My Authors
Read all threads
Mereka yang selalu menjadi misteri di jalur tengkorak Pantura "Alas Roban".

@bacahorror #bacahorror

-Short Thread-
Silahkan RT & Like sesukanya, semoga malam ini bisa mulai up lagi...🙏🙏🙏
Ok kita mulai pelan-pelan, semoga up sampai selesai.

Kegiatan libur semester ialah hal yang ditunggu-tunggu pagi pelajar, khususnya Handy dan Tyo teman akrab satu kelas serta satu bangku. Mereka adalah siswa disalah satu SMA yang berasal dari kota pahlawan.
Kegemaran dan hoby mereka berdua ditahun 2011 adalah bermain otak atik motor tua serta touring luar kota, diusia yang masih belia hobinya cukup menguras kantong kedua orang tuanya.
Kedua orang tua mereka juga senang dengan kegiatan anaknya, yang terpenting masih dalam koridor kegiatan yang positif dan tidak menganggu prestasi di sekolahnya. Saat liburan kenaikan kelas XI menuju kelas XII telah tiba.
Dihari minggu mereka berdua berkumpul dirumah Handy terlebih dahulu. Mereka berdua berencana ikut Touring ke Jogjakarta bersama teman sekampung Handy. Kebetulan informasi dari teman-teman didaerah sekitar rumah Handy ada rombongan delapan orang yang mau ikut touring ke Jogja.
mereka masing-masing menggunakan satu motor diisi dua orang. Saat masih dirumah Handy, teman-teman dilingkungannya datang satu persatu untuk berkumpul. Sepuluh orang ini menyepakati Hari keberangkatan ditentukan berangkat dari kampung Handy,
mereka menyepakati untuk berangkat hari selasa sore sehabis dhuhur sekitar jam satu siang.

Selasa sore jam 1, ternyata belum ada yang datang. Handy yang sudah siap dengan Tyo menunggu sampai jam empat.
Perlahan tapi pasti rekan mereka yang delapan orang baru berkumpul di rumah Handy. Meski agak telat mereka tetap berangkat bersama, semua rombongan berangkat dengan penuh semangat bahagia.
Keberangkatan mereka berbekal seadanya, waktu dijalan sempat berpapasan dengan satu club motor yang sama tapi beda rombongan. Saat rombongan berjalan menuju Jogja, mereka dua kali berhenti untuk istirahat dan mengisi BBM.
Selain itu mereka juga membantu teman satu club motor yang mogok, padahal mereka belum saling kenal. Tapi rasa persaudaraan sesama pemilik motor tua yang menyatukan mereka untuk saling bantu membantu.
Perjalanan penuh canda tawa dan keseruan diantara para pemuda ini saat di jalanan, waktu terus berjalan seperti roda mereka yang terus melaju. Sesampainya di Jogjakarta mereka langsung menuju pantai Parang Tritis, tempat yang akan dijadikan berkumpulnya club motor ini.
Saat mereka sampai lokasi waktu mennujukkan sudah malam hari, semua anggota rombongan ini memutuskan untuk menginap di areal tepi jalan sekitar pantai. Begitu juga anggota club motor tua ini ikut bergabung, sedang club motor dari kota lain juga mulai berdatangan dimalam hari.
Suasana semakin malam semakin ramai dan riuh, saling sapa dan saling berbagi, makanan, minuman dan rokok adalah kebiasaan mereka saat acara seperti ini.

Malam hari itu mereka habiskan untuk nongkrong dipinggir jalan, bukan untuk istirahat melepas lelah.
Jiwa muda mereka untuk mengenal satu sama lain dari lain daerah juga sangat kuat. Hal ini membuat anggota club dari kota pahlawan begadang malam itu. Padahal pagi hari akan diadakan acara orkes dangdut untuk memeriahkan acara mereka, tapi semua anggota club merasa tidak peduli.
Mereka berpikiran hanya kebahagian bisa bekumpul bersama teman-teman sesama satu club motor.
Pagi menjelang, Handy dan Tyo sudah berada dipantai. Pikiran mereka gelisah dan tak nyaman pagi itu, keduanya merasa ada sesuatu yang mengganjal dari diri mereka.
Entah apa yang terjadi saat itu pada dua pemuda asal kota pahlawan ini, semakin siang semakin mereka tidak betah dilokasi. Padahal acara pembukaan belum dimulai, keadaan touring kali ini tidak seperti touring-touring yang mereka alami sebelumnya.
Hari itu memang menjadi touring terjauh untuk kedua sahabat, karena sebelumnya hanya touring di sekitar daerah Jawa Timur saja. Hari beranjak semakin siang, chek sound dan persiapan alat diatas panggung sudah siap digelar dipantai.
Informasinya acara sekitar jam sepuluh lebih akan dimulai. Tapi Handy tidak berkehendak demikian, ia yang masih duduk disebelah panggung bersama Tyo tiba-tiba berkata.
“Yo ayok muleh, atiku wes ora enak” (Yo, ayo pulang. Hatiku merasa sudah tidak enak). Pinta Handy yang berdiri disamping panggung

“Podo Han, aku yo wes kroso gak enak iki” (Sama Han, aku ya merasa tidak enak ini). Jawab Tyo
“Yo wes ayok langsung moleh” (ya sudah ayo langsung pulang). Sambung Handy

“Tapi gak pamitan neng arek-arek sek ta” (tapi tidak pamitan ke anak-anak dulu ta). Sergah Tyo
“Gak usah, engko nek pamit malah gak oleh muleh tambahan karo arek-arek” (tidak perlu, nanati kalau pamit malah tidak boleh pulang malahan sama anak-anak). Jawab Tyo yang sudah gelisah ingin pulang.
Mereka berdua berjalan diam-diam dari sebelah panggung menuju parkiran motornya, mereka mengambil motor dan menuntunnya dengan perlahan.
Siang itu mereka berjalan menuntun motornya terlebih dahulu berdua melewati kerumunan anggota club motor, seakan – akan anggota club yang lain melihat motornya mogok. “nang ndi Han” (kemana Han). Tanya salah satu anggota club yang menggenalnya.
“Sek ape mbenakno motor iki nang ngarep” (sebentar mau memperbaiki motor ini didepan). Jawab Handy sambil menunjuk kearah jalan. Padahal waktu keluar pantai pikiran mereka sudah mulai kosong, gelisah dan kacau, mereka sudah tidak sadar akan apa yang dilakukan.
Mereka berdua seperti terkena hipnotis, sampai dijalan mereka langsung menaiki motor tua itu dan melanjutkan perjalanan pulang secara diam diam. Sekitar jam sepuluh pagi mereka mulai mengendarai motor tuanya diatas jalan raya.
Perasaan Handy melajukan motor kearah Jawa Timur, mereka melaju berdua sekian jam hingga terasa bahan bakar mereka mau habis. Merasakan hal ini, tarikan motor sudah tersendat-sendat, saat itu juga Handy mengurangi kecepatan sambil mencari SPBU terdekat.
Sekian meter mereka melihat SPBU, spontan tangan Handy membelokkan motornya disebuah SPBU kecil. Handy langsung ikut antrian paling belakang di Box bertuliskan Premium, Tyo sendiri langsung turun dari boncengan dan pergi kekamar kecil.
Selesai buang hajat Tyo berjalan keluar, ia duduk jongkok dipintu keluar SPBU untuk menunggu Handy. Waktu Tyo duduk ia melihat rombongan konvoi club motor yang sama dengan mereka melewati depannya.
“Whoi bareng” teriak Tyo dengan keras dengan melambaikan tangannya, tapi rombongan ini hanya melambaikan tangan dan tetap berlalu pergi. Tyo memandang ke mereka semakin menjauh dan menghilang di jalanan, sedang Handy masih antri di SPBU.
Sekian menit akhirnya Handy datang dengan mengendarai motor tuanya, Merasa mereka berdua sudah tertinggal jauh karena mengisi bahan bakar di SPBU. Tyo dengan cepat berdiri di belakang boncengan Handy…
“Ayo cepet budal, perasaan ku tambah gak uenak iki” (ayo berangkat ini sudah tambah tak enak ini) Ucap Tyo dengan memaksa. “Yo ayo cepet ndang numpak des”(ya ayo cepat naik des). Sambung Handy serta menunggu Tyo naik dibelakang motornya.
Handy langsung memasukkan kendaraan dijalan raya beraspal kembali. ”Arek-arek mau kok wes ora ketok yo?”. (anak-anak tadi kok sudah tidak kelihatan yo) Kata Tyo yang dibelakang. “Sopo yo” (Siapa Yo). Sahut Handy dari depan.
“Arek-arek sak club motor karo awak dewe Han” (anak-anak yang satu club motor sama kita Han). Jawab Tyo.

“Beneran Yo” Tanya Handi yang penasaran. “Iyo… Han banterno motore des, ngomong ae selak keri iki” (Iya Han kencangkan motornya des, bicara saja bisa ketinggalan ini)”.
bentak Tyo dari belakang. “Iyo cuk, rame ae. Aku nggur takon” (Iya cuk, ramai saja. Aku cuma nanya) sahut Handy yang memulai menambah kecepatan.
Merasa kesal, motornya langsung dipacu dengan kencang, dengan kecepatan penuh motor Handy melaju Tapi belum bisa menyusul rombongan didepannya. Sekian lama mereka menyusuri jalan raya sampai akhirnya dari jauh mereka melihat areal hutan jati yang lebat didepan.
tapi teman-teman mereka tetap belum terlihat. “Piye iki, arek-arek mau sek gurung ketok” (gimana ini anak-anak tadi masih belum kelihatan) Tanya Handy dari depan dengan keras.
“Wes melok’o dalan gede ae gak popo” (sudah ikuti jalan raya saja tidak apa-apa). Jawab Tyo dari belakang. “Ya wes” (ya sudah). Jawab Handi didepan.

