My Authors
Read all threads
Sebuah kegiatan bermain anak-anak dusun dilokasi pantangan warga, membuat trauma mendalam bagi mereka "Plolong".

Short Thread

@bacahorror #bacahorror
Silahkan RT & Like dulu, saya mulai minggu depan. Kisah ini adalah pengalaman hidup saya sendiri, tapi saya akan menceritakan dengan sudut pandang orang ketiga saja.
Dusun adalah bagian dari desa, tempat yang menyajikan keindahan alam dan tenangnya hidup bagi masyarakat pedesaan. Dusun setan (samaran) ini terletak ditengah desa dengan posisi menjorok keselatan agak terpisah dari keempat dusun lain.
Lokasi dusun ini mempunyai satu jalan utama dan tiga perempatan. Sedangkan jalan desa disebelah utara dusun adalah satu-satunya jalan untuk akses masuk kedusun, dan membelah tiga perempatan dusun ini.
Jadi setiap perempatan mewakili satu gang, untuk jalannya di dusun ini juga sangat rusak atau hancur disetiap musim penghujan. Hanya bisa dilalui dengan jalan kaki saat memasuki dusun ini. Jika memasuki musim kemarau barulah kendaraan roda dua, tiga, empat dan enam bisa masuk.
Semua kendaraan yang masuk hanyalah untuk sekedar mengambil hasil dari kebun dan sawah para penduduk dusun.

Sedang pohon bambu yang rimbun mengelilingi dusun ini, susunan pohonnya mengikuti bentuk dusun yang berbentuk oval.
Bambu pembatas mengeluarkan ranting-ranting berduri yang saling terkait antara satu pohon dengan pohon bambu yang lain. Di siang haripun rumah-rumah yang disebelah kebun bambu cahayanya meredup seperti sore hari.
Jadi pemandangan rumah penduduk disamping kebun bambu terlihat sintrup (suram/menyeramkan). Setelah "barongan"/kebun bambu ada persawahan penduduk yang luas baru selanjutnya akan memasuki dusun yang lain/ hutan.
Kebun bambu disana juga berfungsi sebagai pembatas antara pemukiman, perkebunan, hutan dan persawahan.

Akses pintu masuk kedusun ini ditiap gang melewati kebun bambu yang sudah ada pintu alaminya dengan jarak lebar dua meteran.
Pintu alami melengkung setengah lingkaran yang dibentuk dari pohon bambu. Konon kata para sesepuh dusun, kebun bambu ini sengaja ditanam rapat melingkari dusun. Dengan tujuan para penduduk dusun yang bermukim didalamnya menjadi aman.
Itulah salah satu alasan dijaman dahulu khususnya zaman kolonial, para sesepuh dusun membuat perlindungan dari para penjajah. Seketika para penjajah melintas areal dusun dan melihat kebun bambunya pasti terkecoh dengan kerimbunan bambu tersebut.
Dulunya pintu menuju dusun ini hanya ada satu buah, itupun dibuat cukup untuk satu seorang saja yang bisa keluar masuk. Sedangkan terdapat satu daun pintu yang terbuat dari ranting bambu berduri (carang) sebagai penutupnya.
Tapi ditahun 1990 semua gang yang menuju sawah dan kebun sudah ada pintunya masing-masing, pintu itu sudah dibuat agak lebar sekitar dua meteran. Memang saat itu kalau dilihat sekilas dari luar yang terlihat didusun ini hanya kebun bambu yang lebat dan rapat.
Di sisi dusun sebelah barat, selatan dan timur terdapat sendang (mata air yang berada dibawah pohon beringin). Disisi utara ada satu juga tetapi sudah masuk ke wilayah dusun lain, setiap sendang ada dua retjo (arca) Retjo Pentung atau Dwarapala.
Arca – arca tersebut berukuran sekitar 30 cm terbuat dari batu andesit ditiap pintu masuk. Arca – arca ini terdapat didepan tiap kanan kiri pintu masuk, hampir setiap hari didepannya diberi sesajen oleh warga (cok bakal) dengan tiga dupa yang sudah terbakar diatasnya.
Untuk kegiatan warga dusun, setiap ada hajatan mereka pasti membawa tumpeng untuk di berkati di salah satu sendang. Hal ini sudah menjadi budaya saat itu, disendang sendiri difungsikan untuk sumber kebutuhan minum, mandi dan memasak warga dusun.
dulu para penduduk dusun mengambil air (ngasu) dari ketiga sisi mata air sendang. Khususnya sendang bagian selatan, sumur yang ada disendang ini disebut sumur gede (besar), karena dipercaya warga langsung tembus menuju ke laut selatan.
Untuk penerangan, saat itu didusun ini belum terjamah sama sekali. Menjelang malam hari suasana dusun terasa sepi, dan gelap. Hanya beberapa rumah yang menyalakan lampu minyak tanah ditaruh diruang tamunya sebagai penerangan pribadi.
Sedangkan waktu habis isya’ saja warga dusun sudah tidak ada yang terlihat dijalan. Selain jalannya kurang bagus, didusun itu juga tidak ada hiburan sama sekali. Hanya ada dua warung kopi kecil sebagai arena bapak-bapak kumpul-kumpul tepatnya disisi utara dan selatan dusun.
kedua warung itupun buka dipagi buta dan tutup siang hari.

Untuk Peristiwa ini “Plolong” sendiri, terjadi sekitar rentang tahun 1990–2000 di sisi barat dusun setan. Dusun ini ditahun 1990an masih sangat terpencil.
Jauh dari pusat kecamatan maupun kota meski masih berada dipulau Jawa. Dusun ini terletak di salah satu wilayah kabupaten dengan julukan “Arek” di Jawa Timur.

Dari dusun kecil inilah hidup Bimo, Adi, Sukis dan Anto dimulai.
Mereka berempat terlahir dari keluarga sederhana di dusun ini. ditahun 1990 an Anto serta ketiga temannya sudah menginjak kelas 2 SD. Masih teringat jelas pengalaman dalam kepala Anto dengan ketiga sohib karibnya, salah satu kejadian yang sampai saat ini tidak bisa dia lupakan.
Seperti anak pada umumnya dipagi hari anak-anak dusun berangkat untuk bersekolah, melewati jalan yang berat. Mereka bergerombol dua sampai tiga anak berjalan dengan kaki telanjang, serta tangan kanannya masing-masing berfungsi membawa sepatu.
Baru seketika sampai disekolah, sepatu para siswa dusun dipakai. Dengan mencuci kaki dan membersihkannya terlebih dahulu, siswa-siswi masuk kelas dalam keadaan yang bersih. Pelajaran dimulai dengan guru yang jenaka sampai tak terasa waktu berjalan dengan cepat.
“Teng...teng..teng...”

Jam 09.30 Wib bunyi lonceng besi yang dipukul pesuruh sekolah, menandakan waktu untuk istirahat. Hari masih pagi untuk lonceng yang bernyanyi karena waktu itu hari Jum’at, jadi jam belajar lebih pendek.
Dari semua kelas satu sampai enam, siswa seragam merah putih berhamburan keluar. Tetapi untuk Bimo, Adi, Sukis, dan Anto mereka satu persatu berkumpul disisi utara sekolah. Keempat anak-anak ini langsung duduk-duduk berjongkok melingkar rapi saling berpandangan.
Dibawah rindangnya jajaran tiga pohon trembesi yang memunculkan ide anak-anak untuk merencanakan sesuatu disore hari.

Bimo yang manatap Sukis langsung berkata.
“Kis engko mari Jum’atan golek plaser (bunga tebu) yo” (di nanti habis Jum’atan cari plaser ya). Pinta Bimo dengan ide yang ingin berpetualang dan bermain selepas sekolah

“Nang endi Bim”(dimana di). Sambung Sukis penasaran
“Nang kebon tebune Anto” (dikebun tebunya Anto). Sahut Bimo dengan mengalihakn pandangannya kepada Anto

“Piye To oleh gak” (Gimana To boleh apa tidak). Sahut Adi dengan ucapan sedikit memaksa
“Mesisan To ambek golek tebune nang kebunmu” (sekalian To sama cari tebunya di kebunmu). Tegas Adi untuk meyakinkan Anto yang masih ragu

“Tebumu kan enak, tebu 32 sisan” (tebu kamu kan enak, tebu 32 pula). Kata Bimo sedikit merayu
“Iyo to, tebumu legi-legi iku” (Iya To, tebumu manis-manis itu). Jelas Adi menambahkan rayuannya pada Bimo

Dengan sedikit paksaan dan rayuan ketiga temannya Anto diam dan beripikir sejenak.
“Yo wes engko mari jum’atan yo, aku yo pengen dulinan plaser” (Ya sudah nanti habis jum’atan ya, aku ya ingin mainan plaser). Jawab Anto yang juga sebenarnya ingin bermain plaser

“Sip, To” Jawab Bimo yang sudah mulai semangat karena idenya berhasil
Pertemuan singkat dijam istirahat mereka berakhir tanpa sempat membeli jajan,karena sibuk dengan rencana sore hari.Keempat anak ini akhirnya kembali kekelas dengan kompak serta wajah ceria menghiasi mereka.

Jarum jam terus berputar hingga tak terasa waktu pulang sekolah tiba.
Hari Jum'at Jam 11.00 wib, keempat sahabat ini pulang sekolah bersama teman-temannya yang masih satu dusun. Sewaktu sampai rumah, sebagai anak dusun yang patuh dan masih lugu mereka langsung mandi, ganti baju tanpa diperintah orang tua.
Selanjutnya mereka berempat bergegas berangkat shalat Jum'at dimasjid meski berbeda rumah dan gang. Lokasi masjid dari rumah mereka lumayan jauh , karena waktu jalan kaki itu ditempuh menghabiskan waktu sekitar 15 menit.
Hal itu mereka lakukan bersama teman-temannya dan penduduk dusun lain. Mereka melakukan kewajiban itu dengan suka cita meski berjalan kaki jauh dikarenakan juga didusun mereka masih belum ada masjid.
Selesai kewajiban yang mereka laksanakan, keempat anak kelas dua SD ini buru-buru untuk pulang.

Hati dan perasaan senang hari itu sudah tak terbendung,seakan tak mau menunda lama-lama lagi untuk bermain.
Dalam perjalanan pulang dari masjid mereka berempat janjian untuk berangkat bersama di perempatan kedua dusun sebagai tempat berkumpul.

Sedang lokasi yang akan mereka tuju tepatnya disebelah barat dusun, tapi harus melewati kebun bambu yang rimbun dan rumah Anto.
Rumah Anto sendiri lokasinya berjarak tiga rumah dari kebun bambu sisi barat.

