My Authors
Read all threads
Mereka yang tak kasat mata, sering meminta bantuan pada pengendara dijalan raya.

“Penghuni Jalanan Gunung Girik” [Based On True Story]

-Short Thread-

@bacahorror #bacahorror
@bacahorror Silahkan RT & Like sesukanya, semoga hari ini bisa mulai up...😉✍️🙏🙏🙏
@bacahorror Meninggalnya salah satu anggota keluarga membuat kesedihan mendalam bagi yang ditinggalkan. Begitu juga dengan yang dialami oleh salah satu keluarga Baim ditahun 2005, Seorang pemuda berumur dua puluh dua tahun yang berasal dari Mojokerto.
Kabar dukanya yang ia dapat berasal dari pesan singkat yang dikirim oleh salah satu keluarga yang sudah dilokasi rumah duka. Sosok yang telah tiada tersebut ialah Kakak dari ibunya atau biasa ia sebut bude.
Budenya Baim meninggal dirumahnya sendiri tepatnya dikabupaten penghasil minyak di Jawa Timur. Memang jarak antara tempat kerja baim dan rumah budenya cukup jauh, kurang lebih tiga jam waktu perjalanan.
Kabar pilu itu menghampirinya kala ia sedang bekerja di siang hari, beruntungnya ia bekerja disalah satu kerabat sendiri meski masih tergolong saudara jauh. Jadi seketika ada kabar duka, Baim langsung pamit kepada pemilik usaha dan diberi kelonggaran untuk izin ta’ziyah.
Keluarga dirumah Baim sendiri yang baru dikabari kabar pilu itu, sudah berangkat terlebih dahulu kerumah duka. Mereka berangkat satu rombongan dengan dua mobil, Sedang Baim sendiri disuruh untuk menyusul mereka sendirian dengan mengendarai motor.
Pikiran yang panik Baim dan perasaan cemas dengan cepat merasukinya, membuat ia berulang kali berpikir apa yang harus dibawa kerumah budhenya.
Baim yang masih mondar-mandir bingung ditempat kerjanya diamati beberapa pasang mata pekerja lain.
Merasa tidak enak karena karena diawasi ditempat kerja, ia hanya membawa helm dan jaket saja. Hari masih siang ia keluar dari tempat kerja dan langsung menggeber motornya dengan kecepatan penuh.
Dijalanan Hati dan pikiran Baim Merasa kuatir tidak bisa melihat yang terakhir kalinya wajah bude kesayangan.
Perjalanan yang jauh ia melewati jalur Jombang - Babat, dan tentunya melintasi gunung girik.
Gunung kapur yang terbelah oleh jalan raya, karena jalur itu satu-satunya yang ia tahu. Waktu yang seharusnya ia tempuh tiga jam, tapi saat ia sampai dirumah duka hanya menghabiskan waktu dua jam lebih sedikit.
Sesampainya dirumah duka, Baim langsung memakirkan motor ala kadarnya, dan bergegas cepat turun dari motor.

Saat masih menaruh helm, ia melihat keranda mayat sudah mulai dikeluarkan dari rumah budenya, tanpa banyak bicara ia langsung bergabung dengan keluarga,
dan pelayat yang lain untuk mengikuti jenazah budenya dari belakang. Baim juga Sesekali ikut bergantian memanggul keranda jenazah budenya tersebut.