Dengan saran dan masukan dari sahabatnya Tyo, akhirnya Handy menurutinya tapi ia sedikit ngawur untuk mengambil jalan raya.
Handy yang gelisah dan bingung berpikir hanya untuk mengikuti jalan raya yang berada didepannya. Padahal mereka saat itu sudah salah jalur untuk pulang, Kebingungan dan ketidaksadaran mereka dari pantai Parang Tritis membuat Handy mengendarai motor secara asal.
Dijalan raya yang disamping kanan kiri rumah telah habis, kini mereka mulai memasuki hutan jati yang lebat. Jalan mulai menanjak dan banyak belokan serta turunan tajam. Mereka melaju dengan kecepatan sedang meski sesekali kendaraan lain lewat dan menyalip mereka dari belakang.
Saat tanjakan tajam motor mereka dipacu untuk melewatinya, tapi motor mereka tidak kuat menaiki tanjakan. Melihat keadaan ini Tyo langsung turun dari motor dan mendorong motor Handy dari belakang.
Hal itu mereka lakukan berulang kali, sampai mereka berjalan sekitar lima kilo meter. Diremang cahaya mulai redup tertutup daun jati yang lebat dan rimbun, ada seorang kakek tua sendirian naik motor yang sama dengan Handy.
Kakek itu seperti habis ikut konvoi, perlahan kakek ini menghampiri mereka dari samping dengan mengurangi kecepatan motornya.

“Kenek opo le” (kena apa nak) Tanya kakek tua yang masih mengendarai diatas motor tuanya dengan pelan disamping Tyo.
“Mboten kiat motore damel nanjak mbah” (tidak kuat motornya buat naik ketanjakan mbah). Jawab Tyo yang mendorong dengan nafas ngos-ngosan
“Ayo bareng aku salah siji, ben gak mlaku” (ayo sama saya salah satu, biar tidak jalan) Tawar kakek yang memakai helm dan telihat sembulan beberapa rambutnya yang memutih.

“Nggih mbah matur nuwun” Sambung Tyo yang melepaskan tangannya dibelakang motor Handy.
Tyo sendiri langsung mendekati kakek tua ini dan menerima ajakannya, sejenak sang kakek berhenti sebentar dan Tyo langsung naik di belakang motornya. Tyo dan kakek tua ini mengendarai motor berdua dengan lancar.
Sang kakek ini saat memboceng Tyo sempat bercerita bahwa asalnya dari Jawa Timur juga, tepatnya dikota sebelah Tyo. Mereka berdua melaju dahulu sambil berbincang panjang lebar.
Sedangkan Motor yang dikendarai Handy tadi tidak kuat ditanjakan sekarang tiba-tiba kuat melewati tanjakan dan bisa mengikuti motor kakek ini dari belakang. Sekian kilo meter jalan yang telah dilalui, kakek ini mengajak mampir disebuah warung untuk makan.
Sebenarnya Tyo tidak mau tapi kakek ini terus memaksa Tyo, sampai akhirnya dia sebagai penumpang mengikuti keinginan jokinya. Tyo sendiri juga merasa sudah merasa akrab pada kakek ini padahal baru ditemuinya beberapa menit yang lalu.
Sedang Handy sendiri mengikuti kakek ini dan temannya Tyo untuk mampir diwarung.

Saat sampai diwarung sederhana mereka parkir kendaraan dihalaman warung, lalu mereka bertiga ini masuk warung dan pesan makanan.
Kedua pemuda yang tidak tahu arah pulang ini, tanpa rasa sungkan mengikuti kakek tua untuk makan diwarung. Suasana diwarung cukup ramai saat sore menjelang magrib itu. Waktu itu jam diwarung menunjukkan jam 5 sore lebih lima belas menit.
Mereka makan dengan lahap, karena Tyo dan Handy sendiri sudah merasa kelaparan. Selesai makan mereka keluar, tapi sebelum meninggalkan warung semua makanan dibayar oleh kakek tua baik hati ini. Sampai diluar warung kakek ini langsung duduk diatas motornya sendirian.
Dia menoleh ke Handy yang sama – sama sudah naik motor tua. Sedang Handy sendiri sudah menatapnya penuh curiga..

“Mbah mulihe ngetan bareng ae mbah” (mbah pulangnya ketimur barengan saja mbah). Pinta Handy
“Ojok le, aku gupuh-gupuh. Masalahe aku jek enek urusan liyo” (Jangan nak, aku buru-buru. Masalahnya aku masih ada urusan lain). Jawab kakek ini dengan menyalakan motornya

“Wes tak disek” (sudah saya duluan). Pinta kakek ini dengan melajukan dahulu motornya kejalan beraspal.
Kakek ini mulai meninggalkan mereka berdua, tapi Handy dan Tyo yang merasa sudah dibantu kakek ini mereka langsung mengejarnya dari belakang. Dengan cepat dua pemuda ini menaikan motor dijalan beraspal, motor yang mendadak normal melaju dengan kencang untuk mengikuti kakek ini.
Sejauh dua puluh meter kakek itu masih terlihat, tapi saat setelah belokan tanjakan kakek itu tiba-tiba kakek ini menghilang. Mereka berdua bingung, seharusnya kakek itu didepannya tapi tiba – tiba sudah tidak ada ketika jalan didepannya lurus.
“Piye iki yo, mbahe kok ilang” (gimana ini yo, kakeknya kok hilang) tanya Handy dengan menurunkan kecepatan serta menoleh kebelakang sebentar.

“Iyoe, gak enek mbahe” (Iya, tidak ada kakeknya). Sahut Tyo yang heran
“Yo wes babahno terus ae Han, wes bengi iki” (ya sudah biarkan terus saja Han, sudah malam ini). Perintah Tyo dari belakang

“Yo wes” (Ya sudah). Jawab singkat Handy dengan menaikkan kecepatan lagi
Tanpa pikir panjang Handy menjalankan saran Tyo dan tetap merasa melajukan kendaraan untuk mengarah ketimur, menuju arah kota kelahirannya. Hari semakin gelap, Motor mereka yang ditumpangi Handi dan Tyo terus melaju di areal hutan dengan pemandangan semakin mengerikan.
Digelapnya malam hanya beberapa kali mobil dan motor menyalipnya, lampu motor mereka juga redup kekuningan saat itu. Daun - daun jati yang rimbun menutup dengan kegelapan di semua sisi jalan.
Semakin jauh mereka melaju bau harum bunga kamboja mulai tercium, tapi kadang - kadang bau bunga kamboja itu berganti dengan bau busuk. Rintik hujan lama - kelamaan yang melanda mulai mengikuti dan membasahi jaket tebal mereka,
kedua sahabat ini tetap tidak berhenti untuk sekedar berteduh atau menahan dingin.

Mereka berdua yang tergolong masih polos akan hal demikian, menganggap hal ini biasa saja. Disisi lain mereka juga tergolong anak nekat yang cepat ingin sampai rumah,
karena lingkungan mereka yang mendidik karakter mereka menjadi demikian.

Semakin lama dan jauh mereka melewati jalanan hutan ini suasana semakin lembab dan tidak ada kendaraan satupun yang melintas.
Hingga daun-daun jati tidak terlihat, hanya getaran daun – daun jati yang terkena bulir air sebagai alunan bunyi malam itu. Lama kelamaan mereka merasa hanya kendaraan mereka berdua yang ada dijalanan malam itu.
Sejauh kira-kira lima belas kilo dari warung pertama saat melintasi jalanan, Handi dan Tyo hanya melihat satu buah warung ditengah hutan tepatnya disisi kiri jalan.
Posisi warungnya berada tepat setelah tanjakan ada belokan sedikit dari arah barat.
Mereka berdua yang sekilas melihat bangunan itu reot, mereka tidak berpikir curiga sedikitpun akan warung ini. Mereka terus melajukan kendaraan, sampai Handy melihat didepannya ada pertigaan jalan besar, ia melaju lurus mengikuti jalan besar itu.
Tapi setelah melewatinya mereka kembali melintasi warung reot itu lagi, seperti berputar kembali. Ia memacu kendaraan tuanya sekitar 12 belas kali melewati warung itu.
Sampai akhirnya Tyo yang kesal memulai menghitung perjalanan ke 13, dengan hitungan pertama dilintasan yang sama, sedang Handy hanya fokus untuk menahkodai motornya.
Tyo mempunyai inisiatif sendiri, yaitu warung ini dijadikan penanda dan pengingat jika lewat lagi disini.
Yang kedua setelah mereka tetap melewati warung yang sama disisi kiri jalan, Yang ketiga Motor terus berjalan mengikuti jalan raya sampai ada pertigaan lagi.
Kali ini Handy memilih dijalan yang berbelok, sekian lama memacu motor. Mereka kembali lagi melewati depan warung yang sama ditengah hutan. “Kok warung iki maneh Han” (kok warung ini lagi Han). Ucap bibir Tyo yang tepat disebelah kanan telinga Handy.
“Iyo, bener Yo mosok awak dewe salah dalan” (Iya bener yo. Masak kita salah jalan). Jawab Handy dari depan dengan suara kencang.

Ternyata mereka hanya berputar dan berputar di jalan raya yang tak berujung. Lama kelamaan mereka berdua tambah kesal dengan apa yang dialami,
Tyo dibelakang mulai jengkel dan merasa capek serta kedinginan. Tyo sendiri ingin segera beristirahat.

