“Penghuni Jalanan Gunung Girik” [Based On True Story]
-Short Thread-
@bacahorror #bacahorror
Baim yang masih mondar-mandir bingung ditempat kerjanya diamati beberapa pasang mata pekerja lain.
Perjalanan yang jauh ia melewati jalur Jombang - Babat, dan tentunya melintasi gunung girik.
Saat masih menaruh helm, ia melihat keranda mayat sudah mulai dikeluarkan dari rumah budenya, tanpa banyak bicara ia langsung bergabung dengan keluarga,
Selesai acara pemakaman ia kembali kerumah duka bersama sanak saudara,
Hari semakin malam, kedua orang tuanya dan saudaranya yang lain memilih menginap di rumah budenya.
Gunung itu dikenal sebagai gunung pegat (perceraian). Tapi sebenarnya itu adalah gunung “GIRIK”,
Saat itu Baim melajukan motornya dengan kecepatan sedang, karena hawa yang dingin meski ia memakai jaket agak tebal. Saat mulai jalan tanjakan ia menurunkan kecepatan.
Karena Baim sendiri kuatir, apa benar ia yang dimintai tumpangan. Setelah mengamati jalanan yang lebar dari arah utara dan selatan itu sepi sekali,
Baim menganggap wanita itu seperti penduduk sekitar dan tidak menaruh curiga sedikitpun.
Wanita ini memang terlihat benar-benar cantik saat Baim melihat dari dekat,
“Nggih mbak badhe ten pundi” (ya mbak mau kemana). Jawab Baim datar sambil membuka penuh kaca helmnya
“Oh nggih, monggo mbak” (Oh ya silahkan mbak). Sambung Baim yang sudah siap diatas motornya.
“Mampir rumiyen mas” (mampir dahulu mas). Tawar wanita berbaju putih ini
“Mboten mbak, matur nuwun” (Tidak mbak, terima kasih). Ucap Baim
Selanjutnya Baim melajutkan perjalanan pulang tanpa menoleh kebelakang lagi, sewaktu perjalanan ia pulang juga tidak merasakan apapun.
Waktu berjalan sangat cepat hingga tujuh hari hari budhenya Baim tiba.
Sore hari Baim yang sudah sampai ia langsung ikut berkumpul dengan keluarga dirumah budenya, acara dilaksanakan sehabis maghrib.
Seperti pertama kali, dijam setengah satu malam motor Baim sudah memasuki areal tanjakan gunung girik.
“Mas nunut” (mas numpang). Pinta wanita itu.
“Loh mbak, sampean seng bareng aku wingenane bengi iko ya?” (Loh mbak, anda yang ikut numpang sama aku kapan hari waktu malam itu kan?) . Tanya Baim serius
“Ayok mbak, langsung numpak ae” (ayo mbak, langsung naik saja). Pinta Baim dengan tenang
“Yo mas suwun” (ya mas terima kasih)
“Sari mas, biasane di celuk mbak Sari disini mas?” (Sari mas, biasanya di panggil mbak sari disini mas). Jawab Sari lembut tapi Baim tetap mendengar suaranya.
“Kulo Baim mbak” (saya Baim mbak). Jawab Baim dengan bahagia
Baim yang merasa bukan dari daerah situ, ia menurut saja. Motornya kembali dilajukan kembali dengan pelan. Ia kembali membuka pembicaraan yang untuk menutupi rasa penasaran sama Sari ini.
“Soko omae bapak mas” (dari rumah bapak mas) Jawab Sari singkat
“Ooohhh Nggih…Nggihh” (ooohhh yaaa..yaa). Jawab Baim dan mencerna alasan sari dimalam itu.
Setelah itu Baim langsung pamit pulang, melajukan kendaraannya untuk langsung pulang kerumah. Sesampainya dirumah ia langsung tidur karena merasa sudah lelah, Seperti biasa dipagi hari ia bekerja ditempat biasa.
Sebelumnya satu minggu yang lalu, Baim lembur Tiap hari dan pulang menjelang subuh. Hari itu Baim merasa sudah capek, tapi ia tetap berangkat sendiri untuk mengikuti acara dirumah budhenya.
Malam itu ia tidak memiliki firasat apapun, meski jalan dari babat keselatan sangat gelap. Saat itu juga hujan gerimis mulai mengikuti Baim.
Saat ia memasuki tanjakan area didesa Gunung Girik lagi-lagi wanita yang bernama Sari sudah berdiri dipertigaan jalan melambai kearahnya. Merasa sudah kenal baik Baim langsung menghampirinya temannya.
“Muleh ta mbak” (pulang ta mbak). Sapa Baim dengan kaca helm sudah terbuka
“Iyoe mbak, jodoh paling…hehehehe..” (iya mbak, jodoh kali..hehehe) jawab dan canda baim kepada Sari.
Pakaian dan bau Sari ini sama seperti waktu baim pertama ketemu, tapi Baim tetap berpikir positif saja.
Masih diatas motor, baim langsung membelokkan motor diselatan warung kearah barat.
Saat motornya sudah sampai dan berhenti didepan rumah sari.
“Ya mas monggo,ten kamar lebet mawon” (ya mas silahkan, di kamar dalam saja). Tawar Sari
“Mboten usah mbak, maleh ngerepotaken jenengan mangke”(tidak mbak, tambah merepotkan anda nanti).
“Mboten nopo-nopo mas, sak aken sampean kademen. Nggih sampean anggep kulo matur nuwun sampun diteraken saking griyo”
rumah). Jawab sari yang ingin berterima kasih pada Baim
“Nggih pun mbak mboten nopo-nopo nek ngonten” (Ya mbak, kalau begitu tidak apa-apa). Jawab Baim yang agak sungkan
“Mas diunjuk rumiyen” (mas diminum dulu). Tawar Sari yang berdiri disamping Baim
“Nggih mbak” (ya mbak). Jawab Baim disertai duduknya dan langsung mengambil cangkir kopi itu.
Mata Baim yang sudah tinggal 3 watt akhirnya langsung tidur diatas kursi kayu.
Baim yang tersadar mulai bangun dengan bingung, wajahnya pucat dan linglung. Kepalanya menoleh kekiri dan kekanan, ia melihat sekelilingnya dengan wajah panik,
“Loh ten pundi niki pak” (Loh dimana ini pak). Kata Baim dengan tatapan kosong bingung setelah melihat Nisan tadi.
“Mboten pak” (tidak pak). Jawab Baim pelan
Baim dibantu untuk mengangkat motornya dari kuburan dengan sebuah bambu, bambu itu diikatkan dimotornya lalu mereka menggotongnya berdua untuk melewati parit kuburan,
“Kengeng nopo pak,” (kena apa pak). Jawab Baim yang masih belum sadar
“Nggih pak” (ya pak). Jawab Baim yang mulai setengah sadar
“Yo le, podo-podo” (ya nak, sama-sama). Jawab singkat pak Rano
“Mangkane le, nek di kandani wong tuek manuto” (makanya nak, kalau dibilangi orang tua menurutlah). Kata Ibu Baim
“Nggih buk, ngapunten” (Iya bu, maaf). Jawab Baim dengan penyesalan