Saat Bimo datang ketiga temannya sudah berkumpul semua diperempatan, masing-masing anak membawa senjata. Adi dan Sukis membawa pisau, Anto membawa sabit.
Sedang Bimo yang datang terlambat membawa bendo (pisau tajam agak besar).

Bimo berjalan santai dengan sedikit mengayunkan pisau besarnya naik turun untuk sekedar melatih untuk mengupas tebu.

Ketiga temannya yang melihat Bimo dari jauh sedikit geram terutama Anto…
“Whoi Bim, ayo cepet” (whoi Bim, ayo cepet). Teriak Anto yang duduk memandangi Bimo dengan muka kesal

“Sepurane rek aku mangan disek” (maaf kawan aku makan dulu) Sambung Bimo tanpa rasa bersalah dengan mempercepat langkahnya menuju kerumunan ketiga temannya.
Bimo melihat Mereka bertiga sudah duduk- duduk sudah siap siaga, dengan membawa senjata penuh untuk bermain. Ketiga anak ini memakai kaos dan celana pendek, begitu pula dengan Bimo yang memakai celana pendek seragam sekolah warna cokelat dan kaos warna hijau.
Hal ini sangat lumrah dilakukan anak dusun waktu itu, setiap kali main mereka pasti membawa alat – alatnya karena sambil mencari sesuatu dikebun atau disawah.

Saat Bimo sampai, kelengkapan anggota persatuan anak-anak ini di rasa sudah sempurna.
Tanpa membuang-buang waktu lagi mereka langsung mulai berangkat jalan kaki tanpa sandal dari gang kedua menuju kebun tebu.

“Ayo budal” (ayo berangkat). Perintah Bimo disertai tangannya sedikit melambai kepada tiga temannya yang masih duduk.
Langkah mereka berempat mulai dengan jalanan dusun yang masih setengah rusak digang kedua.

“To awakmu mlaku nang ngarep ae, soale seng ngerti nggone kan awakmu” (To kamu jalan didepan saja, soalnya yang tau tempatnya kan kamu). Perintah Adi
“Yo Di, tenang ae” (ya Di, tenang saja). Sambung Anto yang mulai berjalan dan mengambil alih diurutan terdepan

Jalan mereka mulai berbaris memanjang kebelakang, dengan Anto sebagi pemandu jalan. Jalanan gang kedua menuju sisi barat telah terleawati.
Keempat bocah ini mulai memasuki kebun bambu (barongan) terlebih dahulu. Tanah liat yang masih lembek bercampur daun kering bambu mereka lewati ketika memasuki areal tersebut.
Kebun bambu yang rimbun sepanjang sepuluh meter mereka lewati dengan kondisi penerangan yang redup dibawahnya padahal masih siang hari, mataharipun juga masih terik dijalanan. Sedikit merinding sebenarnya anak-anak ini saat melewati kebun bambu disisi barat ini.
Saat itu terowongan kebun bambu sudah habis, mereka menemui ada sebuah pintu alami yang terbuat dari pohon bambu, kira-kira pintu itu selebar dua meteran tapi tanpa daun pintu.
Rombongan Anto terus berjalan kebarat melewati pintu itu, disini Anto tetap menjadi yang terdepan. Pasalnya dari mereka berempat hanya Anto saja yang pernah kekebun tebu milik ayahnya. Untuk ketiga temannya ini belum pernah sama sekali main didaerah sisi barat dusun.
Selepas kebun bambu terlewati, mereka berempat melewati pematang sawah selebar satu meter setengah. Disetiap kanan kiri pematang kebun, pohon tebu mulai terlihat mnjulang tinggi dan terhampar kedepan dengan sedikit cahaya yang masuk menerangi pematang kebun.
Plaser plaser yang indah sedikit begoyang diatas pohon tebu menandakan kebun tebu disisi barat dusun sudah menua dan siap panen. Jalanan pematang kebun yang dilalui mereka ditumbuhi rumput pendek menghijau karena jarang dilewati orang-orang dusun.
Anto yang didepan sebagai pemandu semakin pede untuk memperlihatkan kebun milik keluarganya, dan ia tetap berjalan berbaris beriringan melewati pematang sawah lurus kebarat sekitar 300 m.

Baru sejauh pematang itu dilalui mereka tiba dipertigaan kebun.
Tepat ditengah pertigaan mereka berbelok arah ke arah utara mengikuti jalannan pematang kebun yang sudah ada. Dari pertigaan pematang sawah mereka berjalan lurus sekitar kurang lebih 100 M, selesai jarak itu ditempuh barulah mereka berempat sampai didepan kebun tebu milik Anto.
Waktu sampai dikebun Adi yang sudah membawa belati bersiap-siap mau menebas pohon tebu dari samping pematang kebun. Tapi gerak gerik Adi diketahui oleh Anto selaku pemilik kebun, Anto yang sekilas mengetahui gerak tubuh Adi iapun langsung menatap Adi dan spontan berucap...
“Ojok seng pinggir Di, engko aku diamuk emak nek jupuk nang kunu” (Jangan yang pinggir Di, nanti aku dimarahin ibu kalau ambil disitu). Kata Anto keras dengan memandang takut dengan apa yang akan dilakukan Adi.
“Lha terus piye” (lha terus bagaimana). Jawab Adi dengan menghentikan setengah ayunan tangan kanannya.

“Tebune arep dipanen, jupuk neng tengah ae cek ora ketoro” (Tebunya mau dipanen, ambil yang tengah saja biar tidak kentara) Jawab Anto serius
Padahal Anto sendiri juga ijin ke ibunya hanya main kekebun bukan mengambil tebu, dikarenakan juga Anto takut kalau ketahuan orang tuanya jika mengambil tebu dengan membawa banyak teman-temannya.
Memang tebunya Anto waktu itu termasuk tebu idaman anak-anak dusun, didusun itu mereka biasa menyebut dengan tebu 32. Tebu ini ialah tebu idaman anak-anak dusun. Tebu dengan ciri berwarna ungu kehitaman dan pohonnya juga tinggi besar, rasanya juga sangat manis.
Kalau sehabis dikupas tebu ini digigitpun mudah patah alias rapuh.

Sedikit perdebatan diantara anak-anak kecil itu membuat mereka rehat sejenak dipematang kebun. Tak lama kemudian siang itu Anto memutuskan untuk masuk ketengah kebun dan berencana memakan tebu ditengah kebun.
Satu persatu dari keempat anak dusun ini turun, semua turun dari pematang sawah memasuki parit dengan meloncat kebawah.

“Byuk..byukk..byukk” loncatan anak-anak SD ini satu persatu menuruni pematang sawah menuju parit kebun Anto yang masih sedikit berair.
Anto paling depan langsung memulai berjalan dengan kembali memimpin, ia membawa sabit sambil menebas rumput yang tinggi, dan daun tebu yang kering (daduk) diparit sisi tengah kebun tebu yang menghalangi jalan mereka.
Didalam parit cahaya mulai redup meski siang hari, karena rimbunnya tanaman tebu menutupi parit yang sedalam setengah meter. Sedang bau amis dan busuk ikut tercium kuat saat mulai memasuki jalanan parit.
Tapi Mereka tak ada yang perduli dengan bau itu semua, mereka hanya mengganggap hal itu biasa terjadi diareal kebun tebu dusun ini.Mereka berempat tetap berjalan dengan riang menuju tengah kebun.
Dengan tangan ketiga anak dibelakang Anto sesekali memainkan senjata dan ikut menebas daun tebu yang kering. Sejauh sekian puluh meter jalan yang sudah mereka lalui, saat mau sampai ditengah kebun langkah kaki Anto berhenti secara mendadak.
Anto hanya diam tidak bicara sepatah katapun, hanya kedua tangannya yang direntangkan untuk menghalau laju langkah ketiga temannya yang masih dibelakang tubuhnya. Sedang ditangan sebelah kanan Anto juga masih tetap memegang sabit tapi tanpa ada gerakan sama sekali.
Ketiga kepala temannya yang berada dibelakangnya penasaran. Dengan rasa yang pensaran memuncak, ketiga kepala anak-anak dibelakang Anto berebut naik turun, menyamping dan saling mencari celah untuk melihat pemandangan didepan Anto.
Memang siang itu didalam jalanan parit asupan cahayanya meredup dan remang-remang, ketiga teman Anto tetap berebut mencari tahu pemandangan didepan dengan memicingkan mata masing-masing.
Anto yang didepan berhenti mematung, ia ikut memicingkan mata untuk memandangi dengan seksama sosok dihadapannya. Pertama kali ia lihat adalah sebuah mata sebesar nampan bambu yang melayang diatas tanah sekitar satu meter.
Bola mata itu memandang anto dan teman-temannya tanpa balutan kulit dan lentiknya bulu mata. Bola mata ini berwarna kemerahan dengan darah yang sedikit menetes ketanah, tapi darah yang jatuh ini waktu bersentuhan dengan tanah darahnya hilang tak berbekas.
Dibawah bola mata yang melayang ini terdapat dua sosok perempuan duduk berhadapan berambut abu-abu panjang menjuntai ketanah, dengan kulit menghitam berbulu hitam lebat. Keduanya tanpa memakai baju, sehingga payudaranya memanjang sampai ketanah.
Wanita ini bermata merah, bertaring saling terselip keatas dan kebawah. Sedang kedua tangannya yang berpangku diatas lutut, tapi kuku hitamnya memanjang sampai menempel ketanah. Kuku kaki wanita ini juga hitam dan memanjang, sedang baunya yang busuk sangat menyengat hidung.
Awalnya kedua wanita ini yang sebelumnya hanya duduk saling berhadapan, perlahan menoleh kearah keempat anak ini. Tatapan bola diatas dan kedua wanita ini sadar ada tamu yang tak diundang. keempat anak ini juga tidak tahu apa yang mereka lakukan ditengah kebun milik anto ini.
“Mreneo kabeh koen” (kesinilah kalian semua) Ucap kedua wanita yang bertaring dengan suara serak dan berat.

Spontan Anto didepan dan sudah mengetahui cerita hantu ini dari orang tuanya langsung berteriak keras…
“Plolong…plolong…plolong”

Sebutan hantu dengan wujud satu bola mata sebesar nampan didusun setan, hantu yang menjadi penguasa wilayah sisi barat dusun ini. Tepatnya wilayah barat dari kebun bambu sampai kebun tebu milik orang tua Anto.
Keempat anak ini berbalik arah dan mulai berlari, melewati jalanan parit yang cukup dilalui untuk satu orang. Mereka berempat saling berebut keluar kebun dengan berlari saling mendahului satu sama lain karena sudah ketakutan.
Tangan mereka saling tarik menarik benda, baju ataupun tubuh teman mereka yang berada didepan. Hal itu membuat mereka jatuh bergantian didalam parit.