“Eh Han awakmu iso nyetir gak” (eh han kamu bisa nyetir tidak?). Tanya Tyo dengan jengkel
“Maksudmu piye” (maksud kamu gimana?) Jawab Handy yang masih tak mengerti maksud Tyo

“Kok kaet mau muter neng dalan iki terus? opo awakmu gak kroso aneh?”
(Kok kita dari tadi muter di jalan ini terus, apa kamu tidak merasa aneh?). Tanya Tyo dengan serius disamping telinga kananya.

“Iyo yo, aku dewe kroso. Tapi piye maneh aku nggur fokus nyetir delok dalan neng ngarep, soale dalane peteng?”
(Iya ya, aku sendiri merasa. Tapi gimana lagi aku cuma lihat jalan kedepan, masalahnya jalannya gelap?). Jawab Handy dengan mengurangi kecepatan laju motornya.

“Sek kalem-kalem ae motore, delok’en neng ngarep iku warung seng mesti awak dewe liwati kaet mau”
(Sebentar pelan-pelan saja motornya, lihatlah didepan itu warung yang pasti kita lewati dari tadi). Jelas Tyo dengan sedikit mengigil

“Temen ta Yo” (Beneran ta Yo). Sambung Handy
“Temenan des iku mau wes tak titeni bolak balik, warung iku mesti enek neng siseh kiri dalan. Rupane yo pancet” (beneran des, itu tadi sudah tak ingat bolak balik, warung itu pasti ada disisi kanan jalan). Terang Tyo dengan penuh keyakinannya
Entah berapa lama mereka berputar putar lagi di jalanan tengah hutan, malam itu mereka tidak bisa melihat jam karena HP keduanya baterainya sudah habis. Hp mereka berdua ditaruh dijok motor, saat mulai meninggalkan SPBU terakhir.
Waktu motor terus melaju pelan tiba-tiba motor mereka mogok mendadak, tepatnya didepan warung reot yang jadi penanda yang mereka lewati tadi.

Kondisi Mereka berdua malam itu sudah sangat capek, lelah, serta dingin dari hujan gerimis yang menemani mereka digelapnya hutan jati.
Tubuh mereka berdua juga mulai tambah kedinginan, sedang hati tenaga dan pikiran mereka mulai kacau linglung serta takut. Sambil memegangi motor yang mogok, Handy berkata kepada Tyo yang dibelakangnya…
“Han leren sek ae neng warung iku yo? Awakku wes kesel kabeh ?” (Han istirahat dulu badanku sudah capek semua). Pinta Handy yang sudah merasa kelelahan

“Duite ngepres iki Han, iki nggur cukup gae tuku bensin tok”
(Uangnya ini sudah mepet Han, ini Cuma cukup buat beli bensin). Sahut Tyo dibelakangnya

“Wes gak popo, tuku kopi ambek teh anget ae” (sudah tidak apa-apa, beli kopi sama teh hangat saja). Sambung Handi
“Motoku barang wes ora kuat temenan iki?” (Mataku juga sudah tidak kuat beneran ini). Kata Handi dengan serius

“Yo wes gak popo nek ngunu” (ya sudah tidak apa-apa kalau begitu). Jawab Tyo yang mengikuti permintaan temannya.
Tak lama kemudian motor mereka dituntun ke kiri jalan menuju warung itu, warung reot itu hanya berdiri sendirian disebelah sisi kiri jalan. Dengan kondisi kelelahan mereka berdua langsung memarkirkan motor tua didepan warung tersebut, tepat dibawah pohon jati besar.
Saat masuk warung mereka meletakkan helmnya di kursi depan warung, dan membuka kancing jaket tapi mereka tetap memakainya.

Warung ini terbuat dari papan kayu dengan penerangan lampu neon kuning agak redup didalam warung.
Depan warung ada dua pintu masuk yang sudah terbuka, dan jendela ditengahnya agak besar tapi sedikit terbuka. Lampu neon ini terlihat sudah sangat usang dan lusuh sebagai penerangan satu-satunya di dalam warung ,neon kuning itu tepat berada tergantung diatas meja tengah warung.
Saat mereka masuk kedalam warung ini, ada tiga buah kursi kayu yang terpisah. Kursi itu masing-masing didepan samping kanan dan kiri menghadap meja yang ditengah. Meja warung ditengah hutan ini berisi beberapa minuman kemasan dan tiga loyan macam-macam jajanan pasar.
Handy dan Tyo yang capek, langsung duduk meluruskan kaki dikursi sebelah kanan meja. Didepan meja ternyata sudah ada satu orang pengunjung. Seorang pria agak tua seperti pulang dari sawah.
Tapi anehnya pria ini kepalanya hanya menghadap minuman kopi di atas meja yang berada didepannya dengan kepala setengah tertunduk. Sehingga wajah pria ini tidak terlihat sama sekali, karena penerangan dari lampunya sangat redup.
Pria ini memakai kaos loreng lengan pendek dan celana pendek warna hitam. Sedang topi caping sawahnya beserta sabit ditaruh di meja sebelah kanan kopinya.
Sedang disebelah kiri warung ada dua orang yang bermain catur diatas kursi kayu panjang, tapi kedua orang ini hanya diam memandangi catur. Keduanya memakai baju lengan panjang jaman dahulu dengan cenana panjang berbahan kain.
Didepan mereka masing – masing ada secangkir kopi hitam, mereka duduk saling tertunduk memandang catur hingga Handi dan Tyo tidak bisa melihat wajahnya juga.

Handi dan Tyo yang tidak bisa melihat mukanya dia mencoba bertanya dari tempat duduknya.
Tapi Handi melempar pertanyaannya terlebih dahulu kepada kakek-kakek yang duduk sendirian…

“Pak seng dodol niki pundi?pak seng dodol niki pundi?"(Pak yang jualan ini mana?, Pak yang jualan ini mana?)
Tanya Handy yang sudah duduk tegap.

Merasa tidak ada jawaban dari kakek ini,

Handy lalu bertanya kepada kedua orang pria yang sedang bermain catur didepanya sebrang meja, yang berada tepat dihadapannya.
“Pak seng dodol niki pundi?” … pak seng dodol niki pundi? (Pak yang jualan ini mana?, Pak yang jualan ini mana?). Tanya Handy lagi…

Sekian menit dan berkali kali Handy bertanya pada dua orang ini dan semua orang yang ada warung secara bergantian.
Tapi semua pria ini hanya diam membisu. Semua pria disini aneh karena tidak menghiraukan Handy yang bertanya kepada mereka.

“Han, kok ambune menyan yo warunge” (Han kok bau kemenyan ya warungnya). Celetuk dan Bisik Tyo pelan
“Podo, menengo ae gak penak nek krungu karo seng due warung des” (sama, diam saja tidak enak kalau terdengar sama yang punya warung des). Sahut Handy dengan berbisik ditelinga Tyo
Lama kelamaan Handy merasa jengkel, Tyo juga merasa ikut jengkel juga karena temannya tidak direspon.

“Golek ono melbu ae han bakule” (cari saja masuk saja Han penjualnya) Pinta Tyo yang duduk dengan memandang langit-langit warung.
Saat itu juga Handy memutuskan masuk ke dalam warung sendirian. Sampai diruang belakang Handy mendapati ruang gelap, hanya sedikit cahaya dari lampu depan warung yang mengenainya.
Ternyata dalam nuansa cahaya redup, samar-samar ada seorang perempuan tua bersanggul kecil sedang berdiri menghadap sebuah meja, ia berpakaian kebaya dan sewek. Mirip pakaian orang jaman dahulu, Tapi posisinya wanita ini membelakangi Handy.
Wanita ini kepalanya setengah menunduk, dengan kedua tangan tetap terjuntai kebawah. Wanita tua ini hanya diam memandangi meja itu. Memang meja itu berisi toples-toples berisi kopi dan lain-lain.
Sedang disebelahnya ada satu laki-laki tua yang sedang duduk dan menumbuk kopi, menghadap kesamping. Tapi kegiatan yang dilakukan pria itu tidak ada suaranya sama sekali.
Padahal gerakan tangannya yang naik turun memegang alat penumbuknya mengenai lumpang (tatakan kayu untuk menumbuk biji kopi), hanya gerak bayangan hitam pria itu yang terlihat.

Handi berjalan mendekat dibelakang nenek tua ini dan berbicara…
“Mbah tumbas kopi setunggal teh anget setunggal” (mbah beli kopi satu teh anget satu?)Ucap Handy dengan tenang tapi sedikit mulai takut.

