakkan diri pada warga dan orang2 yang datang kesana untuk melakukan pesugihan.
"Gowoen uyah iki"
(Bawalah garam ini) ucap Mbah Rijan

"Sabendino koe kabeh disugati kopi to. Sisehno kopimu secangkir wae, tambahno uyah iki gok kopimau, seleh nok gawangan mburi ben orak njaluk neko neko wae"
(Tiap hari kalian disuguhi kopi kan. Sisakan secangkir saja,
tambahkan garam ini ke dalamnya, taruh kopinya di belakang. Biar ga pada minta yang aneh aneh) lanjut si kakek kepada mereka.

Setelah mengangguk pertanda mengerti, mereka pamit untuk pulang.

Esok harinya mereka melakukan apa yang diperintahkan Mbah Rijan, dan benar saja
tidak ada lagi kecelakaan kerja yang menimpa mereka. Bukan berarti tidak ada gangguan, selama berbulan bulan masa pembangunan, mereka setiap harinya melihat penampakan berbagai makhluk penghuni disana. Hanya saja tidak ada lagi gangguan fisik yang terjadi karena setiap harinya
mereka menyuguhkan kopi dengan garam tersebut.

Percaya atau tidaknya tergantung pribadi masing2. Tapi bagi orang orang tersebut, mereka percaya bahwa pertukaran mungkin diperlukan. Seperti mengganti harga keselamatan mereka dengan hal yang disenangi oleh makhluk makhluk itu.
Kurang lebih satu tahun masa pembangunan rumah telah berlalu, kini telah nampak rumah bercat putih pada dinding dan marmer sebagai lantainya. Terkesan mewah pada zaman itu.

Kini keluarga kecil Pak Sutar mulai menempati rumah itu. Rumah yang terpaksa dibangun menghadap ke timur
sesuai dengan keinginan pemiliknya, tetapi tidak dengan para pekerja yang tahu menahu perihal malapetaka apa saja yang akan terjadi pada penghuni jika rumah tetap dipaksa berdiri menghadap ke timur itu.
Syukuran diadakan atas kepindahan mereka ke rumah baru tersebut. Para warga berdatangan untuk bancakan, terlihat pula 20 santri yang diundang untuk mengaji beserta Kyai dan Modin.

"Alhamdulillah nggih pak, akhire awak dewe gadah omah malih"
(Alhamdulillah ya pak akhirnya kita
punya satu rumah lagi)
Ucap Bu Sutar dengan senyum tampak menghiasi wajahnya yang ayu.

"Nggih buk, dongakne rejekine bapak lancar. Ben isok gawe omah maneh"
(Iya buk, doakan rejeki bapak lancar. Biar bisa bikin rumah lagi) jawab Pak Sutar sambil mengelus kepala putranya yang
ada di dekapan istrinya itu.

Iya, syukuran pindah rumah ini dibarengi oleh akikah dan satu bulanan putra ketiga mereka.

Dari sini semuanya dimulai.
*Braakkk*
*Kratak kratak klak*

Terdengar keras sekali dari arah dapur, seperti sesuatu yang tengah dibanting dan diremukkan.

"Masyaallah..." semua terkejut mendengar suara itu

Pak Sutar segera berlari ke dapur untuk mengecek apa yang terjadi, dan disusul oleh beberapa pria
"Opo iki" sambil berusaha mengangkat lemari besi yang menjadi tempat piring itu, wajahnya sangat tegang dan keheranan tampak jelas dimatanya.

Beberapa pria tadi ikut membantu Pak Sutar, diantaranya membereskan peralatan makan yang berserakan di lantai.

"Astaghfirullah...
kok saget ngeten pak"
(Astaghfirullah kok bisa gini pak) ucap seorang warga

Tampak hancur kaca belakang lemari itu, dan semua besinya bengkok tak beraturan seperti habis diremas oleh sesuatu.
Di ruang tamu, semua orang sedang berbisik satu sama lain dengan suara lirih atas apa yang baru saja terjadi.

"Bener jareku to, opo yo trimo Mbah Jebung nek awak dewek ngaji ndo kene"
(Benar kataku kan, Mbah Jebung gaakan terima kita ngaji disini) bisik seorang santri
Bancakan dilanjutkan, semua orang kembali ke ruang tengah. Disana berjejer lima buah ambeng tumpeng yang berukuran besar dengan ayam panggang utuh diatas masing masing tampahnya.

Terdengar suara tawa anak anak kecil entah darimana asalnya. Tawa itu menggema dari seluruh penjuru
Para warga yang mulai ketakutan bergegas mempercepat acara tersebut dan diakhiri dengan membagikan makanan itu secara rata kepada semua yang hadir.

Mereka semua pun memberi ucapan selamat kepada keluarga Pak Sutar lalu berpamitan kembali kerumah masing masing.
Sesampainya, mereka semua dikagetkan dengan penampakan pocong diatas meja rumah mereka masing masing.

Bukan hanya 1 atau 2 rumah, tapi seluruh rumah menyaksikan mayat terbungkus itu. Suara jeritan dari para wanita dan anak anak membuyarkan keheningan malam itu.
Semuanya berhamburan kelur rumah dan memenuhi jalanan dusun kecil itu. Beberapa dari mereka tampak syok dengan apa yang baru saja terlihat jelas dengan mata kepala mereka.

Bahkan sebagian anak anak pingsan dan terkena sawan hingga demam mendadak.
Jeritan itu terdengar hingga rumah terjauh, tentusaja rumah Pak Sutar.

Para santri, dan keluarga Pak Sutar segera keluar dari rumah dan memastikan apa yang sedang terjadi.

Mereka berjalan ke halaman salah seorang warga. Disana nampak beberapa anak kecil tergeletak pingsan.
"Wonten nopo niki Bu?"
(Ada apa ini Bu?) tanya seorang santri kepada ibu ibu yang tengah menenangkan anaknya yang menangis sangat kencang.

"Mari bancakan seko omahe Pak Sutar kabeh omah ditekani pocong mas. Podo sembujur ning nduwur mejo"
(Sepulang bancakan dari rumah Pak Sutar semua rumah didatangi pocong mas. Pada tidur diatas meja) ungkapnya dengan nada sendu, seakan merasa sedih dan khawatir apabila putranya terkena sawan.
"Mriki pak bu"
(Sini pak bu) undang seorang santri yang membawa seteko air dan beberapa gelas ditangannya.

Ia membagikan air minum itu kepada anak anak yang menangis dan warga yang pingsan.

Sejenak waktu berlalu, keadaan mulai tenang dan membaik. Semua warga kembali ke rumah.
Di dalam rumah masing masing, mereka membuka bungkusan makanan yang baru saja diterima dari rumah Pak Sutar.

Betapa terkejutnya mereka melihat makanan yang terlihat enak dan menggiurkan tadi berubah menjadi lembek, lengket dan mengeluarkan bau seperti makanan basi.
"Ojok dipangan!"
(Jangan dimakan) terdengar suara yang familiar dari tengah jalan

"Ojok dipangan nek do ra pengen loro weteng. Badokan bar di iyak iyak demit"
(Jangan dimakan kalo gamau sakit perut. Makanan abis diinjak injak demit)
Suara yang dihafal oleh semua warga dusun, benar itu suara Mbah Rijan.

"Wes ndang do dilebi kabeh lawange"
(Sudah cepat tutup semua pintunya) perintahnya

Semua orang segera menuruti aba aba itu, dan menutup jendela serta pintu rumah mereka.
Langsung saja kakek itu kembali ke rumahnya setelah memperingati warga.

Para santri dan keluarga Pak Sutar yang masih berada di pelataran dusun itupun nampak heran. Akhirnya mereka memutuskn untuk kembali ke rumah Pak Sutar dan melanjutkan pengajian.
Di depan gerbang

"Lho pak bu, lawange kok tutupan. Nopo ndek wau wonten sing ngunci ta"
(Lho pak bu, pintunya kok tertutup. Apa tadi ada yang ngunci?) tanya seorang santri

"Mboten niku mas, wau buru buru mboten sempat nglebi lawange"
(Nggak tuh mas, tadi buru buru gak sempat
nutup pintunya) jawab Bu Sutar yang masih menggendong bayinya

"Buk, Damar endi?!"
(Buk, Damar mana?!) tanya Mas Galuh, anak pertama Pak Sutar dengan panik

"Lho ibuk gak ngerti Luh, Ibuk kawit mau nututke bapakmu"
(Lho ibuk ga tau Luh, dari tadi ibuk ngikutin bapakmu)
ucapnya tidak kalah panik.

"Pak, lawange mboten saget dibuka. Ketingale dikunci"
(Pak, pintunya gabisa dibuka. Katanya dikunci) seorang santri berteriak pada Pak Sutar yang berada di dekat pagar rumahnya.

"Mosok toh. Aku yo orak ngancing mau"
(Masak sih. Aku ya gak ngunci)
jawab Pak Sutar yang mendekat dan mencoba memutar gagang pintu.

"Pak, Damar hilang pak" adu Bu Sutar pada suaminya

"Astaghfirullah opo maneh iki"
(Astaghfirullah apalagi ini) keluh Pak Sutar yang semakin bingung. Pintu masih belum bisa terbuka, ditambah hilangnya Damar
"Mas tulung silehno linggis neng wene tonggo"
(Mas tolong pinjamkam linggis di rumah tetangga) pinta Pak Sutar pada salah seorang santri.

Santri itu mengangguk dan segera berlari menuju salah satu rumah. Ia kembali dengan membawa apa yng dipinta oleh Pak Sutar tadi
"Niki Pak"
(Ini pak)

Pak Sutar segera meraih linggis itu dan berusaha membuka pintu dengan mencongkelnya.