“Byuk… Byuk .... Byuk adoh, Di sikilmu. Awas koen”
(Byuk…Byuk...Byuk aduh, Di kakimu) Teriak Anto seketika jatuh terinjak dan bangkit kembali untuk melanjutkan berlari. Tapi baru melangkah untuk mulai berlari ia terpelset lagi di tebing parit.

“Byuk...”Anto kembali terjatuh dengan tubuh tertelungkup.
Langkah kaki cepat mereka sudah tidak memperdulikan lagi teman-teman sejawatnya yang jatuh, yang mereka pikir hanya untuk menyelamatkan diri masing-masing.

Sekian ratus meter mereka terus berlari menembus rerimbunan kebun tebu untuk menuju kembali ke perempatan dusun.
, tempat sebagai titik awal keberangkatan. Deru nafas dan jantung mereka berpacu dengan cepat dalam pelarian itu serta kaki kecil mereka berlari sekencang-kencangnya.

Baju dan tubuh berlumpur sudah tidak mereka hiraukan lagi,
keringat dan lumpurpun menjadi satu dalam butiran-butiran air asin berwarna kecoklatan yang menetes ke jalanan yang masih berupa tanah lembek.

Senjata anak-anak mulai sabit, belati dan bendo (belati besar) sudah tidak ditangan mereka kembali,
entah hilang kemana mereka pun tak perduli yang penting dalam pikiran mereka hanya berlari dan berlari untuk menyelamatkan diri.

“Hossshhh..hoooossshhh…hosss” Nafas yang terus berhembus cepat oleh ketiga anak-anak yang sudah sampai diperempatan kedua dusun setan.
Badan mereka semua juga ikut gemetar menahan ketakutan.

Mereka bertiga berdiri setengah membungkuk sambil mengatur nafas, dan tangannya masing menahan sakit diperutnya.
“Teko endi ae le? awakmu kok podo rusuh kabeh?” (dari mana saja nak? badanmu kok pada kotor semua). Tanya salah satu warga yang melintas dijalan, dengan memandangi keadaan mereka bertiga.

“Dolen pak lek” (bermain pak lik) Sahut Adi yang masih ngos-ngosan
“Bim Anto endi”(Bim, Anto mana) Tanya Adi sambil memandangi kedua temannya berdiri setengah membungkuk dan melihat kedua tangan temannya masih memegang sakit diperutnya.

“Gak roh Di”( tidak tahu Di). Jawab Bimo dengan nafas yang masih tersengal sengal
“Paling wes langsung moleh arek’e” (Mungkin sudah langsung pulang anaknya).Sambung Sukis meyakinkan kedua temannya

“Yo wes ayo muleh dewe-dewe ae nek ngunu”(Ya sudah ayo pulang sendiri-sendiri saja kalau begitu).Pinta Bimo yang kesal karena tak jadi mendapatkan tebu dan plaser
“Mene ae dolan maneh” (besok saja bermain lagi). Kata Sukis dengan menahan rasa takut dan penasaran akan mainan plaser

“Yo Kis” Jawab Adi dan Bimo serentak yang masih gemetar
Ketiga anak-anak ini berjalan pergi memencar, langkah kaki mereka menuju kerumahnya masing-masing dengan memendam kekecewaan, ketakutan dan gemetarnya seluruh badan mereka yang kurus. Bimo dan kawan-kawannya juga sudah tidak memikirkan lagi tentang keberadaan Anto.
Bimo pulang sendirian penuh ketakutan, dengan kondisi baju dan tubuhnya yang masih belepotan lumpur. Sedang Bimo sendiri disambut ibunya diteras rumah dengan tatapan tajam, seakan mau memakan anaknya hidup-hidup.
“Tekan endi ae, delok’en rupamu wes gak karu-karuan” (dari mana saja, lihatlah kondisi tubuhmu sudah tidak karuan). Bentak ibu Bimo yang duduk diteras, dan spontan marah melihat anaknya pulang dengan keadaan berantakan
“Dolen mak” (main bu). Jawab Bimo dengan menundukkan kepala tapi ia terus berjalan kebelakang rumah

“Wes cepet dang adus, mblakrak ae” (sudah cepat buruan mandi, main saja) Sambung ibu Bimo yang masih marah

“Nggih mak” (ya bu) Jawab singkat Bimo
Keadaan serupa juga dialami oleh Sukis dan Adi waktu pulang kerumahnya, mereka sama – sama dimarahi oleh ibu mereka. Bimo yang selesai membersihkan badan sudah tidak berani keluar rumah lagi, ia hanya berdiam diri dirumah membantu ibunya.
Ingatan Bimo masih terngiang lekat panampakan disiang hari sosok penghuni kebun tebu Anto yg mengerikan. Tapi diam,tak memberitahukan sosok itu kepada orang tuanya.

Sore menjelang malam hari, ibu Anto yg bernama bu Romlah dengan tergopoh-gopoh dan panik mendatangi rumah Bimo.
Tapi sewaktu sampai depan rumah Bu Romlah bertemu dengan bapaknya Bimo terlebih dahulu diteras. Sebut saja bapaknya Bimo dengan pak Harjo

“Pak Anto dolan ten mriki” (pak Anto main disini) Tanya bu Romlah
“Mboten wonten bu, wonten nopo kalian Anto” (Tidak ada bu, ada apa dengan Anto) Jawab Pak Harjo yang penasaran serta memandangi kepanikan bu Romlah
“Sampek sak niki Anto dereng mantuk pak. Wau soale pamite dolan kalian Bimo, Sukis lan Adi” (Sampai sekarang Anto belum pulang pak. Tadi masalahnya pamit main sama Bimo, Sukis dan Adi). Terang bu Romlah mulai panik
“Niki wau nggih saking griyane Sukis kalian Adi tapi ten mriko nggih mboten wonten larene” (ini tadi dari rumah Sukis sama Adi tapi disana ya tidak ada anaknya). Jelas bu Romlah kembali
Pak Harjo dengan cepat memahami dan mencerna kepanikan apa yang dialami ibunya Anto, dengan cepat Pak Harjo mengambil tindakan untuk pergi kedalam rumah untuk bertanya kepada Bimo.

Di ruang tengah, pak Harjo melihat Bimo sedang duduk membantu ibunya mengupas biji jagung.
“Le sampean ngerti Anto nang endi, jare pean mau dolan karo Anto”(Nak kamu tau Anto dimana, katanya kamu tadi main sama Anto). Tanya pak Harjo yang sudah berdiri di ruang tengah.
“Mboten ngerti pak. Nggih, Anto wau dolan kalian kulo ten kebone terus langsung mantuk” (tidak tahu pak, iya, Anto tadi main sama saya di kebunnya terus langsung pulang). Jawab Bimo yang mulai takut serta mengehentikan kegiatan mengupas biji jagung diruang tengah.
“Sampek sak iki Anto durung muleh le” (sampai sekarang anto belum pulang nak). Jawab pak Harjo yang mulai ikut bingung

Pak Harjo kembali keluar menemui Bu Romlah, sedang Bimo yang takut dan ibunya mengikuti pak Harjo dari belakang dengan berjalan menuju teras rumah.
Bu Romlah yang berdiri didepan semakin panik dan cemas sore itu, dengan raut muka semakin tak berarah. Waktu Bu Romlah melihat Bimo sudah berdiri dihadapannya dengan cepat ia berkata...
“Le Anto nang ndi, sampek sak iki arek’e durung muleh” (nak Anto kemana, sampai sekarang anaknya belum pulang). Tanya bu Romlah penuh harap kepada Bimo
“Wau mantun saking kebon tebune terus langsung mantuk bulek” (tadi habis dari kebun tebunya terus langsung pulang bu lik) Jawab Bimo mulai merasa takut akan keberadaan temannya yang masih belum pulang.
“Soko kebon endi? Kebon tebu plolong ta Bim” (dari kebun mana? Kebun tebu plolong ta Bim) Tebak bu Romlah

“Nggih bu” (Ya bu) Jawab lirih Bimo dengan menundukkan kepalanya karena merasa bersalah

“Waduh celoko iki le”(Waduh cilaka ini nak). Celetuk bu Romlah
“Pean lapo dolen mrunu Bim, iku nggone wingit” (kamu kenapa main kesitu Bim, itu tempatnya angker) Sahut Pak Harjo yang merasa ikut bersalah

Bimo hanya menunduk diam tanpa kata, tidak berani menjawab lagi pertanyaan orang tuanya dan bu Romlah.
Mereka semua sedih melihat keadaan disore hari itu, gerak tubuh ibu Anto juga semakin gelisah dengan perasaan tak menentu.

“Pak Har tolong pean ewangi nggolek’i Anto” (Pak Har tolong anda bantuin mencari Anto). Pinta bu Romlah
“Nggih bu, Monggo sareng-sareng dipadosi” (ya bu, ayo dicari) Jawab pak Harjo

Pak Harjo seketika itu pergi dengan Bu Romlah untuk mencari Anto, mereka mulai menanyakan Anto kepada tetangga kanan kiri rumah mereka.
Selanjutnya pak Harjo, bu Romlah juga dibantu tetangga yang lain mencari di areal kebun tebu. Pencarian dengan mengandalkan penerangan obor malam itu belum melihat adanya Anto, hanya bekas telapak kaki anak-anak dipematang sawah dan parit yang terlihat.
Malam itu di pematang kebun tebu bau-bau busuk mulai menyengat, bulu kuduk para warga ikut berdiri semua. Semua warga gang kedua yang mencium bau busuk itu dan merasakan hal yang tidak enak akhirnya malam itu mereka memutuskan untuk kembali pulang.
Sekitar jam sembilan malam mereka yang ikut mencari keberadaan Anto sudah berkumpul dirumah bu Romlah.

Dirumah Anto sendiri malam itu, beberapa tetangga termasuk pak Harjo masih berkumpul dirumah bu Romlah.
Dari Bisik-bisik dari mereka yang berada dirumah bu Romlah, mereka saling mencerna dan bertukar informasi untuk menerka keberadaan Anto malam itu.

Air mata kesedihan bu Romlah juga ikut mengalir beranak pinak di pipinya.
Tak lama kemudian pak Ruslan selaku bapak Anto pulang kerja dengan mengayuh sepeda, ia kaget mendapati rumahnya malam itu sudah ramai.Pak Ruslan sendiri adalah pekerja dipabrik tebu,waktu itu ia pulang malam karena ada salah satu lori kereta pengangkut tebu yang anjlok dari rel.
Sepeda pak Ruslan pun disandarkan dipagar bambu depan rumah, ia berjalan dengan cepatnya menuju teras rumahnya berhias wajah penasaran.