Setelah memesan pada wanita tua dan pria tua itu, mereka hanya diam tanpa jawaban, sampai ia bicara berulang kali tapi juga tidak ada jawaban.
Terakhir ia berbicara agak keras, karena Handi merasa wanita itu tuli.Sampai ia berteriak-teriak memesan pun tetap tidak ada jawaban dari wanita ini. Sekian menit ia yang merasa ada yang lebih aneh lagi dengan warung ini, tapi ia juga merasa sudah capek langsung kembali kedepan.
Saat berbalik arah, Handy melihat pria tua ini mengganggukkan kepalanya pelan. Saat itu juga Handy merasa permintannya sudah diketahui oleh penjual. Ia terus berjalan kedepan dengan perasaan kesal dan sedikit takut, sampai disamping Tyo, Handy langsung duduk dikursi kayu.
“Asem tenan…hah… mbuh...aneh warung iki kabeh podo mbideg nek ditakoni”( Asem tenan…huh mbuh…aneh warung ini, semua diam kalau ditanya). Ucap Handy disamping Tyo
“Terus pie iki kopine karo tehe Han? aku yo ngelak pengen ngeteh pisan” (terus bagaimana ini kopi sama tehnya Han? Aku juga haus pengen ngeteh juga). Kata Tyo dengan sedikit jengkel kepada Handi
“Uwes Yo, mbahe mok mantuk tok pas terakhir dibengok’i, penting isok leren sek neng kene Yo. awakku rasane kesel pol. Kaet mau nyetir neng dalan.” (Sudah Yo, kakeknya Cuma mengangguk saja waktu terakhir diteriaki.
Penting bisa istirahat dulu disini Yo. Badanku rasanya capek, dari tadi mengemudi dijalan). Sambung Handy dengan posisi setengah badannya disandarkan didinding yang terbuat dari papan kayu.
“Yo wes lungguh-lungguh sek ae nang kene” (Ya sudah duduk-duduk dulu saja disini). Ajak Tyo yang sama-sama menyandarkan tubuhnya didinding warung.

“Yo yo…(Ya…yo) Jawab Handi dengan menatap langit-langit yang gelap, sesekali memejamkan matanya untuk mengurangi rasa lelahnya.
Waktu terus berjalan, warung yang bercahaya remang-remang itu tetap sepi dan sangat sepi. Hanya suara rintik hujan yang terdengar mengenai tanah. Sekian lama mereka yang masih berdua duduk bersandar,
mereka dikagetkan kedatangan wanita tua yang memakai kebaya hijau dan sewek kain warna coklat muda itu. Handy dan Tyo langsung segera berbenah dan duduk tegap selayaknya pengunjung warung, dengan mata kepala mereka berdua saling bertatapan curiga penasaran.
Wanita ini membawa dua minuman, cangkir kecil berwarna hijau putih dengan tatakan kecil warna putih pekat berisi kopi. Satunya gelas agak besar warna bening tanpa tatakan berisi teh.
Kedua tangan nenek yang terlihat coklat dan sedikit keriput langsung meletakkan sajian kopi dan teh didepan mereka tanpa bicara sepatah katapun. Kepala wanita tua ini tetap tertunduk saat melayani Handy dan Tyo.
Handy yang duduk ditempatnya, kembali menegakkan pandangannya ke arah kopi didepannya. Perasaannya senang malam itu pesanannya ternyata benar-benar dibuatkan oleh nenek tua ini.
Lalu pandangan Handy bergeser sedikit mengarah ke wanita tua ini, waktu itu wajah Handy sedikit tertunduk melihat dibawah. Handi melihat kaki wanita tua tanpa alas kaki itu berjalan, tapi kakinya tidak menyentuh tanah sama sekali.
“Deggg”…jantung Handy langsung berpacu mulai cepat, rasa ketakutannya dengan cepat menjalar disekujur tubuh.

Wanita ini kembali masuk kedalam lagi tapi sambil melayang pelan dan tenang, dengan kepala tetap tertunduk.
Handy meraih gelas berisi kopinya dengan tangan bergetar dan meminumnya sampai habis, begitu juga dengan Tyo yang mengambil tehnya dengan tenang dan langsung meminumnya sampai habis. Malam itu Tyo tidak melihat kaki nenek pemilik warung yang tidak menginjak ditanah.
Sesudah minum Handy masih takut gemetaran, padahal ia berniat menghabiskan minuman untuk meredakan ketakutannya. Perlahan Handy menggerakkan badannya kearah Tyo untuk bersiap melarikan diri.
Sewaktu ia memegang tangan Tyo, bersiap untuk menyeret temannya dan mengajaknya pergi dari warung. Kepala Handy menoleh dahulu kepada Tyo, ia bermaksud bicara dan memberi kode untuk lari. Tapi saat wajah Handy sudah mengahadap temannya,
Tyo langsung tertawa kecil melengking “Hi..hi..hi..hi” tapi suara tawa Tyo sudah berubah menjadi suara perempuan.

Handy yang kaget dan tak percaya, langsung memegang kedua bahu Tyo dan menggerak gerakkan tubuh Tyo maju mundur dengan kedua tangan yang masih bergetar...
“Yo sadar…sadar...sadar” Kata Handy yang sudah panik dan ketakutan

“Kenek opo koen…” (kena apa kamu). Kata Handy lagi, yang semakin ketakutan

“Yo…kenek opo koen” Ucap Handy lagi dengan mulai melepas pegangan kedua tangannya di bahu Tyo
“Ojok guyon… Ojok guyon… iki nang tengah alas” (Jangan bercanda…jangan bercanda ini ditengah hutan). Bentak Handy keras…

Tapi Tyo tetep tertawa dengan suara wanita yang melengking, seketika itu juga Handy yang panik langsung melayangkan bogem mentahnya kewajah Tyo.
“Buuugggghhh” Tyo yang terkena bogem mentah langsung jatuh tersungkur dibawah meja.

Seketika tubuh Tyo tersungkur ketanah, darah segar dari hidungnya pun ikut mengucur. Rembesan darah itu turun sampai dagu Tyo. Lalu Tyo bangkit berdiri lagi dengan mata melotot.
Menatap tajam Handi dengan kemarahan…

“HAHAHAHAHAHAHA” (ia kali ini tertawa dengan suara pria yang lantang dan besar, suara tertawanya yang menggema memecah dalam keheningan malam)

Anehnya semua pengunjung diwarung itu hanya diam seperti sedia kala.
Mereka tetap tidak ada yang bergerak sedikitpun dan merespon keadaan mereka. Dalam kondisi panik serta cahaya yang remang-remang kekuningan, kedua tangan Handy memegangi kepalanya yang ikut menjadi berat. Handy merasa tambah panik, takut, bingung dan lelah semua menjadi satu.
Saat itu juga Handy langsung bangkit berdiri dan meminta bantuan kepada pengujung pria didepannya. Tubuhnya bergeser maju membelakangi Tyo yang tetap berdiri tertawa. Handy mendekati pria yang tetap diam itu dengan melepaskan genggaman erat dikepalanya...
“Pak tolongi kancaku pak” (pak tolongin temanku pak). Ucap Handy keras kearah pria tua yang sendirian.

“Pak...tulungono kancaku pak...”(Pak tolongin temenku pak...) Kata Handy semakin keras.

Merasa usahanya gagal, saat itu juga ia semakin panik, dan lari keluar dari warung.
Sampai diteras warung langkahnya terhenti, ia kembali lagi sampai kedepan pintu warung dan menoleh kearah dua pria yang bermain catur. Sedang didalam kepala Handy bingung memikirkan mau berbuat apa lagi demi menolong temannya.
“Pak tulungono koncoku pak ” (Pak tolongin teman saya Pak ). Pinta Handy yang keras dan konyol dipintu warung. Kali ini juga ia tidak mendapat respon, Handy yang panik secara tak sadar berteriak meminta nenek dan kekek yang berada didalam warung.
“Mbah tulungi kancaku mbah”(mbah tolongin temanku mbah). Teriak Handy dari depan pintu.

Teriakan Handy lagi-lagi tidak ada yang merespon, merasa diwarung tidak ada yang menolongnya,
Handy langsung menatap kearah Tyo dan berbicara pada temannya yang kerasukan “Entenono neng kene Yo, aku tak golek bantuan sek” (tunggu disini Yo, aku mau cari bantuan dulu). Ucapnya dengan nada cepat, penuh ketakutan dan seluruh tubuhnya sudah bergetar.
Handi pun berjalan dengan cepat keluar menuju motor yang diparkir dibawah pohon jati. Tyo yang tadinya berdiri kearah dalam warung, kini ia berdiri menatap Handy dari dalam dan tetap tertawa dengan suara laki-laki.
Handy langsung memegangi motor dan menghidupkannya, sambil melirik temannya yang tetap tertawa.

“Klak…gluk…gluk…gluk…” Motor tua Handy pun tetap tak bisa dinyalakan lagi, kakinya berkali-kali mengayuh dengan cepat stang stater motornya…
Tapi motor itu tetap belum mau diajak kompromi. “Cok cepetan,,,,uripo goblok…” (Cok cepetan,,,hiduplah bodoh). Umpat Handy serta tangan kanannya memukul spedometer motor tuanya.
”Aku arep dipateni iki, uripo Plak..plak…plak….hu…hu..hu” (aku mau dibunuh ini, hiduplah dan suara bunyi spedo meter yang berkali-kali digampar Handi, ia pun mulai manangis ketakutan)…

Saat usahanya gagal disertai tangisannya semakin keras,
Tiba-tiba ada suara motor pengguna jalan lain lewat didepan Handy, mereka melaju pelan dan mengamati Handy. Sedang mata Handy langsung berhenti menangis, Handy juga saat itu ikut memandang pengendara ini,
sekian detik ia amati ternyata mereka satu club motor yang sama dengan Handy…

“Mas mandeko sek…tulungi aku” (Mas, berhenti dulu…tolongi aku) Pinta Handy dengan suara keras sedikit sesenggukan, serta tangannya ikut melambai kearah dua orang ini.
Pengendara ini seketika melihat dan mendengar Handy, mereka langsung menurunkan kecepatan dan mengarahkan motornya kearah Handy. Mereka juga merasa Handy adalah salah satu bagian club motornya. Dua orang pengendara motor ini berhenti tepat disampingnya.
“Kenek opo mas motore?” (kena apa mas, motornya). Jawan pria yang memegang kendali mototr dan masih duduk diatas motornya.

