, 305 tweets, 38 min read
My Authors
Read all threads
cerita nyata ini dialami oleh adik kelas saya waktu itu, mohon untuk ambil sisi baiknya saja. untuk berbagi pengalaman.

"JURAGAN PESUGIHAN" [Based On True Story]

-Horror Thread-
@bacahorror #bacahorror #ceritaht
@bacahorror Part 1. Hening Malam

Malam seringkali memberikan ketenangan dan sebaliknya bencana bagi segenap manusia. Kesunyian malam menjadi pelengkap dalam meraih ketenangan. Namun, kesunyian juga bisa menjerumuskan kedalam kesesatan.
Semua tergantung pada apa yang ada dalam hati setiap insan. Terkadang malam menjadi pengobat kegundahan jiwa...... Karena dalam sebagian malam itu doa manusia menjadi mustajabah....
Awal bulan Desember 2017 menjadi titik tolak dari cerita gue. Ketika gue harus berjibaku dengan tugas kuliah yang hampir habis masa deadlinenya. Ketika malam demi malam terpaksa dihabiskan di warnet yang menjadi tempat tumpuan untuk ngerjakan tugas kuliah.
Sedikit plagiat yang penting tugas tuntas. Meskipun jarak warnet agak jauh dari rumah, di pusat kota salah satu kabupaten di Jawa Timur yang terkenal dengan nama kota hasil tambaknya,
gue tetep semangat karena selain murah dan nyaman dan yang tidak kalah pentingya selalu ditemani shohib gue, Ricky.

Ricky adalah sahabat karib gue di SMA, dan kami berteman sejak awal masuk SMA sampai sekarang!
karena kami kuliah di Univesitas yang sama tapi mengambil jurusan yang berbeda. Si do’i orangnya enak banget di ajak temenan, selain baik dia juga pintar dan rajin. Do’i punya watak yang keras, grusah-grusuh dan tidak sabaran.
Ricky ini sebenarnya mempunyai kelebihan yang tidak dimiliki banyak orang, kelebihan itu ialah bisa melihat makhluk ghaib. Orang bilang dia indigo, tapi sebagian orang bilang dia adalah titisan dari si mbahnya/leluhurnya yang konon adalah seorang pendekar.
Woooww....!!! diam-diam ndak bisa diremehkan anak ini. Gue punya julukan ke Ricky, yaitu temennya dhemit (makhluk ghaib).

Beda dengan Ricky, meskipun gue sedikit bisa lihat barang-barang yang tak kasat mata atau ghaib, tapi gue sebenarnya orangnya sedikit penakut.
Yang jadi aneh, gue punya kemampuan untuk melihat barang-barang ghaib itu sejak lahir tanpa harus belajar. Memang anugrah Tuhan yang tak ternilai harganya, tapi juga terkadang bikin merinding tak terkira.
Di dalam warnet...

Malam itu, warnet cukup ramai dijejali oleh hampir seluruhnya anak muda. Ada yang main game online, browsing artikel, ngerjain tugas, cari-cari artikel dan bahkan ada yang buka bokep (tentunya pake VPN kan) meskipun harus diam-diam dan sedikit ditutupi.
Sudah tidak memperdulikan lagi UU ITE yang membuat sebagian Publik Figure meradang. Terdengar sanyup-sanyup lagu dari speaker kecil yang di taruh dipojok atas ruangan, membuat suasana semakin gayeng dan nyaman.
“Mas, sumuk kipase akakno? (mas, panas nyalakan kipasnya?)” Pinta cewek yang duduk deket penjaga warnet. Si penjaga langsung sigap menyalakan kipas angin yang ada di ruangan. Tidak ada AC, maklum warnet dengan tarif ekonomi.
Dua kipas angin di atas plafond ruangan mulai berputar-putar memberikan sedikit hembusan angin mengusir panas yang ada di ruang.

“Mas, engko tutupe sampe jam piro?” (Mas, nanti tutupnya sampai jam berapa?) tanya Fandi kepada penjaga warnet.
“santai mas, isik suwi jam 12” (santai mas, masih lama jam 12) jawab penjaga warnet. Waktu itu masih menunjukkan pukul 7.30 malam. Seiring bertambahnya malam,
satu demi satu pelanggan warnet mulai meninggalkan tempat. Kami harus ngebut cari artikel buat tugas kuliah.... duhhh capek banget rasanya. Tak terasa sudah jam 12.00 WIB, dan tinggal kami berdua yang ada di warnet tersebut.
“Mas, udah jam 12 waktunya tutup” tegur Penjaga Warnet.

“Bentar mas, tinggal dikit” jawab gue sambil memelas.

“Yo wes mas, tak tinggal golek kopi disik nang warkop ngarep yo.
Titip warnet diluk” (ya sudah mas, saya tinggal cari kopi di warung kopi depan. Titip warnet sebentar) ucap Penjaga Warnet.