Selesai acara pemakaman ia kembali kerumah duka bersama sanak saudara,
selepas bercengkrama beberapa jam dengan sanak saudara ia putuskan untuk istirahat didalam rumah budenya. Setelah maghrib acara dirumah budenya dimulai, kegiatan malam hari seperti kebanyakan pada umumnya masyarakat, yaitu acara tahlilan yang diadakan dirumah duka.
Acara dilaksanakan cukup khusuk penuh harap untuk mendoakan almarhum. Acara itu selesai sebelum shalat Isya’. Selepas acara Baim bersama keluarga masih berkumpul dihalaman rumah budenya.
Semua yang berkumpul duduk-duduk santai dan bercerita tentang kronologi meninggalnya budhe Baim.
Hari semakin malam, kedua orang tuanya dan saudaranya yang lain memilih menginap di rumah budenya.
Untuk Baim sendiri karena besoknya harus bekerja, terpaksa ia pulang sendirian dengan motor kesayangan. Sekitar jam sebelas malam, selesai ia pamit kepada keluarga dan orang tuanya ia mulai menjalankan roda motornya untuk melaju pulang.
Saat melintasi kawasan jalan babat keselatan penerangannya sangat minim, dan dinginnya malam itu sangat menusuk tulang. Ia melewati hamparan sawah dan hutan dikanan kirinya dengan kondisi gelap, hanya bantuan dari lampu kuning redup motornya sebagai sumber cahaya satu-satunya.
Dijalan raya itu hanya sesekali kendaraan yang menyalipnya dengan kencang dan membantu penerangan jalannya sesaat, tapi untuk kendaraan bermotor ia merasa sendirian selepas dari babat.
Satu jam setengah ia habiskan dijalan, sekitar jam 00.30 motor Baim sudah memasuki area desa Girik.
Gunung itu dikenal sebagai gunung pegat (perceraian). Tapi sebenarnya itu adalah gunung “GIRIK”,
karena gunung Pegat sendiri berada diutaranya yang lokasinya sampai saat ini dipakai untuk tambang batu kapur putih. Hasil tambangnya meliputi batu kumbung (batu putih dengan ukuran 25cm X 25cm X 50cm, biasanya untuk pondasi bangunan) dan batu bata putih.
Gunung kapur ini memang berada di Desa Girik, Kecamatan Ngimbang, Kabupaten Lamongan.

Saat itu Baim melajukan motornya dengan kecepatan sedang, karena hawa yang dingin meski ia memakai jaket agak tebal. Saat mulai jalan tanjakan ia menurunkan kecepatan.
Saat itu dari pandangan depannya, melewati kaca helmnya yang sedikit terbuka, Baim melihat sosok wanita tersorot lampu motor kuningnya yang redup. Wanita ini berdiri sendirian dipertigaan tepatnya kanan bahu jalan, ia juga melambaikan tangan kanannya.
Wanita itu berbaju putih dengan selendang yang ditekuk menjadi dua saat disampirkan dilehernya. Selendang kuning itu terlihat menjuntai dibelakang punggungnya, seperti kebiasaan orang wanita India.
Tangan wanita itu terus melambai kepadanya, saat Baim menoleh ke kanan dan kekiri ia diam sejenak mengamati sekitarnya.

Karena Baim sendiri kuatir, apa benar ia yang dimintai tumpangan. Setelah mengamati jalanan yang lebar dari arah utara dan selatan itu sepi sekali,
tidak ada satupun kendaraan yang melintas hanya Baim sendiri yang berada di jalan itu. Saat merasa Baim sendiri dimintai tolong oleh seseorang meski belum kenal, ia perlahan menurunkan lagi putaran gas motornya.
Saat itu juga motornya melaju pelan dan menurunkan jarum spedometernya.

Baim menganggap wanita itu seperti penduduk sekitar dan tidak menaruh curiga sedikitpun.
Baim sendiri yang masih berduka dengan beban pikiran yang masih berat sehabis ditinggal budhenya dia tidak berpikir macam-macam.

Wanita ini memang terlihat benar-benar cantik saat Baim melihat dari dekat,
kebetulan kecantikan itu dibuktikan oleh cahaya kuning motor baim mengenai sedikit wajahnya. Tapi saat itu juga ada bau seperti ketela yang gosong disekelilingnya.
Wanita itu menurunkan lambaian tangannya, saat motor Baim membelokkan motor ke kanan jalan dan benar-benar berhenti didepannya. Saat baim sudah berhenti wanita itu tanpa keraguan sedikitpun langsung bicara kepada Baim.
“Mas nunut” (mas ikut). Kata wanita ini yang masih berdiri dengan sedikit badannya menjorok kearah Baim serta sedikit mengeraskan suaranya.