Pintu berhasil dibuka dan semua orang mencari Damar.

"Mar.. Damar!"
"Nak, pundi toh awakem mar"
(Nak, dimana sih kamu nak)

"Niki damar ketemu teng mriki"
(Damar ketemu, disini!) ucap seseorang dari arah belakang.

Rupanya damar meringkuk dibalik pintu kamar belakang. Kamar itu gelap gulita, dan bau cat yang masih baru menjalar di seisi ruangan.

"Masyaallah le, lapo koe kok neng kene"
(Masyaallah nak ngapain kamu disini)
ucap Pak Sutar pada damar sembari meraih badan putranya untuk digendong keluar.

Damar masih saja menangis sesenggukan dan keadaannya yang tidak karuan membuat semua orang merasa kasihan.

"Ja hat.. Jah at.. Huu Da mar we di"
(Jahat.. Damar takut) ucap damar dengan terbata bata
dan tetap menangis sesenggukan. Ia menenggelamkan wajahnya pada bahu ayahnya itu.

Entah apa yang terjadi pada anak itu hingga baju koko putih yang dikenakannya menjadi kotor berantakan.

Tangis damar mulai mereda. Kini ia telah lelap dipangkuan kakaknya Galuh
Bu Sutar yang duduk memandangi putra keduanya terlihat berusaha sekuat tenaga untuk membendung air mata. Itulah perasaan bersalah seorang ibu yang tanpa sengaja teledor mengawasi putranya.

"Mpun buk ampun sedeh. Adek gakpopo ngono. Wes ndang leren sik istirahat"
(Udah buk jangan sedih. Adek gapapa gitu. Istirahat gih) ucap Mas Galih lirih memandang ibunya dengan senyum.

"Mene, Candra tak pondonge"
(Sini, Candra biar aku gendong) pinta Pak Sutar pada sang istri

Ia pun memberikan putra bungsunya pada sang suami lalu masuk ke dalam kamar
Bu Sutar berusaha memejamkan mata agar setidaknya menyingkirkan rasa lelah yang ada.

Diluar masih terdengar lantunan ayat ayat suci yang dibaca oleh para santri. Pelan pelan suara itu semakin menipis hingga tak terdengar lagi di telinga Bu Sutar. Tanda bahwa ia sudah terlelap.
*Ffuuuh*

Tiupan kecil terasa pada wajahnya. Mau tak mau ia membuka pelan matanya.

Gelap

Ia yakin masih berada di kamarnya tadi. Tapi mengapa semuanya gelap? Ia berusaha untuk bangkit dari tempat tidurnya, lalu berjalan kearah saklar lampu. Mati, lampunya tidak menyala.
Pintu kamar terbuka. Ia melangkah keluar dan mencari keberadaan keluarganya.

"Pak.. Pak.." Bu Sutar berusaha memanggil suaminya

Ia berpikir bahwa mungkin pengajian telah usai

"Pak.., Luh.., ngendi to kok gaenek sopo sopo"
(Pak, Luh, dimana sih ko gaada siapa siapa)
*a*?-)/:#*!~¥•>:"*

Suara berisik terdengar dari arah dapur. Suara yang sangat ramai, terdengar banyak orang yang sedang bercakap cakap.

Bu Sutar mulai berjalan kearah dapur. Dibukanya pintu pembatas ruang belakang dengan dapur itu. Hanya sejengkal ia membuka pintu itu.
Sengaja untuk berjaga apabila asal suara itu adalah sekelompok maling.

Bukan dapur! Bukan dapur yang dilihatnya tetapi malah pasar templek (pasar kaget). Terlihat banyak orang berlalu lalang disana.

"Apa ini? Dimana aku? Kenapa dapurnya hilang?" disaat semua pertanyaan itu
memenuhi pikirannya, tiba tiba sebuah sentuhan mendarat di punggungnya. Sentuhan yang berubah menjadi elusan lembut.

Bu Sutar terkesiap dan segera membalikkan badannya. Nampak seorang wanita cantik bergaun merah dengan payung terbuka ditangan kirinya.
Perempuan itu tersenyum kepadanya. Senyuman yang terlihat sangat anggun dan menawan. Kulitnya putih semulus beras dengan mata yang indah, juga bibirnya yang sedikit tebal membuat Bu Sutar sejenak mengagumi paras itu.
Ia meraih tangan Bu Sutar dengan lembut dan menuntunnya menaiki anak tangga menuju lantai atas.

Saat tiba disana, Bu Sutar melihat banyak sekali monyet tanpa ekor dengan mata merah memenuhi ruangan. Puluhan, mungkin ratusan monyet berkumpul disana seperti sedang menanti mangsa.
Tiba tiba perempuan tadi menarik tangan Bu Sutar kedepan, tarikannya sangat kencang hingga Bu Sutar tersungkur ke depan. Dengan segera monyet itu berkerumun dan mencakari tubuh Bu Sutar.

"Aaaaaaaaaaa"

*DUGG DUG DUGGG*

suara hantaman pada tembok sekeliling rumah Pak Sutar
dibarengi oleh jeritan Bu Sutar yang meledak hebat membuat seisi rumah menjadi panik.

"Ibuk! Ibuk! Tangi buk enek opo buk?"

(Buk! Ibuk! Bangun buk ada apa buk?)
tanya Mas Galuh sembari mengguncang guncangkan tubuh ibunya yang menggelinjang tak karuan.
"Aaaaaaa... " teriaknya kembali

Bu Sutar belum juga sadar. Suaminya yang panik pun segera mengguyurkan air minum ke wajah istrinya itu.

Akhirnya ia sadar. Badannya tergolek lemas diatas kasur. Matanya terbuka, terlihat mengalir air mata dari ujungnya. Tangis mereka pun pecah.
Mas Galuh tak kuasa melihat keadaan ibunya. Luka luka goresan nampak di beberapa bagian tubuh sang ibu.

Beberapa santri hanya melihat dari luar kamar, bukan karena tiada rasa simpati. Namun mereka sibuk mengatasi situasi diluar.

*DUG DUG DUG*

Suara hantaman terdengar lagi
*DUG DUG DUG!!!*

Kali ini lebih keras

Semua santri mengaji lebih keras lagi, semakin keras dan beradu dengan suara benturan benturan di tembok itu.

Pak Sutar memeluk erat Damar sambil menggendong Candra di dekapannya.

"Buk piye wes mendingan?"
(Buk gimana udah mendingan?)
Tanya Pak Sutar yang tengah duduk di ranjang, disamping istrinya yang masih lemas dan berusaha sekuat tenaga agar tetap terjaga.

Bu Sutar baru menyadari bahwa yang ia alami tadi adalah mimpi. Namun, bagaimanapun ia masih syok karenanya.

"Sa mpun Pahk"
(Su dahh Pah k)
ia menjawab dengan susah payah, nafasnya belum stabil dan tersenggal senggal. Air matanyapun menggenang kembali.

Disisi lain, suara benturan pada dinding telah hilang dan berganti dengan ketukan pada kaca kaca rumah mereka.

Masih sangat jelas ingatan yang tertanam pada
semua orang yang di malam itu berada di rumah Pak Sutar.

Ratusan pasang mata menatap orang orang didalam rumah, tampak sangat jelas para makhluk itu memperlihatkan wujud mereka.

Tangan mereka berebut menggedor2 kaca rumah tersebut hingga suara bentakan menghentikan mereka.
"Lungo! Mene duduk wilayahem!"

(Pergi! Sini bukan wilayah kalian!) bentak seorang pria

Ya, siapa lagi jika bukan Mbah Rijan. Namun ada yang berbeda dengannya, di belakangnya ada sosok pria yang kelihatan sudah sangat tua, berbadan tinggi tegap dengan rambut hitamnya.
Entah siapa sosok dibelakang Mbah Rijan itu. Sesaat setelah suara bentakannya tadi, makhluk makhluk yang berada diluar rumah mulai menghilang hingga tiada siapapun diluar, hanya menyisakan Mbah Rijan seorang diri.
Mbah Rijan melangkah mendekati rumah dan mengetuk pintu. Pak Sutar yang sedari tadi mengamati segera membukakan pintu.

"Monggo mlebet mbah"
(Silahkan masuk mbah) tawar Pak Sutar

"Gakpo le, wes seko kene wae. Ojo lali jogoen anakmu sing ragil. Ambune marakno barang seko njero
podo metu njug kene"
(Gapapa nak, disini saja. Jangan lupa jaga anak bungsumu. Baunya membuat penghuni dalam keluar hingga sini) jelas kakek itu
"Siji maneh, bojomu ojo dinjarne dewekan opomaneh durung mari olehe nifas"
(Satu lagi, jangan menggalkan istrimu sendirian apalagi saat ini belum selesai masa nifasnya)

"Wes ngono wae, tak bali sek"
(Sudah dulu, aku mau pulang) tutup Mbah Rijan
Pak Sutar hanya memandangi Mbah Rijan yang melangkah menjauh.

Salah seorang santri yang memiliki kelebihan menjelaskan pada Pak Sutar maksud perkataan Mbah Rijan tadi.

Menurutnya, anak bungsu Pak Sutar memiliki kelebihan dan kebetulan wetonnya berjumlah sangat tinggi.
Hingga membuat para makhluk tadi berebut menemuinya.

Dan tentang Bu Sutar, ia baru saja diganggu oleh gadis gaun merah dan kera keranya yang suka dengan bau darah kotor

Pak Sutar hanya terdiam mendengar pernyataan santri itu. Sesekali ia menengok istrinya yang tengah menyusui
putra bungsunya di kamar mereka.