“Mogok mas” Jawab Handy mulai berdiri, dan memelas penuh harap. Serta sesenggukan tangisnya yang sudah mereda
“Ambek sampean tulungi koncoku neng njero warung iku mas,” (sama anda tolongin teman saya didalam warung itu). Pinta Handy Sambil menunjuk Warung dibelakangnya. Pinta Handy
“Warung endi mas” (warung mana mas). Jawab pria yang dibelakang pemegang kendali motor, mata mereka sambil melihat tempat lokasi belakang Handy

“Iku lo mas” (itu lho mas) Jawab singkat Handy yang sudah berdiri dan menunjukkan warung dibelakangnya.
“Gak enek warung mas neng kene, omae sampean endi asline” (Tidak ada warung mas disini, rumah anda mana asalnya). Jawab orang yang dibonceng pengendara motor, ia sambil mengamati berkali-kali warung yang disebut Handy.
Tapi yang mereka lihat hanya hutan lebat dan gelap, yang dipenuhi tumbuhan pohon jati.

“Suroboyo mas, iku mas sebrang dalan. Ngguri sampean iku”
(Surabaya mas, itu mas sebarang jalan. Belakang anda itu). Jawab Handy dengan tangan kanannya menunjukkan rumahnya yang disebrang jalan. Handy sendiri merasa hutan disebrang jalan itu sudah rumahnya.
“Iki alas roban mas duduk Suroboyo” (Ini hutan roban mas bukan Surabaya). Tegas pengendara yang ikut bingung dan mulai takut
“Mosok!!!Temenan mas tulungi aku mas, kancaku neng njero warung ngguriku, omahku yo nang ngarep iku” (masak!!! beneran mas tolongi saya mas,
teman saya didalam warung belakang saya, rumah saya ya didepan itu). Ucap Handy meyakinan pengendara lain serta menunjukkan lagi lokasi dengan jari telunjuknya.

“Wah gendeng arek iki, piye iki?”(wah gila anak ini,bagaimana ini).Kata pengendara yang sedang memegang motor.
“Wes ayo ditinggal ae, paling arek iki demite kene” ( sudah ayo ditinggal saja, paling anak ini setannya sini). Sambung pria yang dibonceng.

Penjelasan Handy kepada pengendara lain yang tak bisa dicerna akal sehat membuat mereka juga ikut ketakutan malam itu,
mereka lama-lama ikut takut saat melihat tingkah polah Handy. Kedua pengendara motor tua ini langsung melesatkan motornya kejalan raya untuk pergi meninggalkan Handy…

“Mas ojok tinggal aku, tulungi aku…hu…hu…hu...”
(mas jangan tinggal aku, tolongin aku …hu...hu...hu...)
Teriaknya yang sudah mulai pupus harapannya dengan mulai menangis lagi.

Merasa sudah tidak ada pertolongan lagi, Handy berusaha kembali menghidupkan motor tuanya.
Klak...gluk…gluk…gluk (bunyi suara motornya yang terus dicoba dihidupkan)

“BRAAKKKK…BRAAKKK…BRAAKKK” Suara semua pintu, dan jendela warung yang terbanting dan menutup dengan sendirinya.

Malam terasa semakin mencekam waktu itu,
Handy sendiri semakin takut dan berpikir akan berakhir riwayatnya malam itu ditengah hutan.

”Cepetan goblokkkk…aku ape mati iki” (cepat bodoh…aku mau mati ini)…Teriak Handy kepada motornya sehabis mendengar suara dari warung, dan melirik kembali warung dibelakangnya.
padahal Ia yang sudah tambah ketakutan dengan menangis, serta badannya mulai lemas dan mau pingsan.

Handy menoleh lagi kearah depan warung, melihat warung yang sudah tertutup hanya suara Tyo yang tertawa kembali berubah menjadi suara perempuan.
“Hi…Hi…Hi…Hi” suara tertawa yang keras menggelegar dari dalam warung.

Mendengar suara ini, kepala Handy tiba-tiba menjadi berat, matanya juga mulai gelap karena semua rasa sudah menyatu dalam tubuhnya. Keringat dingin pun mulai mengucur dikening dan membasahi bajunya,
keringat itu juga menyatu dengan gerimis hujan yang belum berhenti.

“Sreeekkk…sreeekkk… sreeekkk” suara gesekan daun kering pelan yang mengenai sesuatu benda berjalan dari samping warung.
“Bismilah”…klak…grunggggg (ucap serta ayunan kaki Handi yang keras) seketika motornya nyala saat itu….

”grungggg….grungggg…grungggg“ merasa sudah nyala motor tuanya, gas motornya dikencangkan sejadi jadinya…hingga gas yang tertarik sudah habis/mentok.
Ia menoleh lagi kewarung berniat melihat temannya, tapi ia malah melihat samar-samar disamping warung sudah ada ular yang sangat besar tapi berkepala manusia.

Handy saat itu juga langsung memasukkan gigi persneleng dengan cepat...klak.
Tubuh Handy dan motornya terhentak maju…saat itu juga Handy melajukan motor digigi awal dan menambah gigi lagi dengan cepat sampai habis Klak…Klak…klak, ia memacu sekencang kencangnya untuk pergi mencari bantuan.
Handy terus menyusuri jalanan dihutan yang gelap itu sendirian, ia mengendarai motor tua dengan terus menerus melaju tanpa henti. Sekitar satu jam ia memacu kendaraan sendiri tiba – tiba ada benda yang mengenai lampu motornya…”Duakk”,
Handy yang gemetar ketakutan tetap berjalan tapi menurunkan kecepatan sambil melihat benda yang ia tabrak. Dari atas motornya ia menoleh kebelakang melihat sekilas, ternyata sebuah kepala seorang pria bersimbah darah,
kepala yang tergeletak dijalan mengarah ke Handy dan menatapnya dengan tertawa kecil ”hi…hii...hii”.

Handy kembali memandang jalan didepan, ia terus berucap “bismilah” dan berdo’a sebisanya tiada henti. Entah malam itu ia berjalan sejauh sudah sejauh mana,
karena malam itu ia sudah tak berani turun dari motor kalau tidak menemukan perkampungan. Sekian lama motor berjalan diatas jalan beraspal, suara tarhim subuh berbunyi dan Handy kebetulan mendengarnya. Tidak lama kemudian didepan ia melihat ada sebuah perkampungan.
Merasa do’anya dikabulkan, Handy langsung melesat masuk ke kampung yang baru dia lihat dari jauh. Waktu pertama kali masuk kampung itu, ia merasa kampung ini adalah kampung tempat asalnya. Saat itu juga Handy mulai menyusuri jalanan kampung ini.
Pertama disebelah kanan jalan kampung ia melihat ada sebuah rumah mirip rumahnya, Handy dengan perasaan senang mendekati rumahnya. Tapi saat sampai dilokasi ternyata rumahnya berubah menjadi lahan kosong.

Handy yang kecewa memutuskan kembali melajukan motor kembali,
dijalanan perkampungan itu. Sewaktu sudah jauh disebelah perempatan Handy melihat rumah Tyo.

Seketika itu juga ia mendekat, tapi lagi-lagi yang ia dapati sebuah lahan kosong.
Handy yang masih panik, bingung dan ketakutan, ia menjalankan motornya kali ini dengan memainkan tarikan gasnya dengan cepat dan sekeras-kerasnya. Dia berharap ada manusia asli melihatnya, dengan laju motornya terus memutari kampung itu berkali – kali.
Padahal beberapa warga kampung yang melihat Handy, dari dalam masjid dan didalam rumah. Handy seperti orang mabuk atau gila karena berputar-putar kampung tiada henti.
Sampai akhirnya ia menemukan toko yang mau buka, toko itu di depannya ada truk yang sedang parkir dan membongkar terpal. Mereka yang ada dibelakang truk bersiap-siap mau menurunkan muatan.
Saat itu juga Handy langsung menuju truk itu berhenti tanpa ragu, ia langsung berhenti tepat didepan truk. Handy turun dari motor dan mencari orang yang bisa dimintai pertolongan. Saat berjalan terhuyung-huyung mencari seseorang dibelakang truk.
Dibelakang truk ia melihat sopir yang diatas bak sedang ikut membuka terpal. Handy langsung mendongakkan wajahnya dan bicara.

“Pak bade nyuwun tolong” (pak mau minta tolong) cerocos Handy yang tengah berdiri serta masih ketakutan dan gemetar, serta badannya juga ikut mengigil.
“Rencang kulo ten njero alas pak” (teman saya di dalam hutan pak) Kata Handy lagi dengan cepat disertai bibirnya yang membiru dan bergetar.

“Nang ndi mas”? (dimana mas). Jawab sopir yang menghentikan tangannya membuka tali dan beralih menatap Handy
“Nok warung njero alas pak” (diwarung dalam hutan pak). Sambung Handy dengan berdiri mengigil

“Gak enek warung mas, nok njero alas iku” (tidak ada warung mas, didalam hutan itu). Sahut Kenek truk
“Onok pak koncoku mau, aku tinggal neng njero alas ijenan pak” (ada pak teman saya tadi, saya tinggal didalam di dalam hutan sendirian pak) Kata Handy dengan meyakinkan kedua orang diatas truk ini.
Sampai akhirnya kedua orang diatas truk turun untuk menanggapi Handy, Perdebatan antara sopir, kenek dan Handy semakin ramai. Sopir truk meyakinkan bahwa ditengah hutan tidak ada warung, karena ia sendiri sudah jadi sopir dan sering melewati hutan itu selama bertahun-tahun.
Semakin pagi, semakin ramai perdebatan tiga orang ini didepan toko sembako.