“Enek opo kok podo rame nang kene” (ada apa kok pada ramai disini). Tanya Pak Ruslan kepada warga yang berkerumun diteras rumahnya
“Anto durung muleh pak” (Anto belum pulang pak). Jawab bu Romlah dari tengah kerumunan tetangga diterasnya.

“Durung muleh piye buk maksute?” (belum pulang bagaimana bu maksudnya?). Jawab Pak Ruslan sambil mengusap keringat didahinya.
Dengan sigap Pak Harjo yang mengetahui akan adanya kemarahan dari pak Ruslan, dengan cepat Pak Harjo menggandeng tangan pak Ruslan dan membawanya masuk kedalam rumahnya.
Sampai didalam rumah ia mendudukan Pak Ruslan dan menenangkan perasaanya terlebih dahulu, perlahan pak Harjo yang merasa ikut bersalah menjelasakan kejadian yang menima Anto. Kronologi kejadian dari awal sampai akhir tentang Anto pelan-pelan akhirnya diterima oleh Pak Ruslan.
Wajah sedih mulai memenuhi pak Ruslan, raut wajah lemas, pucat dan kecewa membuat dirinya duduk terdiam sejenak. Pak Ruslan yang terdiam mencoba menerima kenyataan dan berpikir untuk mencari cara untuk menemukan anaknya.
Sementara itu ibu Bimo tiba-tiba datang kerumah Pak Ruslan, ia datang untuk memberitahu suaminya bahwa Bimo sedang dalam kondisi demam yang tinggi dirumah.
“Pak mene isuk tak rewangi golek’i Anto, sementara bengi iki sampean istirahat sek” (Pak besok pagi saya temani mencari Anto, sementara malam ini anda istirahat dahlu). Perintah pak Harjo dengan menatap kepedihan yang dialami pak Ruslan.
“Suwun pak” (terima kasih pak) Jawab singkat pak Ruslan

“Yo pak podo-podo, aku tak muleh ngramut Bimo disek” (Ya pak sama-sama, saya tak pulang merawat Bimo dahulu). Kata pak Harjo sambil berlalu pulang dengan istrinya
Sakit demam ini ternyata dialami oleh Sukis dan Adi juga, malam itu juga badan mereka panas dan mengigil semua. Keluarga mereka malam itu sama-sama mengompres dan menjaga anaknya yang menggeliat kesakitan dan kepanasan.
Saat malam semakin larut, para tetangga yang masih dirumah Anto berangsur-angsur meninggalkan rumah tersebut. Tapi kedua orang tua Anto yang berada dirumah sama-sama tidak bisa tidur, hati mereka gelisah dan terus memikirkan buah hatinya malam itu tiada henti.
Pagi hari berita tentang Anto semakin menyebar dari mulut kemulut, membuat berita tentang hilangnya Anto cepat diketahui seisi warga dusun. Ditahun itu jumlah warga dusun ini berisi sekitar kurang lebih 40 KK,
sedang berita tentang Anto sendiri menjadi perbincangan hangat dipagi hari. Memang sudah menjadi kebiasaan bagi warga dusun jika ada hal baru pasti semua ikut membicarakannya, hal yang lazim bagi mereka khususnya ibu-ibu yang bertemu ditoko saat pagi buta untuk berbelanja.
Pencarian Anto dipagi hari mulai dilakukan kembali oleh bapaknya.

Pagi itu, Pak Ruslan, Pak Harjo, Pak Dimin dan satu tetangganya sudah berkumpul dirumah pak Ruslan. Hari masih pagi sekitar jam tujuh mereka berempat mulai mencari dengan menyisir dari gang kedua dusun setan.
Mereka berempat berjalan perlahan mengamati kanan kiri jalan, tak lupa ia memeriksa pelan-pelan belakang rumah warga gang kedua. Dirasa digang kedua tidak menemukan Anto, pencarian bergeser ke gang ke satu dan gang ketiga.
Tapi lagi-lagi pencarian mereka sampai siang belum membuahkan hasil. Wajah lelah mereka mulai muncul dengan kekecewaan, sejenak mereka kembali pulang untuk makan dan istirahat.
Tapi mereka berempat ini melanjutkan pencarian lagi mulai jam dua sore hingga menjelang malam dengan mengitari ditiap sudut rumah warga kembali.

Hingga senja sudah mulai meredupkan sinarnya Anto belum juga ditemukan, sedang hari mulai malam.
Mereka yang merasakan kenyataan itu akhirnya memutuskan pencarian dihentikan kembali.

Pak Ruslan sendiri sewaktu perjalan pulang ke rumah berencana melanjutkan pencarian kembali sehabis Isya". Karena ia merasa tak terima anaknya hilang begitu saja tanpa kabar dan bekasnya.
Sedang Ruslan sendiri tak tega melihat istrinya dirumah selalu sedih, menangis dan lemas memikirkan Anto.
Malam hari sekitar jam 19.15 WIB, sehabis Isya’ pak Ruslan bersama empat orang tetangga tadi siang mulai mencari Anto kembali,
Kali ini mereka memulai pencarian dengan berjalan ke sisi barat dusun. Lokasinya persis dikebun bambu yang bersebelahan dengan kebun tebu milik Pak Ruslan, wilayah dari kebun bambu yang memanjang kebarat itu sendiri disebut areal/wilayah “Plolong”.
Setibanya mereka di lokasi Plolong, mereka terus berjalan menyusuri kebun bambu dengan membawa obor dan sebuah senter untuk memulai pencarian. Pak Dimin yang saat itu membawa senter tak sengaja sorot cahaya senternya mengenai sosok seekor burung.
Ia melihat burung derkuku yang tidur sendirian didahan bambu yang pendek. Saat melihat burung ini, ia dengan cepat mendatangi rerimbunan dahan pohon bambu. Sementara pak Ruslan dan dua orang lainnya berjalan didepan dengan megendap-endap mengamati setiap pohon bambu.
Pak dimin yang hobynya memelihara burung dengan cepat meraih burung derkuku didahan yang rendah dengan mudah. Sebenarnya burung itu juga agak janggal karena tidur didahan yang rendah dan tidak seperti biasanya, tapi pak Dimin yang dibelakang tidak memperdulikan hal itu semua.
Saat burung sudah digenggaman, bapak ini membawa dengan santai tanpa merasakan apapun tentang keganjilan. Burung ini juga dibawa pak Dimin sambil ikut mencari Anto, meski burung ini hanya digenggam dengan tangannya.
Baru saja semua rombongan ini berhenti sejenak dikebun bambu sisi barat, aroma – aroma anyir dan busuk mulai tercium oleh keempat orang ini. Mereka yang sudah tau tempat ini angker langsung mereka berempat merasakan merindingnya bulu kudu.
Demi keamanan bersama Pak Ruslan memutuskan cepat beralih ketempat lain. Sampai sekian jam pencarian belum membuahkan hasil lagi, mereka juga sudah sekian lama berjalan kaki dan berkeliling lengkungan direrimbunan kebun bambu dusun.
Sampai sekitar jam 11 malam mereka yang sudah lelah memutuskan untuk pulang kerumah masing-masing. Termasuk Pak Dimin juga, malam itu membawa pulang burung yang diperoleh dari Plolong. Tapi semua rekannya tidak ada yang perduli dengan apa yang dibawa pulang oleh pak Dimin.
Pak Ruslan sendiri yang pulang dengan kecewa berencana esok hari menanyakan kepada orang pintar, karena ia sudah mulai putus asa.

Waktu dirumah pak Ruslan dengan istrinya suasana semakin suntuk dan sedih atas kehilangan anaknya.
Sedang malam itu juga Adi, Bimo dan Sukis masih demam, meski pagi harinya sudah dibawa berobat ke Puskesmas.

Pagi hari didusun yang cerah, tapi tak secerah susana hati keluarga pak Ruslan.
Pagi itu pak Ruslan yang masih membersihkan kandang sapi dibelakang, tiba-tiba dikagetkan dengan teriakan suara perempuan yang memanggil manggil didepan rumah . “Pak Ruslan…pak…pak ruslan….” Teriak istri Pak Dimin yang tadi malam ikut membantu melakukan pencarian Anto.
“Yo”….Jawab dari dalam kandang sapi pak Ruslan.

Istri Pak Dimin yang mengetahui sudah ada Jawaban, ia secara perlahan mendudukkan suaminya dikursi kayu teras rumah pak Ruslan.
Setelah mendengar panggilan suara perempuan, Pak Ruslan berjalan cepat kedepan dan membuka pintu ruang tamu, ia melihat temannya yang tadi malam duduk dikursinya dengan tatapan kosong.
“Enek opo yuk isuk-isuk wes mrene, iku Dimin kenek opo?” (ada apa mbak pagi-pagi sudah kesini, itu dimin kena apa?) Tanya pak yang sudah berdiri Ruslan penasaran

Pak Ruslan memandangi pak Dimin duduk dengan tatapan kosong kedepan, seperti orang buta.
“Embuh pak, pas turu mau bengi mas Dimin bengok-bengok. Tapi tangi-tangi nangis sebab motone wes gak iso ndelok maneh”(Enggak tahu pak, sewaktu tidur tadi malam mas Dimin teriak teriak. Tapi bangun-bangun menangis sebab matanya sudah tidak bisa melihat lagi). Jelas Istrinya.
“Kok isok yuk” (kok bisa mbak). Jawab pak Suslan sambil memandangi wajah Dimin terus menerus

“Gak eruh aku pak” (tidak tahu aku pak). Sambung istri pak Dimin yang sedih.

“Tulungi bojoku iki pak”(tolongin suamiku ini pak) Pinta istri pak Dimin lagi dengan sedih
“Iyo yuk” (iya mbak) Jawab singkat pak Ruslan

“Tulungi aku Rus. Mau bengi sak marine gowo manuk Derkuku soko plolong aku diipeni Plolonge. Jarene moto gede iku mekas aku, kongkon cepet balekno manuk’e.
Nek gak gelem aku bakal dipateni, tapi pas aku kuweden nemen terus aku langsung tangi. Tapi motoku wes gak iso delok opo-opo maneh iki. Rasane peteng kabeh neng ngarepanku iki” (Tolongin aku rus, tadi malam sehabis membawa burung derkuku dari plolong aku bermimpi plolonge.
Katanya mata yang besar itu berpesan kepadaku, menyuruh cepat mengembalikan burungnya. Kalau tidak mau, aku bakal dibunuh Rus. Tapi saat aku ketakutan sekali aku langsung bangun, tapi mataku sudah tidak bisa melihat apa-apa lagi ini.
Rasanya gelap semua dihadapanku ini). Jelas pak Dimin yang sedih

“Oh ngono ceritane, Iyo min tenang ae engko tak bantu, . Yo wes maringene ayo dibalekne manuk’e. Terus maringunu mesisan tak golek wong pinter gawe nakokno nggone Anto”
(Oh begitu ceritanya, Iya min tenang saja nanti tak bantu. Ya sudah habis ini ayo dikembalikan burungnya kalau begitu. Terus habis itu sekalian mencari orang pintar buat menanyakan keberadaan Anto). Jawab pak Ruslan sembari menenangkan keluarga pak Dimin.
Pak Ruslan sehabis mendapat info dari istri pak Dimin dengan singkat bergegas kembali masuk kedalam rumah untuk berganti baju, didalam rumah istrinya memang tidak karena baru saja pergi belanja ditoko kelontong/pracangan.
Tanpa pamit kepada sang istri, pak Ruslan pergi mengantar Pak Dimin pulang kerumahnya. Ditengah perjalanan saat melintas dijalanan gang kedua ia melihat pak Harjo.