“Nggih mbak badhe ten pundi” (ya mbak mau kemana). Jawab Baim datar sambil membuka penuh kaca helmnya
“Neng ngarepan iki mas, jojlokan sak marine gunung” (didepan ini mas, turunan sehabis gunung). Jelas wanita cantik berpakaian serba putih ini

“Oh nggih, monggo mbak” (Oh ya silahkan mbak). Sambung Baim yang sudah siap diatas motornya.
Baim tidak merasa curiga apapun, ia langsung menaikkan tumpangan hanya berpikir positif saja. Hitung-hitung berbuat baik, tapi saat wanita itu naik ke boncengan belakang Baim, bau hangus ketela yang dibakar semakin kuat.
Laju motornya berjalan normal seperti biasa menaiki tanjakan gunung Girik, Baim menggunakan persneleng dua untuk merangkak naik. Saat dijalan yang membelah gunung sangat terasa sepi, gelap dan menakutkan waktu itu, Baim hanya diam serta konsentrasi melajukan motor.
Setelah melintasi jalanan sepi yang membelah gunung Girik ia menurunkan wanita itu. Tepatnya di turunan sebelah kanan jalan setelah bangunan warung yang terbuat dari anyaman bambu, lokasinya kanan Jalan dari arah utara.
Sewaktu wanita itu turun dan berdiri di samping motor, Baim ditawari wanita itu...

“Mampir rumiyen mas” (mampir dahulu mas). Tawar wanita berbaju putih ini

“Mboten mbak, matur nuwun” (Tidak mbak, terima kasih). Ucap Baim
“Nggih sami-sami mas, kulo nggih matur nuwun sanget” (Iya sama-sama mas, saya juga terima kasih banyak). Sahut Wanita cantik ini

Selanjutnya Baim melajutkan perjalanan pulang tanpa menoleh kebelakang lagi, sewaktu perjalanan ia pulang juga tidak merasakan apapun.
Sampai dirumah Baim langsung istirahat, keesokan harinya ia langsung bekerja dan melakukan aktifitas seperti biasa.
Waktu berjalan sangat cepat hingga tujuh hari hari budhenya Baim tiba.
Kali ini ia berangkat dari rumah sejak pagi hari, ia berangkat naik motor sendirian melewati jalur yang sama. Memang saat itu Baim kemanapun sukanya naik motor, meski keluarganya mengajak naik mobil untuk berangkat bersama.
Keinginan keluarganya pasti ia tolak, karena tak sesuai dengan hobynya yang bermotor.

Sore hari Baim yang sudah sampai ia langsung ikut berkumpul dengan keluarga dirumah budenya, acara dilaksanakan sehabis maghrib.
Acara tujuh hari budenya selesai sebelum Isya, tapi keluarga masih berkumpul. Baim yang sudah terbiasa dijalanan, kali ini kembali pulang sekitar jam sebelas malam lagi.
Jalanan yang sama ia lewati lagi, rutenya persis sama seperti dengan enam hari yang lalu, ia melewati jalanan jalur gunung Girik.

Seperti pertama kali, dijam setengah satu malam motor Baim sudah memasuki areal tanjakan gunung girik.
Jalanan saat itu juga sepi dan gelap, hanya lampu motornya sebagai satu-satunya penerangan saat itu. Motor dilajukan pelan saat, sama seperti lima hari yang lalu. Sosok wanita cantik berpakaian serba putih, dan berselendang putih dilehernya melambaikan tangannya kembali.
Baim sendiri yang merasa sudah pernah memberi tumpangan kepada wanita ini tak ragu langsung memberhentikan motornya kembali, tepatnya dipertigaan seperti pertama kali ia ketemu wanita ini.
Diatas Mesin motor Baim yang masih menyala, ia sekilas mencuri wajah wanita itu dibantu dari oleh sedikit sorot lampu motornya yang berada disamping wanita itu. Hal itu ia lakukan untuk memastikan bahwa wanita ini adalah wanita yang sama dengan tempo hari.
Setelah yakin ia mulai membuka kaca helmnya.

“Mas nunut” (mas numpang). Pinta wanita itu.

“Loh mbak, sampean seng bareng aku wingenane bengi iko ya?” (Loh mbak, anda yang ikut numpang sama aku kapan hari waktu malam itu kan?) . Tanya Baim serius
“Eh iyo mas, bener” (Eh Iyo mas, benar). Jawab wanita yang masih belum tau namanya

“Ayok mbak, langsung numpak ae” (ayo mbak, langsung naik saja). Pinta Baim dengan tenang

“Yo mas suwun” (ya mas terima kasih)
Tanpa ada perasaan apapun baim yang hanya berniat membantu, ia kembali manarik gasnya dan melajukan kembali motor dengan pelan ditanjakan. Saat motor melaju dengan pelan Baim yang merasa sudah dua kali bertemu ingin mengajak berkenalan.
“Jenenge sampean sopo mbak?” Tanya Baim agak keras dari jok depan motor disertai angin dingin semilir

“Sari mas, biasane di celuk mbak Sari disini mas?” (Sari mas, biasanya di panggil mbak sari disini mas). Jawab Sari lembut tapi Baim tetap mendengar suaranya.
“Mase sinten asmone?”(masnya siapa namanya). Tanya sari dari belakang.