Mendengar keributan dipagi hari yang semakin menjadi-jadi, pemilik toko yang berada di belakang berjalan keluar. Sampai didepan dia berdiri diam dahulu mengamati perdebatan kenek, sopirnya dan Handy.
Sekian menit setelah sedikit memahami apa yang terjadi. Pemilik toko mendekat kepada Handy yang masih berdiri gemetar serta menahan sesenggukan sisa tangisnya.

“Enek opo iki? (ada apa ini). Tanya pemilik toko
“Ikio pak Met, arek iki jaluk tolong. Jarene kancane kesurupan neng warung tengah alas” (Inilo Pak met, anak ini minta tolong. Katanya temannya kesurupan diwarung tengah hutan). Jawab Sopir sembakonya

Selesai sopir itu berargumen, Tiba - tiba ada orang kampung melintas.
Kebetulan warga kampung asli dan juga tetangga Pak Slamet, kebetulan bapak muda ini baru saja melewati hutan tersebut. Saat itu juga orang ini mengahampiri kerumunan Handy, Pak Slamet, sopir dan kenek.
Bapak muda yang penasaran bertanya dan menghela perdebatan diantara kerumunan orang-orang ini.

“Warung endi mas” (Warung sebelah mana mas). Tanya bapak muda dengan penasaran
“Iku lo pak, warung sak marine tikungan seng nanjak” (Itu lo pak, warung sehabis tingkungan yang menanjak)” Jelas Handy

“Oalah mas, iku duduk warung, iku bekase omahe dukun”(Oalah mas itu bukan warung, itu bekasnya rumah dukun). Jelas Pria ini
“Omae mbah Suryo mbiyen ta” (rumahnya mbah suryo dulu ta) sambung Pak Slamet

“Bener, Pak met” Jawab singkat pria tetangga pak Slamet
Setelah itu mereka diam sesaat, tercengang mendengar penjelasan orang kampung asli yang barusan datang.
“Wes mas, sak iki sampean istirahat neng omahku wae disek” (sudah mas, sekarang anda istirahat dirumah saya saja dulu) Ajak pemilik toko dengan panggilan pak Slamet, tangan pak Met langsung menggandeng pergelangan tangan Handy dan menuntunnya masuk rumahnya.
“Mas, entenono neng kene diluk, maringene melu aku nang alas” (Mas, tunggu sebentar disini, habis ini ikut aku dihutan).Pinta pak Slamet kepada pria muda yang baru datang.

Setelah itu Handy masuk ke rumah bersama pak Slamet, rumah pak Met sendiri berada tepat disamping tokonya.
Handy saat itu juga disuruh duduk diruang tamu. Pak Slamet berdiri sejenak melihat kondisi Handy yang sudah basah kuyup kedinginan dan ketakutan, dan badan Handy juga masih bergetar.
Setelah itu pak Met masuk kedalam rumah untuk mengambil segelas air putih dan keluar lagi keruang tamu, saat itu juga pak Slamet menyuruh Handy untuk minum.
“Mas sampean ombe sek” (mas anda minum dahulu). Pinta Pak Slamet.
Diruang tamu pak Slamet Handy meraih gelas dari tangan Pak Slamet dan langsung meminumnya sampai habis, selesai minum seketika itu juga Handy mulai sadar. Seperti halnya orang normal yang biasa, termasuk semua kondisi panca indranya.
“Loh iki nang endi pak, iki duduk desoku ta pak?” (Loh Ini dimana pak, ini bukan desa saya ta pak). Kata Handy yang sadar dan bingung melihat keadaan sekitar
“Duduk. Iki nang daerah sekitare alas Roban mas, Batang Jawa Tengah mas” (Bukan. Ini di daerah sekitar alas roban mas, Batang Jawa Tengah). Jelas pak Slamet yang heran melihat keadaan Handy
“Loh, tak kiro iki kampungku ndok Suroboyo” (Loh, saya kira ini kampung saya di Surabaya)”. Jawab Handy yang masih memandang sekitarnya

Handy berhenti bertanya dan diam sejenak, ia mulai merasakan hal yang aneh dimulutnya.
Tangan Handy meraih sesuatu benda dalam mulutnya, saat jari telunjuknya keluar dari mulut. Jarinya mendapati sedikit lumpur, Mulutnya juga ia merasakan menjadi bau seperti bekas air comberan.

“Hueeekkk…hueekkkk...hueekkkkk..” (suara mual mau muntah dari mulut Handy)
“Ayo le nang jeding sek” (Ayo nak ke kamar mandi dulu) Respon Pak Slamet dengan cepat

Handy berjalan cepat diikuti pak Slamet dari belakang, dikamar mandi Handy memuntahkan air kotor bekas air comberan bercampur air liur, sedikit lumpur hitam.
Muntahan Handy berisi potongan-potongan daging dan sayur busuk. Setelah semua dikeluarkan ia disuruh berkumur-kumur oleh pak Slamet.

“Sak jane mau bengi mangan opo nang warung njero alas le” (sebenarnya tadi malam makan apa diwarung dalam hutan nak) Tanya pak Slamet penasaran
“Aku mek ngombe kopi tok pak”(saya cuma minum kopi saja pak). Jawab Handy dan mengingat-ingat lagi apa yang ia makan.

Setelah muntahan selesai dikeluarkan semua, kondisi Handy sudah agak baikkan. Ia juga langsung berkumur-kumur berulang kali.
“Oalah, yo wes. Ayo balik nang ngarep” (oalah Ya sudah ayo kembali kedepan). Perintah Pak Slamet.
Setelah itu Pak Slamet berjalan lagi keruang tamu mengantar Handy, sampai diruang tamu Handy langsung duduk dengan tubuh lemas dan gemetar.
Pak Slamet masuk kembali kedalam rumah untuk mengambil sesuatu, sesaat ia keluar membawa air putih lagi dan makanan. Saat itu juga Handy disuruh minum lagi dan makan. Sambil makan pak Slamet menemani Handy duduk disampingnya.
“Mas due nomere keluargane seng iso dihubungi” (mas punya nomornya keluarganya yang bisa dihubungi). Tanya pak Slamet

“Wonten pak, tapi di HP. HP kulo bateraine telas ten jok motor” (ada pak, tapi di Hp. Hp saya baterainya habis di jok motor). Jelas Handy
“Yo wes sampean jupuk diluk, terus dicas disek” (Ya sudah anda ambil sebentar, terus dicas dahulu). Pinta Pak Slamet lagi

“Yo pak”(Ya pak) Jawab Handy

Handy langsung keluar mengambil Hpnya di Jok motor tuanya,
Selanjutnya ia masuk kedalam rumah Pak Met lagi dan mengecasnya ditembok samping tempat duduk Handy. Saat itu juga ia melanjutkan makan. Selesai makan, sambil mengisi baterai rasa ngantuk dan capek makin melanda Handy.
Sekain puluh menit sambil bercerita dengan pak Slamet, Pak Slamet sendiri merasa kasihan dan segera menyuruh Handy untuk menghubungi keluarganya dirumah.
“Sampean telpon sek keluarga nang omah mas, sak iki konkon nyusul sampean nang kene” (Anda telpon dulu keluarga dirumah mas, sekarang suruh jemput anda disini). Pinta pak Slamet

“Yo pak” (ya pak). Jawab Handy
“Iki alamate” (Ini alamatnya). Pinta pak Slamet, saat itu juga pak Slamet memberikan catatan kecil alamat lengkap rumahnya.
“Wes sampean istirahat sek nang kene, aku sak iki tak golek’i koncone sampean nang alas. Ojok lali telpon seng ndok omah le” (sudah anda istirahat dulu disini, aku sekarang tak mencari teman anda dihutan.
Jangan lupa telpon yang dirumah nak). Pesan pak Slamet

Pak Slamet kembali keluar rumah, dia mengajak sopir, kernet dan satu orang tetangganya untuk pergi kehutan. Dipagi yang masih buta mereka berempat menyusuri jalanan hutan jati sudah mulai sedikit bercahaya,
sekian kilometer jalanan mereka tempuh. Laju kendaraan mereka langsung berhenti di lokasi kejadian yang sudah diketahui oleh pak Slamet dan tetangganya.

FYI. Pak Slamet adalah salah satu orang pintar dikampungnya, dan sangat mengenal betul tempat daerah sekitar alas roban.
Pak Slamet turun dari motor terlebih dahulu, ketiga orang dibelakangnya masih sibuk memarkirkan motor dilokasi bekas rumah mbah Suryo. Pak Slamet langsung berdiri mengahadap hutan.
Mulut pak Slamet langsung komat-kamit membaca mantra dengan kedua telapak tangan menengadah keatas. Dengan lantang pak slamet seusai berdo’a, ia berteriak kearah hutan…
“Mbah balekno arek iku, opo durung cukup wong seng kok sesatno” (Mbah kembalikan anak itu, apa belum cukup orang yang kau sesatkan).

Tiba-tiba angin dari arah hutan mulai berhembus, menggoyangkan daun-dun pohon jati yang hijau didepan pak Slamet beserta rombongan.
Ketiga rekannya yang dibelakang merasa ikut merinding dan takut.

