-- Petaka Sang Dukun Santet --

Terinspirasi dari kisah nyata tentang seorang laki-laki yg suka membuat ulah, memantik permusuhan kpd banyak orang, yg ujung2nya menggunakan ilmu ghoib untuk menyakiti orang2 yg dimusuhinya..

@ceritaht @IDN_Horor @WdhHoror17 #ceritahoror Image
Malam itu di sebuah kampung di suatu desa yg namanya dirahasiakan. Di dalam sebuah rumah berdinding bata merah yg tidak diplester, sedang terjadi suatu kepanikan luar biasa.

Bagaimana tidak, seisi rumah yg terdiri dari para penghuni rumah dan para tetangga sedang berkerumun,
mengelilingi tubuh seorang pria berusia sekitar 60 tahunan yg sedang meronta-ronta kesakitan di atas tempat tidurnya yg telah begitu lusuh dan dipenuhi tetesan darah.

Tubuh pria itu dipenuhi bintik-bintik merah seperti bekas luka tusukan dari puluhan jarum yg ditancapkan.
"Arrrhhhhhh.... Panas! Sakittt sekaliiii! Setaaaan alasssss!" Pria itu meronta-ronta sembari berteriak kesakitan.

"Astaghfirullah'al adzhiim. Istigfar, pak! Istigfar!" ucap seorang wanita berpakaian putih dgn kerudung yg juga berwarna putih yg tampaknya adalah istri pria itu.
"Ardo, apa masih lama? Pak Usman kok belum datang juga?" seru wanita berpakaian serba kuning yg duduk di samping istri pria yg tengah sakit misterius itu.

"Pak Usman tidak mungkin bisa tiba di sini dengan cepat, bibi. Jalan ke kampung kita kan rusak parah. Tapi saya akan terus
menghubungi beliau," tukas Ardo, seorang pemuda yg memiliki tatto bergambar kepala macan di lengan kanannya.

"Ini semua pasti kerjaannya tukang rampas tanah orang itu. Sekarang ayah yg menjadi korbannya," gumamnya seraya berlalu keluar dari kamar itu.

Namun, sang ayah Ardo
kembali menjerit kesakitan sembari meneriakkan kata-kata kasar seperti menyumpahi seseorang.

"Aaaarrrhhhh....! Dasran kau memang terkutuk! Kau rampas tanahku, dan sekarang kau santet aku!"

"Cukup, pak! Cukup! Tidak mungkin adik iparmu melakukan hal sekeji itu padamu," istri
bapak itu berkata dengan nada memelas pertanda sedang cemas dan ketakutan.

"Lihat Anisti, pak. Sebagai istrinya Dasran, ia pasti merasa sangat terpukul atas ucapanmu yg menuduh suaminya telah mengguna-gunaimu," tambahnya.

Sementara perempuan berpakaian kuning bernama Anisti
hanya menunduk sembari menggigit bibir dengan kedua matanya yg berurai air mata.

Sementara Ardo di luar hanya bisa memukul tembok saat merasa frustrasi ketika mendengar ayahnya kembali meraung kesakitan akibat sakit yg ia duga karena diguna-guna orang.

"Aku dari dulu memang
tidak suka terhadap orang bernama Dasran yg sebenarnya adalah pamanku. Ia berpakaian seperti seorang santri atau orang yg pintar mengaji. Tapi dia suka menerima pesanan orang untuk mengirim teluh kepada target yg dipesannya. Aku sudah lama tahu itu," ucapnya saat kini di
hadapannya ada temannya yg bernama Suhro.

"Jadi, kamu berpikir dia yg mengguna-gunai Pak Maklum?" tanya Suhro sambil menatap penasaran ke arah Ardo.

"Lah, siapa lagi coba? Tiga hari yg lalu, bapak bertengkar dengannya bahkan hampir saja bapak menebas Dasran kalau saja aku
tidak melerainya. Gara-garanya Dasran dengan sengaja memindahkan patok tanah miliknya yg berbatasan dengan tanah milik Uwak Usen. Gara-gara pemindahan patok yg memang disengaja itu, uwak Usen jadi kehilangan hampir seratus meter tanahnya. Nah, bapak menemui Dasran utk menanyakan
hal itu dengan baik-baik. Eh, si Dasrannya malah menantang bapak duel. Bahkan ia bilang akan memutuskan tali kekeluargaan dengan tidak mengakui ibu sebagai kakak kandungnya. Di situlah bapak kalap dan hampir membunuh Dasran," papar Ardo panjang lebar.

Suhro manggut-manggut.
"Tanah Pak Usen yg dimiliki bersama-sama dengan ayahmu? Aku memang pernah kasus penyerobotan dengan modus pemindahan patok batas tanah yg dilakukan Pak Dasran. Ini bukan yg pertama, lho. Sebelumnya Pak Dasran juga pernah merampas tanah milik Nenek Rutini. Ketika Nenek Rutini
melaporkan kasus ini, eh besoknya ia meninggal dengan sebatang paku besar menyembul keluar dari mulutnya," katanya mendukung dugaan yg dilontarkan Ardo.

"Kasihan Nenek Rutini. Sudah hidup sebatang kara, dijahatin dukun santet lagi," tukas Ardo. "Sepertinya itu mobil Pak Usman,"
lanjutnya saat melihat sinat terang yg keluar dari sepasang lampu depan sebuah mobil yg semakin mendekat.

Mobil tersebut terlihat melaju tersendat dengan suara mesinnya yg meraung karena bannya menggilas jalan berlumpur yg licin.

"Kita sebaiknya bantu mendorong, do," ujar
Suhro seraya dengan tergopoh-gopoh menghampiri mobil jenis MPV yg sedang kesulitan bergerak itu.

Ardo segera mengikuti Suhro. Mereka kemudian mendorong mobil Pak Usman sekuat tenaga hingga berhasil keluar dari jebakan jalan berlumpur itu.

"Terimakasih sudah membantu saya.
Di mana rumahnya, mas Suhro?" ucap Pak Usman setelah keluar dari mobilnya.

"Yang ini, pak. Mari. Dan oh, iya ini mas Ardo, puteranya Pak Haji Maklum." Suhro menunjukkan rumah Pak Maklum kepada Pak Usman sekaligus memperkenalkan Ardo.

"Oh, jadi mas Ardo ini toh orangnya," kata
Pak Usman saat bersalaman dengan Ardo.

"Iya, pak. Saya yg dari tadi sore menelepon bapak terus. Maafkan saya jika sudah mengganggu bapak," tukas Ardo merasa sungkan.

"Tidak apa-apa, mas Ardo. Ayo, saya harus melihat seperti apa kondisi Pak Maklum sekarang. Dan, oh!" Pak Usman
terkejut saat mendengar suara teriakan Pak Maklum yg sedang mengalami kesakitan luar biasa di dalam kamarnya.

"Astaghfirullah'al adzhiim!" ucapnya seraya bergegas menuju rumah Pak Maklum.

Sesampainya di dekat Pak Maklum, tanpa berbasa-basi, Pak Usman melakukan upaya untuk
menghentikan kesakitan dan penderitaan yg dirasakan Pak Maklum. Ia merapal doa serta meminta para hadirin untuk membaca ayat-ayat suci Al-Qur'an.

Proses pengobatan berjalan alot dan menegangkan. Bagaimana tidak, Pak Maklum hampir mau menyerang Pak Usman jika tidak dicegah Suhro
dan Ardo yg selalu siaga di dekat Pak Usman.