Pak Harjo pagi itu yang sedang bersiap-siap dengan sepedanya mau berangkat kepabrik gula.
tak sengaja Pak Harjo melihat pak Dimin sedang berjalan dituntun dua orang secara pelan-pelan.

“Kenek opo pak Dimin bu” (kena apa pak dimin bu) tanya pak Harjo yang memandangi mereka bertiga sedang berjalan secara perlahan
“Embuh pak, tangi turu wes gak iso delok bojoku iki” (tidak tahu pak, bangun tidur sudah tidak bisa melihat suamiku ini). Jawab Istri Pak Dimin dengan nada sedih dan memegangi suaminya berjalan pelan
“Pak Har maringene iso jaluk tolong ngewangi aku” (Pak Har habis ini bisa minta tolong bantu saya). Tanya cepat pak Ruslan kepada Pak Harjo yang membantu Dimin berjalan, karena pak Ruslan sendiri merasa takut kalau ke Plolong sendirian meski hari sudah pagi.
“Lapo pak” (kenapa pak). Sambung pak Harjo

“Nang plolong, balekno manuk. Maringunu mesisan nang mbah Suro” (ke plolong, mengembalikan burung. Habis itu sekalian ke mbah Suro). Jawab pak Ruslan dengan tegas
“Tapi Pak aku ape kerjo neng pabrik” (Tapi pak aku mau ke pabrik). Jawab Pak Harjo yang memelas

“Gak usah pak Har ngewangi aku sek ae, mengko tak kandanane mandormu” (tidak usah Pak Har, bantu aku dulu saja, nanti tak bilangi mandormu).
Jawab pak Ruslan yang meyakinkan anak buah temannya.

“Yo wes nek ngunu pak. Benderan ambi golek tombone Bimo” (Ya sudah kalau begitu pak. Kebetulan, sama mencari obatnya Bimo). Sahut pak Harjo mulai lega akan permintaan pak Ruslan
“Lo Bimo jek loro ta pak Har?” (lo Bimo masih sakit ta pak Har). Tanya pak Ruslan yang penasaran

“Isek pak” (masih pak). Jawabnya Pak Harjo singkat

“Yo wes ayo budal” (Ya sudah ayo berangkat). Kata pak Ruslan
“Ya pak” Jawab pak Harjo dengan berjalan cepat langsung menuju mereka bertiga yang sedang berjalan didepan rumahnya

Dipagi buta itu pak Harjo langsung ikut bergabung mengantar pak Dimin pulang kerumah, sampai dirumah pak Dimin dibaringkan dididalam kamar.
Memang rumah pak Dimin kala itu banyak sangkar burung, sangkarnya semua terbuat dari jeruji bambu. Untuk burung-burung yang mengisi sangkarnya mulai dari burung cendet, jambul, puter, dederuk, Prenjak, trucuk, kutilang, jalak sampai dengan burung elang pun ada.
Didepan rumahnya saja kurungan/kandang khusus untuk ayam alas (hutan) berjumlah dua buah lengkap dengan penghuninya yang sepasang, itupun semua untuk dijadikan bekisar/dikawinkan dengan ayam bangkok. Memang itulah hoby Pak Dimin yang dijadikan mata pencaharian waktu itu.
Pak Harjo yang barusan merebahkan tubuh pak Dimin, ia memandangi kondisi kamarnya. Pemandangan kamar tidur ditiap sudut tidak ada yang janggal, hanya bau yang kurang sedap yang sedikit menyengat hidung.Mungkin bau burung yang terlampau banyak juga yang berada dirumah pak Dimin.
Sedang pak Ruslan yang berada didepan rumah mendekati satu persatu koleksi burung pak Dimin, ia mengamati koleksi burung pak Dimin yang cukup banyak. “buk manuk’e seng oleh soko plolong wingi endi” (Buk burungnya yang didapat dari Plolong kemarin mana).
Tanya pak Ruslan sambil mengamati jenis burung derkuku yang sudah didepannya

Istri pak Dimin yang mendengar suara dari teras langsung keluar dan berhenti didepan pintu. “iku pak nang kurungan cet ireng, ngarep sampean iku”(itu pak dikurungan cat hitam, depan anda itu).
Kata istri pak Dimin dengan menunjukkan burung yang berada dikurungan warna hitam.

“Oh iki manuk’e. ya wes langsung tak Jupuk’e yo” (oh ini burungnya. Ya sudah langsung tak ambil ya). Sahut Pak Ruslan. “Yo pak suwun” (Ya pak terima kasih). Sambungnya istri pak Dimin.
Pak Ruslan langsung membuka pintu kurungan burung berjeruji bambu tersebut dengan hati hati, ia menangkap dan menggegam burung itu secara perlahan serta mengeluarkannya dari sangkarnya.
Saat burung sudah ditangan ia mengamati dengan seksama “mosok manuk ngene ae nggawe wong gak iso delok” (masak burung begini saja membuat orang tidak bisa melihat) celetuknya lirih.

“Pak Har ayo budal” (Pak Har ayo berangkat). Pinta pak Ruslan dari teras rumah
Tanpa menjawab, pak Harjo yang berada didalam kamar langsung bergegas keluar dan memulai perjalanan untuk mengembalikan burung itu di Plolong. Sampai ditengah kebun bambu Plolong, pak Ruslan melepas burung itu dengan melemparnya keatas.
Burung itupun terbang diremangnya dalam rerimbunan kebun bambu. Lama kelamaan burung itu menghilang dengan sendirinya, termakan cahaya yang redup dan keangkeran kebun bambu plolong. Sedang pak Harjo dan pak Ruslan yang melihat itu, langsung ikut merinding.
“Ayo pak cepet ngaleh soko kene” (ayo pak pindah dari sini) pinta pak Ruslan yang mulai menyeret tangan pak Harjo untuk pergi dari Plolong.
Mereka pun pergi dengan cepat meninggalkan lokasi, selepas berjalan dari plolong mereka langsung pulang untuk mengambil sepeda dirumah pak Ruslan, perjalanan pak Ruslan ke kecamatan sebelah mencari pencerahan akan masalah Anto, Bimo dan pak Dimin dimulai.
Perjalanan mereka tempuh dijalan masih beralas tanah agak lembek, jadi kalau boncengan agak susah juga. Kadang kala ban mereka masuk kedalam tanah liat yang masih menghisap kuat dijalanan waktu itu. beberapa kali mereka harus turun untuk mengindari beratnya medan.
Dari desa kedesa mereka lewati sampai akhirnya mereka melihat rumah mbah Suro, orang pintar dan juga guru spriritual pak Ruslan. Rumah dari papan kayu dengan dua jendela kanan kiri depannya, pintu model kupu tarung sederhana yang terbuat dari papan kayu jati.
serta halaman depan rumah mbah suro yang luas terbentang sampai jalanan.

Dari pagar bambu depan rumah mbah Suro mereka berdua sudah turun dari sepeda, pak Ruslan menuntunnya sampai tepat didepan pintu masuk rumah mbah Suro.
Setelah memarkirkan sepedanya ia langsung jalan dan berdiri didepan pintu ruang tamu mbah Suro. Sedang pak Harjo mengikuti Pak Ruslan dari belakang.

“Tookk…took…toookk” kulo nuwun …mbah…mbahhhh

“Kreteeekkk” suara pintu kayu ruang tengah mbah Suro yang mulai terbuka
Dari pintu ruang tengah nampak seorang kakek keluar dengan memakai kopyah putih bundar melingkar, dengan baju lengan Panjang yang tidak dikancingkan serta memakai sarung warna gelap. ia berkulit cokelat matang yang sudah keriput.
“Oohhh awakmu Rus, melbuo kene” (Ohhh kamu Rus, masuk sini). Pinta mbah Suro yang berjalan dari pintu ruang tengah seakan sudah tahu akan kedatangan pak Ruslan

“Nggih mbah” (Ya mbah) Jawab Pak Ruslan yang langsung menuju kursi diruang tamu
“Wes tak enteni awakmu ket wingi gak mrene-mrene” (Sudah tak tunggu kamu, dari kemarin tidak kesini-kesini). Kata mbah Suro yang agak kesal, serta mulai duduk dikursi ruang tamunya
“Nggih mbah ngapunten, kolo wingi tasek madosi Anto” (Ya mbah maaf, kemarin masih mencari Anto). Jawab pak Ruslan yang mulai duduk dihadapan Mbah Suro Bersama pak Harjo.
“he..he..heee, La yo iku masalahe. Aku wes eruh nek anakmu nek ilang, koncoe anakmu yo podo loro kabeh. Terus ewangmu yo picek matane pisan to?. Kaet wingi aku wes ngenteni awakmu Rus” (hee...hee..hee...lha ya itu masalahnya.
Aku sudah tahu anakmu kalau hilang, temannya anakmu lagi sakit semua. Terus temanmu ya buta matanya sekalian kan? dari kemarin aku sudah menunggu kamu Rus). Jawab mbah Suro dengan tatapan tajam, dan meraih rokok pateknya disaku.
Wajah pak Ruslan dan pak Harjo saling perpandangan tak percaya kalau masalah ini sudah diketahui oleh mbah Suro secara lengkap, guru spiritual pak Ruslan memang tak bisa dipandang remeh waktu itu. Mereka berdua kembali menatap mbah Suro dengan penuh harapan
“Terus pripun nggih mbah, ngatasi masalah niki sedanten. Kulo pun bingung pun madosi ten pundi-pundi dereng ketemu yugo kulo” (Terus bagaimana ya mbah, menyelesaikan masalah ini semua. Saya sudah bingung mencari kemana-mana belum ketemu anak saya). Tanya pak Ruslan
“Wes maringene mulio disek, mene isuk bancak ono ndek nggone rondo kuning” (sudah habis ini pulanglah dahulu, besok pagi kamu bancakkan ditempat rondo kuning). Perintah mbah Suro
FYI. Rondo kuning adalah sebutan untuk Sumur tua yang berada disebelah barat wilayah plolong, hanya pematang kebun sebagai pembatasnya. sumur ini terkenal didusun dengan julukan rondo kuning karena kecantikan para penguninya yang tak kasat mata,
mereka juga sering menyerupai wanita dusun jika ada yang dari sumur tersebut. sumur ini berhubungan erat kaitannya dengan plolong.

