Short Thread
@bacahorror #bacahorror
Sedang pohon bambu yang rimbun mengelilingi dusun ini, susunan pohonnya mengikuti bentuk dusun yang berbentuk oval.
Akses pintu masuk kedusun ini ditiap gang melewati kebun bambu yang sudah ada pintu alaminya dengan jarak lebar dua meteran.
Untuk Peristiwa ini “Plolong” sendiri, terjadi sekitar rentang tahun 1990–2000 di sisi barat dusun setan. Dusun ini ditahun 1990an masih sangat terpencil.
Dari dusun kecil inilah hidup Bimo, Adi, Sukis dan Anto dimulai.
Jam 09.30 Wib bunyi lonceng besi yang dipukul pesuruh sekolah, menandakan waktu untuk istirahat. Hari masih pagi untuk lonceng yang bernyanyi karena waktu itu hari Jum’at, jadi jam belajar lebih pendek.
Bimo yang manatap Sukis langsung berkata.
“Nang endi Bim”(dimana di). Sambung Sukis penasaran
“Piye To oleh gak” (Gimana To boleh apa tidak). Sahut Adi dengan ucapan sedikit memaksa
“Tebumu kan enak, tebu 32 sisan” (tebu kamu kan enak, tebu 32 pula). Kata Bimo sedikit merayu
Dengan sedikit paksaan dan rayuan ketiga temannya Anto diam dan beripikir sejenak.
“Sip, To” Jawab Bimo yang sudah mulai semangat karena idenya berhasil
Jarum jam terus berputar hingga tak terasa waktu pulang sekolah tiba.
Hati dan perasaan senang hari itu sudah tak terbendung,seakan tak mau menunda lama-lama lagi untuk bermain.
Sedang lokasi yang akan mereka tuju tepatnya disebelah barat dusun, tapi harus melewati kebun bambu yang rimbun dan rumah Anto.
Saat Bimo datang ketiga temannya sudah berkumpul semua diperempatan, masing-masing anak membawa senjata. Adi dan Sukis membawa pisau, Anto membawa sabit.
Bimo berjalan santai dengan sedikit mengayunkan pisau besarnya naik turun untuk sekedar melatih untuk mengupas tebu.
Ketiga temannya yang melihat Bimo dari jauh sedikit geram terutama Anto…
“Sepurane rek aku mangan disek” (maaf kawan aku makan dulu) Sambung Bimo tanpa rasa bersalah dengan mempercepat langkahnya menuju kerumunan ketiga temannya.
Saat Bimo sampai, kelengkapan anggota persatuan anak-anak ini di rasa sudah sempurna.
“Ayo budal” (ayo berangkat). Perintah Bimo disertai tangannya sedikit melambai kepada tiga temannya yang masih duduk.
“To awakmu mlaku nang ngarep ae, soale seng ngerti nggone kan awakmu” (To kamu jalan didepan saja, soalnya yang tau tempatnya kan kamu). Perintah Adi
Jalan mereka mulai berbaris memanjang kebelakang, dengan Anto sebagi pemandu jalan. Jalanan gang kedua menuju sisi barat telah terleawati.
Baru sejauh pematang itu dilalui mereka tiba dipertigaan kebun.
“Tebune arep dipanen, jupuk neng tengah ae cek ora ketoro” (Tebunya mau dipanen, ambil yang tengah saja biar tidak kentara) Jawab Anto serius
Sedikit perdebatan diantara anak-anak kecil itu membuat mereka rehat sejenak dipematang kebun. Tak lama kemudian siang itu Anto memutuskan untuk masuk ketengah kebun dan berencana memakan tebu ditengah kebun.
“Byuk..byukk..byukk” loncatan anak-anak SD ini satu persatu menuruni pematang sawah menuju parit kebun Anto yang masih sedikit berair.