"Grrrrrr.....! Akan kubunuh kau Dasran keparat!" Pak Maklum kembali bersumpah serapah di dalam penderitaannya.

Beberapa menit berlalu hingga setengah jam pun lewat. Pak Maklum akhirnya berhenti meronta-ronta kesakitan setelah
Pak Usman menyelesaikan ritual penyembuhannya.

Tak lama setelah ritual selesai, Pak Usman menemukan puluhan paku berukuran kecil bergeletakkan tertindih tubuh Pak Maklum. Paku-paku tersebut dalam kondisi berlumuran darah yg mengering serta panas saat disentuh.

"Apa-apaan ini?"
ucap Pak Usman setelah menemukan keganjilan tersebut.

"Benar dugaanku. Bapak memang terkena santet. Pasti Dasran pelakunya!" geram Ardo setelah melihat paku-paku tersebut.

"Dasran? Pak Dasran yg suka menjadi pembawa acara di pengajian-pengajian di kampung.... Itu tidak
mungkin! Ia seorang yg tekun beribadah dan bersahaja. Ia selalu berpakaian ala santri jika bepergian ke mana pun," tukas Pak Usman dengan nada tidak setuju.

Ardo tercengang mendengar perkataan Pak Usman.

"Bapak pernah mendengar atau belum tentang beberapa kasus yg menyeretnya
ke meja hijau? Dia memang selalu menang di pengadilan. Juga kemenangannya selalu didahului oleh kematian orang yg menjadi lawannya," kata Ardo sambil menatap gusar ke arah Pak Usman.

"Cukup, Ardo! Kamu keluar! Jangan menuduh pamanmu yg tidak-tidak!" bentak Bu Maklum yg adalah
ibunya Ardo.

Ardo terkesiap mendengar bentakan ibunya. Ia tidak mau beradu mulut dengan ibunya. Ia pun memilih keluar diikuti Suhro.

Waktu berlalu. Dua hari setelah kejadian di rumah Ardo.

Di suatu kebun yg memiliki berbagai tanaman buah-buahan. Di kebun tersebut terdapat
sebuah dangau (gubuk) yg di sana terdapat tiga orang perempuan yg sedang memilah hasil memetiknya di kebun itu.

"Ju, menurut kamu kriteria laki-laki yg layak menjadi pendamping hidup itu seperti apa? Apakah harus kaya? Tampan? Atau berwawasan luas dalam hal agama?" ujar gadis
berkebaya warna hijau sambil memasukkan segenggam kacang hiris muda ke dalam tas yg terbuat dari daun pandan yg dianyam.

"Semuanya oke. Semua yg kamu sebutkan kalau tiga-tiganya ada ya sudah sempurna lah. Yang penting jangan laki-laki yg seperti Ardo, lah," tukas temannya yg
mengenakan setelan kasual.

"Memangnya kenapa dengan Ardo? Apa karena dia berandalan?" tanya temannya yg lain yg mengenakan rok panjang berwarna hitam serta kemeja putih dan berjilbab warna hitam.

Si gadis berpakaian kasual terkekeh.

"Kamu tahu Ardo kan, ren. Dia tuh tukang
malakin sopir truk yg lewat sini. Jalan rusak jadi alasan bagi dia buat malak para sopir," katanya.

"Juhariah sepertinya suka mengawasi Ardo, ya. Diem-diem, nih, ternyata suka merhatiin si pemuda bertatto itu. Hahaha," tukas si gadis berkebaya hijau.

Juhariah menepuk kening.
"Aku kan tahu kelakuan semua orang entah itu yg baik atau yg jelek. Termasuk kelakuan kalian berdua yg suka diem aja di bulan puasa. Diem-diem makan di warteg di siang hari sampe nambah tiga piring. Hahaha," katanya sambil tertawa.

"Yeee, dia bercanda. Ayo kita ketawa sekali
saja. Ha," balas gadis berkebaya hijau.

"Dina, sebenarnya Pak Usman waktu itu mau ke mana ya malam-malam? Dia terburu-buru begitu habis rapat di desa," tanya Juhariah ke temannya yg berjilbab.

"Aku tidak tahu. Mungkin Rena yg tahu," tukas Dina sambil melihat ke arah Rena, gadis
berkebaya hijau.

"Tanya Ardo. Aku rasa dia yg lebih tahu," tukas Rena spontan.

"Kok malah Ardo?" Dina terkekeh menanggapi perkataan Rena.

Ketika mereka sedang berbincang itulah, terdengar suara seperti seseorang sedang memaki-maki.

"Sudah cukup, Pak Dasran! Cabut semua
benih kelapa yg sudah anda tanam di tanah saya. Jangan coba-coba merampas tanah saya dengan modus menanaminya dengan pohon kelapa. Saya tidak pernah memberi anda izin untuk menanami lahan saya. Jangan suka mencari gara-gara!" Begitulah kata-kata bernada kemarahan yg keluar dari
mulut seorang laki-laki berpakaian atasan kemeja putih dan bawahan celana bahan berwarna hitam.

Laki-laki itu sedang berhadapan dengan seorang laki-laki yg lebih muda, yg mengenakan celana agak gombrong berwarna putih serta kaus putih tipis dan mengenakan kopiah batik.
Rena, Juhariah, dan Dina tampak menguping sembari mengintip dari balik rumpun pisang.

"Itu kan Pak Onta. Tampaknya Pak Dasran menanami tanahnya tanpa izin. Makanya Pak Onta marah," ucap Juhariah pelan.

"Sembarangan aja sih kamu ganti-ganti nama orang. Ingat ya, Pak Anta. Pake
'A' bukan 'O'," sergah Rena sambil tatapannya tidak lepas dari dua orang yg sedang adu argumen itu.

"Saya menanam kelapa di tanah bapak karena saya berpikir bapak akan senang memiliki tanaman kelapa di lahan bapak tanpa harus susah payah menanam," kata Pak Dasran kalem.
"Anda tanami tanah saya dengan tanaman lain pun saya tidak membolehkannya apalagi anda tanami kelapa! Tanpa izin lagi! Sebaiknya cabut kelapa-kelapa itu dan angkat kaki dari tanah saya!" Pak Anta terlihat semakin beringas di hadapan Pak Dasran.

Pak Dasran terkekeh.
"Okay. I go. I will remove it soon," katanya sok Inggris.

Pak Dasran kemudian pergi begitu saja tanpa memenuhi perkataan Pak Anta.

"Sial! Dasar tidak beradab! Terpaksa aku yg harus menyingkirkan kelapa-kelapa itu. Aku tdk mau tanaman singkongku jadi gagal karena akar kelapa,"
umpat Pak Anta seraya berlalu ke arah lahan yg sudah ditanami bibit pohon kelapa.

Malam pun tiba. Di dalam rumah Pak Anta, tampak ia bersama keluarganya sedang bersantap.

"Pak, kenapa bapak tidak selesaikan masalah dengan Pak Dasran dengan baik-baik? Ibu jadi merasa takut
karena keributan antara bapak dengan Pak Dasran," ujar bu Anta disambut tatapan semua anggota keluarga.

"Takut kenapa sih, bu? Takut orang itu menyeret bapak ke meja hijau? Bapak tidak takut, bu. Bapak siap meladeni apa maunya," tukas Pak Anta dengan yakin.