“Kulo Baim mbak” (saya Baim mbak). Jawab Baim dengan bahagia
Tiba-tiba mata Baim saat dijalan tepatnya tengah belahan gunung, jalannya terbelah jadi dua. Seakan – akan jalan itu bercabang, padahal selama ini ia lewati hanya satu jalan raya ini.
Tidak ada jalan lain!!! Baim kembali memberhentikan motornya, ia memandangi jalan dengan seksama didepannya. Merasa ia punya kawan dibelakangnya ia langsung bertanya…
“Mbak…mbak… mbak… dalane kok enek loro, seng bener iki dalan ke arah endi?(mbak…mbak..mbak… jalannya kok ada dua, yang benar ini jalan kearah mana?)” Tanya Baim dengan menoleh Sari kebelakang sebentar
“Jupuk seng kanan ae mas”(ambil yang kanan saja mas) Jawabnya tenang dan meyakinkan

Baim yang merasa bukan dari daerah situ, ia menurut saja. Motornya kembali dilajukan kembali dengan pelan. Ia kembali membuka pembicaraan yang untuk menutupi rasa penasaran sama Sari ini.
“Mbak sak jane sampean kok bengi-bengi ngene soko endi” (Mbak sebenarnya anda malam-malam begini dari mana). Tanya Baim penasaran diatas motor

“Soko omae bapak mas” (dari rumah bapak mas) Jawab Sari singkat
“Kenek opo bapak’e sampean, kok gak enek seng ngeterno malam-malam begini” (kena apa bapaknya anda, kok tidak ada yang ngantar malam-malam begini) Tanya Baim heran dan penasaran
“Bapak loro mas, gak enek uwong mas ndek omah. Podo kerjo adoh kabeh soale” (bapak sakit mas, tidak ada orang mas dirumah. Pada kerja jauh semua). Jawabnya Sari yang meyakinkan

“Ooohhh Nggih…Nggihh” (ooohhh yaaa..yaa). Jawab Baim dan mencerna alasan sari dimalam itu.
Setelah menerima alasan itu Baim pun menerimanya dengan akal sehat, dan ia percaya saja. Tak terasa Baim dan wanita itu sudah sampai sebrang jalan. Ia langsung mengarahkan motornya kebahu jalan sebelah kanan tepatnya didepan warung.
Sari ini kembali meminta mampir Baim kerumahnya, tapi Baim kali ini juga menolak karena besok masih kerja. Baim sendiri sempat melihat rumah wanita ini dari sebrang jalan yang agak jauh, rumah berpagar sangat bagus dengan lampu remang kekuningan,
terlihat rumah itu bermodel joglo klasik.

Setelah itu Baim langsung pamit pulang, melajukan kendaraannya untuk langsung pulang kerumah. Sesampainya dirumah ia langsung tidur karena merasa sudah lelah, Seperti biasa dipagi hari ia bekerja ditempat biasa.
Hari berganti hari, tak terasa acara empat puluh hari budenya tiba.

Sebelumnya satu minggu yang lalu, Baim lembur Tiap hari dan pulang menjelang subuh. Hari itu Baim merasa sudah capek, tapi ia tetap berangkat sendiri untuk mengikuti acara dirumah budhenya.
Seperti sebelum-sebelumnya di jam sebelas lebih Baim pulang sendirian dengan motornya.

Malam itu ia tidak memiliki firasat apapun, meski jalan dari babat keselatan sangat gelap. Saat itu juga hujan gerimis mulai mengikuti Baim.
jalan yang sepi dan gelap ditemani rintik hujan membuat ia semakin letih.