Memang begitulah sifatnya, ia tidak pernah merespon bila ada orang yang memberitahunya tentang hal hal mistis. Entah apa yang ada di pikirannya, hingga seperti acuh tak acuh meskipun sudah banyak bukti nyata dihadapannya
Tak terasa jam telah menunjukkan pukul 02.00 pagi.

Para santri akhirnya pamit untuk pulang. Dan malam itu mereka sekeluarga tidur di kamar utama, di ranjang besar yang cukup untuk menampung 5 orang dewasa.

Esok harinya,

Pak Sutar berangkat ke kantor dengan wajahnya yang
tampak kelelahan.

Mas Galuh tetap dirumah untuk menjaga ibu dan adik adiknya. Siang itu mereka habiskan untuk membereskan sisa sisa barang yang belum sempat ditata kemarin.

Di sore harinya,

"Assalamualaikum" ucap Pak Sutar sambil melangkah masuk kedalam rumahnya
Terlihat Bu Sutar tengah duduk di bangku sudut ruang tamu mereka. Ia menyambut suaminya dengan senyum menyimpul. Tak terdengar sama sekali jawaban salam dari mulutnya. Hingga Pak Sutar kembali bicara

"Candra ndi buk kok gak sampean gendong"
(Candra mana buk kok gak kamu gendong)
Bu Sutar bukannya menjawab, ia malah menatap suaminya dengan aneh hingga salah satu matanya tampak memicing.

"Pak, wes mantuk toh?"
(Pak, udah pulang toh?) ucap Bu Sutar yang datang dari arah dapur sambil menggendong Candra

Pak Sutar sangat terkejut mendapati istrinya itu
Jika ini adalah istrinya yang asli. Lalu siapakah tadi?

Sosok itu hilang seketika saat Pak Sutar berbalik kearah makhluk itu duduk tadi.
"Enten nopo pak?"
(Ada apa pak?) tanya istrinya kembali

"Gakpo, masak opo mau?"
(Gapapa, masak apa tadi?) entah mengapa ia menyembunyikan apa yang baru saja ia alami dari istrinya. Mungkin ia masih tidak mau mengakui bahwa pilihannya menentang saran orang2 adalah hal yang salah.
Ia sudah berulang kali diingatkan oleh orang orang. Mulai dari para pekerja yang ia minta untuk membangun rumahnya itu, para tetangga, bahkan mertuanya sendiri. Itulah akibatnya bila terlalu menutup mata dan telinga dari saran orang lain
Setelah lelah seharian bekerja, Pak Sutar segera mandi lalu makan bersama keluarganya di dapur.

Istrinya masih kesal karena banyak perabotan di dapur yang rusak tiba tiba. Seperti lemari beserta isinya kemarin yang dihancurkan oleh entah makhluk apa.
"Pak pripun sekolahe kulo?"
(Pak gimana sekolahku?) tanya Galuh

Galuh pada saat itu baru saja memasuki masa sma

"Wes bar tak ijinke kanggo sewulan"
(Udah bapak mintakan ijin absen untuk sebulan) jelas Pak Sutar

Mas Galuh tampak tersenyum tenang mendengar perkataan bapaknya
"Luh Galuh lagi wae melbu SMA kok arep mbolos sewulan"
(Luh Galuh, baru aja masuk sma kok mau gak masuk sebulan) timpal ibunya

"Alah wes rapopo ben njogo awakmu karo adek adeke sek. Njagani nek aku raono nomah"

(Alah gapapa biar jagain kamu sama adek adeknya. Semisal kalo aku
gaada dirumah) ujar Pak Sutar sambil melahap makanan di piringnya.

Malam haripun tiba, Pak Sutar, istri beserta Damar dan Candra tidur sekamar. Sedangkan Mas Galuh tidur di kamar sebelahnya.

Saat semua sudah terlelap tiba tiba terdengar suara ramai di luar kamar mereka
Suara seperti jalanan yang sangat ramai. Terdengar banyak orang berbincang bincang, tertawa, dan suara derap langkah melewati dalam rumah mereka.

Sesekali terdengar suara gemerincing delman dan hentakan dari kaki kuda
Pak Sutar terbangun karena suara suara itu. Ia melihat disampinya sang istri masih lelap dalam tidur sambil menyusui putranya.

Ia turun dari ranjang dan bergegas membuka pintu kamar. Tidak ada siapapun disana, bahkan suara yang berisik tadi lenyap seketika.
Ia menutup kembali pintu kamar dan merebahkan diri diranjang tadi. Ia kembali terlelap dan beberapa saat setelahnya ia berguling ke kiri.

Kosong, tangannya tidak mendapati Damar yang seharusnya tidur disana. Ia terkesiap dan segera berlari keluar kamar.
Dicarinya keberadaan Damar. Pak Sutar mengecek semua ruangan dan tidak ada Damar dimanapun.

Menengok sudah pukul 3 pagi dan Damar hilang entah kemana, ia bingung dengan apa yang harus diperbuat. Hingga...

*Tok tok tok*

Suara ketukan terdengar dari pintu depan
"Bapak... Damar mantuk"
(Bapak... Damar pulang) suara anaknya terdengar dari luar

Pak Sutar bergegas membuka pintu depan.

Damar, ya dia seorang diri berdiri di depan pintu.

"Koe ki ko ndi wae toh le kok ngilang tengah wengi!"
(Kamu ini dari mana kok ngilang tengah malem!)
tanya Pak Sutar dengan nada setengah membentak. Tangannya mencengkram kuat badan anaknya.

Damar yang takut mulai menangis dengan teriakan khas anak seusianya.

"Wes ayok melbu ojo nangis mengko ibukem tangi"
(Udah ayo masuk jangan nangis nanti ibumu bangun) ajak Pak Sutar
Ia segera menggendong Damar masuk lalu menutup pintu, dan mendudukkan putranya di kursi ruang tamu. Ia masih penasaran bagaimana Damar yang penakut itu bisa keluar ditengah malam.

"Koe mau metu ngendi le?"
(Kamu tadi kemana nak?) tanya Pak Sutar dalam posisi berlutut di lantai
menghadap putranya yang ada diatas kursi

"Tumbas jajan pak"
(Beli jajan pak) jawab bocah itu

Pak Sutar bingung, rumah ini jauh dari pasar, lagipula ini tengah malam, sangat tidak mungkin ada orang yang berjualan.

"Lha Damar kok iso metu mau piye nak?"
(Lha Damar kok bisa keluar gimana caranya nak?) telisik Pak Sutar

Putranya menatapnya lalu menggerakkan tangannya, isyarat agar ayahnya mendekat. Ia lalu berbisik

"Damar medal kalih bulik"
(Damar keluar sama tante) bisiknya lirih

Tante? Pak Sutar adalah anak tunggal.
Dan istrinya hanya mempunyai satu kakak laki laki. Siapa bulik yang Damar maksud?

Dahinya mengerut, matanya menelisik setiap detail tubuh putranya.

"Damar tumbas jajan opo wae mau nak?"

(Damar beli jajan apa aja tadi nak?) tanya Pak Sutar)

Si anak merogoh sakunya
kemudian mengeluarkan buntalan daun jati. Segeralah Pak Sutar meraih bungkusan itu dan membukanya.

Matanya terbelalak melihat ungker jati dan berbagai serangga mati didalam bungkusan itu. Ia membuka mulut putranya, tampak bekas bekas kunyahan dari serangga yang telah dilahapnya
"Bulekkk..."
(Tanteee..) seru Damar sambil melambai lambaikan tangannya kearah kaca depan

"Bulek mlebet mriki a..."
(Tante masuk sini dong...) senyum mengambang diwajah kecil itu

Hawa dingin yang tiba tiba menyelimuti tubuh Pak Sutar membuat rasa takutnya tak tertahan lagi
Ia segera membuang bungkusan itu dan menggendong putranya, berlari secepat mungkin menuju kamar dan mengunci pintunya.

*Khi hihihihi... *
tawa khas kunti terdengar dari belakangnya

Ia segera berbalik dan mendapati beberapa sosok perempuan tengah berkerumun diujung ranjang
Mereka mengerumuni salah satu wanita yang tampak tengah menggendong sesuatu.

Ia melangkah mendekat untuk memastikan apa yang ada di dekapan wanita itu.

Candra!!! Candra tengah terlelap pulas di gendongan wanita itu. Pak Sutar segera membentak mereka, namun para perempuan itu
justru menampakkan senyum sinis dan tertawa sangat kencang, melengking hingga membuat telinga Pak Sutar sakit seketika.

*Brakk Prak Bug*

Suara hantaman dari entah apa membuat Bu Sutar yang tadi masih pulas terkesiap.

"Opo iku pak?"
(Apa itu Pak?) tanya sang istri sambil
menengok tempat sebelahnya, kosong, bayinya tidak ada disana

"Lho pak, Candra ngendi pak Ya Allah anakku endi pak"
(Lho pak, Candra mana pak, Ya Allah anakku dimana pak) tanya Bu Sutar sangat panik

Ia mulai menangis histeris,

Pak Sutar menyadari bahwa para wanita yang tadi
menggendong anaknya hilang, tidak nampak lagi dan tanpa meninggalkan jejak apapun. Entah kemana mereka membawa Candra.

"Metu koe kabeh!!! Iki mono dalanku, omahku, panggonku! Sopo sing gawe wiwilan neng kene yo kudu keno awune"
(Keluar kalian semua!!! Ini jalanku, rumahku, tempatku! Siapa yang membuat perkara ya harus kena abunya) teriak seseorang dari luar kamar

Mereka mengenali suara itu, suara Mas Galuh. Hanya saja terdengar lebih serak dan berat.