"Bukan hanya soal
itu, pak. Tapi soal rumor kalau Pak Dasran itu suka main santet," kata bu Anta disambut kekehan Pak Anta.

"Bu, bu. Itu kan hanya rumor. Bapak mana takut sama hal begituan. Bapak kan....." Mendadak Pak Anta berhenti berbicara diikuti kedua matanya yg mendelik.

"Bapaaaaaak!!!"
Bu Anta beserta dua putra-putrinya menjerit histeris saat menyaksikan Pak Anta mendelik sembari menggeram di kursinya. Ia juga kemudian menjerit kesakitan disusul mulutnya yg mengeluarkan darah yg memancar.

Keadaan di dalam rumah menjadi sangat mencekam. Apalagi suara jeritan
para penghuni rumah terdengar memilukan.

Otomatis para tetangga yg rumahnya dekat, lantas berhamburan menuju rumah Pak Anta.

"Apa yg terjadi, bu?" teriak salah seorang tetangga sembari mengetuk pintu.

"Pak Anta, bu Anta, buka pintunya. Adeli, Sofan!" yg lain pun turut
memanggil anggota keluarga Pak Anta dari luar rumah.

Lama sekali Bu Anta maupun putra-putrinya membukakan pintu. Padahal suara jeritan mereka masih terdengar jelas.

Rupanya di dalam rumah, selain di hadapkan pada Pak Anta yg sedang meronta-ronta kesakitan setelah ia jatuh
dari kursinya akibat terkena serangan guna-guna, mereka juga dihadapkan dengan penampakan sesosok makhluk berbadan tinggi dan besar nan menyeramkan. Sosok itu berwarna hitam dan berbulu serta memiliki taring panjang.

Sosok itu dapat melayang, dan kini sedang menuju ke arah..
Pak Anta. Sesampainya di dekat Pak Anta, sosok itu meraih leher laki-laki itu dan mengangkatnya dengan sebelah tangan.

Tentu saja itu menjadi pemandangan mengerikan yg disaksikan oleh Bu Anta dan anak-anaknya.

"Bapaaak!!!"

"Tolooooooong! Siapa pun yg datang, tolong bapak!"
Suara gedoran pintu dari arah teras semakin keras terdengar. Namun, Bu Anta dan anak-anaknya tidak bernyali untuk pergi dan membukakan pintu. Itu karena sosok jahat tersebut tepat berada menghalangi jalan sambil mengangkat tubuh Pak Anta ke udara.

"Tolooooooong!!!"
Namun kemudian dari arah pintu depan, terdengar suara benturan keras disusul suara benda berat yg jatuh. Itu adalah pintu yg ternyata tadi sedang didobrak oleh para tetangga yg datang.

Ketika pintu berhasil dibuka, mereka menyeruak masuk dan mendapati Bu Anta dan anak-anaknya
sedang bersimpuh mengerumuni tubuh Pak Anta yg sudah tidak bergerak lagi. Tampak darah membasahi hampir sekujur tubuh laki-laki malang itu.

"Sial! Kita terlambat!" ujar salah seorang warga sambil menoleh ke arah Pak Usman yg turut datang bersamanya.

"Innalillahi....."
Pak Usman berucap saat mengetahui bahwa Pak Anta telah tiada.

"Saya benar-benar meminta maaf karena terlambat datang. Saya memohon maaf dengan setulusnya, bu," ucapnya diiringi isak tangis Bu Anta dan anak-anaknya.

Malam itu juga, jenazah Pak Anta disemayamkan untuk kemudian
dikebumikan di pemakaman umum yg berada di sekitaran mesjid di kampungnya Pak Anta.

"Jadi, ada sosok besar itu? Itu yg membuat ayahmu meninggal?" ujar Pak Usman saat menanyai putera Pak Anta yg bernama Sofan.

Anak laki-laki itu berusia antara 16 hingga 18 tahun.
Sofan mengangguk mengiyakan.

"Betul, Pak Ustadz. Makhluk itu sangat mengerikan. Saya pikir itu hanya penampakan tapi nyatanya makhluk itu bisa menyerang ayah saya. Ia mengangkat ayah saya hanya dengan sebelah tangan. Saya dan ibu sudah berusaha menyelamatkan ayah tapi gagal.
Makhluk itu sangat kuat. Ia menghilang begitu saja setelah ayah meninggal karena cekikannya," jelas Sofan sambil mengusap air matanya.

Pak Usman hanya bisa mengucap istigfar. Ia tahu betul jika peristiwa yg menimpa Pak Anta bukan yg pertama. Bahkan bisa dibilang yg ke tujuh.
"Saya sudah mendapatkan informasi soal pertengkaran almarhum dengan Pak Dasran. Saya sudah mengeceknya dan benar, almarhum bertengkar dengan Pak Dasran karena masalah tanah miliknya yg ditanami oleh Pak Dasran tanpa izin. Ini bukan yg pertama. Pak Maklum juga pernah mengadukan
masalah yg mirip dengan pelaku yg sama. Tampaknya saya harus bertemu Pak Dasran. Saya ingin menanyakannya secara langsung," kata Pak Usman saat berkumpul bersama warga di aula balai desa.

"Sebaiknya Pak Ustadz berhati-hati. Pak Dasran itu sangat misterius. Berbicara baik-baik
dengannya tidak menjadi jaminan bahwa dia tidak akan memusuhi kita. Intinya ya Pak Ustadz harus tetap waspada," tukas salah seorang warga.

"Betul apa kata Pak Udran. Pak Dasran itu sangat misterius. Mungkin dia terlihat baik di mata orang yg baru pertama mengenalnya. Tapi fakta
bahwa dia selalu mencari gara-gara dengan warga yg lain, menjadi perhatian serius bagi kita. Apalagi banyak kejadian warga yg pernah bersitegang dengannya, mengalami sakit aneh yg lebih tepatnya sakit karena guna-guna. Bahkan diantaranya ada yg meninggal, termasuk Pak Anta,"
timpal yg lain.

"Saya hanya mohon doanya. Semoga saya diberikan perlindungan oleh Allah SWT. Semoga masalah perseteruan para warga dengan Pak Dasran segera selesai," ucap Pak Usman.

"Aamiin."

Para hadirin serentak mengucap lafadz 'aamiin'.

Pada suatu hari, Pak Usman
mengendarai mobilnya melewati jalanan berbatu nan terjal menuju suatu wilayah di dalam desa tersebut, di mana di wilayah itu hanya terdapat dua rumah saja. Itu juga salah satu rumah dalam kondisi kosong karena sudah lama ditinggalkan pemiliknya merantau.

Sedangkan rumah lainnya
terlihat cukup mewah, dan rumah tersebut adalah rumah Pak Dasran.

"Kenapa Pak Dasran membangun rumah di tempat terpencil begini, ya? Jalur ini juga buntu karena di depan sana yg jalannya menurun terdapat sungai. Tidak ada jembatan sama sekali di atasnya," ucap Pak Usman sambil
memarkirkan mobilnya.

Ia memang tidak pergi sendirian. Ia ditemani oleh Jodar, tetangganya yg juga murid mengajinya.

"Saya kemari pernah dua kali, Pak Ustadz. Saat nyasar waktu mau mancing ke sungai dan sekarang ini. Tempat ini auranya sangat tidak menyenangkan, Pak Ustadz,"
tukas Jodar.

Pak Usman tersenyum kemudian keluar dari mobil setelah mobil terparkir sempurna. Jodar pun turut keluar dari mobil.