Saat ia memasuki tanjakan area didesa Gunung Girik lagi-lagi wanita yang bernama Sari sudah berdiri dipertigaan jalan melambai kearahnya. Merasa sudah kenal baik Baim langsung menghampirinya temannya.
Meski Baim badannya sudah merasa capek sekali dan ngantuk. Saat ia sudah ditepi pertigaan Baim menyapa duluan…

“Muleh ta mbak” (pulang ta mbak). Sapa Baim dengan kaca helm sudah terbuka
“Iyo mas, kok ketepak’an maneh sampean liwat kene” (iya mas, kok kebetulan lagi anda lewat disini). Sahut Sari merajuk

“Iyoe mbak, jodoh paling…hehehehe..” (iya mbak, jodoh kali..hehehe) jawab dan canda baim kepada Sari.
“Wes ayo ndang numpak mbak, gerimise tambah kerep iki” (Sudah ayo lekas naik mbak, gerimisnya tambah lebat ini). Sambung Baim yang tak memakai jas hujan

Pakaian dan bau Sari ini sama seperti waktu baim pertama ketemu, tapi Baim tetap berpikir positif saja.
Dan menjalankan motornya kembali melewati jalanan yang membelah gunung Girik. Motor baim lajunya dipercepat tanpa ada pembicaraan lagi, Sampai didepan warung itu lagi Baim kembali ditawari sari untuk mampir kerumahnya.
Kebetulan saat itu Baim sudah ngantuk berat dan masih hujan gerimis, ia yang sudah merasa kenal baik akhirnya menuruti perintah sari.

Masih diatas motor, baim langsung membelokkan motor diselatan warung kearah barat.
Jalan yang dilalui di gang ini cukup bagus dan luas. sebelumnya ia melihat rumah sari dari jauh, kini ia semakin mendekat dan semakin jelas.

Saat motornya sudah sampai dan berhenti didepan rumah sari.
Ternyata Rumah Sari berpagar tembok bagus dengan hiasan lampu kuning yang agak redup, sedangkan pintu gerbangnya terbuat dari kayu. Sari langsung turun dan membukakan gerbang rumahnya, baim sendiri turun dari motor dan ikut berjalan dibelakang sari sambil menuntun motornya.
Sampai dihalaman rumah sari, ia melihat taman halaman rumah sari dipenuhi bunga berwarna warni. Warna itu terlihat tersorot dari cahaya lampu putih kekuningan dari teras joglonya. Memang rumah sari bermodel joglo dari kayu, terlihat megah dan sangat mewah.
Baim yang sudah berdiri disamping motor langsung memarkirkan motornya ditempat parkir samping Joglo, ia langsung dipersilahkan sari untuk duduk dijoglo rumahnya.
Baim yang setuju sambil berjalan kedinginan memandangi rumah indah ini, ia langsung duduk dikursi kayu klasik teras joglo rumah sari. Dijoglonya terdapat empat buah kursi dan satu meja, dan kebelakangnya lagi ke kanan teras ada kursi panjang yang terbuat dari bambu (amben).
Sesaat Sari masuk kerumah terlebih dahulu, untuk membuka pintu dan menyalakan lampu seluruh ruang rumah dari dalam. Baim yang sudah merasa lelah dan ngantuk tidak sabar ingin merebahkan dirinya.
Berjalannya menit, sari keluar dari rumahnya untuk menemui Baim yang duduk diteras sendirian yang terlihat letih. Baim yang sudah tidak tahan akhirnya minta ijin sama Sari.
“Mbak kulo tak nupang tilem sekedap nggih, kulo pun mboten kuat” (Mbak saya tak numpang tidur sebentar ya, saya sudah tidak kuat). Pinta baim dengan suara kelelahan dan merasakan kedinginan

“Ya mas monggo,ten kamar lebet mawon” (ya mas silahkan, di kamar dalam saja). Tawar Sari
“Mboten kulo ten ngajeng mriki, ten amben mawon” (Tidak saya di depan sini saja, di kursi bambu saja). Tolak halus Baim meski kedinginan. Karena ia sendiri merasa tidak enak jika tidur di dalam rumah perempuan yang tinggal sendirian.
Baim langsung berjalan masuk melewati bangunan joglo sedikit dan mendekati kursi panjang disebelah kanan. Tanpa rasa sungkan lagi Baim langsung merebahkan badannya diatas kursi panjang. Setelah ia baru beberapa saat terlentang, sari menghampiri Baim kembali…
“Mas kerso kopi, kulo damelaken nggih, damel anget angetan” (Mas mau kopi, saya buatkan ya, buat penghangat). Tawar sari yang baik hati kepada Baim.