“Inggih mas” jawab kami berdua.
Penjaga Warnet dengan tubuh kecilnya berjalan gontai menahan kantuk keluar dari warnet dan membiarkan kami berdua yang lagi asyik cari artikel. Suasana dalam warnet mulai mencekam, hanya kami berdua tidak ada manusia lain.
Hembusan angin dari kipas meliuk-liuk menyelimuti seisi ruangan. Sepi, hening tidak ada suara bahkan dua speaker yang tadi menemani telah senyap. Merinding!, bulu kudukku mulai meresahkan hati. Seakan-akan ada yang mengawasi kami berdua, tapi apa gue tidak tahu.
“Rick, howone koq bedho ngene. Onok opo iki?” (Rick, suasananya koq beda. Ada apa ini?) tanya gue. “Opo... gak onok opo2” (apa, ndak ada apa2) timpal Ricky.

Krrriiiieek... krriieeek...
Bllakkk... Blakkk...
Terdengar samar-samar suara daun pintu kamar mandi diujung ruangan. Kamar mandi kecil yang sangat kecil terselip dipojok ruangan. Maklum engsel pintu jarang di beri pelumas dan harus ektra keras menopang daun pintu kayu.
Lampu di dalam kamar mandi mati, tapi ada bau aneh menyeruak.

“Rick, wonge metu. ambune amis iki” (Rick, orangnya keluar. Baunya amis) bilang gue sambil sedikit ketakutan.
“Opo ae ki, iko ta sing ngintip teko jeding. Barnoh nek ganggu bacok ae” (apa ki, yang ngintip dari kamar mandi. Biarkan kalau ganggu kita tebas aja) jawab Ricky sambil menunjuk ke arah kamar mandi.
Di dalam kamar mandi samar-samar terlihat sosok hitam besar dengan mata merah melotot dan gigi runcing bersimbah darah menatap dalam ke arah kami berdua seolah kami mangsa buruannya.
Gue pun berusaha menutup mata rapat-rapat sambil menyandarkan kepalanya ke punggung Ricky dengan sedikit ketakutan. Tak biasanya makhluk seperti itu menghuni kamar mandi.
Mata merah terbelalak terus menerus menatap ke arah gue, semakin di lihat semakin serem. “luuhh..... serem banget” gerutu gue sambil masih menutupi matanya.
Ricky tidak menghiraukan bisikan gue, kelihatannya merasa risih dengan kelakuan gue yang terus-menerus menempelkan mata gue ke punggung Ricky. “Cooook... agak geser Rick, risih looh” gerutu Ricky. Gue masih bertahan menutupi mata dan sembunyi dibalik punggu Ricky. Hingga.......
Krrreeeeekkkkk..... suara pintu terbuka.

“Sudah rampung mas” sura lirih muncul. Spontan gue terperanjat dan terjatuh dari kursinya. Penjaga warnet muncul dari pintu masuk tanpa memberi aba-aba dulu. Tentu saja kami berdua kaget,
bahkan untuk gue bisa dibilang shock. Hingga gue tidak bisa mengendalikan posisi duduk yang nyaman. Takut, kaget, jengkel dan gregetan campur jadi satu.

Brrraakkkk....

“Loh... kenapa mas?” kata Penjaga Warnet sambil berlari kecil menghampiri Ricky dan gue.
“Ndak papa mas, tadi sampeyan ta mas? Gue cuman kaget aja, tak pikir......???” kata gue sambil meringis menahan sakit.

“Ngunu ae wedi Bro...” (Begitu aja takut) sahut Ricky sambil memapah gue bangun.
“Iya mas... Saya. Udah jam setengah dua, waktunya tutup. Besok dilanjut lagi. Kami Buka jam 7 pagi. Sorry ya” jelas penjaga warnet berbadan kurus itu. Kami bergegas mengambil FD dari tas kecil.
Gue langsung tancapkan Flasdik ke CPU dan mencopy semua artikel dan kerjaan kami hingga tidak ada satupun yang tertinggal. Kerjaan kami malam ini cukup penting untuk tugas kuliah dan masa depan kami.
Setelah selesai beres-beres, gue menghampiri penjaga warnet dan membayar jasa sewa warnet malam itu. Gue sedikit lega karena banyak bahan yang telah kami kumpulkan. Kemudian kami langsung keluar dari warnet meninggalkan penjaga warnet ditemani makhluk penjaga kamar mandi.
Semoga demit kamar mandi tidak menghantui sang empunya warnet ini.

Malam itu sudah menunjukkan pukul 01.30 dini hari, Ricky yang memakai motor jadul andalan membonceng gue. Malam semakin dingin, sunyi dan hening disetiap sudut tempat.
Kami berdua sangat lelah seharian mencari bahan untuk tugas dari kampus di warnet, ingin rasa hati beristirahat sejenak. Gue berpikir untuk mencari warung kopi. Tapi malam itu gue berpikir mana ada warung kopi jam segini masih buka kalau tidak ke pasar.
“Rick, ayo ngopi dulu ke pasar” ajak gue.

“OK, siip” timpal Ricky.