"Assalamualaikum Wr Wb." Pak Usman mengucap salam di depan pintu gerbang rumah Pak Dasran.

Hening, tidak ada jawaban.

Pak Usman kembali
mengucapkan salam hingga yg ketiga kalinya masih juga belum ada yg menjawab.

"Aduh, ke mana gerangan Pak Dasran? Kenapa ia tidak jua menjawab salam? Apa ia sedang bepergian?" kata Pak Usman setengah bergumam.

Sedangkan Jodar yg berada di belakang Pak Usman merasakan seperti
ada seseorang di belakangnya sedang mengawasi ia dan Pak Usman.

Jodar juga merasakan bulu kuduknya seperti berdiri seperti tangan seseorang yg sedang mengawasinya itu sedang bersiap mencengkeram lehernya.

Karena penasaran ia pun menoleh ke belakang. Tidak ada apa-apa selain
mobil yg terparkir.

Saat mengembalikan pandangan, ia terkesiap karena Pak Usman tidak ada di dekatnya lagi. Alih-alih Pak Usman, ia malah berhadapan dengan sesosok perempuan berambut panjang berpakaian gombrong serba putih serta mengeluarkan wangi bunga-bungaan.
"Aaaahhhhh!!" Jodar pun menjerit ketakutan saat melihat sosok itu.

Mendadak Pak Usman muncul kemudian menepuk pundaknya.

"Jo, sadarlah. Jangan terpengaruh. Benar katamu, tempat ini beraura negatif," ucap Pak Usman setelah menepuk pundak Jodar. "Saya akan menyingkirkan benteng
gaib yg menghalangi kita. Tuan rumah ternyata memang tidak menyukai kedatangan kita. Jika setelah bentengnya menghilang, tuan rumah tak mau juga menemui kita, terpaksa kita pulang dengan tangan hampa," kata Pak Usman seraya merapal doa-doa.

Ia juga membaca ayat-ayat suci...
Setelah beberapa menit kemudian, terdengar suara pintu yg dibukakan.

Terlihatlah sesosok laki-laki berbadan tegap mengenakan celana panjang bermotif batik, berkaus putih tipis, dan mengenakan kopiah batik, keluar dari rumah tersebut dan menghampiri pintu gerbang.
Beberapa lama kemudian setelah Pak Dasran mempersilahkan Pak Usman dn Jodar masuk ke dalam rumahnya.

"Saya sudah tahu maksud kedatangan anda, Pak Ustadz. Maaf jika tadi anda kesulitan menemukan saya. Saya hanya ingin menguji kemampuan Pak Ustadz," ujar Pak Dasran sambil menatap
ke arah Pak Usman dan Jodar bergantian.

"Lalu bagaimana tanggapan anda, Pak Dasran?" tukas Pak Usman tanpa ingin repot-repot berbasa-basi.

Pak Dasran tersenyum miring.

"Mereka mengada-ngada, Pak Ustadz. Tuduhan mereka sangat keji dan tidak berdasar. Saya ini hanya seorang
petani yg gemar bercocok tanam," tukas Pak Dasran.

"Saya juga suka bercocok tanam, Pak Dasran. Namun bercocok tanam di tanah orang tanpa izin bukanlah selera saya," ucap Pak Usman sembari menggigit lidah.

Raut wajah Pak Dasran tiba-tiba berubah.

Jodar yg memperhatikan itu
merasa sangat waswas. Sejenak ia mengalihkan perhatian ke arah jendela, mencoba menenangkan pikirannya.

Namun ia terperanjat saat melihat keadaan di luar telah gelap seperti sudah malam saja.

"Pak Ustadz, kita kelamaan ngobrolnya. Kita kemalaman," ujarnya disambut tatapan
mengintimidasi dari sang tuan rumah.

Akhirnya Pak Usman dan Jodar pun undur diri disambut tatapan dingin Pak Dasran.

Mobil yg dikendarai Pak Usman pun melaju meninggalkan jalan di depan rumah Pak Dasran.

Jalan yg terjal berbatu kasar itu dilewati dengan guncangan yg
dapat membuat badan menjadi nyeri-nyeri. Terkadang mobil juga harus melewati jalan agak berkubang nan licin. Ban mobil pun beberapa kali mengalami slip.

Apalagi ketika di tanjakan yg batuannya kebanyakan menonjol sehingga membuat mobil tersangkut.

Pak Usman pun memundurkan
mobilnya dengan niat untuk tancap gas agar mobil dapat melewati tanjakan berbatu itu.

Namun naas, suatu siluet wajah mengerikan seorang perempuan terpampang di hadapannya.

"Allahuakbar!" Pak Usman kaget bukan kepalang.

Akibatnya ia salah membanting setir yg berakibat pada
terpelesetnya ban belakang sebelah kanan ke arah jurang. Akibatnya dapat ditebak.

Mobil yg dikendarai Pak Usman pun terjun ke dlm jurang bersama sopir dn penumpangnya.

Nyala lampu hazard terlihat berkedip-kedip dari mobil yg kini berada di dasar jurang dalam kondisi terbalik.
Di dalam mobil, Pak Usman masih tersadar sementara Jodar telah kehilangan kesadarannya akibat kepalanya terbentur langit-langit.

Dalam posisi terbalik dengan kepala di bawah, Pak Usman samar-samar melihat banyak sekali wajah mengerikan yg menempel ke kaca jendela mobil.
"Hiiiiirrrrrriiiirrrr....."

Penampakkan banyak wajah mengerikan itu juga mengeluarkan suara erangan mengerikan yg membuat gendang telinga serasa diketuk-ketuk martil. Akhirnya Pak Usman pun turut kehilangan kesadaran menyusul Jodar.

Saat tersadar kembali, ia sudah berada di
dalam sebuah kamar rawat di rumah sakit.

"Pak Ustadz? Bapak sudah sadar?" ujar seseorang yg rupanya sedari awal menunggui Pak Usman.

"Mamah? Di mana ini, ya?" tukas Pak Usman seraya berupaya bangun dari tempat tidurnya.

"Bapak sedang di rumah sakit. Bapak abis kecelakaan.
Beruntung ada warga yg lewat yg menemukan mobil bapak di bawah jurang pinggir jalan ke kampungnya Pak Dasran," tukas wanita yg adalah istri Pak Usman itu.

Pak Usman tercenung kemudian mengingat-ingat apa yg semalam dialaminya. Ia kemudian teringat pada Jodar.

"Di mana Jodar,
mah?" tanyanya sambil celingukan.

"Jodar di kamar sebelah, pak. Tadi sih ia belum siuman. Mungkin sekarang sudah," tukas Bu Usman seraya memperhatikan wajah suaminya itu. "Wajah bapak pucat sekali. Tidak seharusnya bapak kemarin itu pergi ke sana. Terlalu berbahaya," lanjutnya.
maaf ada kesalahan. Seharusnya papah atau bapak. Maaf, saya lupa...
Sementara di luar, ada beberapa orang warga yg datang untuk menjenguk Pak Usman. Mereka berkumpul sembari membicarakan tentang kejadian yg dialami Pak Usman dan muridnya.

"Saya sudah memperingatkan beliau, Pak Adun. Tapi rupanya beliau tetap pergi ke sana. Habis itu ya kejadian
deh," ujar seorang warga yg mengenakan baju batik berwarna dasar putih.