“Terus yugo kulo pripun mbah, kalian Pak Dimin” (Terus anak saya bagaimana mbah, sama pak Dimin). Tanya pak Harjo yang ingin anaknya cepat sembuh
“Iki nek gawe anakmu Har wes tak siapno, entenono diluk nang kene” (ini kalau buat anakmu Har, tunggu sebentar disini). Jawab mbah Suro yang bangkit dari duduknya dan masuk kedalam rumah.
Tak lama kemudian mbah Suro keluar kembali membawa sebuah benda yang terbungkus kain putih, kain itu membentuk seperti melilit sebuah kendi. Dengan langkah sedikit tertatih Ia meletakkan benda itu diatas meja.
“Iki Har ombekno anakmu, laburno kabeh sak kujur awak’e. kanca-kancane seng jek panas gemeono pisan” (ini Har minumkan ke anak kamu, oleskan semua sekujur tubuhnya. Teman-temannya yang masih panas kasih juga). Perintah mbah Suro yang serius.
“Nggih mbah maturnuwun, ingkang pak Dimin pripun mbah” (ya mbah, terima kasih) sahut pak Harjo

“Dimin sodok abot Har, soale njupuk ingon-ingone plolong. Meski wes kok balekno manuk’e. iku diurus keri ae” (dimin agak berat Har, soale mengambil peliharaan Plolong.
Meski sudah kamu kembalikan burungnya. Itu diurus belakangan saja). Terang mbah Suro

“Nggih pun mbah kulo wangsul riyen nek ngonten” (Ya sudah mbah saya pulang dulu kalau begitu). Pamit pak Ruslan dan pak Harjo
“Yo wes ndang muleh sek, mene isuk tak ujubne bancaane nang rondo kuning” (Ya sudah cepat pulang dulu, besok pagi aku yang mendoakan bancakannya di rondo kuning). Jawab mbah Suro
Mereka berdua langsung pulang sehabis mendapat arahan dan obat dari mbah Suro,perasaan senang Pak Harjo dan pak Ruslan terbawa sampai rumah. Pak Ruslan mengatar Pak Harjo terlebih dahulu kerumahnya sebelum pulang.Sampai dirumah pak Harjo langsung memberikan air itu kepada Bimo,
dan mengoleskan air itu dengan tangannya keseluruh tubuh Bimo. Sedang pak Ruslan dirumah memberitahukan kepada istrinya tentang perihal yang harus disiapkan untuk esok hari. Setelah memahami informasi dari suaminya Bu Romlah bergegas saat itu juga untuk ke toko kelontong,
bu Romlah membeli semua perlengkapan untuk bancakan besok. Hari semakin beranjak, tak lupa pak Harjo setelah memberi Bimo air itu perlahan panasnya mulai turun dan sembuh seketika.
Mengetahui hal ini Pak Harjo langsung pergi dan memberikan air itu kepada teman-teman Bimo yang masih sakit. Malam itu pun berlalu dengan sedikit Bahagia untuk teman-teman Anto karena kesembuhan mereka semua.
Pagi hari, langit dusun beratap gumpalan sedikit mendung abu-abu yang meliuk berserakan menutupi mentari, mbah Suro yang terbiasa jalan kaki pagi itu berjalan dengan tergesa-gesa menuju rumah pak Ruslan. Sampai dirumah Pak Ruslan, Mbah Suro disambut senyum ceria olehnya.
Pak Ruslan segera mengajaknya duduk dan berbincang sejenak khususnya tentang tata cara ritual di rondo kuning yang akan dijalankan, dengan mencerna keterangan secara singkat dan memahami apa yang sudah disampaikan mbah Suro.
pagi itu mereka memutuskan langsung beranjak pergi ke areal rondo kuning.

Saat itu juga para tetangga dan sebagian warga dusun sudah siap didepan rumah Pak Ruslan, dirasa sudah siap mereka mulai berjalan membawa banyak nampan dan jajanan pasar dengan bantuan para tetangga.
Sebagian tetangga dan warga yang ikut berjalan berbaris dibelakang mbah Suro.

Pagi itu mereka berjalan beriringan melewati pematang kebun sekitar dua puluh orang. Pematang kebun pagi itu masih basah oleh embun tapi kaki mereka tetap melangkah diatas tanah lembek dan basah,
Waktu sudah sampai dilokasi rondo kuning semua jajanan pasar, dan tumpeng yang begitu banyak ditaruh disamping sumur dengan posisi melingkar. Begitu juga dengan warga yang ikut, mereka langsung duduk berjongkok mengitari makanan dan jajanan yang telah disediakan.
Acara pun dimulai, mereka yang hadir mengangkat kedua tangannya. Semua yang hadir mengamini doa berbahasa jawa yang dilantunkan oleh mbah Suro. Selesai berdo’a, mereka serentak mengucap “Amin yarobbal alamin” Kabul kajate (terkabul hajatnya).
Serentak pula telapak tangan mereka mengusap wajah masing-masing, menandakan rasa syukur akan rizki yang mereka terima.

Pagi itu, semua yg hadir langsung memakan sajian yang sudah didoakan.
mereka mengambil sendiri-sendiri nasi dan lauk dari nampan dan menaruh ke daun pisang yang sudah disediakan. Sambil memakan hidangan mereka mengiringi dengan canda tawa dan keceriaan, mereka rata-rata berbincang berharap Anto cepat ditemukan.
Selesai makan-makan, sebagian orang juga membungkus tumpengnya dengan daun pisang, saat itu juga mbah Suro berpesan dan minta tolong kepada yang telah hadir dilokasi rondo kuning.
“Pak mangke mantun ashar kulo nyuwun tolong, sedanten ingkang mantun tumut kenduren ten mriki mbeto alat tabuhan sak wontene, dibeto ten mriki sareng kale kulo. Mangke ditabuh bareng-bareng mugi Anto saget medal maleh”
(pak nanti habis ashar saya minta semua membawa alat dapur seadanya, dibawa kemari (rondo kuning) bareng sama saya. nanti ditabuh sama-sama semoga Anto bisa keluar lagi”

“Nggih mbah” (ya mbah). Jawab serentak jamaah yang hadir dengan riuh
Perlahan satu persatu orang – orang yang hadir berangsur angsur pulang, tinggallah pak Ruslan dan Mbah Suro berdua diareal rondo kuning. Mereka tetap duduk menghadap sumur peninggalan jaman kerajaan itu.
Mbah Suro kali ini mulai berdiam dengan posisi seperti bersemedi menghadap sumur.

“Sek entenono Rus neng pinggirku, aku tak pamit karo mbok rondo ben mengko diewangi”(sebentar tunggui Rus disebelahku,
aku pamit sama mbok rondo biar nanti bisa dibantu.)
Perintah mbah Suro sambil mulai memejamkan matanya.

“Nggih mbah” (ya mbah).

Pak Ruslan menururti apa yang diperintahkan oleh mbah suro, ia tetap disebelahnya duduk dengan tenang.
Suasana hening diareal itu menambah konsentrasi mbah Suro untuk bernegosiasai dengan penunggu Sumur bekas kerajaan. Untungnya di sumur rondo kuning terkenal dengan penghuni jin yang baik dan cantik-cantik, tapi disisi areal plolong penghuninya terkenal bengis dan usil.
Sementara mbah Suro masih terdiam dalam semdinya, bau wewangian dupa,melati dan bunga kenanga mulai bermunculan disekeliling sumur tua itu.Pak Ruslan hanya diam dan menghisap dalam-dalam wewangian dari mahluk penghuni sumur tua itu. karena ia tidak melihat wujud penghuni sumur.
Lokasi yang tadinya lembab kini mulai tergeser oleh angin semilir mulai mengusik mereka duduk berdua, angin itupun ikut menggoyangkan dedaunan tebu disekelilingnya. Seketika angin terus berhembus dengan segarnya mata mbah Suro saat itu juga itu mulai terbuka.
“Wes Rus, engko sore mrene maneh. Sementara iki ayo ngaso disek nang omahmu” (sudah rus, nanti sore kesini lagi. Sementara ini ayo istirahat dulu dirumahmu) Pinta mbah Suro yang mulai berdiri didepan sumur

“Nggih mbah monggo” (ya mbah silahkan). Jawab singkat pak Ruslan
Sebelum beranjak pulang, pak Ruslan membereskan wadah yang dijadikan tumpeng terlebih dahulu. Ia menata dengan rapi sehingga memudahkan saat dibawa pulang. Sekitar jam Sembilan mereka mulai berjalan diatas pematang kebun yang masih lembek menuju rumah pak Ruslan.
Sesampainya dirumah, mbah Suro hanya duduk besila. Ia diam dan memejamkan mata diruang tamu pak Ruslan sendirian, dengan cara kebiasaan seperti inilah mbah Suro dikatakan beristirahat.
Sedangkan pak Ruslan sendiri kebelakang membersihkan kandang sapinya, dan memberikan makan kepada hewan ternaknya.

Waktu terus berputar hingga tak terasa sore hari pun menjelang, sehabis shalat ashar sebagian warga dusun telah berkumpul dihalaman rumah pak Ruslan.
Mereka yang hadir adalah jamaah tadi pagi yang ikut bancakan di rondo kuning. Mereka semua membawa alat yang bisa ditabuh, mulai kentongan, kaleng biskuit, wajan, dandang, panci dan lain sebagainya.
Setelah dirasa siap mbah Suro memberi arahan, sebagian warga disuruh untuk menabuh disisi timur kebun bambu plolong. Sebagian warga diajak mbah Suro keareal Rondo kuning yang langsung bersebelahan dengan wilayah Plolong sisi barat.
Hal itu dilakukan Karena kekhawatiran mbah Suro dengan keluarnya Anto yang belum bisa dipredisksi, entah dari gerbang sisi timur atau gerbang sisi barat.