Spontan Anto didepan dan sudah mengetahui cerita hantu ini dari orang tuanya langsung berteriak keras…
Sebutan hantu dengan wujud satu bola mata sebesar nampan didusun setan, hantu yang menjadi penguasa wilayah sisi barat dusun ini. Tepatnya wilayah barat dari kebun bambu sampai kebun tebu milik orang tua Anto.
“Byuk… Byuk .... Byuk adoh, Di sikilmu. Awas koen”
“Byuk...”Anto kembali terjatuh dengan tubuh tertelungkup.
Sekian ratus meter mereka terus berlari menembus rerimbunan kebun tebu untuk menuju kembali ke perempatan dusun.
Baju dan tubuh berlumpur sudah tidak mereka hiraukan lagi,
Senjata anak-anak mulai sabit, belati dan bendo (belati besar) sudah tidak ditangan mereka kembali,
“Hossshhh..hoooossshhh…hosss” Nafas yang terus berhembus cepat oleh ketiga anak-anak yang sudah sampai diperempatan kedua dusun setan.
Mereka bertiga berdiri setengah membungkuk sambil mengatur nafas, dan tangannya masing menahan sakit diperutnya.
“Dolen pak lek” (bermain pak lik) Sahut Adi yang masih ngos-ngosan
“Gak roh Di”( tidak tahu Di). Jawab Bimo dengan nafas yang masih tersengal sengal
“Yo wes ayo muleh dewe-dewe ae nek ngunu”(Ya sudah ayo pulang sendiri-sendiri saja kalau begitu).Pinta Bimo yang kesal karena tak jadi mendapatkan tebu dan plaser
“Yo Kis” Jawab Adi dan Bimo serentak yang masih gemetar
“Wes cepet dang adus, mblakrak ae” (sudah cepat buruan mandi, main saja) Sambung ibu Bimo yang masih marah
“Nggih mak” (ya bu) Jawab singkat Bimo
Sore menjelang malam hari, ibu Anto yg bernama bu Romlah dengan tergopoh-gopoh dan panik mendatangi rumah Bimo.
“Pak Anto dolan ten mriki” (pak Anto main disini) Tanya bu Romlah
Di ruang tengah, pak Harjo melihat Bimo sedang duduk membantu ibunya mengupas biji jagung.
Pak Harjo kembali keluar menemui Bu Romlah, sedang Bimo yang takut dan ibunya mengikuti pak Harjo dari belakang dengan berjalan menuju teras rumah.
“Nggih bu” (Ya bu) Jawab lirih Bimo dengan menundukkan kepalanya karena merasa bersalah
“Waduh celoko iki le”(Waduh cilaka ini nak). Celetuk bu Romlah
Bimo hanya menunduk diam tanpa kata, tidak berani menjawab lagi pertanyaan orang tuanya dan bu Romlah.
“Pak Har tolong pean ewangi nggolek’i Anto” (Pak Har tolong anda bantuin mencari Anto). Pinta bu Romlah
Pak Harjo seketika itu pergi dengan Bu Romlah untuk mencari Anto, mereka mulai menanyakan Anto kepada tetangga kanan kiri rumah mereka.
Dirumah Anto sendiri malam itu, beberapa tetangga termasuk pak Harjo masih berkumpul dirumah bu Romlah.
Air mata kesedihan bu Romlah juga ikut mengalir beranak pinak di pipinya.
“Enek opo kok podo rame nang kene” (ada apa kok pada ramai disini). Tanya Pak Ruslan kepada warga yang berkerumun diteras rumahnya
“Durung muleh piye buk maksute?” (belum pulang bagaimana bu maksudnya?). Jawab Pak Ruslan sambil mengusap keringat didahinya.
“Yo pak podo-podo, aku tak muleh ngramut Bimo disek” (Ya pak sama-sama, saya tak pulang merawat Bimo dahulu). Kata pak Harjo sambil berlalu pulang dengan istrinya
Pagi itu, Pak Ruslan, Pak Harjo, Pak Dimin dan satu tetangganya sudah berkumpul dirumah pak Ruslan. Hari masih pagi sekitar jam tujuh mereka berempat mulai mencari dengan menyisir dari gang kedua dusun setan.