"Tidak salah lagi, Pak Dasran telah mengguna-gunai Pak Ustadz hingga mobilnya masuk jurang. Pak Dasran memang tidak bisa diajak kompromi bahkan oleh orang terpandang sekalipun," tukas Pak Adun sambil
melihat ke arah kedatangan dua orang pemuda serta seorang pria yg berusia sekitar lima puluh tahunan.

Dua orang pemuda itu adalah Ardo dan Suhro. Sementara pria berkopiah hitam itu belum diketahui siapa sebenarnya.

"Ardo, putranya Pak Maklum yg dulu pernah masuk penjara itu,
ya?" kata warga yg bersama Pak Adun setengah berbisik.

"Dia juga keponakannya Pak Dasran. Apa yg akan dilakukannya di sini?" ucap Pak Adun.

Sementara Ardo hanya menatap dingin ke arah para warga yg sedang memperhatikannya itu. Ia bersama Suhro memasuki kamar di mana Pak Usman
dirawat.

Pria yg bersama mereka pun turut masuk ke ruang rawat Pak Usman.

Di dalam sana mereka disambut istri Pak Usman.

"Silahkan, nak Ardo. Kebetulan bapak sudah siuman. Juga ini baru selesai makan," ucap Bu Usman seraya mempersilahkan para penjenguk untuk duduk.
Beberapa lama kemudian.

"Jadi, Pak Tarmin ini kakaknya almarhum Pak Anta. Bapak nggak pernah terlihat di kampung ini. Apa bapak merantau?" ucap Pak Usman sambil menatap pria bernama Pak Tarmin itu.

"Betul, Pak Ustadz. Saya kakaknya Pak Anta. Saya jarang kemari karena tempat
tinggal saya di seberang lautan. Saya tinggal di Lampung, pak. Saya baru kemari. Itu juga sendiri saja tanpa membawa anak dan istri. Saya kemari karena mendengar kabar adik saya meninggal," tutur Pak Tarmin.

"Oh, begitu toh, pak. Musibah ini memang sangat menyakitkan. Semoga
bapak dapat mengikhlaskan kepergian adik bapak," tukas Pak Usman.

"Insya Allah saya ikhlas dengan kepergian adik saya, Pak Ustadz. Tapi saya kemari juga memiliki niatan untuk melenyapkan bala yg selama ini menghantui desa ini. Saya sudah mendengar desas-desus mengenai adanya
warga yg selalu mencari gara-gara dengan warga lain. Nah, kasus kematian adik saya menjadi cambuk bagi saya untuk menghentikan bala yg selama ini menghantui di desa ini. Apakah bapak berkenan dengan niatan saya ini?" tutur Pak Tarmin disambut kening berkerut dari Pak Usman.
"Menghentikan bala? Bapak sudah tahu kalau saya baru mengalami kecelakaan?" ucap Pak Usman sambil menatap penasaran ke arah Pak Tarmin.

"Tentu saja, Pak Ustadz. Para warga yg memberitahu saya saat kami berkumpul bersama mengobrol di warung Bu Isti," tukas Pak Tarmin.
Mendadak terdengar suara nada dering handphone milik Ardo. Pemuda itu pun lantas meminta izin untuk mengangkat teleponnya.

"Iya, ada apa, pak?" ucap Ardo. "Apa! Lalu apakah ibu masih kesakitan seperti yg pernah dialami bapak?"

Suhro yg mendengar pembicaraan Ardo dan ayahnya
di telepon lantas curiga dengan kata-kata mereka.

"Ada apa, do? Apa yg terjadi dengan Bu Minah?" tanyanya penasaran.

"Celaka! Ibu terkena guna-guna seperti yg pernah dialami bapak," tukas Ardo setelah menutup panggilan.

"Apa? Keterlaluan! Apa iya masih dia pelakunya?"
geram Suhro.

"Siapa lagi, suh? Di desa ini hanya dia yg memiliki kemampuan seperti itu," tukas Ardo seraya mengalihkan pandangan kepada Pak Usman dan Pak Tarmin yg sedari tadi menatap kaget ke arahnya.

"Kita akan ke rumahmu, mas Ardo," ucap Pak Usman.

"Bapak beristirahat
saja dulu. Biar saya yg tangani," kata Pak Tarmin seraya membimbing Pak Usman ke tempat tidurnya.

Ardo bersama Suhro dan Pak Tarmin segera meninggalkan rumah sakit menuju rumahnya yg berjarak beberapa kilometer jauhnya dari rumah sakit.

Dengan menggunakan sepeda motor trail,
Ardo membonceng Pak Tarmin diikuti Suhro yg mengendarai motor bebek.

Sesampainya di rumah, mereka dihadapkan pada kondisi yg menegangkan di mana Bu Maklum sedang menggelepar di atas tempat tidur.

Pak Maklum bersama Anisti serta tiga orang gadis yg adalah Rena, Juhariah, dan
Dina, memegangi tubuh Bu Maklum agar tidak lepas kendali.

"Ibu?" Ardo segera menghampiri ibunya kemudian berusaha menenangkan ibunya.

"Aaaaaaahhhhhhh.... Jurig makalangan! Dicaplok kuaing nu ngarebut tanah aing!" (Setan .... Aku akan mematuk orang yg merebut tanahku!)
"Istighfar, bu, istighfar!" Pak Maklum berusaha menenangkan istrinya tersebut.

"Ini berat. Pelakunya berada tidak jauh dari sini. Tepatnya di selatan rumah ini. Di sebuah lahan yg dipenuhi tanaman sayuran," ucap Pak Tarmin membuat Pak Maklum tercengang. "Tapi fokus saya adalah
ke penyembuhan ibunya. Untuk si pelaku, nanti kita bicarakan," lanjutnya sambil melihat ke arah Ardo.

"Maaf, bapak ini siapa?" tanya Pak Maklum penuh selidik.

"Saya Pak Tarmin, kakak almarhum Pak Anta. Izinkan saya untuk membantu, menghilangkan benda-benda najis yg dikirim
pendengki itu," tukas Pak Tarmin.

"Kalau begitu lakukanlah. Tolong istri saya, ya. Saya tidak tahan melihatnya menderita seperti ini," ucap Pak Maklum memelas.

Pak Tarmin mengangguk kemudian menghampiri Bu Maklum. Ia kemudian merapal doa-doa serta membaca ayat-ayat suci.
Setelah hampir satu jam melakukan ritual penyembuhan Bu Maklum, Pak Tarmin pun berhasil membuat ibunya Ardo tersebut sembuh dari kesakitannya itu.

Ibunya Ardo pun kini tertidur. Ia kini terlihat lebih tenang. Semua orang pun merasa lega dengan hal tersebut.

"Sejumput ijuk ini
adalah penyebabnya. Orang itu yg mengirimnya secara ghaib. Masih untung bukan paku atau serpihan kaca," ujar Pak Tarmin sembari menatap ke arah Pak Maklum.

"Tapi saya pernah dikirimi puluhan paku. Beruntung saya masih diberi keselamatan. Ngomong-ngomong, terimakasih Pak Tarmin.
Untungnya anda bisa menggantikan Pak Usman yg sedang dirawat. Desa ini memang kekurangan orang-orang yg memiliki kemampuan seperti bapak ini," tukas Pak Maklum seraya menatap wajah istrinya.

"Pak Maklum, sepertinya saya harus pamit. Saya mau ke rumah adik ipar saya. Besok saya
harus kembali ke Lampung. Anak dan istri saya pasti sedang menunggu kepulangan saya. Meski ya keluarga saya di sana bisa mafhum kalau saya sedang kena musibah kehilangan adik saya," kata Pak Tarmin undur diri.