Akhirnya kami pergi menuju kesalah satu pasar yang berada satu jalur dengan arah kami pulang. Lumayan jauh dari warnet tadi.
Ricky memacu motor menerobos dinginnya angin yang menusuk tulang dan gelapnya malam, sambil membonceng gue di jok belakang. gue berpegangan erat menahan dingin dan sedikit takut dengan kejadian di warnet tadi.
Dari sini gue melihat pasar yang sudah ramai dengan penjual mulai menata dagangannya dihiasi dengan gemerlap lampu hemat energi 13 watt. Yaitu pasar di kecamatan ****,
pasar tradisional dengan sedikit kumuh dan becek pemandangan jalanannya, memang terlihat indah dari kejauhan. Biasanya orang-orang menyebut dengan pasar krempyeng.
Part 2. Pasar Krempyeng

Sesampainya di pasar krempyeng, pasar sudah mulai ramai. Meskipun dinginnya malam masih sangat terasa menusuk tulang. Para pedagang (bakul) mulai menyiapkan daganganya, ada yang menurunkan dagangan dari becak motor.
Ada juga yang masih tawar menawar disebelah mobil pickup, mobil itu masih penuh sayuran. Bahkan ada yang tertidur lelap diantara tumpukan dagangannya. Pemandangan yang cukup menakjubkan, perjuangan seorang hamba demi menafkahi keluarganya.
Sejenak Ricky menghentikan motor bututnya di depan pasar tradisional sambil kepalanya tengak-tengok kanan kiri melihat situasi. Tampak agak jauh dari kami berhenti, terlihat pedagang dan bakul sayur sedang bercengkrama...
“Teronge iki perkilo piro, kang?”(teronge ini per kilo berapa kang) tanya pembeli.

“Haalaah yu... koyok biasane ae” (Haalaah yu... seperti biasanya saja) jawab bakul sayur.

“Yo wes... 20 kilo, diangkatno sekalian ya” (Ya Sudah diangkatkan sekalian ya) pinta ibu pembeli.
“Siap mbak nyu...” timpal pak bakul sambil menimbang dagangannya.

Percakapan tersebut sayup-sayup terdengar dari kejauhan.

Akhirnya, pandangan kami tertuju pada dua warung yang berada di pojok pasar. Ada perbedaan yang agak menonjol diantara dua warung tersebut.
Warung yang berada di sebelah tempat parkir bercat kuning dengan penerangan yang cukup “byarr” atau terang dengan dilengkapi free wifi, khas Warung G**** yang digandrungi anak-anak muda saat itu.
Sedangkan satunya warung kopi biasa, dengan penerangan agak redup dan kelihatan pengunjungnya orang-orang yang cukup berumur. Kami putuskan memilih warung G**** untuk berngopi ria disamping harganya murah ada wifinya juga.
Warung ini menyediakan kursi kayu bebentuk L memutari meja utama, sedangkan kursi dan meja kayu terpampang rapi didepannya berjumlah empat set.
Kami pun berjalan sambil mendorong motor butut Ricky ke arah warkop tersebut, karena jaraknya tidak terlalu jauh dari tempat kami berhenti.

Pengunjung saat itu sudah sepi, karena waktu sudah larut malam menjelang subuh.
Hanya terlihat tiga orang pengunjung yang kulihat duduk dikursi utama. Sambil menghisap rokok dalam-dalam dan ngobrol satu sama lain, suasana di malam itu sungguh tentram dan santuy.
Meski tampak sepi warkop itu bersih, dihiasi cahaya yang terang menambah kenyamanan para pengunjung. Tujuan utama kami mampir di warung kopi tersebut tak lain hanya untuk menghilangkan penat, karena dari siang hingga dini hari kami berkutat dengan tugas kuliah,
“Kopi susu dua?” pesan gue pada penjaga warkop.

“Iya mas, tungu sebentar” jawabnya.

Hanya itu yang bisa kami pesan, dua cangkir kopi. Masalahnya uang kami hanya cukup untuk beli 2 cangkir kopi saja, rokokpun tinggal 6 biji lusut dan tak enak dipandang. Nasib boy.....!!!
Semakin pagi pasar semakin ramai, para pengunjung mulai berdesakan dan terlihat terburu-buru. Mereka adalah bakul-bakul yang membawa motor dan sepeda pancal, mereka lagi kulakan untuk diecer kembali ke kampung sekitar. Sungguh riuh suasana pasar krempyeng dipagi itu.
Di warkop, suasana semakin asyik dan gayeng. Kami seruput kopi susu masing-masing diiringi kepulan asap dari rokok faforit kami yaitu rokok GG, yang sedang kami hisap dalam-dalam sambil menikmati suasana pasar disaat malam menjelang pagi.
Hening tanpa ada satu katapun keluar dari bibir kami berdua,hanya kepulan asap yang menyebar disudut tempat kami duduk.Saat minum kopi gue merasakan pahitnya kopi diselingi manisnya susu yang sedikit demi sedikit kami sruput seperti suasana hati yang sedang gue rasakan saat ini.
“Gimana Rick?” tanya gue.