"Le, Luh, nopo awakmu ki nak?"
(Nak, Luh, kamu kenapa nak?) tanya Bu Sutar sembari menangis ketakutan menatap putranya itu.

"Mene Tar Sutar!!! Koe mileh lungo opo anakmu tak gowo?"

(Sini kamu Sutar!!! Kamu milih pergi apa anakmu kubawa?) ucap Mas Galuh dengan mata melotot
"Ngapunten"
(Maaf) hanya kata itu yang terucap dari mulut Pak Sutar

Damar gemetar ketakutan melihat kakaknya itu. Entah makhluk apakah yang merasuki raga kakaknya.

*Kratak*

Suara patahan tulang leher karena Mas Galuh menjambak kepalanya sendiri hingga lehernya patah ke kiri.
"Hahahahaha" tawa Mas Galuh menggema di seisi ruangan.

Ia tiba tiba lari melesat ke arah tangga dan naik menuju lantai atas

Saat Bu Sutar hendak menyusul putra pertamanya itu tiba tiba

*Brukkk*

Seperti ada yang jatuh di halaman depan. Pak Sutar segera berlari menuju kesana
Mas Galuh terkapar di halaman berpaving itu. Darah keluar dari rongga telinga dan hidungnya. Tangannya bengkok ke belakang dan kakinya pun patah.

*Grok grokk grok*

Suara senggal napas dari tenggorokan Mas Galuh.
Di sisi lain, Mbah Rijan mengetuk beberapa pintu rumah warga dan mengajak bapak bapak pemilik rumah untuk menuju rumah Pak Sutar

*Tok tok tok*

"Kulonuwun"
(Permisi) ucap Mbah Rijan

"Monggo mbah, wonten nopo kok jam sementen dateng mriki"
(Silahkan mbah, ada apa kok jam
segini kemari?) tanya seorang warga

"Wes ayo melu aku, tulung iwangi nangeni wong lanang sing sekirane iso tak jaluki tulung"
(Udah ayo ikut aku, bantu bangunin para pria yang kemungkinan bisa dimintai tolong) perintah Mbah Rijan

Akhirnya terkumpul sekitar tujuh pria disana.
"Badhe nopo niki mbah?"
(Mau ngapain kita mbah?) tanya salah satu diantaranya

"Ono sing ganjil. Ayo podo jug omahe Sutar"
(Ada yang tidak beres. Ayo pergi ke rumah Sutar) jawab Mbah Rijan

Tepat ketika mereka sampai disana, Mas Galuh baru saja melompat dari lantai atas.
Mereka semua terkejut tidak terkecuali Mbah Rijan. Wajah kakek itu merah padam, namun ia berusaha menahan amarahnya

"Tulungi kui! Wong loro ayo melu aku. Loro maneh tulung urusi bojo karo anake"
(Cepat tolong mereka! Dua orang ikut aku, dua lainnya tolong urus anak dan istrinya)
Satu orang mengeluarkan mobil Pak Sutar dan dua orang lainnya menggotong tubuh Mas Galih kedalam mobil.

Pak Sutar sangat syok dan merasa teramat hancur akibat kebodohannya sendiri. Jika saja ia tak memaksakan kehendak untuk membangun rumah diatas tanah itu.
Keluarganya pasti baik baik saja saat ini.

Di dalam rumah~

Satu pria membantu Bu Sutar berjalan dan mencoba menenangkannya yang masih menangis histeris. Dan satu lainnya menggendong Damar menjauh agar tidak melihat apa yang terjadi saat itu.
Mas Galuh dilarikan ke rumah sakit daerah. Namun karena penanganan kurang memadai pada saat itu, ia segera dilarikan ke rumah sakit daerah semarang.

Di sisi lain Bu Sutar dan Damar diantar oleh para warga kerumah orang tuanya yang berada di desa yang menjadi induk dari dukuh itu
Orang tuanya sangat terkejut mendengar penjelasan dari warga, apalagi terlihat putri dan cucunya itu tampak memendam kesedihan dan trauma mendalam. Ditambah lagi Candra, bayi mungil yang harusnya selalu berada di dekat sang ibu entah kemana, kasihan dia bila harus menahan haus.
Kondisi Bu Sutar mengenaskan, luka luka ditubuhnya akibat mimpi beberapa hari lalu yang dialaminya tampak membiru. Matanya tampak sayu dengan lingkaran hitam dibawahnya.

"Bojo goblok!"
(Suami bodoh!) umpat ayah mertua Pak Sutar

"Ngonokui nek ora ndungokno cangkeme wongtuo"
(Itu akibatnya kalo ga dengerin apa kata orangtua) tandasnya

"Wes ndang adus nduk, Damar tak dusine. Sing kuat yo mari iki sholato, pandungo kanggo Candra ben cepet ketemu"

(Yang sabar ya nak, Damar biar ibu mandiin. Kamu yang kuat, sholat dan berdoa biar Candra cepat ketemu)
Ucap Ibu dari Bu Sutar yang terlihat masih juga menangisi keadaan keluarga putrinya itu.

Sedangkan Bu Sutar? Tatapannya kosong. Wajahnya datar tanpa ekspresi, bahkan airmata tidak lagi nampak berada disana. Mungkin batinnya sudah terlalu sakit saat ini.
Di pagi buta sebelum fajar tiba, Mbah Rijan dan dua orang yang tadi diajaknya melakukan ritual di sumur sendang belakang rumah itu.

Kedua pria tadi diminta memagari rumah dengan bambu kuning dan garam. Mbah Rijan yakin Candra hanya disembunyikan disekitar rumah.
"Yen wes mari olehmu mageri, temoni aku ning sendang kae"

(Kalau kalian sudah selesai memagari, temui aku di sendang sana) perintah Mbah Rijan pada keduanya

"Nggih mbah"

Mereka segera menuju pekarangan salah satu warga dan membabat sebagian besar bambu kuning itu.
Dibawanya bambu itu ke rumah Pak Sutar dan mereka mulai menanam batang batang bambu itu di sekeliling rumah.

"Uyahe ndi iki kang?"
(Garamnya mana nih bang?) tanya salah satunya

"Golekono gok pawon jal"
(Coba cari di dapur sana)

Seorang dari mereka segera melesat ke dapur
dan membawa se toples besar garam dapur. Ditaburlah garam garam tersebut mengelilingi rumah lalu diakhiri dengan membaca Al Fatihah untuk mengunci area itu.

Mereka kemudian berlari kearah sendang belakang rumah tersebut.
Disana tampak Mbah Rijan tengah duduk bersila sambil menutup mata menghadap sumur tua di depannya.

"Pomo mengko aku melek cepet buntelen nganggo mori iki, telat sedelok wae nyowomu iso ciloko"

(Kalo nanti mataku terbuka, cepat bungkus badanku dengan kafan ini, telat sebentar
saja nyawamu bisa celaka) ujar Mbah Rijan pada keduanya

Mereka berdua hanya menelan ludah dan merasa ngeri

"Opo wae sing ketok mengko ojo direken, nek perlu tinggalen kojah dewe"

(Apa saja yang nampak nanti jangan digubris, kalau perlu tinggal ngoceh sendiri)
"Siji maneh, undangen kabeh wong wedok mrene, kon goleki sak temune Candra mari koe mbungkus aku"

(Satu lagi, panggil semua wanita kesini, suruh mereka mencari Candra sampai ketemu setelah kalian berdua membungkusku)

Itulah pesan terakhir Mbah Rijan pada mereka
Kakek tersebut mulai merapalkan mantra, masih dalam keadaan menutup mata mulutnya komat kamit dan jari jarinya mencakar tanah.

Dua pria tadi mulai merasakan hawa tidak enak. Salah seorang segera mengambil mori di sebelah Mbah Rijan, jaga jaga agar mereka tidak kecolongan.
"Kang, kok adem panas ngene awakku?"
(Bang, kok panas dingin gini badanku) keluh salah satu orang

"Podo wae aku yo ngono. Ayo mbahas opo ngono lho"
(Sama aja aku juga. Ayo bahas apa kek gitu) timpal kawannya

Mereka mulai hanyut dalam obrolan panjang, meskipun pada dasarnya
mereka menyadari banyak makhkuk mengerumuni mereka berdua. Seperti para hewan yang tengah menunggu waktu untuk melahap mangsa.

"Mas kok gak mantuk, anakmu goleki loh"
(Mas kok ga pulang, anak kita nyariin loh) tiba tiba terdengar suara seorang wanita mendekat kearah mereka
"Cuk kae lho bojomu hahaha"
(Heh itu loh istrimu) ujar satu pria pada kawannya

"Hahaha kleru kang, genah bojomu ngono bendino dikeloni mosok lali hahaha"
(Hahaha salah bang, orang istrimu kok, tiap hari tidur bareng masa lupa) mereka tertawa terbahak bahak

*Hi hi hihi hi*
Perempuan tadi ikut tertawa dan kini menunjukkan wujud aslinya.

"Pehhh radoyan aku nek ngeneki, ayu Lasemi seng nde warung pojokan kae loh hahaha"
(Beh, ga doyan aku sama beginian. Cantikan Lasemi yang punya warung dipojokan sana itu loh hahaha) canda mereka
Mata mereka kembali mengawasi Mbah Rijan, betapa terkejutnya mereka mendapati si kakek tidak ada disana. Karena ketakutan nyawanya bisa saja melayang, muncul ide untuk membungkus dirk mereka dengan kafan itu.