Sore itu warga dusun berjalan ramai-ramai dengan dua kelompok warga menuju lokasi yang sudah ditentukan,
dengan rasa gotong royong tanpa beban dan rasa kekeluargaan yang masih tinggi, mereka merasa sangat senang bisa membantu tetangganya yang sedang kesusahan.
Sore itu saat semua warga sudah berada dilokasi masing -masing, tabuhan dengan tangan kosong dan kayu seadanya mereka mulai. Suara dengan irama ngawur dan nada ala kadarnya mulai bergema disisi barat dan sisi timur plolong saling bersahutan.
semakin sore semakin riuh suara yang dikumandangkan oleh warga

-Sedang kejadian yang dialami Anto sendiri-

Seingat Anto waktu terjatuh di parit kebun tebu, ia merasa hening saat masih tertelungkup diatas lumpur dalam parit. Tapi sewaktu ia mulai bangun dan duduk,
Anto merasa sudah berada di rumahnya sendiri. Anehnya waktu dia bangun tidak ada bekas air, daun tebu dan lumpur sedikitpun dibajunya ataupun ditubuhnya. Waktu itu ia seolah-olah sudah berada di sekitar rumahnya sendiri.
Tepatnya Anto merasa sudah berada di depan teras rumahnya sendiri, ia duduk termenung kebingungan sambil mengingat kejadian yang ia alami. “Kok aku wes nang omah ya” (kok aku sudah dirumah ya) gumamnya lirih.
Saat kebingungan ia sedang menggaruk kepala untuk meyakinkan keadaannya saat itu, dalam suasana masih kebingungan itu sosok seperti ibunya berjalan keluar dari rumah.

“Le ayo mangan disek iki wes tak gawekno mie” (nak ayo makan dahulu). Pinta sosok ibunya
“Nggeh buk” (ya buk). Jawab Anto yang mulai berdiri dan berjalan menuju dalam rumah.

Saat itu juga Anto tidak berpikir apapun, ia hanya berjalan masuk kedalam rumah mengikuti ibunya dari belakang.
Ia melihat mie goreng yang sudah tersedia di meja dapur, Anto hanya diam memandangi sajian mie instan itu.

“Dungaren ibuk gawekno aku mie, ngipi opo ibuk iki mau bengi” (tumben ibuk buatkan aku mie, mimpi apa ibu ini semalam)
celetuk Anto yang masih terdiam mematung memandangi mie tersebut.

“Dang di pangan le mumpung jek anget” (lekas dimakan Nak mumpung masih hangat) teriak ibunya dari dapur belakang.

Anto sendiri yang sudah lapar langsung memakan mie tersebut dengan lahap dimeja makan,
karena Anto sendiri saat berangkat tadi juga belum makan siang di rumahnya. Ia juga takut kalau tidak menuruti perintah ibunya, pastinya seharian Anto akan menerima kemurkaan dari ibunya.
Saat Anto baru selesai makan dan mau minum tiba - tiba ada suara pintu terketuk didepan rumah…

“Tok…tok…tok…kulo nuwun…” Suara ibu-ibu dari depan

“Nggih sekedap” (ya sebentar)…Jawab Anto yang berlari menuju pintu depan
Sesampainya Anto dipintu depan dia melihat ibunya bimo, ibunya adi dan ibunya sukes.

Mereka bertiga sedang berdiri dengan melempar senyuman kepada Anto, sebenarnya anto juga heran tidak seperti biasanya mereka datang bersamaan kerumah Anto.
“Ohh bulik madosi sinten”(Oh bulik, mencari siapa) Tanya Anto polos

“Ibukmu enek to”(ibuk kamu ada to). Tanya ibunya Sukis

“Wonten…sekedap, jenengan tenggo riyen” (ada sebentar, anda tunggu dulu). Jawab Anto

Anto langsung mencari ibunya, ternyata ibunya masih tetap didapur.
Anto saat itu juga memberitunya kalau ada tamu tiga yang menunggu didepan, saat itu juga sosok bu Romlah keluar dari dapur dan menemui ibuk ibuk tersebut didepan. Mereka duduk diteras mulai mengobrol,
dan Anto sendiri yang sempat melihatnya tidak mendengar apa yang di perbincangkan ibuk ibuk tersebut. Anto sendiri mulai bermain sendirian diruang tamu, sekilas sambil mengamati ibunya yang di depan rumah.
Saat itu Anto mulai bermain tanah liat yang sudah berada di depannya, mainan tanah liat itu dibentuk dengan berbagai macam mulai mobil-mobilan, patung hewan dan permainan anak laki-laki lainnya.
Waktu terus berjalan Anto semakin asyik bermain dan tak memperdulikan lagi mereka yang didepan. Sampai beberapa puluh menit tiba - tiba ada suara-suara tabuhan yang berasal dari arah belakang rumah dan sebrang jalan depan rumah.
Suara tabuhan itu semakin lama semakin mengeras dan mendekatinya disertai suara suara yang memanggil namanya...Anto…Anto...Anto!!!

Anto yang sedang duduk bermain sejenak berhenti, ia mendengarkan suara-suara itu dengan seksama.
Lama-kelamaan Antopun mulai penasaran karena suara-suara itu seperti suara para tetangganya, ia pun mulai berdiri dan melangkahkan kaki keluar. Saat berjalan mencari asal suara itu, langkah kakinya terhenti di teras rumahnya.
Tangan kanan Anto langsung di sambar ibunya dengan cepat dan di peluk dengan tangan kanannya. Dalam pelukan ibunya ia tetap mendengar suara tabuhan dan teriakan orang - orang yang memanggilnya semakin mengeras.
Tak sengaja kepalanya mendongak ke atas, ia kaget melihat ibunya berubah menjadi sosok perempuan berbulu lebat persis seperti yang ia temukan di kebun tebu.“So..soo..po koen…hiii..tolonggg” (siapa kamu …hiiii..toloongg). Kata Anto dengan menjerit histeris
dan seluruh tubuhnya mulai bergetar hebat. Sedang kedua tangannya meronta-ronta berusaha untuk melepaskan diri dari pelukan sosok wanita yang menyeramkan itu.

Suaranya Anto sendiri semakin mengeras waktu meminta tolong meski tangisannya semakin kencang.
Semakin ia teriak semakin kuat pegangan sosok wanita berbulu ini. Sekilas ia juga sempat melihat ketiga ibu temannya ini juga berubah menjadi sosok wanita yng sama persis dengan wanita yang mendekapnya dengan erat.
Hal yang mengejutkan ini dengan cepat membuat Anto pingsan dipelukan sosok wanita itu. Selain ketakutan yang sudah menjadi-jadi Anto pingsan juga dikarenakan bau dari sosok keempat wanita ini menjadi sangat busuk.
-Yang dialami warga dusun Plolong sore hari-

Sore hari menjelang maghrib warga dusun masih beramai ramai memukul peralatan dapur di kebun sebelah barat Plolong, kegiatan yang di pimpin mbah Suro semakin agresif sore itu.
Teriakan suara menyebut nama Anto sahut menyahut tak pernah berhenti dan suara tabuhan dari alat alat dapur semakin lama semakin di keraskan. Saat hari semakin gelap bulu kuduk semua warga yang ikut mulai merinding semua, mereka mulai diselimuti rasa ketakutan.
“Mbah ayok moleh, wedi aku” (mbah ayo pulang takut aku) Kata salah seorang warga yang berdiri dipematang kebu bersama warga yang lain. “Sek, terusno nabuhe. Diluk engkas podo mudal demite plolong” (sebentar teruskan nabuhnya.
Sebentar lagi pada keluar hantunya plolong). Jawab Mbah Suro dengan tegas untuk menahan warga yang mau kabur.

Setelah itu warga yang berada di pematang kebun areal sisi barat plolong melihat dengan samar-samar sosok empat wanita berambut panjang.
Mereka semua keluar dari celah - celah pohon tebu. Wanita-wanita ini mulai menari-nari keasyikan, berjoged tanpa menghiraukan sekelilingnya dan orang-orang dipematang kebun yang berada jauh didepannya.
Mereka berjajar memanjang saat berjoged dengan berjalan pelan mendekati warga dipematang kebun, gerak tubuhnya seperti orang lagi mabuk-mabukan, tangan dan kakinya saling bergerak leluasa menembus daun bambu ditengah kebun tebu yang rimbun.
Semakin lama semakin mendekat para wanita ini kepada rombongan para penabuh. “Mbah piye iki”(mbah gimana ini). Kata warga yang sudah gemetar ketakutan dan bersiap lari.

“Ngalio nang ngguriku kabeh”.
(pindahlah kebelakangku semua). Dengan rasa ketakutan yang sudah menjalar diubun-ubun semua warga bergeser dibelakang mbah Suro, mereka sendiri kebanyakan menunduk tidak mau melihat sosok dari dalam kebun bambu.
Mbah Suro sendiri masih berdiri membungkuk mengamati akan kemunculan Anto dari dalam kebun tebu, ia juga memberi aba-aba mantra ke arah sumur rondo kuning.

Demikian juga saat itu,“Plolong” hantu dengan wujud bola mata satu satu persatu mulai muncul dari dalam keremangan cahaya
kebun tebu, kali ini sosok mata sebesar nampan itu jumlahnya banyak. Mata-mata itu mulai bermunculan diremang cahaya dibelakang wanita yang menyeramkan, plolong yang berdarah itu juga muncul di setiap parit kebun tebu dengan melayang secara perlahan.
Dibelakang wanita yang paling depan dengan wujud menyeramkan ini, munculah sosok Anto dari semak semak di bawah pohon tebu. Saat mengetahui hal ini mbah Suro yang sudah menunggu ia langsung berlari merebut Anto, mbah Suro berlari tanpa takut melewati setan wanita yang menari.
Saat didepan Anto, mbah Suro melihat sosok anak-anak ini sudah terkulai lemas tak berdaya dan tak sadarkan diri. Ia sudah duduk di tengah semak semak bawah pohon tebu dengan kondisi yang mengkhawatirkan.
Saat itu juga mbah Suro langsung memanggulnya dan membawanya lari dari area sisi barat Plolong melewati pematang kebun. Saat warga tau mbah Suro sudah menyelamatkan Anto, Warga dusun mengikuti Mbah Suro lari tetap dibelakangnya.
Mereka semua berlari dengan cepat, karena sosok semua penghuni plolong mengikuti mereka dari belakang melayang perlahan dan masih berjoget. Sewaktu rombongan mbah suro sudah melewati kebun bambu suara tabuhan dari warga dihentikan.
Seketika itu sosok wanita-wanita yang mengerikan dan Plolong mengetahui tabuhan itu menghilang, para penghuni plolong yang tadinya berjoged mengikuti dari belakang sontak tersadar. Mereka saling bertatap satu sama lain, menyadari Anto telah lenyap dari genggaman mereka.
Semua penghuni plolong yang marah langsung mengejar dengan cepat warga dari belakang tapi usaha para penunggu plolong terhenti disisi barat sebelum pintu masuk kebun bambu. Mereka semua dihentikan oleh dua sosok wanita cantik dari sumur rondo kuning,
Penghuni sumur yang seringkali membantu warga dusun.