"Oh, Pak Tarmin berasal dari Lampung, toh? Kenapa harus buru-buru,
pak? Kalau memang keluarga di Lampung mafhum seharusnya bapak bisa tinggal lebih lama di desa ini. Apalagi jika anggota keluarga kita ada yg meninggal, maka kita setidaknya akan berada selama seminggu di rumah duka," kata Pak Maklum.

Pak Tarmin tersenyum.

"Ada hal yg lebih
penting yg harus saya urus, pak. Saya juga sudah bilang ke adik ipar saya," katanya kemudian melirik ke arah Ardo dan Suhro.

Kedua pemuda itu tampak mengangguk.

Beberapa lama kemudian setelah Pak Tarmin pergi diantarkan oleh Suhro. Ardo tampak duduk di seberang rumahnya.
Ia rupanya sedang membaca chat dari seseorang yg ternyata adalah Suhro.

"Nanti malam, do. Kita berkumpul dulu di rumah Bu Asti. Pak Tarmin yg meminta kita berkumpul di sana. Kita mendapatkan backup dari beberapa orang. Jodar katanya akan ikut. Juga ada Sofan dan Pak Udran,"
begitu chat yg dikirim oleh Suhro kepada Ardo.

Saat sedang membaca chat itulah, ia dikagetkan oleh dua orang gadis yg sebelumnya berada di dalam rumah Ardo.

"Ehmm, mas Ardo. Nih calon istrimu sedang mencari kamu," ujar Juhariah membuat Ardo mengangkat muka.

"Kalian? Ngapain?
Maksudku kalian ngapain kemari? Ganggu aja!" ucap Ardo gusar dengan kedatangan dua gadis manis itu.

"Diih, mulutnya tajam sih, ayangnya Rena," ucap Juhariah disambut sentilan oleh Rena. "Kami merasa jenuh di dalam. Ayahmu sama Dina khusyuk banget baca Qur'an-nya. Kami pun pergi
karena nggak mau mengganggu," lanjutnya.

"Kenapa kalian tidak ikut membaca Qur'an? Karena nggak berhijab? Atau karena lagi berhalangan?" tanya Ardo seraya mengantongi handphone-nya.

"Jujur saja mas Ardo. Saya nggak betah di dalam rumah mas Ardo. Kayak ada hawa-hawa aneh gitu.
Kadang-kadang saya seperti melihat seorang perempuan berkebaya merah berwajah rusak sedang memelototi saya," kata Rena disambut tatapan dingin Ardo.

"Kalau nggak betah di rumahku, mending pulang saja. Aku nggak maksa kalian untuk datang. Lagipula kan ada bibi. Eh?" Ardo
memotong ucapanya sendiri saat melihat Bu Anisti atau bibinya sedang mengeluarkan motornya dari garasi yg dulunya digunakan untuk mobil.

"Bibi mau pulang?" tanya Ardo seraya beranjak menuju bibinya itu.

"Iya, do. Bibi harus pulang. Pamanmu selalu marah kalau bibi kelamaan
di sini. Tahulah pamanmu itu memang sangat egois," tutur Bu Anisti seraya menghidupkan mesin sepeda motornya.

"Apa bibi tidak bisa menginap saja?" tanya Ardo sambil menatap bibinya itu dengan tatapan seperti seseorang yg tidak rela melepaskan. "Ibu selalu membutuhkan bantuan
dari bibi. Baik itu memasak atau merawat ibu saat beliau sedang tidak sehat. Apalagi saat ini, bi," lanjutnya.

"Maafkan bibi, do. Bibi tetap harus pulang. Doakan yg terbaik saja, do," tukas Bu Anisti seraya melajukan sepeda motornya.

"Bibi....?" Ardo berseru tertahan dengan
tangan kanannya yg menggapai tertahan ke arah sosok bibinya yg semakin menjauh. "Entah kenapa aku seperti berfirasat bahwa barusan itu akan menjadi yg terakhir bagiku melihat bibi," ucapnya dengan perasaan tidak menentu.

"Mas Ardo, jangan bengong. Nanti kesambet Nenek Poci,"
seru Juhariah saat lewat bersama Rena menuju teras rumah.

Ardo tidak menyahut. Ia kemudian memasuki rumah.

Saat malam menjelang, Ardo telah berada di rumah Bu Asti di mana Pak Tarmin dan orang-orang yg disebut Suhro dalam chat telah hadir di sana. Mereka adalah Pak Tarmin,
Sofan, Jodar, Suhro, dan Pak Udran.

"Apapun yg akan kita lakukan pada jam dua dinihari nanti harus kita rahasiakan serapat mungkin. Tentu itu bukannya tanpa resiko. Jika kita tidak mati di tangannya, maka kita akan ditangkap polisi dan dijebloskan ke penjara. Bahkan bisa saja
dihukum mati jika target berhasil kita binasakan," ujar Pak Tarmin sembari menatap ke arah barisan golok dan clurit bersarung yg ditaruh di atas meja di hadapannya.

"Perlu diingat ya para pemuda. Setidaknya lima orang yg harus maju. Sisanya mengawasi di luar. Maju sendiri hanya
akan membuat nyawa melayang sia-sia. Yg kita akan kita lakukan mungkin keji dan jahat tapi itu harus dilakukan karena sudah cukup banyak warga yg menjadi korban. Jngn ada korban lagi. Cukup malam ini satu korban, yaitu orang itu!" timpal Pak Udran sembari mengangkat telunjuknya.
Singkat cerita, malam berlalu hingga pada jam dua dinihari, kelompok yg beranggotakan Pak Tarmin, Ardo, Suhro, Jodar, Sofan, dan Pak Udran, telah berada di suatu kebun di belakang rumah mewah yg berdiri terpencil. Rumah itu jelas adalah rumah Pak Dasran.

Keenam orang itu
mengenakan topeng hitam yg biasa dikenakan pelaku kriminal. Sebelum memulai aksinya, mereka terlebih dahulu mendengarkan arahan dari Pak Tarmin.

"Saya sudah mengusir para demit yg mengelilingi rumah itu. Dengan demikian kita dapat masuk ke dalam sana. Pintu kecil itu
adalah jalan kita yg paling aman. Memaksakan diri masuk melalui pintu gerbang sangat berisiko. Di sana penjagaannya terlalu kuat. Meski demikian, itu tidak akan mencampuri urusan kita," tutur Pak Tarmin seraya mengawasi pintu kecil yg ia maksud.

"Apa saya bisa langsung
mendobraknya?" tanya Sofan yg telah siap dengan linggis kecilnya.

"Sebentar," ucap Pak Tarmin seraya menghampiri pintu tersebut. "Aman. Pintu ini sekarang benar-benar bersih dari penunggu," katanya setelah memeriksa pintu tersebut.

Sofan pun maju dan mulai melancarkan aksinya
Berbekal linggis kecil serta seperangkat peralatan memotong, Sofan pun berhasil membuka pintu kecil yg merupakan pintu tembok rumah yg mengarah langsung ke kebun.

Selanjutnya Pak Tarmin diikuti Ardo, Suhro, Jodar, dan Pak Udran, memasuki pelataran belakang rumah besar dan mewah
itu. Sementara Sofan mengawasi dari belakang sembari celingukan.