"Nek awak dewe ndelik nganggo iki aman kang ketone"
(Kalo kita sembunyi pake kafan ini aman bang kayanya)

"Yowes ayo gage lakoni selak mati"
(Yaudah ayo cepetan keburu mati)

Dan rencana mereka berhasil. Tubuh Mbah Rijan yang entah dikuasai oleh siapa mendekat kearah mereka. Perangkap yang dipasang telah dimasuki,
umpan yang diberi telah dimakan. Kini mereka bersiap untuk menangkap buruan.

1 2 3...

Bersama sama mereka keluar dari dalam kafan dengan tiba tiba lalu segera menangkap tubuh Mbah Rijan dengan kafan tadi.

"He jin rendahan, sak duwure derajatmu yo jeh duwur manungso"
(Hei jin rendahan, setinggi apapun derajat kamu masih tinggi derajat kami para manusia) ucap mereka

Dengan sigap mereka menali Mbah Rijan yang terbungkus kafan dan meninggalkannya di dekat sumur itu. Tampak badannya kini sudah tak bergerak lagi.
Mereka segera membangunkan semua warga, mengumpulkannya dan menjelaskan situasi yang sedang terjadi.

Akhirnya mereka semua menuju rumah Pak Sutar, semua wanita disuruh untuk mencari keberadaan Candra, dan para pria membawa tubuh Mbah Rijan ke halaman depan.
Semua wanita telah mencari di segala penjuru rumah itu, namun Candra masih belum juga ditemukan. Hingga terdengar teriakan seseorang...

"Iki lho bocahe gok kene"
(Ini lho anaknya disini) tampak seorang wanita muda membuka gentong tempat menyimpan beras

Para ibu ibu yang panik
segera menghampiri gentong itu, benar saja, Candra ada didalam sana. Namun bagaimana bisa ada disitu? Sedangkan semua orang telah berulang kali mengecek seluruh isi rumah namun tidak ada Candra disana tadi.

Tunggu, siapakah wanita tadi?
Mereka semua saling tatap dan bertanya satu sama lain tentang perempuan muda tadi. Perempuan dengan baju sederhana khas gadis desa, rambut panjangnya yang diikat membentuk ekor kuda.

Mereka tidak mengenalnya, karena tentu saja ia bukan warga dusun. Lalu kemana perginya si gadis?
Tidak ada yang tahu dan menyadari kapan perempuan itu datang dan pergi. Seakan tiba tiba muncul dan hilang seketika.

"Wes ayo ndang diparakno nok gone bukne. Ya Allah le saake temen awakmu"
(Mari cepat diantar ke ibunya. Ya Allah kasian banget nak kamu) ucap seorang ibu ibu
yang meraih tubuh mungil Candra lalu mendekapnya. Para wanita disana menangis haru serentak.

Di luar rumah, para pria tengah merokok dan berbincang bincang di depan rumah Pak Sutar sambil menunggu matahari terbit lebih tinggi, baru membukakan ikatan di tubuh Mbah Rijan.
"Pak.. Iki bocahe wes temu. Ayo gek ndang diterno mrono"
(Pak... ini anaknya udah ketemu ayo cepetan diantar kesana) ucap ibu tadi

Merekapun segera mengendarai motor menuju desa induk. Disana nampak rumah orangtua Bu Sutar sangat ramai, penuh sesak oleh para tetangga yang ingin
tau apa yang tejadi.

"Buu.. Niki nak Candra mpun ketemu"
(Bu... Ini nak Candra nya udah ketemu)

Bu Sutar yang baru saja selesai sholat segera berlari keluar rumah melewati banyak orang yang sedari tadi berkerumun dirumahnya.

"Alhamdulillah... " ucap serentak para warga
Bu Sutar menangis haru sejadi jadinya

"Wes nduk ndang digowo melbu disusoni sakno mesti ngelak temen"
(Udah nak cepat dibawa masuk disusuin, kasian dia pasti haus sekali) ujar seorang warga

"Maturnuwun sanget nggeh Pak, Bu"
(Makasih banyak ya Pak, Bu) ucap Bu Sutar pada mereka
berdua yang mengantarkan putra bungsunya. Kedua orang itu hanya membalas dengan senyuman lega diwajah mereka.

Di sisi lain Pak Sutar yang berada diambulan bersama putra sulungnya menuju ke semarang menangis di sepanjang perjalanan.

Dua orang tetangga yang membantunya sedari
tadi hanya bisa diam menatap Pak Sutar, mereka tak tahu apa yang harus dilakukan untuk menenangkan orang yang sedang kalut.

Terdengar bunyi telefon genggam dari saku Pak Sutar. Pada zaman itu telefon genggam adalah barang yang tidak semua orang bisa memilikinya.
Pastilah orang kaya saja yang mampu membelinya.

"Halo?" ucap Pak Sutar

Entah apa yang di dengarnya di telefon. Wajahnya berubah menjadi merah padam lalu segera mematikan panggilan itu.
Rupanya yang baru saja menelfon adalah ayah Pak Sutar. Ia menyuruh anaknya untuk segera pulang dan membiarkan Mas Galih dijaga oleh yang lainnya.

Kakek mana yang berpikir nyawa cucunya tidaklah penting? Dan orangtua mana yang akan tega meninggalkan anaknya disaat seperti ini?
Pak Sutar terlihat sangat emosi mendengar ucapan ayahnya.

Di sisi lain~
Mbah Rijan masih tergeletak di halaman rumah Pak Sutar. Kain yang membungkus tubuhnya belum juga dilepas.

"Pakdhe kok gak dibuka buka iku?"
(Paman kok itu gak dibuka buka?) tanya anak kecil seusia Damar
"Ngenteni srengengene rodo duwur sek le, mandak durung mari metu isine"
(Nunggu mataharinya agak tinggi dulu nak, daripada isinya belum keluar sepenuhnya) jawab lelaki itu

Setelah beberapa saat menunggu akhirnya tubuh yang dipocong itu bangkit untuk duduk.
Ibu ibu yang berada disana kaget bukan main hingga menjerit dan berlari menjauh, membuat para lelaki disana tertawa terbahak bahak.

"Meneo opo sing mbuk wedeni toh yu yu, kui mono Mbah Rijan"
(Yang kalian takutin apa toh mbak mbak, itu cuma Mbah Rijan) ejek salah seorang pria
Merekapun membuka bungkus itu lalu menatap Mbah Rijan yang tampak pucat dan lemas.

"Pripun mbah? Sae sae mawon?"
(Gimana mbah? Baik baik aja?)

"Ngelu ndasku, wenei banyu jeruk tulung"
(Pusing kepalaku, tolong minta air campur jeruk purut) pinta Mbah Rijan pada warga
Seseorang yang merasa mempunyai pohon jeruk nipis pun segera berlari ke rumahnya untuk mengambil buah jeruk itu. Lalu diberikanlah air jeruk itu kepada Mbah Rijan.

Saat meminumnya ia nampak sangat kesakitan hingga hampir meronta, entah apa yang dirasakannya.
Mungkin itu terasa pedih karena tubuhnya barusaja kerasukan?

~

Siang itu para warga yang tadinya berkumpul dirumah orangtua Bu Sutar tampak sudah kembali ke rumahnya masing masing.

Terlihat mobil sedan tua terparkir di halaman depan rumah itu, dan datanglah pemuda kesana
,sebut saja namanya Adi.

"Assalamualaikum, kulanuwun" ucap Kang Adi sembari mengetuk pintu rumah

"Waalaikumsalam, meneo le lungguh sek"
(Waalaikumsalam, sini nak duduk dulu) ibunda Bu Sutar mempersilahkan tamunya untuk duduk

"Pripun bu? Wonten nopo kok kula dipadosi bapak?"
(Gimana bu? Ada apa kok saya dicariin bapak?) tanya Kang Adi

"Nyuwun tulung Mbak Retno diterke njug semarang yo le. Orausah tak ceritani koe mesti yo wes krungu"
(Minta tolong Mbak Retno kamu antar ke semarang ya nak. Tanpa saya ceritain juga pasti kamu udah dengar) jelasnya
Kang Adi hanya mengangguk pelan kemudian mengalihkan pandangan pada Bu Sutar. Ya, perempuan yang ia kenal dengan sebutan Mbak Retno itu tengah duduk bersimpuh di lantai sambil menggendong putranya, entah tatapan kosong dari mata itu sedang membayangkan apa.
"Iki kuncine gowoen disik, saiki balio njupuk keperluanmu mari ngono mrene maneh trus mangkat"
(Ini kuncinya bawa dulu, sekarang pulanglah ambil keperluanmu, habis itu datang lagi kesini trus kita berangkat) perintah wanita tua yang Kang Adi anggap seperti ibunya sendiri itu
"Nggih Bu, monggo"
(Iya bu, mari) tutupnya

Selesai mengemasi barang bawaannya itu Kang adi segera menuju rumah tetangganya tadi, terlihat Bu Sutar menunggu kedatangannya.

"Di.. Mangkato, sing ati ati yo le mbake dijogo"
(Di... Berangkatlah, hati hati ya nak tolong jaga mbakmu)
ucap ayah Bu Sutar yang menggendong Damar

Bocah itu tampak sangat lengket dengan Eyang Kakungnya..

"Nggih Pak, kula mangkat rumiyen nggih"
(Iya pak saya berangkat dulu ya) jawabnya sambil meraih tas di tangan Bu Sutar lalu memasukkannya ke mobil

"Monggo mbak"
(Silahkan mbak)
Mobil terlihat semakin menjauh, Damar sama sekali tidak menangisi kepergian ibunya itu.