“Gimana apanya?” timpal Ricky.

“Yo uripe awak dewe (ya hidup kita berdua)... kuliah jalan, kerja juga sudah, tapi aku merasa masih kurang?” tanya gue.
Ricky hanya menatap kosong ke arahku dengan jawaban pendek yang terlempar dari mulutnya. “Ooohh...”

“aaaah-oooooh... Cuuuuk” ucap gue kesal.

Tapi Ricky tidak merespon sama sekali. Kemudian...
“Rick... kok suasananya agak aneh ya?” tanya gue.

“Aneh apanya... biasa” jawab Ricky.

“Rasakan hembusan angin malam ini.... ada yang aneh.
Kelihatannya bakal terjadi sesuatu” jelas gue pelan.
Angin berhembus pelan, namun tidak seperti biasanya. Perasaan Ricky juga demikian, memang ada yang aneh dengan malam ini. Meskipun demikian Ricky pun tidak menanggapi serius perkataan gue, karena lagi sibuk merasakan nikmatnya hisapan rokok penghabisan.
Gue tetap memperhatikan suasana pasar dengan serius, seperti detektif yang tidak mau kehilangan buruannya. Ricky sebenarnya juga merasakan suasana yang aneh malam itu, suasana “samun” bikin orang merinding.
Biasanya ada makhluk ghaib yang sedang jalan-jalan. Bulu kudukpun terasa berdiri sendiri, meskipun Ricky tidak merasa takut sama sekali.
Sesaat gue tertegun dan pandangannya fokus ke arah kanan kepada sesosok pria dewasa memakai baju dan celana warna hitam, umur sekitar 40-an.
Dia berjalan dari arah parkiran pasar dengan tenang namun bertingkah agak aneh. Tangan pria itu berada dibelakang pinggul dengan jari-jemari saling berpegangan satu sama lain, nampak seperti posisi menggendong.
Ternyata, pria itu menggendong seorang anak kecil dengan ciri tinggi 40 cm, berkepala botak, memakai kancut wana putih, berkulit kuning pucat. Anak kecil itu menengok kearah kami berdua sambil tersenyum.
Riky mengira itu adalah anak pria tersebut jadi Ricky sendiri tak begitu perduli dengan anak itu, tapi tidak dengan gue yang terus memantau gerak gerik pria berpakaian hitam itu.
Tiba-tiba pria yang baru tiba itu berhenti di depan warkop dimana kami sedang ngopi dan menurunkan anak yang ada di gendongannya.

“Ayo nak, waktunya bekerja!” perintah pria itu dengan sura pelan.

“Inggih bos...” jawab anak kecil itu sambil turun dari gedongannya.
Percakapan mereka berdua terdengar sama-samar karena riuh para pedangang di pasar tersebut. Anak kecil itu pun turun dari gendongan tuannya dan diam terpaku.

Gue terus memperhatikan mereka berdua dengan sedikit takut. Gue menggeser posisi duduk mendekati Ricky.
Ricky juga terheran-heran melihat pemandangan tersebut, seorang anak kecil yang dipaksa bapaknya bekerja. Padahal kami berdua tidak pernah diperintah orang tua bekerja, namun kami sendiri yang ingin bekerja untuk membantu beban orang tua.
Kami menyadari, kalo kami hanya berasal dari keluarga sangat sederhana yang ingin merubah nasib.
Apa yang ada dibenak bapak itu. Tragis sekali...
“Ayo jalan, waktunya cari uang!” perintah pria itu. Kemudian anak kecil itu pun mulai berjalan pelan ke arah para bakul yang sedang sibuk menjajakan dagangannya. Gue merasa aneh dengan kejadian itu dan tidak habis pikir dengan kelakuan pria tersebut.
Tapi ricky dengan sikap cuek tingkat dewanya tidak memperdulikan kejadian tersebut. Ricky merasa itu urusan orang lain bukan urusan kita dan kita tidak boleh ikut campur urusan orang lain. Dosa! Urus diri kita sendiri agar jadi manusia yang baik untuk dunia dan akhirat.
Part 3. Petaka Tangan Jahil

Seiring dengan hisapan terakhir rokok di tangan Ricky, akhirnya mata ini terpengaruh juga dan mulai memperhatikan gerak-gerik anak kecil yang sedang berjalan menuju kerumunan para pedagang.
Ternyata, apa yang menjadi kekhawatiran gue mulai menampakkan kebenarannya. Anak kecil aneh itu berjalan mengendap-endap ke lapak pedagang ikan dipinggir jalan. Anak gundul tanpa baju itu pun pelan tapi pasti berjalan menuju ke arah belakang pedagang.
Dia mulai berjalan mendekati pedagang tersebut dari arah belakang, santai tanpa ada kekhawatiran sedikitpun. Lama-kelamaan ricky sama gue saling bertatap mata! saling memainkan kode curiga.
Akhirnya kami seakan sudah sama – sama mengerti ada hal yang aneh disekitaran pasar ini. “Lho opo iku Rick?(lho apa itu Rick?)” tanya gue pelan.