Hingga senja sudah mulai meredupkan sinarnya Anto belum juga ditemukan, sedang hari mulai malam.
Pak Ruslan sendiri sewaktu perjalan pulang ke rumah berencana melanjutkan pencarian kembali sehabis Isya". Karena ia merasa tak terima anaknya hilang begitu saja tanpa kabar dan bekasnya.
Malam hari sekitar jam 19.15 WIB, sehabis Isya’ pak Ruslan bersama empat orang tetangga tadi siang mulai mencari Anto kembali,
Waktu dirumah pak Ruslan dengan istrinya suasana semakin suntuk dan sedih atas kehilangan anaknya.
Pagi hari didusun yang cerah, tapi tak secerah susana hati keluarga pak Ruslan.
Istri Pak Dimin yang mengetahui sudah ada Jawaban, ia secara perlahan mendudukkan suaminya dikursi kayu teras rumah pak Ruslan.
Pak Ruslan memandangi pak Dimin duduk dengan tatapan kosong kedepan, seperti orang buta.
“Gak eruh aku pak” (tidak tahu aku pak). Sambung istri pak Dimin yang sedih.
“Tulungi bojoku iki pak”(tolongin suamiku ini pak) Pinta istri pak Dimin lagi dengan sedih
“Tulungi aku Rus. Mau bengi sak marine gowo manuk Derkuku soko plolong aku diipeni Plolonge. Jarene moto gede iku mekas aku, kongkon cepet balekno manuk’e.
“Oh ngono ceritane, Iyo min tenang ae engko tak bantu, . Yo wes maringene ayo dibalekne manuk’e. Terus maringunu mesisan tak golek wong pinter gawe nakokno nggone Anto”
Pak Harjo pagi itu yang sedang bersiap-siap dengan sepedanya mau berangkat kepabrik gula.
“Kenek opo pak Dimin bu” (kena apa pak dimin bu) tanya pak Harjo yang memandangi mereka bertiga sedang berjalan secara perlahan
“Nang plolong, balekno manuk. Maringunu mesisan nang mbah Suro” (ke plolong, mengembalikan burung. Habis itu sekalian ke mbah Suro). Jawab pak Ruslan dengan tegas
“Gak usah pak Har ngewangi aku sek ae, mengko tak kandanane mandormu” (tidak usah Pak Har, bantu aku dulu saja, nanti tak bilangi mandormu).
“Yo wes nek ngunu pak. Benderan ambi golek tombone Bimo” (Ya sudah kalau begitu pak. Kebetulan, sama mencari obatnya Bimo). Sahut pak Harjo mulai lega akan permintaan pak Ruslan
“Isek pak” (masih pak). Jawabnya Pak Harjo singkat
“Yo wes ayo budal” (Ya sudah ayo berangkat). Kata pak Ruslan
Dipagi buta itu pak Harjo langsung ikut bergabung mengantar pak Dimin pulang kerumah, sampai dirumah pak Dimin dibaringkan dididalam kamar.
Istri pak Dimin yang mendengar suara dari teras langsung keluar dan berhenti didepan pintu. “iku pak nang kurungan cet ireng, ngarep sampean iku”(itu pak dikurungan cat hitam, depan anda itu).
“Oh iki manuk’e. ya wes langsung tak Jupuk’e yo” (oh ini burungnya. Ya sudah langsung tak ambil ya). Sahut Pak Ruslan. “Yo pak suwun” (Ya pak terima kasih). Sambungnya istri pak Dimin.
“Pak Har ayo budal” (Pak Har ayo berangkat). Pinta pak Ruslan dari teras rumah
Dari pagar bambu depan rumah mbah Suro mereka berdua sudah turun dari sepeda, pak Ruslan menuntunnya sampai tepat didepan pintu masuk rumah mbah Suro.