"Sing sabar nggih mbak, insyaallah Galuh saget sehat malih"
(Yang sabar ya mbak, insyaallah Galuh bisa sehat lagi) kata Adi Pada Bu Sutar

"Iyo Di pandongane"
(Iya Di doakan) balas Bu Sutar
Ber jam jam perjalanan mereka lalui tanpa obrolan sedikitpun. Beberapa kali terlihat Bu Sutar menyusui Candra hingga Kang Adi harus menjaga pandangannya.

Tak bisa dipungkiri, ia masih memikirkan wanita beranak tiga itu. Mbak Retno yang hanya selisih dua tahun lebih tua darinya.
Masih teringat jelas masa kecil saat mereka bermain bersama sama di desa dengan anak anak lainnya. Bagi Adi, Mbak Retno adalah sosok wanita idaman yang ingin dipinangnya saat sudah besar nanti. Namun apa daya, di usia 14 tahun Retno dipinang oleh Sutar, pemuda dari desa sebelah
yang kaya raya, pekerjaannya pun mapan.

Ia hanya bisa mengamati Retno dari kejauhan, hingga tak terasa sudah 16 tahun usia pernikahan wanita itu, Adi masih saja belum mendapatkan sosok pengganti Mbak Retno dihatinya.

Setibanya di rumah sakit semarang, mereka segera mencari
kamar yang Galuh tempati.

"Galuh ndi"
(Galuh mana) tanya Bu Sutar dengan nada dan ekspresi datar pada suaminya yang berada diluar ruang ICU

"Ning jero Buk, sejam maneh arep dioperasi"
(Didalam buk, satu jam lagi hendak dioperasi) jawab Pak Sutar dengan penuh rasa bersalah
Bu Sutar sama sekali tidak menatap wajah suaminya. Ia duduk menatap ruangan Galuh berada, tampak menggenang air mata disana.

Satu jam telah berlalu, Galuh dibawa keluar menuju ruang operasi. Bu Sutar menatap putranya yang tak sadarkan diri itu, mengundang iba bagi siapapun yang
melihatnya. Dengan berbagai alat medis menempel di tubuhnya, alat bantu pernafasan, juga penuh perban yang membalut, tubuh itu tampak mengenaskan.

Jika semua rasa sakit itu bisa ia gantikan, tentulah ia akan memilih menanggung apa yang dialami putranya kini. Sebegitu besarnya
kasih seorang ibu.

Pak Sutar meminta kunci mobil yang ada ditangan Kang Adi. Ia mengatakan akan pulang terlebih dahulu bersama dua tetangga yang tadi menemaninya.

Kang Adi menatap Bu Sutar dan hanya dibalas anggukan seolah tak peduli olehnya.

~
Dirumah orangtua Bu Sutar, ayahnya bergegas mengeluarkan motor CB100 miliknya, sang istri segera menutup pintu lalu menggendong Damar menaiki motor itu.

Entah hendak dibawa kemana cucu kesayangannya itu.

Perjalanan memakan waktu sekitar satu jam untuk sampai ke tempat tujuan.
Mereka memasuki hutan yang masih sangat rimbun di bagian yang masih menjadi satu dengan hutan yang menjadi hak wilayah Kabupaten Ngawi.

Jalannya masih sangat buruk, hanya tanah dan bongkahan kecil bebatuan yang disebar perhutani. Dalam, sangat dalam mereka memasuki hutan itu
Hingga laju kendaraan mereka mulai melambat, lalu berbelok ke jalan setapak yang hampir tidak terlihat karena tertutup semak semak.

Mulai nampak sebuah rumah tua yang sangat usang, genting gentingnya terlihat tipis dan menghitam, kayu yang dipasang sebagai dinding pun
mulai lapuk dan berayap.

Didepannya terdapat pohon beringin yang sangat besar dan rindang, akar akarnya menjulur dari dahan atas hingga menutupi batang raksasanya.

Dibawah pohon itu, ada sumur yang lengkap dengan timbanya.
Pria tua itu segera memarkiran kendaraannya di sisi rumah. Lalu menggendong Damar memasuki rumah tersebut bersama istrinya.

"Kulanuwun"
(Permisi)

"Monggo"
(Silahkan) terdengar jawaban dari belakang rumah

"Lho kang, ayo ayo melbu"
(Lho bang, mari mari masuk) jawab seorang
pria yang kemungkinan seusia ayah Bu Sutar tersebut.

"Yong... Gawene wedang, Kang Woto karo Yu Niti ono kene iki loh"
(Yong... Buatkan minum, Bang Woto sama Mbak Niti disini)

*Note : Yong/Biyong = Emak
Biasa ditujukan untuk istri ataupun ibu

Tak lama perempuan seusia mereka
berjalan dari arah dapur sambil membawa nampan berisi beberapa cangkir teh hangat.

"Monggo Kang, Yu, wes suwe rak mrene kok ora ngabari sek toh"
(Silahkan Mas, Mbak, udah lama ga kesini, giliran kesini ko ga ngabarin dulu) gerutunya pada kedua tamu itu
"Ono perlu dek, awak dewe kesusu mrene"
(Ada perlu dek, kami buru buru kesini) jawab Nyi Niti yang langsung disambut oleh rangkulan perempuan yang dipanggilnya Dek tadi.

Benar, Eyang Parwoto dan Nyai Niti Genuk adalah nama orang tua Bu Sutar.
"Piye Kang ono opo sakjane?"
(Gimana bang ada apa sebenernya?) tanya si tuan rumah

Belum sempat menjawab pertanyaan pria itu, Damar segera menyelak pembicaraan

"Eyang Wiro, Damar angsal dolanan kalih kelincine nopo mboten?"
(Eyang Wiro, Damar boleh main sama kelincinya nggak?)
Para orangtua tersebut tersenyum bersamaan mendengar pertanyaan Damar

"Yo pareng to le cah bagus"
(Ya boleh dong nak, anak tampan) jawab istri Eyang Wiro dengan senyum lebarnya

Damar segera bermain keluar rumah menuju kandang kelinci bersama teman teman lamanya.
Teman teman lama? Iya, Damar mempunyai banyak teman disana. Mereka tidak jahat, anak anak itu adalah penghuni pohon beringin besar tadi.

~

"Ngene dhi, ono masalah karo Retno. Aku bingung opo sing dadi masalah nganti kabeh iso koyo ngene"
(Gini dek, ada masalah dengan Retno,
aku gak tau penyebab sebenarnya apa sampai semua bisa seperti ini) jawab Eyang Parwoto

Eyang Prawiro adalah pemilik rumah itu bersama istrinya Ni Sastri. Ia adalah sepupu laki laki dari Eyang Parwoto

"Cobo ceritakno kabeh Kang"
(Coba ceritakan semuanya Bang) pinta Eyang Wiro
Eyang Woto pun menceritakan semua kepada adik sepupunya itu. Terlihat Nyai Niti menangis mengingat keadaan rumah tangga putrinya itu. Ni Sastri yang merasa turut berduka pun tak terasa meneteskan airmata diwajahnya.

Eyang Wiro mendengarkan dengan seksama cerita itu.
Sesekali ia mengelus jenggotnya yang sudah mulai memutih.

"Dadi maksud sampean Sutar nekat gawe omah nok kono? Opo raono sing menging Kang"
(Jadi maksut kamu, Sutar nekat bangun rumah disitu? Apa gaada yang ngelarang Bang) tanya Eyang Wiro
"Kabeh wong wes podo ngilingno Dhi.. Tapi yo ngono mau Sutar oraiso diowah kekarepane"
(Semua orang sudah mengingatkan dek, tapi ya begitu sifat Sutar, tidak ada yang bisa menggoyahkan keputusannya) jelas Eyang Woto

Eyang Wiro seketika memejamkan matanya, beberapa menit
seakan menerawang jauh.

"Mantumu iku ono sing mekso. Bocah iku wes mudeng lemah opo sing deweke bangun, tapi yo alasane nganti gelem dipekso aku durung ngerti Kang"
(Menantumu itu ada yang maksa. Dia udah tau tanah apa yang dia tempati. Tapi alasan dia hingga mau dipaksa, aku
belum tahu Bang)

Ia menghela nafas panjang

"Galuh sengojo dipasang Kunto laknat ben ilmune lueh duwur bandane lueh okeh"
(Galuh sengaja ditumbalkan Kunto laknat itu biar ilmunya lebih tinggi, hartanya makin banyak)

"Mulo Sutar dikon gawe omah nok kono. Bocah goblok
rak ngerti nek anake arep digawe wadal Pak e dewe"
(Makanya Sutar disuruh buat rumah disana. Bocah bodoh, gak tau kalo anaknya mau dijadikan tumbal ayahnya sendiri) lanjutnya

"Njur saiki awak dewe kudu piye Dhi..."
(Lalu kita harus gimana dek) tanya Eyang Woto
"Yong ayo ndang diringkesi barange. Mari iku budal mrono"
(Bu ayo cepat beresin barang, siap siap sekarang kita berangkat kesana) perintah Eyang Wiro pada istrinya

"Nggih pak" jawab Ni Sastri

Selagi Ni Sastri berkemas, orang orang tua itu melihat Damar yang tengah asik bermain
bersama teman temannya. Walaupun hanya Eyang Wiro saja yang dapat melihat anak anak itu, tapi Eyang Woto dan Nyai Niti sudah paham betul kelebihan cucunya. Hanya saja, Damar kecil itu belum bisa membedakan antara manusia dan "mereka"
"Damar... meneo le cah bagus"
(Damar... Sini nak) panggil Eyang Wiro