"Katanya demitnya sudah pada pergi. Kok aku merasa seperti mereka masih ada di sini?" Sofan bergumam saat merasa bulu kuduknya merinding.

Meski tidak melihatnya secara langsung, Sofan dapat merasakan kehadiran
sesosok tinggi besar berbulu lebat berwarna hitam di belakangnya.

"Sofan, jika kamu mendapati salah satu atau lebih dari mereka. Sebaiknya kamu ikut saja ke dalam. Kamu tidak usah ikut beraksi. Cukup menunggu saja," kata Jodar yg melihat gelagat aneh dari Sofan.
Mendadak Suhro kembali ke arah pintu kecil sembari mengangkat teleponnya. Setengah berbisik ia berbicara melalui handphone-nya.

"Bilang ke Saini, kuatkan. Bertahanlah. Semoga setelah kami berhasil, ia segera sembuh. Aku tahu apa yg telah terjadi kemarin siang itu. Aku sudah
wanti-wanti kepadanya agar jangan mengedepankan emosi kalau berhadapan dengan Pak Dasran." Suhro terdiam sejenak saat lawan bicaranya berbicara.

"Ya, sudah. Tolong jagain istri saya, mbok. Kalau perlu panggil Pak Ustadz. Beliau yg biasa menyembuhkan sakit karena guna-guna,"
kata Suhro menanggapi kata-kata lawan bicaranya.

"Suhro, ayo! Jangan terpencar," ucap Ardo yg menyusul Suhro.

Sementara yg lain tengah berdiri memperhatikan pintu belakang yg terlihat begitu kokoh. Mereka sepertinya sedang bingung bagaimana cara membuka pintu tersebut.
Sofan maju kemudian mencongkel pintu tersebut dengan linggisnya. Namun tiba-tiba ia mengibas-ngibaskan kedua tangannya seperti yg kepanasan.

"Sofan? Kenapa, nak?" tanya Pak Tarmin kaget.

"Panas, wak. Tangan saya seperti habis memegang besi yg dibakar," tukas Sofan seraya
meringis menahan panas di tangannya yg seperti melepuh saja.

"Biar uwak saja," kata Pak Tarmin kemudian bibirnya komat-kamit.

Setelah itu ia meraih linggis tersebut.

"Ardo, sekarang," ucapnya.

Tanpa basa-basi, Ardo mengayunkan golok panjang yg ditentengnya ke arah pintu.
Brakkkkkkk

Pintu yg terlihat kokoh tersebut terbelah menjadi dua setelah ditebas oleh Ardo.

Setelah pintu terbelah, mendadak sesosok manusia berkelebat menerjang ke arah Ardo yg berdiri tepat di depan pintu yg terbelah. Sosok itu menggenggam sebilah golok pendek.
Kemunculan sosok tersebut membuat Pak Tarmin dan kawan-kawan pun akhirnya harus memulai pertempuran. Setidaknya satu orang melawan lima orang.

Pertarungan berlangsung tidak hanya di teras belakang saja. Pertarungan itu juga berpindah tempat menjadi ke dalam rumah karena pribumi
atau sang target seringkali menghindari serangan dengan berlari ke dalam rumah yg kemudian dikejar oleh dua penyerang. Berikutnya tiga penyerang masuk ke dalam rumah, menebaskan senjata tajam yg menghancurkan berbagai perabotan ataupun perlengkapan di dalam rumah.
Setiap kali para penyerang melakukan serangan, target selalu berhasil menghindar. Bahkan target terkadang melakukan manuver yg cukup mengagetkan, yaitu melompat ke arah dinding kemudian menempel di sana seolah-olah badannya dapat menempel di sana.

"Do, celaka kita! Dia bisa
menempel di tembok," ucap Suhro seraya melihat dengan waspada ke arah sosok Pak Dasran yg sedang menempel di tembok dengan jarak ke lantai setinggi tiga meter.

Tanpa menyahut, Ardo melompat ke arah sosok Pak Dasran sembari menebaskan goloknya.

Srekkkkk

Golok mengoyak
wallpaper dinding, sedangkan target berhasil menghindar. Bahkan Pak Dasran berhasil memasukkan serangan ke arah Ardo hingga pemuda itu ambruk tidak jauh dari serpihan pasir dari tembok yg berhasil ia koyak.

Pak Dasran yg merasa menang, lantas menderu ke arah Ardo sembari
menebaskan goloknya. Namun Pak Udran muncul dari belakang, menebasnya dengan badik namun tidak berhasil melukai Pak Dasran.

Ternyata Pak Dasran kebal senjata. Padahal ia selalu menghindar ketika diserang meski ia kebal senjata.

Jodar juga turut menyerang dengan cluritnya.
Namun cluritnya hanya mampu mengoyak bagian belakang kaos yg dikenakan Pak Dasran. Selebihnya serangannya tidak berefek apa-apa pada target.

Justru Pak Dasran yg kini menjadi beringas, memasukkan serangan gencar kepada penyerang yg jaraknya cukup dekat darinya.

Itu adalah
Suhro yg awalnya hendak menyerang, justru kini ia terdesak karena lawannya berhasil membuatnya terpojok di sudut ruangan.

Kemampuan bertarung Pak Dasran memang sangat tidak bisa dianggap remeh. Terbukti kelima penyerangnya dengan mudahnya ia buat terdesak. Apalagi ia memiliki
kemampuan magis yg tidak main-main.

Itu dibuktikan dengan terjatuhnya Pak Udran hanya dengan lontaran sebutir kerikil saja. Kini saat Suhro bersiap menemui nasib buruknya saat dikalahkan oleh Pak Dasran. Barangkali saat itu juga ia akan mati. Apalagi lawannya bersiap menebasnya
Saat Suhro sudah tidak mungkin dapat menghindari serangan lawan, mendadak seseorang menerjang ke arah Pak Dasran seraya menaburkan segenggam pasir tepat ke arah kedua mata laki-laki itu.

Itu adalah Ardo yg rupanya berhasil bangkit setelah ambruk akibat serangan Pak Dasran.
Pak Dasran yg kedua matanya kemasukkan pasir lantas terhuyung. Ia berusaha membersihkan kedua matanya dari pasir yg ditaburkan Ardo.

Namun mendadak suatu tebasan golok menghantam tengkuknya. Ia jatuh telungkup di atas lantai. Selanjutnya tebasan lainnya datang mengoyak belakang
kepalanya.

(Ini adegan sadis. Jadi saya cukupkan saja sampai sini)

Mendadak dari arah ruangan sebelah kiri terdengar suara teriakan seorang perempuan disusul suara benda jatuh berdebum bersamaan dengan suara berderak.

"Siapa itu?" kata Pak Tarmin setelah memastikan target
telah tewas.

"Bibi Anisti?" ucap Ardo seraya berlari ke arah ruangan sebelah kiri kemudian mendapati Sofan sedang berjongkok di samping tubuh perempuan yg adalah Bu Anisti.

"Kau apakan dia! Dia tidak ada salah apa-apa kenapa kau bunuh!" Ardo menerjang hendak menyerang Sofan
namun dicegah oleh Suhro.

"Saya tidak membunuhnya, mas Ardo. Ia terpeleset saat berlari setelah melihat Pak Dasran mati. Saya berani bersumpah, mas," kata Sofan mengajukan pembelaan.