“Ha..ha..ha..haa..ha…” (suara tawa keras dari dalam hutan)

Pak slamet kembali berdo’a dengan khusuk, dia meminta pertolongan kepada yang kuasa.
Sekian menit suasa hening, hingga kendaraan pun yang melintas tak terdengar suaranya. Dari semak – semak pohon jati yang besar tiba-tiba ada suara gesekan lirih…

“kresekkkkk…srekkk”
“Pak iku enek uwong” (pak itu ada orang) Teriak sopir dibelakang pak Slamet, dengan tangannya menunjukkan sosok manusia yang duduk tergeletak tak berdaya bersandar di bawah pohon jati.
Pak Slamet dan yang lain saa itu juga langsung mengarahkan pandangan kesosok pria muda duduk yang tergeletak.

“Iku bocae, ayo cepet pir gowoen muleh” (itu anaknya, ayo cepat pir bawa pulang) Perintah pak Slamet dengan nada cepat
Respon sigap mereka bertiga langsung mendekati anak muda ini dan membopongnya, Tyo langsung ditaruh ditengah jok. Dihimpit tubuh kenek dan sopirnya pak Slamet.
Mereka dengan cepat melaju kembali kerumah pak Slamet, sedang pak Slamet sendiri dengan tetangganya mengikuti sopirnya dari belakang.

Sampai dirumah Tyo langsung dibaringkan diteras rumah pak Slamet, ketiga orang tadi juga ikut duduk menunggui Tyo sejenak.
Pak Slamet masuk kedalam rumah mengambil minyak kayu putih dan sebotol air mineral. Lalu pak Slamet langsung mengoles lubang hidung Tyo yang tengah terbaring, sekian detik Tyo sadar dan mulai membuka matanya.
“Iki nek ndi” (ini dimana) Tanya Tyo yang masih terbaring dan bingung akan keberadaannya

“Iki nek omahku mas, sekitar alas roban.” (ini dirumahku mas, sekitar alas roban). Jawab pak Slamet yang duduk disampingnya
“Wes iki sampean ombe disek” (sudah ini anda minum dahulu). Pinta Pak Slamet sambil menyodorkan botol air mineral

Perlahan Tyo bangkit dan mulai meminum air dari dalam botol secara perlahan. Kejadian sehabis minum Tyo, sama dengan yang dialami oleh Handy sebelumnya.
Tyo merasa ada hal aneh dimulutnya. Setelah minum ia muntah muntah dengan mengeluarkan cairan yang sama persis dengan Handy. Setelah muntah Tyo disuruh kumur-kumur dan minum lagi air dari botol yang ia pegang. Kondisi Tyo perlahan mulai sadar dan membaik.
Pagi itu dirasa sudah selesai masalahnya, pak Slamet menyuruh Tyo untuk segera masuk kerumah.
Pak Slamet juga saat itu menunjukkan temannya Handy sudah didalam rumah sedang istirahat.
Pak Slamet sendiri merasa pagi itu masih banyak pekerjaan, ia memulai membuka tokonya dan membantu menurunkan barang ditruk bersama anak buahnya.

Sekilas pak Slamet melihat dari depan rumah, kedua pemuda ini sudah tenang didalam rumahnya.
Untuk sementara waktu pak Slamet membiarkan Tyo dan Handy di ruang tamunya untuk istirahat dahulu. Sambil menunggu ada keluarganya yang dari Surabaya yang menjemput mereka

Tyo yang sudah diruang tamu Pak Slamet, duduk disebelah Handy yang tengah tidur.
Ia memandangi temannya ini sedang tidur dengan pulas, tapi Tyo yang kesal mencoba membangunkan Handy.

“Han tangi…tangi…tangi…”(Han Bangun…bangun…bangun) Kata Tyo dengan menggoyangkan kaki Handy pelan
“Loh awakmu wes nang kene Yo” (Loh kamu sudah disini Yo). Jawab Handy mulai membuka mata dan bangkit untuk duduk.
“Jiancok, gateli awakmu…jare golek bantuan malah turu nang kene” (Jiancok, kurang ajar kamu…, katanya cari bantuan malah tidur disini). Kata Tyo dengan kesal, wajah masih awut awutan dan bekas tanah liat yang masih sedikit menempel dibibirnya.
“Wong golek bantuan mau bengi kok mumet muteri warung, gendeng ancene awakmu iki Han, aku mau bengi iku yo ijek sadar titik”
(orang cari bantuan tadi malam kok berputar mengitari warung, gila memang kamu ini Han. Aku tadi malam itu ya masih sadar sedikit) Lanjut ucap Tyo yang marah

“Sek yo...sek yo, sabar tak jelasno disek! aku anggite yo gak nangis-nangis ta mau bengi iku golek bantuan.
Prasaanku yo wes pokok mlaku golek kampung Yo, akhire iso sampek kampung iki” (sebentar…sebentar...sabar tak jelaskan dulu, aku anggapanmu ya tidak menangis-nangis tadi malam itu cari bantuan. Perasaanku ya sudah pokoknya jalan cari kampung Yo, akhirnya bisa sampai kampung ini)
Dihari yang masih pagi Handy yang baru terbangun menjelaskan perjalannya sampai ia bisa tertidur dirumah pak Slamet, akhirnya Tyo sendiri juga memahami usaha dan apa yang dialami Handy semalam. Selesai itu Tyo yang baru datang diberi makan sama istri pak Slamet.
Selesai makan mereka berdua pagi itu langsung mandi dan kembali istirahat sambil menunggu jemputan datang dari keluarga Handy.

Waktu terus berjalan hingga esok hari telah tiba, sekitar jam delapan kakak Handy sudah sampai dirumah pak Slamet.
Sebut saja nama kakak Handy adalah mas Bram, Kakaknya Handy berangkat sendirian menjemput adiknya di perkampungan sekitar Alas roban yang berada Batang dengan membawa mobil. Mas Bram bisa sampai lokasi Handy berada, berbekal alamat yang disms oleh Handy kemarin.
Dipagi yang cerah itu mereka sudah berkumpul diruang tamu pak Slamet.

Mas Bram mengawali pembicaraan dengan basa-basi dengan pak Slamet, mas Bram sendiri sudah merasa adiknya ditolong menyampaikan rasa terima kasih yang mendalam.
Saat itu juga mas Bram menganggap pak Slamet sendiri sebagai saudara. Ditengah perbicangan mereka mas Bram penasaran dengan lokasi adiknya sekarang berada, karena lokasi acara mereka di Jogja. Dengan lokasi sekarang mereka tersesat sangat jauh dan tidak masuk akal.
Mas Bram juga penasaran tentang warung yang menyesatkan adiknya. Dengan semua rasa itu mas Bram menanyakan hal yang terjadi pada adiknya dan temannya…

“kok iso pak yo, sampe jebus mriki arek loro iki, padahal acarae neng Jogja”(kok bisa pak ya, sampai tiba disini anak dua ini.
Padahal acaranya di Jogja). Tanya mas Bram sambil menyulut rokok

“Iso ae mas, kemungkinan adek sampean iki wes diincer genderuwone kene pas setane liwat soko Jogja.”
(bisa saja,kemungkinan adik anda ini sudah diincar hantu sini sewaktu hantunya melintas dari Jogja). Jelas pak Slamet

“Oh ngunu pak yo, terus warung iku asline biyen piye pak?”(oh begitu pak ya, terus warung itu aslinya dulu bagaimana pak). Tanya mas Bram yang semakin penasaran
“Iyo Mas, iku asline bekase omae mbah Suryo, mbah Suryo mbiyen terkenal dukun sakti neng daerah kene” (Iyo mas, itu aslinya bekas rumahnya mbah Suryo. Mbah Suryo dulu terkenal dukun sakti daerah ini). Jelas pak Slamet
“Tapi wonge iku pas urep joyo-joyone sekitar tahun 1948 an, jare bapakku mbiyen pas jek orep mas. Mbah Suryo dulu terkenal dukun seng hubungane karo kerajaan siluman ulo neng alas. Mbah Suryo biyen omae pancen nang kunu, orep dewean nang tengah alas.
Tapi sekitar tahun 1953, mbah Suryo dikabarno wes mati. Soko kabar iku kabeh wong kampung seng cedak alas iki marani omae, pas soko omae mayite mbah suryo iku wes gak enek, sampek sak iki gak tau ditemokno mayite”
(Tapi orangnya itu sewaktu hidup jaya-jayanya sekitar tahun 1948 an, kata bapakku dahulu sewaktu masih hidup mas. Mbah Suryo dulu terkenal dukun yang berhubungan dengan kerajaan siluman ular dihutan. Suryo dahulu memang disitu, hidup sendirian ditengah hutan.
Tapi sekitar tahun 1953, mbah Suryo dikabarkan sudah meninggal. Dari kabar itu semua orang kampung yang dekat hutan ini mendatangi rumahnya, sewaktu sampai rumahnya mayat mbah Suryo itu sudah tidak ada. Sampai sekarang belum pernah ditemukan mayatnya). Sambung pak Slamet
“Kok iso pak met” (Kok bisa pak Met). Sambung mas Bram