“Tookk…took…toookk” kulo nuwun …mbah…mbahhhh
“Kreteeekkk” suara pintu kayu ruang tengah mbah Suro yang mulai terbuka
“Nggih mbah” (Ya mbah) Jawab Pak Ruslan yang langsung menuju kursi diruang tamu
“Terus yugo kulo pripun mbah, kalian Pak Dimin” (Terus anak saya bagaimana mbah, sama pak Dimin). Tanya pak Harjo yang ingin anaknya cepat sembuh
“Dimin sodok abot Har, soale njupuk ingon-ingone plolong. Meski wes kok balekno manuk’e. iku diurus keri ae” (dimin agak berat Har, soale mengambil peliharaan Plolong.
“Nggih pun mbah kulo wangsul riyen nek ngonten” (Ya sudah mbah saya pulang dulu kalau begitu). Pamit pak Ruslan dan pak Harjo
Saat itu juga para tetangga dan sebagian warga dusun sudah siap didepan rumah Pak Ruslan, dirasa sudah siap mereka mulai berjalan membawa banyak nampan dan jajanan pasar dengan bantuan para tetangga.
Pagi itu mereka berjalan beriringan melewati pematang kebun sekitar dua puluh orang. Pematang kebun pagi itu masih basah oleh embun tapi kaki mereka tetap melangkah diatas tanah lembek dan basah,
Pagi itu, semua yg hadir langsung memakan sajian yang sudah didoakan.
“Nggih mbah” (ya mbah). Jawab serentak jamaah yang hadir dengan riuh
“Sek entenono Rus neng pinggirku, aku tak pamit karo mbok rondo ben mengko diewangi”(sebentar tunggui Rus disebelahku,
Perintah mbah Suro sambil mulai memejamkan matanya.
“Nggih mbah” (ya mbah).
Pak Ruslan menururti apa yang diperintahkan oleh mbah suro, ia tetap disebelahnya duduk dengan tenang.
“Nggih mbah monggo” (ya mbah silahkan). Jawab singkat pak Ruslan
Waktu terus berputar hingga tak terasa sore hari pun menjelang, sehabis shalat ashar sebagian warga dusun telah berkumpul dihalaman rumah pak Ruslan.
Sore itu warga dusun berjalan ramai-ramai dengan dua kelompok warga menuju lokasi yang sudah ditentukan,
-Sedang kejadian yang dialami Anto sendiri-
Seingat Anto waktu terjatuh di parit kebun tebu, ia merasa hening saat masih tertelungkup diatas lumpur dalam parit. Tapi sewaktu ia mulai bangun dan duduk,
“Le ayo mangan disek iki wes tak gawekno mie” (nak ayo makan dahulu). Pinta sosok ibunya
Saat itu juga Anto tidak berpikir apapun, ia hanya berjalan masuk kedalam rumah mengikuti ibunya dari belakang.
“Dungaren ibuk gawekno aku mie, ngipi opo ibuk iki mau bengi” (tumben ibuk buatkan aku mie, mimpi apa ibu ini semalam)
“Dang di pangan le mumpung jek anget” (lekas dimakan Nak mumpung masih hangat) teriak ibunya dari dapur belakang.
Anto sendiri yang sudah lapar langsung memakan mie tersebut dengan lahap dimeja makan,
“Tok…tok…tok…kulo nuwun…” Suara ibu-ibu dari depan
“Nggih sekedap” (ya sebentar)…Jawab Anto yang berlari menuju pintu depan
Mereka bertiga sedang berdiri dengan melempar senyuman kepada Anto, sebenarnya anto juga heran tidak seperti biasanya mereka datang bersamaan kerumah Anto.
“Ibukmu enek to”(ibuk kamu ada to). Tanya ibunya Sukis
“Wonten…sekedap, jenengan tenggo riyen” (ada sebentar, anda tunggu dulu). Jawab Anto
Anto langsung mencari ibunya, ternyata ibunya masih tetap didapur.
Anto yang sedang duduk bermain sejenak berhenti, ia mendengarkan suara-suara itu dengan seksama.