Damar berjalan mendekat ke saudara eyangnya itu

"Wonten nopo Eyang?"
(Ada apa Eyang?) tanyanya dengan polos

"Ayo melu Eyang mlebu, Eyang kangen karo Damar, pengen ngerti cerito ceritone Damar. Oleh?"
(Ayo ikut Eyang kedalam, Eyang kangen Damar. Pengen diceritain cerita cerita seru sama Damar. Boleh?) tanya Eyang Wiro sembari mengangkat badan anak itu untuk digendongnya

Eyang Wiro bercengkerama dengan Damar, anak itu cepat sekali bergaul dengan orang.
"Damar koncone nok omah anyar akeh yo? Cobo Eyang diceritani"
(Damar temannya dirumah baru banyak ya? Coba cerita ke Eyang) pinta kakek itu

"Heem Yang, akeh tapi Damar mboten ngertos asmane sinten"
(Iya Yang, banyak tapi Damar gatau siapa namanya) jawabnya sambil memainkan
jenggot Eyang Wiro

"Waduh... Piye iki mosok gak diajak kenalan"
(Waduh... Gimana masak ga diajak kenalan) ucapnya sambil menepuk jidat lalu berguling seperti orang kehilangan keseimbangan

Tingkahnya itu berhasil mebuat Damar tertawa cekikikan
"Damar mari diajak jalan jalan Bulek, Yang"
(Damar abis diajak jalan jalan Tante, Yang) ucap Damar tiba tiba

Eyang Wiro mengerutkan dahinya, lalu matanya menengok kearah Nyai Niti dan abangnya.
Ternyata mereka berdua pun bingung mendengar pernyataan cucunya itu
"Bulek sinten mar.. Kan Bapak Ibuk ga ndue adek, piye toh le"
(Tante siapa sih mar, kan bapak ibumu ga punya adek, gimana sih nak) telisik Eyang Wiro

"Damar gadah bulek kok Eyang, terose Bulek, Bulek adike Bapak"
(Damar punya tante kok Eyang, Tante itu adeknya bapak)
jelas bocah itu

Akhirnya kini Eyang Wiro mengerti, wanita yang tadi tampak berada di sendang saat ia menerawang kesana adalah adik Pak Sutar, orang yang ditumbalkan terlebih dulu sebelum Galuh.

Namun Eyang Wiro sangat mengenal besan dari abangnya itu. Ia hanya mempunyai satu
istri sah dan satu anak, yaitu Sutar.
Anak yang ia korbankan pastilah putri dari salah satu simpanannya.

Mereka semua segera pergi ke rumah Eyang Parwoto.

Setibanya disana, Eyang Prawiro segera mengajak ke rumah Mbak Retno.

Disitu ia memulai ritualnya,
Dibakarlah setungku kemenyan untuk memanggil mereka semua.

Beberapa menit setelahnya, datanglah semua makhluk halus itu, tidak terkecuali Mbah Jebung.

"Ono opo le, awakmu ki sopo"
(Ada apa nak, kamu ini siapa) tanya Mbah Jebung

"Aku yo mung manungso biasa Mbah.
Aku mung pengen ngerti opo salah sing dilakoni Sutar nganti putuku kudu dadi koyo ngono"

(Aku cuma manusia biasa, hanya ingin tahu apa salah yang diperbuat Sutar hingga cucuku menerima akibatnya) ucap Eyang Wiro

*Hahahahahah*

Semua makhluk disana tampak tertawa
kecuali Mbah Jebung, ia hanya diam menatap Eyang Wiro dengna wajah tanpa ekspresi.

"Salahe siji amergo wes wani ngadekno omah ning dalan iki, pindo, anake wes diwehno dewe karo Kunto"

(Salahnya satu karena ia berani membangun rumah disini. Kedua, anaknya telah diserahkan
sendiri oleh Kunto) jawab Mbah Jebung sambil menatap tajam orang di hadapannya itu

"Gaiso! Putuku raoleh dijawil sopo sopo. Gowo wae kui Kunto"
(Gabisa! Cucuku gak boleh disentuh siapapun. Bawa saja itu Kunto) bentak Eyang Wiro
Ya, Kunto adalah ayah dari Sutar. Dia seusia dengan Eyang Woto dan Wiro. Dan juga ialah yang ingin menumbalkan Galih, cucunya sendiri kepada penguasa kerajaan di tepi hutan itu.

"Menurutmu sopo sing lueh ala? Mbah sing numbalno putune opo Pak sing macak raroh opo opo?"
(Menurutmu siapa yang lebih keji? Kakek yang menumbalkan cucunya atau Ayah yang berlagak tidak tahu apa apa?) tanya Mbah Jebung dengan senyum sinis mengambang diwajahnya

Mata Eyang Wiro terbelalak heran. Ia tampak mencerna kata kata yang baru saja dilontarkan oleh makhluk itu.
Akal sehatnya seakan masih belum bisa mempercayai hal itu. Jadi apakah selama ini Sutar menuruti ancaman ayahnya untuk pindah kesana meskipun telah sadar dengan kemungkinan salah satu anaknya akan dikorbankan? Sungguh gila

"Maksudmu opo?"
(Maksudmu apa?) tanya Eyang Wiro
"Aku ngerti koe ora wong biasa le, budalo njug omahe Kunto. Koe bakal ngerti kabeh"
(Aku tahu kamu bukan orang biasa nak, berangkatlah keruman Kunto. Kamu bakal tahu semuanya) perintah Mbah Jebung

Ia tiba tiba menghilang dengan semua makhluk yang tadi berkerumun disana.
Eyang Wiro segera menemui Eyang Woto dan mengajaknya menuju rumah Kunto.

"Heh Kunto bangsat metuo!"
(Hei Kunto bangsat keluarlah!) teriak Eyang Wiro dari kejauhan

"Sabar Dhi... Rapenak didelok wong akeh"
(Sabar dek, gaenak diliat orang banyak) ujar Eyang Woto
Tak lama ibu dari Pak Sutar keluar dari pintu depan

"Lho wonten pak besan, monggo mlebet pak"
(Lho ada pak besan, silahkan masuk pak) sambut istri Kunto

Mereka berdua memasuki rumah besar itu. Rumah yang sangat megah, memang Kunto lah orang terkaya di desa itu.
Lelaki seusia mereka keluar dari salah satu kamar lalu menghampiri mereka dengan cengengesan

"Lho tibake wes podo teko toh. Wah durung sempet mlayu aku"
(Lho ternyata udah pada datang toh. Wah belum sempat lari nih aku) ejeknya dengan nada merendah
Tak banyak bicara, Eyang Wiro menjambak rambut kunto lalu segera memotongnya sedikit dengan belati kecil yang selalu ada di pinggangnya.

Ia menelan rambut itu bulat bulat lalu merapalkan mantra.

"Ilmunem durung sepiro asu. Lagake ape numbalno putuku!"
(Ilmu mu belum seberapa njing. Belaga mau menumbalkan cucuku!) ucap Eyang Wiro sambil meludah ke sisi kirinya

"Aku wes roh kabeh kelakoan kewanmu kui"
(Aku sudah tau semua perbuatan hewanmu itu) tegas Eyang Wiro

*Cklek Brug*

Suara pintu mobil terdengar dari arah depan
"Pak!!!!" bentak seseorang pria dari arah depan yang kemudian kaget bukan main setelah melihat ayah mertua beserta sepupu ayah mertuanya itu

Badannya terasa dingin tiba tiba. Dahinya mulai deras mengeluarkan keringat.

"Ora pak ora anak laknat kabeh!"
(Gak anak gak bapak sama laknat semuanya!) bentak Eyang Wiro sembari melayangkan pukulan ke wajah Kunto

Istri kunto hanya menatap dari sudut ruang tamu tanpa berani bertindak apapun, ia tampak menahan tangisnya
"Kang, sampean pengen ngerti pora kelakoane mantu karo besanmu iki?"
(Bang, kamu mau tau ga kalakuan menantu sama besanmu ini?) tanya Eyang Wiro yang dijawab anggukan oleh Eyang Woto

"Manungso goblok kui mari dolanan karo wedokane pak e dewe"
(Manusia bodoh itu pernah *main*
sama simpanan ayahnya sendiri) ujar Eyang Wiro

"Besanmu kui malah mek kesempatan! Deweke ngancem mantumu kui supoyo ngaleh mrono nek ora pengen diwadulno nok anakmu"
(Besanmu itu ngambil kesempatan! Dia ngancam menantumu itu supaya pindah kesana kalau gamau perbuatannya diadukan
ke anakmu)

Eyang Woto yang mendengar itu tampak menahan amarah yang sangat besar. Wajahnya merah padam, matanya melotot dan juga tangannya mengepal kuat sekali.

Ia menghampiri Sutar lalu segera menamparnya. Pak Sutar hanya diam membatu.

Eyang Wiro dan Kunto yang tengah
bergelut melesat ke halaman belakang rumah. Eyang Woto yang menyadari adik sepupunya berada di belakang segera menarik kerah si menantu lalu membawanya menuju kedua orang tadi berada.

Ia membanting menantunya kelantai

"Ceritakno kabeh!"
(Ceritakan semuanya) perintah Eyang Woto
Pak Sutar tampak menceritakan semuanya, ia mengakui segala kesalahan dan kebodohan yang ia lakukan. Ia merasa menyesal dengan apa yang telah terjadi pada putranya kini.