“Lhoooh tuyul iku cukkk….tuyullll…tuyul…menengo disek (Lhoooh tuyul iku cukkk….tuyullll…tuyul…diam dulu)”
jawab gue setengah kaget dan menunjuk ke arah tuyul tersebut. Gue minta Ricky untuk mengikuti gerak-gerik anak kecil tersebut. Gue akan mengawasi dari warkop saja, karena gak tega dan sedikit takut, kilah gue!.
Ricky keluar dari warkop mulai mengawasi dan mengikuti gerak-gerik anak kecil itu. Terus mengawasi dan tidak mau kehilangan mangsanya.
Ricky berjalan pelan – pelan mendekati tuyul itu, untuk memastikan apa yang dilakukaknnya. Ternyata tuyul itu sedang mengambil satu lembar uang kertas dari tempat penyimpanan uang yang diletakkan di bawah dagangan. Tanpa ada hambatan sedikitpun,
tuyul itu tersenyum sambil membawa hasil operasinya. Pedagang ikan yang menjadi korban tidak menaruh curiga sedikitpun terhadap apa yang sedang terjadi pada dirinya. Setelah memastikan kelakuan anak ituRicky kembali mengampiri gue yang ada di warkop.
“Fan tuyul itu lagi operasi, dia ambil uangnya pedagang ikan yang diujung seberang jalan tuh.” Jelas Ricky.

“Looh... iya ta?” tanya gue memastikan.

“Gue liat dengan mata kepalaku sendiri fan, Asli itu cuk!” Sahut Ricky.
Gue langsung mengarahkan perhatian ke arah tuyul yang lagi operasi. Dia masih berada di dekat pedagang ikan yang jadi korbannya. Memang benar perkataan Ricky. Rickypun tidak sabar dengan kejadian itu.
Dia meminta gue untuk tetap duduk di warkop sedangkan Ricky akan menangkap tuyul sialan itu. Siapa tahu uang yang dia dapet belum dikasihkan tuannya, hingga kita bisa palakin sekalian, mumpung lagi bokek.
Gue berdua emang lagi bokek banget, beli makan sepiring berduapun tidak bisa. Tapi gue belum setuju dengan rencana Ricky. “Anj***g lo Rick... tuyul dipalakin, dasar gila!!!!” kata gue.
“BEBAAASSSS, biar tau rasa tuh tuyul sama tuannya” kata Ricky sambil berjalan ninggalin gue sendirian. Ricky kembali lagi menuju pedagang ikan seakan-akan mau beli ikan.
Tidak lama kemudian mataku melihat dari jauh samar-samar ricky beneran menyeret sosok tuyul itu ke tempat kami. Ricky langsung mengikat tuyul itu di samping tempat duduk kami tentunya dengan tali ghoib yang ia miliki.
Tali ghaib tak kasat mata yang hanya bisa diikatkan kepada makhluk tak kasat mata.

"Anj*ng lu rick, mau lu apain sih bawa gituan?" Tanya gue.

"Diem cuuukkkk, kita juga lagi kere kan." kata ricky sambil ngikat tuyul.
"Mau lo palakin bener tuh tuyul rick !!!! edan lo, bener-bener ngawur lo cooookkkkk “ tanya gue agak keras ke Ricky.

“Eh, lu mana duitnya bagi sini!” bentak ricky pada tuyul.

“Ga.... ga... ada bos” Jawab bohongnya si tuyul!
“Kalau lu pengen hidup, serahin uang tadi ato lu kubakar disini, pilih mana?” ancam ricky!!!

“Jangan bos…jangan bos!!!! Ampun bos” teriak tuyul itu ketakutan.
Terlihat dari jauh pemilik tuyul tersebut berdiri celingak celinguk dan jalan mondar mandir mencari tuyul tersebut. Seketika tahu gue dan ricky, sosok pria itu dengan langkah cepat melarikan diri entah kemana.
Gue berfikir mungkin pria itu takut katahuan, karena jika warga pasar tahu hal ini mereka pasti akan dimassa satu pasar.

Pada saat ketakutan karena diancam “dibakar”!
“Endi duite? kon jupuk neng endi duit iku mau cok?” (mana uangnya? Kamu ambil dari mana uang itu cok?) tanya ricky dengan nada tinggi.
“Ampun bos… ampun bos… ampun bos, aku mau jupuk neg wong dodol pindang!!!” (aku tadi ambil di pedagang ikan pindang) jawab tuyul dengan ketakutan.
Akhirnya tangan si tuyul itu nyerahin uang selembar 100 ribuan ke ricky dengan ketakutan dan gemetar tagannya. Gua dari dekat samar-samar keliatan lama-lama uang itu menunjukkan wujud aslinya sama seperti uang yang kita pegang.
Gua kaget karena baru seumur – umur baru sekarang tahu uang dari tuyul bener-bener ada dan melihat dengan mata kepalaku sendiri. “Gila lu rick, asli gila lu, masak pencuri lo palak?” kataku sambil geleng-geleng kepala.
“Ah bodo amat, yang penting uang ini bisa buat makan lagian sudah lapar banget gue, kata ricky. Lo lapar ga?” tanyanya kepada gue.