“Mboten usah mbak, maleh ngerepotaken jenengan mangke”(tidak mbak, tambah merepotkan anda nanti).
Tolak Baim, karena ia merasa juga sudah bersyukur dikasih ijin tempat menginap.

“Mboten nopo-nopo mas, sak aken sampean kademen. Nggih sampean anggep kulo matur nuwun sampun diteraken saking griyo”
(tidak apa-apa mas, kasihan anda kedinginan. Ya anda anggap saja saya berterima kasih diantar sampai
rumah). Jawab sari yang ingin berterima kasih pada Baim

“Nggih pun mbak mboten nopo-nopo nek ngonten” (Ya mbak, kalau begitu tidak apa-apa). Jawab Baim yang agak sungkan
Sari langsung masuk kedalam rumah, sedang Baim masih rebahan dengan menahan kantuk. Ia tak enak juga kalau kopi yang sudah dibuatkan ia tinggal tidur. Setelah sekian menit menunggu sari keluar dengan membawa satu cangkir kopi panas,
dan Saripun langsung menaruhnya dimeja kecil tepatnya disamping kursi bambu.

“Mas diunjuk rumiyen” (mas diminum dulu). Tawar Sari yang berdiri disamping Baim

“Nggih mbak” (ya mbak). Jawab Baim disertai duduknya dan langsung mengambil cangkir kopi itu.
Setelah Baim minum separuh kopi tersebut dan sedikit menghangatkan tubuhnya, ia kembali merebahkan tubuhnya kembali. Sari sendiri terlihat merasa kasihan kepada baim, akhirnya ia pamit untuk masuk kedalam rumah kembali.
“Mas nek wonten nopo-nopo sampean sanjang nggih, kulo tinggal melbet riyen” (mas kalau ada apa-apa anda bilang ya, saya tinggal didalam dulu). Ucap sari
“Nggih mbak” (ya mbak). Jawab Baim dengan mulai membaringkan tubuhnya kembali dikursi kayu tersebut
Mata Baim yang sudah tinggal 3 watt akhirnya langsung tidur diatas kursi kayu.
Dengan lelap baim tidur, ia sudah tak memikirkan apa – apa lagi. Sekian lama ia tidur, tiba-tiba ada tangan yang dingin terkena embun menyentuh kakinya. Tangan itu menepuk pelan berkali-kali.
“Mas..mas..mas… tangi” (mas..mas..mas…bangun). Kata pria yang membangunkan Baim dipagi hari.

Baim yang tersadar mulai bangun dengan bingung, wajahnya pucat dan linglung. Kepalanya menoleh kekiri dan kekanan, ia melihat sekelilingnya dengan wajah panik,
heran serta takut karena yang ia lihat dipagi itu ternyata areal kuburan. Tubuhnya sendiri saat itu berada tepat duduk diatas makam seorang wanita.
Saat ia melihat diatas kepalanya, Tertulis di nisan kayunya nama Sari Rahayu (samaran).

“Loh ten pundi niki pak” (Loh dimana ini pak). Kata Baim dengan tatapan kosong bingung setelah melihat Nisan tadi.
“Iki kuburan mas, sampean mari ritual ta ngaji mau bengi? kok sampek keturon nang kene” (Ini pemakaman mas, anda habis ritual atau mengaji tadi malam? Kok sampai ketiduran disini). Tanya pria setengah baya itu

“Mboten pak” (tidak pak). Jawab Baim pelan
Akhirnya Baim menceritakan secara detail pertemuannya dengan Sari mulai awal sampai akhir. Setelah mendengar cerita baim, Pria yang itu mengaku sebagai warga sekitar yang berprofesi sebagai pencari bunga kamboja, sebut saja pak Rano.
Pak Rano sendiri setelah mencerna pengakuan Baim ikut bingung juga. Ia heran karena Baim bisa sampai kuburan sini bersama kendaraanya. Padahal jalan menuju areal kuburan ini hanya bisa dilalui jalan kaki.
Kuburan ini juga dikelilingi parit selebar kurang lebih dua meter dan memanjang mengelilingi kuburan. Sedangkan jembatan yang dipakai untuk masuk kekuburan saat itu hanya sebuah bambu kering waktu itu,bambu itu hanya diletakkan dibawah tanpa ada pegangan disamping kanan kirinya.
Baim yang sadar bingung untuk jalan pulangnya, untungnya bapak Rano itu baik.