"Ngapuntene kula pak. Kula ngaku salah"
(Maafkan saya pak. Saya mengaku salah) ucapnya pada si ayah mertua
Sutar menceritakan awal pertemuannya dengan simpanan ayahnya saat ia berkunjung kerumah orangtuanya itu. Ibunya sedang tidak berada dirumah, dari arah kamar ia mendengar suara desahan perempuan. Ia sudah tidak kaget lagi dengan kebiasaan ayahnya itu, tapi ada yang berbeda
kali ini. Ia merasa tertarik setelah melihat wanita muda itu. Hasratnya sebagai lelaki membara kembali, apalagi wanita itu adalah seseorang yang santun dan teman mengobrol yang baik, itulah dalih Sutar. Memang sifat dasarnya seperti kucing! Lihat ikan nganggur juga pasti diembat.
Mereka berdua akhirnya sering bertemu dan menghabiskan malam bersama. Mbak Retno sama sekali tidak curiga karena memang suaminya itu sering bepergian keluar kota berhari hari.

Kunto yang mengetahui hal itu segera memanfaatkannya. Ia memberi perintah pada Sutar agar membangun
rumah di tanah jalanraya kerajaan gaib itu dengan tujuan mendatangkan tumbal seserahannya tanpa harus repot repot mencari alasan untuk membawa Galuh kesana. Ia mengancam akan mengadukan perbuatan Sutar ke Retno bila Sutar menolak perintah ayahnya itu.
Bodoh, sangat bodoh. Meskipun ia tahu bahwa kemungkinan ayahnya akan menumbalkan salah seorang putranya, ia tak bisa bertindak apapun hingga semua ini terjadi.

~

Selang beberapa lama, Kunto akhirnya dikalahkan oleh Eyang Wiro. Dicabutlah semua ilmu milik Kunto meskipun
perjanjiannya dengan iblis tidak bisa diputus, akhirnya ia hidup dengan raga yang kosong, seperti seonggok mayat yang hanya punya detak jantung.
Tiba tiba datang sosok tua yang tadi ditemui oleh Eyang Wiro. Ya, itu Mbah Jebung namun ia tidak sendirian. Ia ditemani oleh sesosok perempuan bertubuh ular dengan lidahnya yang menjulur panjang, entah apa nama yang cocok untuk siluman itu.
"Sing tak wenei bibit saiki wes dicekel, kari njupuk uwoh gantine putumu"
(Yang kuberi bibit sudah ada ditangan, tinggal mengambil buah ganti dari cucumu) ucap Mbah Jebung yang diikuti oleh melesatnya siluman ular itu kearah Sutar, melilitnya, meremukkan tulangnya lalu dibawa
pergi jiwanya.

Eyang Wiro tidak bisa berbuat apa apa untuk menolong Sutar, karena ia sendiri yang tadi berunding dengan Mbah Jebung lalu mengambil pilihan untuk menukar Galuh dengan jiwa Sutar. Meskipun hatinya tak kuasa, namun apa boleh buat.
Eyang Woto dan istri Kunto yang dimatanya hanya menyaksikan teriak kesakitan dari Sutar pun kebingungan, mereka tak tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Hingga Sutar terkapar lemas ditanah dengan tatapan matanya yang kosong.
~

Di kota lain, Kang Adi dan Mbak Retno tengah menanti berjalannya operasi Galuh

"Di... Wes tuo kok gak ndang rabi, anakku wae wes semene gedene lho"
(Di... Udah tua ga nikah nikah, anakku aja udah segitu gede lho) ucap Retno yang tiba tiba membuka obrolan
Adi menatapnya iba, tergambar jelas bahwa ia membuka pembicaraan hanya karena tidak mau berlarut larut dalam kesedihan

"Yo piro mbak, amung kacek kalih taun kalih panjenengan"
(Ya berapa mbak, cuma selisih dua tahun sama kamu) jawab Adi yang masih menatap wajah itu
"Lhayo ngopo ra rabi rabi"
(Lha kenapa ga nikah nikah)

"Tasik ngerantos tiang mba"
(Masih menunggu seseorang mbak) jelas Adi

Mbak Retno hanya diam, Adi pun tak lagi memandang Retno, ia menundukkan wajahnya
Mbak Retno sebenarnya tak tahu bahwa orang yang ditunggu Adi adalah dirinya, namun ia memilih diam tak menjawab pernyataan tadi karena ia tidak mau membuat suasana menjadi lebih canggung
Operasi berjalan lancar, Galuh dipindahkan ke ruangannya kembali. Karena hanya dibolehkan satu orang penunggu pasien di ICU, maka Kang Adi tidur di bangku luar kamar.

Kesadaran Galuh belum juga kembali, Mbak Retno akhirnya menelfon orangtuanya untuk mengabarkan kondisi Galuh
"Halo Bu.." ucapnya pada seseorang di telepon

"Retno nduk, piye Galuh nak?"
(Retno, nak, gimana keadaan Galuh?) tanya Nyai Niti Genuk
"Alhamdulillah operasine lancar buk"
ucap Retno

"Alhamdulillah"
"Seourane yo nduk ibuk durung biso nyusul, bapakmu karo paklik wiro ijeh ono urusan"
(Maaf ya nak, ibuk belum bisa nyusul, bapakmu sama om wiro masih ada urusan) jelas Nyai Niti

"Inggih buk mboten nopo2 teng mriki
kan wonten Adi"
(Iya bu gapapa disini kan ada Adi)

*cklekk*

Terdengar suara pintu dibuka

"Assalamualaikum" ucap Eyang Woto yang masuk bersama Eyang Wiro

"Waalaikumsalam" jawab Nyai Niti yang lalu berpamitan kepada putrinya

"Wes sek yo nduk pakmu teko"
(Udah dulu ya nak
ayahmu pulang) ucap Nyai Niti yang segera mematikan telefon.

Mungkin ia merasa kasihan pada putrinya jika harus mendengar kabar apapun yang didapat ayahnya, maka ia memilih menyembunyikannya dahulu hingga Retno siap.
"Pripun Pak e?"
(Gimana pak?) tanya Ni Sastri pada suaminya

"Sutar wes raono, Kunto ijeh urip nanging wes kepisah karo sukmone"
(Sutar sudah tiada, Kunto masih hidup tetapi terpisah dari sukmanya) ucap Eyang Wiro

Mendengar pernyataan adik sepupu suaminya tersebut Nyai Niti
jatuh kelantai seketika, dadanya terasa begitu sesak, seakan udara susah untuk keluar masuk disana. Kaki dan tangannya lemas. Ia sangat syok, memdengar bahwa menantunya kini telah tiada, Nyai Niti memikirkan bagaimana keadaan putrinya saat mendengar kabar ini nanti.
Eyang Woto pun menjelaskan semuanya kepada Ni Sastri dan istrinya. Kedua wanita itu menangis, tidak menyangka semua ini bisa dilakukan oleh menantu dan besannya. Apalagi mendengar bahwa Galuh akan ditumbalkan, membuat mereka sangat terpukul.
"Sukmone Galuh wes diculne Kang, Yu. Nanging amergo awake ono ning adoh, ndekne bingung olehe mbalik"
(Sukma Galuh sudah dilepas Bang, Mbak. Tapi karena tubuhnya berada jauh, dia bingung caranya kembali gimana) ucap Eyang Wiro

"Iki orak iso diberno ngene wae. Kudu ono sing
nuntun Galuh"
(Ini ga bisa dibiarin gini aja. Harus ada yang nuntun Galuh) timpalnya lagi

Akhirnya Eyang Wiro memanggil beberapa teman seperguruannya dulu. Mereka mencoba mencari sukma Galuh disekitar rumah Sutar dan Retno.

Entah ritual apa yang mereka lakukan, dan akhirnya
Tubuh Galuh di rumah sakit mulai menampakkan perkembangan yang signifikan. Jari jarinya mulai bergerak sebagai respon apabila ada suara orang di dekatnya yang mengajak bicara.

*Note : penulis ga tau ritualnya kaya gimana karena si narasumber juga gatau so mohon dimaklumi 😂
Setelah dua bulan koma akhirnya Mas Galuh sepenuhnya sadar. Disana ia dijaga bergantian oleh keluarga ibunya. Saking lamanya ada di semarang sampai Eyang Woto harus sewa kontrakan bagi mereka semua.

Candra dan Damar gimana? Mereka pastinya belum tahu bahwa ayah mereka telah
meninggal. Justru disana mereka berdua sangat dekat sama Kang Adi karena dia mengasuh mereka berdua selayaknya putranya sendiri.

Mas Galuh dan Bu Sutar? Mereka berdya juga baru tahu semua yang terjadi sepulang dari semarang. Awalnya mungkin berat tapi mereka tabah,
sadar sepenuhnya bahwa yang dilakukan Pak Sutar dan Kunto itu salah.

Rumahnya? Sudah pasti dibiarkan kosong hingga lebih dari 12 tahun sampai akhirnya ada salah satu PT yang mengontrak rumah itu, dijadikan mess untuk karyawannya.

Kang Adi gimana? Jadi Ayah mereka bertiga 👍🏻
Alhamdulillah thread pertama saya selesai kali ini.

Tolong jadikan pembelajaran terlepas dari fakta fakta yang ada.

FYI : Galuh hanya satu dari sebagian orang yang berhasil lolos dari jerat penumbalan. Semoga kalian semua dihindarkan dari orang orang berniat jahat seperti Kunto
Terimakasih.

See you soon

#memetwit #bacahorror #horrorthread
Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh.

Enjoying this thread?

Keep Current with Its Qiana

Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

Twitter may remove this content at anytime, convert it as a PDF, save and print for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video

1) Follow Thread Reader App on Twitter so you can easily mention us!

2) Go to a Twitter thread (series of Tweets by the same owner) and mention us with a keyword "unroll" @threadreaderapp unroll

You can practice here first or read more on our help page!

Follow Us on Twitter!

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just three indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3.00/month or $30.00/year) and get exclusive features!

Become Premium

Too expensive? Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal Become our Patreon

Thank you for your support!