Suaranya Anto sendiri semakin mengeras waktu meminta tolong meski tangisannya semakin kencang.
Sore hari menjelang maghrib warga dusun masih beramai ramai memukul peralatan dapur di kebun sebelah barat Plolong, kegiatan yang di pimpin mbah Suro semakin agresif sore itu.
Setelah itu warga yang berada di pematang kebun areal sisi barat plolong melihat dengan samar-samar sosok empat wanita berambut panjang.
“Ngalio nang ngguriku kabeh”.
Demikian juga saat itu,“Plolong” hantu dengan wujud bola mata satu satu persatu mulai muncul dari dalam keremangan cahaya
“Wes cukup ayo balik nang alame dewe-dewe, gak usah nguber maneh” (sudah cukup ayo kembali ke alamnya masing-masing, tidak perlu mengejar lagi). Kata sosok wanita yang cantik jelita memakai gaun kebaya,
Dengan muka masam, dan memendam kemarahan para mahluk itu kembali ke areal plolong lagi. Mereka bukannya takut sama penghuni rondo kuning.
Mereka semua yg melihat langsung menghentikan tabuhannya dan lari dari sisi timur plolong.
Banaspati sangat banyak itu, mereka terbang melayang mengikuti warga dusun. Tapi kejaran banaspati ini juga terhenti,
Banaspati yang belum sempat meninggalkan wilayah plolong, mereka disuruh kembali lagi kedaerahnya oleh sosok wanita berbusana kerajaan ini.
"Mbalik'o kabeh koen koyok ewangmu liyane" (kembalilah semua kalian, seperti temanmu yang lain) bentak wanita penghuni rondo kuning.
“Buk jupukno banyu putih sak gelas”(buk ambilkan air putih satu gelas). Pinta mbah Suro
“Enggeh mbah sekedap” (iya mbah sebentar) Jawab bu Romlah.
Anto mulai terbangun, dan ia didudukan oleh pak Ruslan. Anto hanya merasa bingung, karena ia merasa tidak pindah kemana-mana tapi kali ini dirumahnya terlihat ramai oleh banyak orang diluar.
pak Ruslan pun menghampirinya dan memeluknya. mata Anto saat melihat bu Romlah kembali dibenamkan ketubuh bapaknya karena takut sosok ibunya berubah kembali menjadi wanita
"Ojok wedi le, iki bapakmu karo ibukmu asli" (jangan takut nak ini bapakmu sama ibumu asli) Kata mbah suro yang menemani mereka.
"Iyo le, ora usah wedi" (iya nak jangan takut). sambung pak Ruslan yang tetap memeluk anto dengan erat.
Dengan cepat salah satu dari mereka mengambil air minum yang sudah tersedia di teras bu Romlah.
Melihat keramaian dirumah Anto warga lainnya satu dusun mulai berduyun duyun berdatangan silih berganti untuk melihat keadaan Anto yang hilang selama tiga hari.
"Jupukno banyu meneh bu" (ambilkan air lagi bu) Pinta Mbah Suro.
dengan cepat bu Romlah kembali memberikan air untuk kedua kalinya kepada mbah Suro.
"Nggih mbah" ( Ya mbah). Jawab Anto yag masih ketakutan
"lha iku mbah kancane, nggurine sampean" (lah itu mbah temannya, belakangnya anda). Jawab Pak Ruslan sambil menunjuk kearah
ketiga teman Anto hanya menunduk malu dan takut atas yang telah mereka lakukan. mbah Suro sendiri hanya geleng-geleng kepala saat melihat ketiga bocah ini, ia melihat anak-anak ini dengan tatapan sedikit geram.
"Nggih mbah" (ya mbah) jawab Mbah ketiga anak ini dengan serentak.
Sejak kejadian itu trauma mendalam bagi mereka terasa hingga saat ini. Hingga mereka berempat tidak pernah bermain dan menginjakkan kaki ke plolong lagi, sampai mereka lulus SMP.
---TAMAT---