“Yo gak ngerti mas jenenge jaman biyen, mbah Suryo ngelakoni ilmu opo wae wong kene yo podo gak ngerti. Terus maringunu omae mbah Suryo seng ditinggal sue sue tambah wingit, akeh seng diwedini demit nang kunu.
Akhire wong kampung mbiyen kompak ngerubuhno omae, maksute uwong-uwong mbiyen ben aman dalanan alas iku. Tapi sak joke omae dirubuhno, malah tetep sering kejadian uwong-uwong diganggu.
Kadang wong kampung kene karo wong liwat liyane sek sering ditemoni karo mbah Suryo neng dalan iku. Kadang - kadang wonge yo melu liwat terus ngampirno wong neng bekas omae. Yo koyok kejadiane adik sampean iki”
(Ya tidak tahu mas namanya jaman dahulu, mbah suryo menjalankan ilmu apa saja orang sini ya sama-sama tidak tahu. Terus habis itu rumahnya mbah Suryo yang ditinggal lama kelamaan tambah angker, banyak yang ditakuti hantu disitu.
Akhirnya orang kampung dahulu kompak merubuhkan rumahnya, maksudnya orang-orang dulu biar aman jalanan hutan itu. Tapi setelah rumahnya dirubuhkan, malah tetap sering terjadi orang – orang diganggu.
Terkadang orang kampung sini sama orang lain yang melintas masih sering ditemui sama mbah Suryo dijalan itu. Kadang-kadang orangnya ya ikut melintas terus mengajak mampir orang di bekas rumahnya dahulu.
Ya kayak kejadiannya adik anda ini). Jelas cerita pak Slamet

“Loh pak, paling mbahe seng ngajak mangan aku wingi sore iku” (Loh pak, paling kakek yang ngajak makan saya kemarin sore itu). Sahut Handy
“Mungkin mas. Mangkane ati – ati mas liwat kene, dungo seng akeh. Ambi ojok liwat alas pas surup. (mungkin mas, makanya hati-hati mas lewat sini. Berdo’a yang banyak. Jangan melintas hutan waktu menjelang malam). Kata Pak Slamet
“Dadi uangker pak met daerah alas iku” (Jadi angker pak met daerah alas iku). Tanya Mas Bram

“Iyo mas, malah mbiyen akeh korban-korban wong mati jaman londo pas alas dibuka gawe dalan pantura iku.
Terus jamane petrus yo akeh mayet-mayet seng gak dikenal ditemokno wong kampung nek njero alas. Nang alas iku yo akeh kerajaan-kerajaan demite” (iya mas, malah dahulu banyak korban-korban meninggal jaman belanda waktu hutan dibuka jalan pantura itu.
Terus jamane petrus ya banyak mayat-mayat yang tak dikenal ditemukan orang kampung didalam hutan. Dihutan itu ya banya juga kerajaan-kerajaan setan). Jelas singkat pak Slamet.
“Sering mas nang dalanan alas iku enek warung tapi jebule warung demit, soale pasukan kerajaan-kerajaan jin neng alas podo saingan golek korban”
(sering mas di jalanan itu, ada warung tapi ujung-ujungnya warung setan, masalahnya pasukan kerajaan-kerajaan jin dihutan saling bersaing mencari korban). Kata pak Slamet lagi
“Oh ngonten pak nggih” (oh begitu pa ya). Sambung mas Bram sambil manggut-manggut mencerna penjelasan panjang pak Slamet.

“Iyo mas” (Iya mas). Jawab singkat pak Slamet
“Nggih pun pak matur nuwun sanget kulo tak pamit riyen” (ya sudah pak, terima kasih banyak, saya pamit dahulu). Ucap mas Bram yang mau pulang

“Yo mas ati-ati.” (Ya mas, hati-hati)
Waktu semakin siang, mas Bram manaikkan motor adiknya kedalam mobil. Tyo dan Handy juga langsung ikut masuk didalamnya. Perjalanan siang itu dimulai, perjalan Panjang yang melelahkan beberapa kali mas Bram menghentikan mobilnya untuk istirahat dan mengisi bahan bakar.
Malam hari sekitar jam sebelas malam, laju mobil mas Bram diarahkan ke rumah Tyo dulu untuk mengantarkannya pulang.

Sampai didepan rumah Tyo ternyata sudah bapaknya sudah berdiri menunggu didepan rumah. Sebutan bapak Tyo dirumah biasa dipanggil pak Joyo
Mobil mas Bram berhenti dan ia mulai keluar dahulu, tapi Tyo yang duduk dibelakang mobil mulai memperlihatkan kelakuan aneh. Suara Tyo mulai menggeram dan berubah suaranya menjadi wanita, sejenak berhenti suara itu berganti menjadi pria.
Tyo yang kerasukan langsung membuka pintu mobil dan berlari menjauh dari rumahnya. Saat itu juga pak Joyo, mas Bram dan Handy langsung mengejar.

Sekian puluh meter pelarian Tyo berakhir, Tyo langsung ditangkap dan diseret mas Bram dan Handy.
Ia dibawa masuk kedalam rumah, kebetulan pak Joyo adalah orang pintar didaerahnya. Saat Tyo sudah ditenangkan didalam rumah, pak Joyo mencoba mengeluarkan sosok wanita terlebih dahulu yang bersarang ditubuh Tyo. Sekian menit wanita ini berhasil keluar tapi Tyo masih belum sadar.
Akhirnya pak Joyo yang penasaran, membiarkan Tyo tidur sebentar dan setelah itu pak Joyo menempelkan tangannya ke kening anaknya. Selesai itu Tyo langsung bangun, tapi suaranya berubah menjadi seorang pria.
Merasa penasaran apa yang terjadi dengan anaknya selama beberapa hari ini.Pak Joyo mulai mengintrogasi sosok yang ada dalam tubuh anaknya, tapi kaki dan tangan Tyo tetap dipegangi oleh Handy dan mas Bram. Karena saat kesurupan Tyo hanya ingin lari dan berontak keras untuk pergi.
“Awakmu iki sopo” (kamu ini siapa). Tanya Pak Joyo yang duduk disamping anaknya.

“Aku ki Darmo” Jawab sosok dari tubuh Tyo yang mengaku bernama Darmo

“Tekok endi asalmu” (dari mana asalamu). Tanya pak Joyo

“Teko alas roban” (dari alas roban). Jawab Ki Darmo
“Lapo koen ganggu anakku” (kenapa kamu mengganggu anakku). Tanya keras pak Joyo

“Anakmu diincer karo nyi Blorong” (anak kamu diincar terus sama nyi Blorong). Jawab Darmo

“Mulai kapan, kenek opo kok diincer” (mulai kapan, kena apa kok diincar dan disukai). Tanya pak Joyo
“Sak joke arek loro iki melbu parang tritis, soale arek iki aurane apik terus ijek joko pisan” (setibanya dua anak ini masuk parang tritis, masalahnya anak ini auranya bagus terus masih perjaka). Jelas ki Darmo
“Lha kok iso digowo sampe alas roban” (Lha kok bisa dibawa sampai alas roban)

“Aku dikongkon gowo nyi blorong nang kerajaan siluman ulo seng dadi nisorane nyi blorong neng alas roban”
(Aku disuruh bawa nyi blorong ke kerajaan siluman ular yang jadi bawahan nyi blorong di alas roban), kata ki Darmo dengan suara serak

“Gae opo” (buat apa). Tanya pak Joyo penasaran
“Gawe ngelayani nyi ratu, ambek ngewangi mbah Suryo nang kono” (buat melayani Nyi ratu, sama bantu mbah suryo disana). Jawabnya Ki Darmo

“Dadi awakmu seng mbingungno arek iki ket wingenane?” (Jadi kamu yang membingungkan anak ini dari kemarin lusa). Tanya pak Joyo kembali
“Iyo, aku seng gowo. Seng nampani neng alas roban mbah suryo, tapi tetep seng ngawal aku….hahahaha” (Iya, aku yang bawa. Yang menerima di alas roban mbah Suryo, tapi tetap yang ngawal saya….hahahaha). Jelasnya Ki darmo dengan bangga
“Wes sak iki metuo, arek iki anakku goblok” (Sudah sekarang keluarlah, anak ini adalah anakku bodoh). Perintah pak Joyo

“Emoh” (tidak). Tolak Ki Darmo

“Yo wes nek gak metu koen bakale tak pateni” (ya sudah kalau tidak keluar kamu akan tak bunuh). Ancam Pak Joyo mulai marah
Kemudian Pak Joyo mengambil senjata dari dalam kamarnya, sambil memegang senjatanya pak joyo juga memegang bagian jari kaki Tyo. Sesaat kemudian sosok bersuara serak dan berat itu merasa kepanasan dan minta ampun. Saat itu juga mahluk itu keluar dari tubuh Tyo.
Sedang Tyo sendiri langsung pingsan, sekian puluh menit Tyo tidur. Semua keluarganya dan Handy serta mas Bram menunggu Tyo yang masih terbaring diatas karpet, perlahan ia mulai tersadar dan bangun dari tidurnya.
Ditengah malam itu, Handy dan Tyo disuruh duduk dahulu didepan semua yang hadir dirumah Tyo. Pak Joyo langsung melakukan ritual untuk membersihkan kedua pemuda ini agar tidak dibawa lagi sama mahluk dunia lain.
Lalu setelah itu bapaknya Tyo, menasehati, dan berpesan kepada Tyo dan Handy untuk tidak pergi lagi ke daerah Jogja dan alas roban jika belum menikah.
Semenjak kejadian itu mereka berdua tidak pernah lagi menginjakkan lagi ke daerah Jogja dan wilayah Jawa Tengah khususnya alas roban karena masih Khawatir akan keselamatannya.

...Tamat…
Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh.

Enjoying this thread?

Keep Current with bayuuubiruuu

Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

Twitter may remove this content at anytime, convert it as a PDF, save and print for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video

1) Follow Thread Reader App on Twitter so you can easily mention us!

2) Go to a Twitter thread (series of Tweets by the same owner) and mention us with a keyword "unroll" @threadreaderapp unroll

You can practice here first or read more on our help page!

Follow Us on Twitter!

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just three indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3.00/month or $30.00/year) and get exclusive features!

Become Premium

Too expensive? Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal Become our Patreon

Thank you for your support!