“Wes cukup ayo balik nang alame dewe-dewe, gak usah nguber maneh” (sudah cukup ayo kembali ke alamnya masing-masing, tidak perlu mengejar lagi). Kata sosok wanita yang cantik jelita memakai gaun kebaya,
dengan rambut panjang hitam terurai sepinggang dan selendang berwarna kuning yang disampirkan dilehernya.

Dengan muka masam, dan memendam kemarahan para mahluk itu kembali ke areal plolong lagi. Mereka bukannya takut sama penghuni rondo kuning.
Tapi mereka sendiri sudah terikat perjanjian antara penghuni sumur kerajaan, dengan plolong untuk tidak saling berperang lagi. Dulu rumornya di dusun ini, Jikalau perjanjian dilanggar para penghuni rondo kuning akan mengusir selamanya penghuni plolong dari rumahnya.
Sedang warga yang berada disisi timur kebun bambu mereka masih asik bermain alat tabuh, tapi lama kelamaan mereka semua juga ikut ketakutan. “Whoi banaspatine metu itu, ayo mlayu”
(whoi kemamange/banaspatinya keluar itu. ayo lari) ucap salah satu warga yang melihat dan menunjukkan sosok banaspati itu kepada warga lain. Mata Mereka semua saat itu juga melihat bola api (kemamang/ banaspati) mulai bermunculan dari celah celah pohon bambu.
Jumlah banaspatinya juga sangat banyak , jadi sebelumnya kebun bambu yang sudah gelap berubah menjadi terlihat sangat terang.

Mereka semua yg melihat langsung menghentikan tabuhannya dan lari dari sisi timur plolong.
Kebetulan mereka seketika itu juga melihat mbah Suro berlari bersama rombongannya lewat dari samping warga disisi timurnya, “cepet mlayu” (cepat lari). Perintah warga yang berada disisi timur dusun. "ayo tutno aku" (ayo ikuti aku) pinta mbah suro yg sambil berlari
"nggih mbah" jawab warga dengan serentak dan ikut berlari. mereka semua dengan cepat berlari dibelakang mbah Suro.

Banaspati sangat banyak itu, mereka terbang melayang mengikuti warga dusun. Tapi kejaran banaspati ini juga terhenti,
mereka semua dihentikan oleh sosok wanita penghuni rondo kuning yang sudah berada didepannya.

Banaspati yang belum sempat meninggalkan wilayah plolong, mereka disuruh kembali lagi kedaerahnya oleh sosok wanita berbusana kerajaan ini.
Sosok yang mirip dengan wanita yang menghalau penghuni Plolong disisi barat.

"Mbalik'o kabeh koen koyok ewangmu liyane" (kembalilah semua kalian, seperti temanmu yang lain) bentak wanita penghuni rondo kuning.
Sedangkan rombongan warga dusun langsung ikut berlari cepat bersama mbah Suro, apalagi mbah Suro sebagai pemimpin ritual. Sore itu mbah suro tetap memimpin rombongan warga untuk kembali pulang kedusun.
Seketika sampai rumah pak Ruslan, Anto langsung dibaringkan di ruang tamu oleh mbah Suro. Ibu anto yang mendengar keramaian didepan rumahnya, ia langsung berlari dari ruang tengah.
Saat melintas ruang tamu, Bu Romlah melihat anaknya sudah terbaring di ruang tamu. dengan perasaan sedih ia langsung memeluk histeris anaknya yang masih terbaring tak sadarkan diri diranjang bambu.
Mbah Suro sendiri yang masih berdiri disampingnya dengan pak Ruslan hanya mengamati keadaan Anto.

“Buk jupukno banyu putih sak gelas”(buk ambilkan air putih satu gelas). Pinta mbah Suro

“Enggeh mbah sekedap” (iya mbah sebentar) Jawab bu Romlah.
Bu Romlah sendiri langsung menuruti apa yang diperintahkan oleh mbah Suro, sesaat kemudian ia sudah membawakan segelas air dari dalam rumah. Air yang sudah ditangan bu Romlah langsung diberikan kepada mbah Suro.
Tangan mbah suro yang masih cekatan langsung meraihnya dan membacakan air itu dengan mantra andalannya. Sekian detik mbah Suro meminumkan air itu kepada Anto yang masih terbaring belum sadar. belum sampai air itu masuk ketenggorokan Anto sudah tersedak.
"uhuk...uhukkk..uhukkk"

Anto mulai terbangun, dan ia didudukan oleh pak Ruslan. Anto hanya merasa bingung, karena ia merasa tidak pindah kemana-mana tapi kali ini dirumahnya terlihat ramai oleh banyak orang diluar.
"Pak aku wedi" (pak aku takut) kata Anto yang teringat ibunya yang menjadi sosok yang mengerikan.

pak Ruslan pun menghampirinya dan memeluknya. mata Anto saat melihat bu Romlah kembali dibenamkan ketubuh bapaknya karena takut sosok ibunya berubah kembali menjadi wanita
yang menyeramkan.

"Ojok wedi le, iki bapakmu karo ibukmu asli" (jangan takut nak ini bapakmu sama ibumu asli) Kata mbah suro yang menemani mereka.

"Iyo le, ora usah wedi" (iya nak jangan takut). sambung pak Ruslan yang tetap memeluk anto dengan erat.
Sedang warga yang ikut, dan masih diluar rumah sedang istirahat duduk-duduk sejenak. Mereka masih menenangkan nafas yang masih ngos-ngosan dan menyeka keringat yang berjatuhan. “ngombene yuk” (minumnya mbak) celetuk salah satu warga yang duduk istirahat dengan bergerombol.
Nang ngarep wes tak cepak’i pak (didepan sudah disiapkan pak) Jawab bu Romlah dari dalam rumah dengan suara yang keras.

Dengan cepat salah satu dari mereka mengambil air minum yang sudah tersedia di teras bu Romlah.
Secara bergantian mereka meminum air dari kendi (teko dari tanah liat yang dibakar) secara bergantian. Sesudah minum air mereka merasa penasaran dengan kondisi Anto yg sudah menghilang selama tiga hari, mereka bergantian melihat Anto yang sudah duduk dalam pelukan pak Ruslan.
"Oh yo wes nek gak popo" (oh ya sudah kalau tidak apa-apa). celetuk warga yang habis melihat kondisi Anto.

Melihat keramaian dirumah Anto warga lainnya satu dusun mulai berduyun duyun berdatangan silih berganti untuk melihat keadaan Anto yang hilang selama tiga hari.
Malam itu juga Adi, Sukis dan Bimo ikut menjenguk sobat karibnya yang baru kembali. Ketiga temannya yang merasa kehilangan langsung masuk ke ruang tamu Anto, mereka berdiri memandang Anto dengan rasa bersalah.
Sedang Saat itu Anto sendiri yang habis minum air dari mbah Suro merasa aneh. Sekian detik mulutnya merasa bau dan perut Anto mulai merasa mual. Tak lama kemudian "Hueekkk...hueekkk..hueekk" Anto mulai memuntahkan potongan-potongan cacing merah berbalut lumpur dan air.
Semua yang melihat Anto dari luar dan dalam rumahnya tertegun dan merasa jijik dengan apa yang dimuntahkan oleh Anto.

"Jupukno banyu meneh bu" (ambilkan air lagi bu) Pinta Mbah Suro.

dengan cepat bu Romlah kembali memberikan air untuk kedua kalinya kepada mbah Suro.
mbah Suro meminumkan kembali Air putih itu kepada Anto. Saat itu juga Anto yang sudah sadar langsung menangis ketakutan, ia membenamkan lagi wjahnya pada Pak Ruslan. Anto takut muntah yang isinya seperti itu lagi.
"Le maringene ora usah dolan nang plolong maneh ya" (nak habis ini tidak usah bermain ke plolong lagi ya). kata mbah Suro didepan Anto.

"Nggih mbah" ( Ya mbah). Jawab Anto yag masih ketakutan
"Rus kandani kanca-kance Anto mesisan, ojo oleh dolan mrono maneh" (rus beritahu teman-teman anto sekalian, jangan bermain kesana lagi). pesan mbah Suro

"lha iku mbah kancane, nggurine sampean" (lah itu mbah temannya, belakangnya anda). Jawab Pak Ruslan sambil menunjuk kearah
Adi, Sukis dan Bimo.

ketiga teman Anto hanya menunduk malu dan takut atas yang telah mereka lakukan. mbah Suro sendiri hanya geleng-geleng kepala saat melihat ketiga bocah ini, ia melihat anak-anak ini dengan tatapan sedikit geram.
"wes le, pesenku ojok dolan nang plolong maneh" (sudah nak, pesanku jangan bermain di plolong lagi) kata mbah suro sambil melihat ketiga anak ini.

"Nggih mbah" (ya mbah) jawab Mbah ketiga anak ini dengan serentak.
Mereka semua saat itu juga berjanji tak akan bermain ke plolong lagi, apapun alasannya.

Sejak kejadian itu trauma mendalam bagi mereka terasa hingga saat ini. Hingga mereka berempat tidak pernah bermain dan menginjakkan kaki ke plolong lagi, sampai mereka lulus SMP.
Sedang untuk sakit kebutaan yang dialami oleh pak Dimin berlangsung cukup lama, sekitar delapan tahun ia baru bisa melihat lagi. Itu juga karena Pak Dimin habis mendatangkan pagelaran wayang kulit di Plolong sebagai ucapan permintaan maaf terhadap plolong.
Memang sampai saat ini kawasan Plolong sangat jarang dikunjungi warga, dengan alasan keangkerannya. Meski ada pihak rondo kuning yang selalu sebagai peredam masalah disisi barat dusun.
Itulah sekelumit kisah Plolong dari sisi barat dusun, karena ditiap tempat dusun ini banyak kisah - kisah mistis yang lain. Hampir tiap warga dusun pernah mengalami hal-hal yang tak masuk akal, karena dusun ini sendiri menyimpan banyak kisah misteri.

---TAMAT---
Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh.

Enjoying this thread?

Keep Current with 𝓫𝓪𝔂𝓾𝓾𝓾𝓫𝓲𝓻𝓾𝓾𝓾

Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

Twitter may remove this content at anytime, convert it as a PDF, save and print for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video

1) Follow Thread Reader App on Twitter so you can easily mention us!

2) Go to a Twitter thread (series of Tweets by the same owner) and mention us with a keyword "unroll" @threadreaderapp unroll

You can practice here first or read more on our help page!

Follow Us on Twitter!

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just three indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3.00/month or $30.00/year) and get exclusive features!

Become Premium

Too expensive? Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal Become our Patreon

Thank you for your support!