Ardo berusaha mengendalikan emosinya. Ia hanya mengusap wajahnya dengan frustrasi.
"Benar, ia terpeleset," ujar Pak Tarmin saat melihat lantai yg basah seperti bekas disiram air. "Sofan menyiramkan air ke lantai sebenarnya bertujuan untuk menghambat pergerakkan Pak Dasran. Tapi sayangnya malah istrinya yg kena. Sekarang dua-duanya telah tiada," lanjutnya.
Esok harinya, desa tersebut geger dengan kematian pasangan suami istri yg bertempat tinggal di lahan terpencil yaitu Pak Dasran dan Bu Anisti.

Sejak kematian mereka, hal-hal ganjil yg menimpa warga desa menghilang begitu saja. Orang-orang yg terkena guna-guna mendadak sembuh.
Meski melenyapkan sang Dukun Santet turut melenyapkan bala dari desa, namun para pelakunya segera saja ditangkap pihak berwajib karena dianggap melakukan pembunuhan berencana dengan alasan yg mengada-ngada.

Sekian thread dari saya.

Terimakasih bagi yg setia mengikuti...

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with Acep Saepudin

Acep Saepudin Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @acep_saep88

2 Apr
- Jejak Rena -

Sebuah cerita dari saya pribadi. Silahkan baca jika suka. Kalau tidak silahkan abaikan. (Like bukan berarti suka. Bisa berarti hanya sekadar numpang lewat)

@IDN_Horor @ceritaht @WdhHoror17 #ceritahorror #ceritaseram Image
Thread ini merupakan lanjutan dari thread berjudul "Rahasia Reruntuhan di Tengah Hutan". Bagi yg mengikuti thread tersebut mungkin tidak akan kebingungan dengan thread lanjutan ini.

Semoga para pembaca tertarik dan terhibur dengan thread alakadarnya ini. Terimakasih
Daratan gersang yang dipenuhi reruntuhan dan pepohonan yang hangus tersebut dulunya adalah Desa Cikahuripan. Sekarang desa tersebut telah luluh lantak akibat amukan api yang disemburkan AdugLajer.

Semburan AdugLajer telah mengakibatkan sebagian wilayah itu ludes tak tersisa.
Read 112 tweets
31 Jan
- RAHASIA RERUNTUHAN DI TENGAH HUTAN -

Sebuah cerita yg tujuannya utk hiburan bukan untuk menakut-nakuti atau menceritakan sesuatu yg kebenarannya diragukan..

Selamat membaca..

@ceritaht @WdhHoror17 @IDN_Horor @bagihorror #ceritahorror #ceritahorror #ceritaseram Image
Sebelum lanjut ke ceritanya, penulis ingin menyampaikan bahwa gambar di atas hanya ilustrasi yg berasal dari platform editing cover...

Makasih
Brag, brag, brag,

Suara genderang bergema sesaat ketika di dalam rumah berbilik bambu itu sedang terjadi keributan. Keributan tersebut terjadi saat seorang perempuan muda kerasukkan, di mana kekasihnya mengamuk sambil bertingkah seperti hendak memukul gadis itu.
Read 204 tweets
15 Dec 20
-RUMAH BESAR DI TENGAH PERKEBUNAN SAWIT VERSI II-

Jika para pembaca pernah membaca thread Ketakutan Mira, maka thread ini yg menjadi lanjutannya. Semoga kalian semua suka. Makasih

@bacahorror @IDN_Horor @ceritaht @WdhHoror17 @bagihorror #bacahorror #ceritaht Image
Menjelang dini hari di dalam sebuah rumah besar yang berdiri terpencil di tengah-tengah perkebunan sawit yang telah lama ditinggalkan.

Sarah berdiri di depan pintu, menghadang Mira yang hendak melewati pintu tersebut.

"Kau mau ke mana, maniak?" ucap Sarah dingin.
Mira menghentikan langkahnya kemudian menatap malas ke arah Sarah.

"Menyingkir dari jalanku, Sarah! Kau belum puas menindasku?" Mira menatap tajam ke arah teman sekelasnya yang ia tahu kerap membully-nya.

Sarah mendecih, "Aku tidak akan menekanmu terus-terusan jika kau tidak
Read 130 tweets
16 Nov 20
>>PARA PENGHUNI DESA MATI BAGIAN II<<

Sebuah thread dr sy pribadi. Semoga pembaca suka
Cerita masih berfokus pada desa terbengkalai yg berusaha dihidupkan kembali oleh saudara tiri Pak Raman

@bacahorror
@IDN_Horor @ceritaht @WdhHoror17 @Bagihoror #bacahoror #CeritaHororTwitter Image
Desa Cikahuripan yang telah lama mati, di salah satu sudut wilayahnya berupa rumah-rumah penduduk yang terbengkalai.

Saat itu kondisi di desa dalam keadaan gelap. Bukan karena hari telah malam, melainkan karena sesuatu yang lain. Sesuatu yang sangat kuat, yang mencengkeram desa
hingga tidak berkutik.

Di dalam salah satu rumah, Pak Raman berbaring dengan menyilangkan tangan kanannya di atas keningnya. Kedua matanya tampak terpejam.

Entah sudah berapa lama ia tertidur di dalam rumah yang telah ditinggalkan pemiliknya itu.

Sayup-sayup terdengar suara
Read 92 tweets
28 Oct 20
>Para Penghuni Desa Mati<

Sebuah thread dari Acep_saep...

Cerita akan sedikit mengulas apa yang terjadi di desa di mana di cerita sebelumnya keluarga Pak Raman diusir.

Selamat membaca

@WdhHoror17 @ceritaht @bagihorror @IDN_Horor #CeritaHororTwitter #ceritahoror #ceritaseram Image
Setelah semalam berlalu pasca diusirnya keluarga Pak Raman dari desa.

Pagi itu, desa yang dipimpin Kades Samsudin mengalami kegemparan yang dahsyat.

Bagaimana tidak, setidaknya sepuluh keluarga tewas dalam keadaan mengerikan. Mereka tewas dengan seluruh tubuh dipenuhi luka-
luka yang sangat parah persis seperti yang terjadi pada Indira di cerita 'Rumah Besar di Tengah Perkebunan Sawit'.

Sepuluh keluarga tersebut setidaknya salah satu atau dua anggotanya adalah yang paling gencar mengusir Keluarga Pak Raman, bahkan menjadi orator utama.
Read 110 tweets
18 Oct 20
>Rumah Besar di Tengah Perkebunan Sawit<

Sebuah cerita mengenai suatu keluarga yg diusir dari desa karena dugaan persekutuan salah satu anggotanya dengan iblis..

@ceritaht #CeritaHororTwitter @IDN_Horor @WdhHoror17 #hororstory @bagihorror #ceritaseram Image
Di suatu pagi menjelang siang. Di jalanan desa itu terlihat beberapa orang warga sedang berjalan terburu-buru menuju ke arah selatan. Terkadang para warga tersebut menemui warga lain yang ditemuinya kemudian membicarakan sesuatu yang tampaknya penting sekali.

"Ayo kita labrak!"
Begitu kata-kata yang terdengar dari warga yang menemui warga lain yang ditemuinya.

Siapa sebenarnya yang akan mereka labrak? Jumlah mereka semakin banyak saja, mulai dari bapak-bapak, ibu-ibu bahkan para lansia. Mereka bersama menuju ke arah selatan.

Rombongan warga tersebut
Read 112 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Too expensive? Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal Become our Patreon

Thank you for your support!

Follow Us on Twitter!

:(