Kemudian ricky memesan 2 porsi pecel ke warung sebelah, hati merasa senang saat itu karena dapat uang untuk beli makan.
Di sela kita makan, “ngene jenenge preman malak setan ojok malak wong susah ae (begini Namanya preman malak setan jangan orang susah saja yang dipalak) candanya dengan senyum”….kita makan dengan lahap waktu itu, maklum lagi lapar berat soalnya gua saja nambah 1 porsi lagi.
Part 4. Rahasia Nestapa

Selesai makan gue lihat tuyul yang tadi diikat sama ricky, sambil menyalakan sebatang rokok. Gue perhatikan tuyul itu baik-baik, sepertinya ada sesuatu dengannya. Si tuyul mulai komat-kamit seperti dukun merapalkan mantranya.
Entah apa yang sedang dia perbuat. Ricky tak menghiraukan sikap tuyul tersebut sambil menenggak es teh yang dia pesan. Pagi-pagi gini minum es teh, sungguh aneh si Ricky ini. “Biarin gak bakal lepas tuh setan, aman fan” jawabnya sambil mmelanjutkan minum es teh.
Kepala Ricky menengok ke arah tuyul yang terikat tersebut dan berjalan pelan menghampirinya. Sambil menunduk dan mendekatkan mulutnya. Akhirnya dia curiga dengan kelakuan tuyul yang komat-kamit terus. Seperti hendak memanggil tuannya.
“Eh... lo mau panggil juragan lo apa?” tanya ricky.
Dengan terbatah-batah si tuyul menjawab “Ehhh... iya... iya... bos”.

“Setan ini bener-bener harus dikasih pelajaran” gumam Ricky.

“Eh... Juragan Lo siapa? Dimana?” tanya ricky dengan suara keras dan tatapan marah.
“Di daerah pegunungan bos, di ujung bos!” sahut si tuyul sambil menunjukkan ke arah selatan.

“Dimana cokkkk... jangan muter – muter kalo ditanya setan?” bentak Ricky.
Dengan Muka jengkel Ricky berjalan meninggalkan tuyul yang sedang terikat menuju ke warung sebentar untuk membayar makanan dan minuman dengan uang hasil palakan.
Gue duduk dan hanya menikmati rokok sambil ngeliatin tingkah Ricky yang lucu kalau marah sama setan, ya sambil senyum – senyum kenyang dan habis ini bisa tidur nyenyak! Sehabis bayar makanan, gue dan ricky nyamperin lagi tuyul laknat.
Ricky dengan tatapan marah dan melotot ke arah tuyul itu...

“Jawab apa gak setan?????” bentak ricky lebih keras lagi.

“Diselatan pulau ini pak bosssss” kata tuyul dengan tergagap dan ketakutan.
“Uwes ga usah kakean cocot raimu cok !!! tak obong ae kesuen jawabe koen, garai mengkel tok isine raiumu!!!” (sudah tidak usah banyak bacot, mukamu cok aku bakar saja kelamaan jawabnya kamu,
buat kesel saja intinya mukamu) kata ricky sudah sangat marah yang siap membakar tuyul tersebut!

“Jangan bos … jangan booosss….” rintih si tuyul dengan muka pucat, memelas dan mulai menangis.
Si tuyul pun mulai bercerita panjang lebar. Menurut pengakuannya dia berasal dari selatan propinsi ini di kabupeten ****, Kec . **** di desa **** arah ke gunung dekat dengan laut.
Dia terlihat pasrah dengan nasibnya dan kelihatannya tidak berbohong. Mendengar cerita tersebut Ricky kembali bertanya.

“Lha gitu jawabnya dari tadi kan enak ngomong gak usah muter-muter kayak kipas angin ae…. Setan, anj***ng“ jawab Ricky dengan nada emosi yang mulai melandai.
“Aku bukan setan Anj***ing bossss... aku tuyul bosss...!!!,” kata tuyul ingin membenarkan perbedaan dia dengan setan dan anj***ing.

“Wes eroh aku, jiancokkkk nak koe iku tuyul!!! iku mau kelakuanmu seng koyok anj***ing cokkk, kon nak jek mbanggel tak sapu pisan yo!!!!”
(Sudah tau aku, jiancokkk kalau kamu iku tuyul !!! itu tadi kelakuamu yang kayak anj***ng cokk, kamu kalau bawel tak bakar sekalian ya) bentak ricky dengan keras mulai emosi lagi.
“Sabar Rick tuyul itu ga pernah makan bangku sekolahan... makanya Sukanya ngeyel kayak lo” canda gue untuk menurunkan emosi Ricky.

“Uasemmmm raimu Fan….” jawab Ricky.
“Sudah gimana enaknya ini Fan, tuyul ini mau diapakan? Jelas yang bawa dia kemari tadi sudah kabur?” tanya Ricky

“Bawa ke rumah lo saja Rick, rumah lo kan kosong?” pinta gue.