Baim dibantu untuk mengangkat motornya dari kuburan dengan sebuah bambu, bambu itu diikatkan dimotornya lalu mereka menggotongnya berdua untuk melewati parit kuburan,
dan menuruni kuburan yang ada diatas bukit dengan jalan setapak. Baim dan pak Rano dengan susah payah akhirnya bisa turun dari areal kuburan. Sampai dibawah tepatnya jalan keluar, Baim diperingatkan sama pencari bunga kamboja.
“Mas nek liwat kene ojo dewean khususe saben bengi, sampean gowo’o rewang” (mas kalau lewat sini jangan sendirian khususnya malam hari, anda bawalah teman). Saran pak Rano

“Kengeng nopo pak,” (kena apa pak). Jawab Baim yang masih belum sadar
Bapak itu menahan tawa, karena kejadian yang dialami baim sebelumnya sering terjadi. He..he..he…, bapak itu juga merasa geli mendengar jawaban Baim yang masih linglung.
Pak Rano juga teringat seseorang beberapa waktu yang lalu tertidur dikuburan ini. Seketika pagi hari Pak Rano juga yang membangunkannya.
“Soale sering kejadian mas ndek kene, dadi liyo dino ati-ati mas” (soalnya sering kejadian mas disini, jadi lain hari hati hati mas). Jelas pak Rano

“Nggih pak” (ya pak). Jawab Baim yang mulai setengah sadar
“Tapi penghunine dalan gunung Girik kene roto-roto sek apik’an kok mas, paling yo koyo sampean ngene iki kejadiane”(Tapi penghuninya jalan gunung Girik roto-roto masih baikkan kok mas, paling ya seperti anda begini kejadiannya). Jelas pak Rano kembali
“Wes sampean ndang muleh ati-ati neng dalan” (Sudah anda cepat pulang hati hati dijalan). Perintah pak Rano
“Njih Pak, matur nuwun sanget pak” (Iya pak, terima kasih banyak pak). Jawab baim serta tangannya meraih tangan pak rano untuk berjabat tangan untuk berterima kasih sedalam-dalamnya

“Yo le, podo-podo” (ya nak, sama-sama). Jawab singkat pak Rano
Selanjutnya Baim yang merasa masih belum lengkap kesadarannya akan kejadian semalam, pagi itu ia langsung melanjutkan perjalanan untuk pulang kerumah. Saat diperjalan pulang ia terus memikirkan sosok Rani yang menolongnya saat tadi malam.
Saat Sampai dirumah sudah siang hari ia langsung menceritakan kejadian itu kepada ibunya.

“Mangkane le, nek di kandani wong tuek manuto” (makanya nak, kalau dibilangi orang tua menurutlah). Kata Ibu Baim

“Nggih buk, ngapunten” (Iya bu, maaf). Jawab Baim dengan penyesalan
Setelah mendapat teguran, ia dimandikan dengan air got (oleh ibunya. Biar tidak terkena sawan (teringat Sari kembali) dan tidak kembali lagi ke alam Sari. Sejak kejadian itu Baim, selalu membawa teman atau pergi bersama rombongan saat melewati jalanan gunung Girik.
Pertigaan tempat mangkalnya Mbak Sari dijalanan gunung Girik yang misterius...
Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh.

Enjoying this thread?

Keep Current with bayuuubiruuu

Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

Twitter may remove this content at anytime, convert it as a PDF, save and print for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video

1) Follow Thread Reader App on Twitter so you can easily mention us!

2) Go to a Twitter thread (series of Tweets by the same owner) and mention us with a keyword "unroll" @threadreaderapp unroll

You can practice here first or read more on our help page!

Follow Us on Twitter!

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just three indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3.00/month or $30.00/year) and get exclusive features!

Become Premium

Too expensive? Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal Become our Patreon

Thank you for your support!