“Emmm masuk juga saran lo fan, ayok kita masukin botol saja ni bocah.” cerocos Ricky.
Kami berdua mulai persiapan untuk memasukkan si tuyul kedalam botol. Gue ambil botol bekas air minum dari dalam warkop. Ricky sudah bersiap-siap...

“Fan... mana botolnya?” tanya Ricky.

“Sabar Rick... ini botolnya” sahut gue.

Wuuuuuusssshhhhh...
Setelah ricky dan dan gue sedikit ritual, akhirnya kami berhasil memasukkan tuyul tersebut ke botol A*** bekas dengan menempel segel ghaib tentunya. Dengan demikian si tuyul sudah tidak bisa apa-apa dan yang penting tidak akan kabur.
Tapi ada satu yang mengganjal di pikiran gue, tuyul ini mau diapain.

“Ayok fan kita langsung pulang, kita urus tuyul ini dirumah saja, lagian gue sudah ngantuk nih, besok juga masih ada kuliah pagi” pinta ricky kepada gue.
“Besok saja habis kuliah rick kita tentuin lagi nasib tuyul ini” sahut gue.

“OK... sekarang pulang kerumah sendiri-sendiri saja.” Kata Ricky.

“Siiip... Lagian aku besok juga mau anter adek sekolah dulu” jawab gue sambil menguap karena menahan kantuk.
Tak lama, kami berdua beranjak dari warkop tersebut untuk pulang. Ricky mengambil botol bekas air minum yang berisi tuyul dan menaruhnya kedalam tas. Gue berjalan dibelakang Ricky. Dia mulai menyalakan motor bututnya...
Gleeekkk... Gleeekkk....

Motor tak mau menyala. Gue juga heran, dari tadi motor tidak bermasalah tapi sekarang tiba-tiba ngadat.

“Kenapa Rick?” tanya gue.

“Coook... pasti tuyul kurang ajar ini bikin ulah” sahut Ricky.
Kemudian ngambil botol yang ada dalam tasnya dan komat-kamit sebentar. Setelah itu motor mulai dinyalakan, alhamdulillah bisa nyala dan kami pun pergi meninggalkan pasar krempyeng.
Part 5. Menguak Misteri

Pagi ini, kami berdua berangkat ke kampus seperti biasa. Kami berdua juga kuliah seperti biasa, tidak ada yang berbeda. Sekitar pukul 16.00 wib perkuliahan kami selesai.
Gue dan Ricky bergegas kerumah Ricky yang tak jauh dari kampus cukup 10 menit dengan naik motor butut. Motor tua nafas muda pun kita pacu dengan cepat. Sesampai dirumah Ricky yang sepi, kami berdua langsung ke kamar Ricky.
Terlihat posisi botol bekas air minun yang dihuni oleh tuyul masih tetap berada ditempatnya tanpa ada pergeseran sedikitpun. Karena si tuyul jelas tidak mampu membuka segel ghaib yang kami pasang tadi malam.
“Aman fan” kata Ricky sambil melihat botol.

“Ok... siiip” jawab gue.

Botol tetep aman sama isinya saat itu. Masih terlihat tuyul kecil lagi duduk sambil mendekap kedua kakinya. Tidak bisa berbuat apa-apa, hanya termenung meratapi nasib.
“Fan makan dulu yok, tak bawa kedepan semua ya makannya. Lagian habis ini kita masih ngurus setan dikamar gue, berat kerjanya ntar”,! kata Ricky sambil berjalan kearah dapur.

“Ok... rick gue ngikut saja daah. Lu kan tuan rumahnya” jawab gue.
Suasana rumah ricky tak sebegitu besar, bercat putih menghadap keselatan nampak asri dan rindang. Di rumah itu ada satu kamar utama, tiga kamar tidur, satu kamar mandi, dan satu dapur yang persis bersebelahan dengan mushola keluarga.
Gue pun sebenarnya betah tinggal disitu. Gue dan Ricky makan di ruang tamu sambil ngobrol tak tentu arah, ngelantur dan suka-suka gue.

“Ternyata... enak Rick. Bikin kenyang dan tak harus bayar” celoteh gue.

“Raimu Fan... biasa saja!” sahut Ricky.
Selesai makan kita bersuci dahulu dan melakukan ritual menurut keyakinan kami, sehabis itu ricky mengeluarkan botol berisi tuyul dari kamarnya tersebut ke ruang tamu.

“Whoi... bangun whoi molor mulu….” kata ricky sambil tangannya menggoyang-goyangkan botol bekas itu.
“Aduhhh bos kaumku kalo malam kerja bos, kita kerjanya malam, siang kita tidur bos” jawab tuyul dengan posisi tiduran.

“Lho wani bantah koen yul” (lho kamu berani bantah yul). Jawab Ricky dengan mata melotot.
“Sudah Rick biar aku saja yang tanya lo gak bikin selesai masalah yang ada malah emosi mulu isinya” jawab gue.

“Yul namamu siapa? kamu punya nama kan?” tanya gue.

“iya bos, biasanya juraganku panggil aku andre” Jawab tuyul.
“cuuuukkkk gila nama tuyul kayak nama artis!!! asli setan ???…setan lo!!!” guman gue sambil sedikit ketawa.

“Huahaha... huahaha...“ Tawa lebarnya Ricky.

“Kamu disini ikut siapa, juragan kamu?” tanya gue.
“Ikut Pak tikno bos, itu didesa ***. itu desa sebelah!!” jawabnya sambil duduk dengan menundukkan kepala pelontosnya.

“lo aslinya dari mana?” tanya gue lagi.

“Ya yang kemaren itu bos” jawab tuyul.
“Oohhh dari T**** tho? tanyaku untuk meyakinkan jawaban tadi malam.

“Bener di kec **** ? lanjut gue.

“Bener bos! Jawabnya dengan kepala manggut-manggut kedepan.

“Desa mana?” tanyaku lagi.
“Desa ***** bos yang ada gunungnya selatan desa pas langsung laut itu bos!” jawab tuyul dengan muka agak meyakinkan.

“Rick coba lo check google map ada ga nama desanya di kabupaten itu?” pintaku kepada ricky untuk cek valid tidaknya jawaban si andre tuyul ini.
“OK Fan...” sahut Ricky.

Interogasipun berlanjut.
“Kamu di T*** ngabdi kesiapa?” tanya gue.

“Ke Mbah Parmin Bos” jawabnya pelan.

“Setan kayak kamu disana ada banyak?” tanya gue lagi.

“Banyak bos, macem-macem” jawab tuyul.

“Ohhhhh... seberapa banyak ndre?” Tanya gue.
“Ya ratusan bos, aku sendiri gak tau pastinya kalau sekarang” jelas si tuyul.

“Ratusan.... lebih. Huahaha... huahaha...” sahut Ricky sambil ketawa tak percaya.
“Memang ada perbedaan disana ?” tanyaku.

“Ya adalah bos kelas – kelasnya, ada yang kelas 1,2,3 sampai kelas 6. Tiap kelas mempunyai kemampuan ngasilin duit berbeda-beda.
Misalnya nih bos kalau kelas satu bisanya ambil maksimal sehari 100,000,- kalau kelas enam mah bisa sampe 2 juta bos sehari.” terang si tuyul.

“Oooohhhh...kayak anak sekolah SD pake kelas segala” gumam gue dengan manggut-manggut mencoba memahami bisnis laknat ini.
“Terus lo di beli atau di maharin sama pak tikno berapa yul ?” tanyaku lagi. “1.700.000 bos” jawab tuyul.

“lo sendiri disini sehari ngasilin berapa duit?” tanyaku lagi.

“200 ribu bos” jawabnya lagi.

“Jadi kelas dua dong lo disana” kata gue.

“Iya bos bener” jawab tuyul.
Ketika gue interogasi si tuyul, Ricky sedang sibuk dengan hpnya untuk mencari lokasi yang disebutkan si tuyul. Tak lama kemudian...

“Fan ada nih desanya, beneran kata si tuyul andre tuh” kata Ricky sambil pegang HP.

“Seeeepppp...” jawab gue.
“Yul kira-kira bisa ga aku sama ricky ketemu sama Mbah Parmin disana?” tanya gue.

“Bisa bos...” jawab tuyul.

“Kira-kira minggu depan gimana?” tanya gue lagi.

“Sebentar bos gua mau hubungi dulu sama tuan parmin dulu” sahut si utyul.
Si tuyul terdiam sejenak sambil komat-kamit. Sepertinya dia lagi jelasin ama Mbah Parmin kalo gue dan Ricky mau ketemuan. Gue menunggu sekitar 15 menit, sambil liatin google mapnya yang ada di HP ricky.

“Jauh Rick ini” tanya gue.
“iya Fan kalo menurut mbah google ini perjalanan sekitar 6 jam dari sini “ terang ricky.

Kemudian, tiba-tiba si tuyul menyela.

“Bos… bosss... boosss….” kata tuyul memanggil.
“Ada apa yul? Sudah tah?” tanyaku.

“Sudah bos... Mbah Parmin adanya hari minggu, dia sudah siap bos dikunjungi!” jawab tuyul.

Gila bener nih orang, mau ketemu aja pakai janjian segala. Tidak hanya dunia nyata yang butuh manajer, dunia ghaib pun butuh.
Hebat benar dunianya ini. Gue terheran-heran... Kelihatannya gayung bersambut, kita bisa ketemu tuannya si tuyul. Sekalian jalan-jalan agak jauhan dikit, biar si motor butut tambah sehat. Kita pun mulai nyusun rencana.

“Gimana Fan lo minggu ini ada acara gak?” tanya Ricky.
“Gak ada Rick... aman, free” jawab gue.

“Sama dong... Gua juga lagi free nih” jawab ricky.

Setelah introgasi dengan si tuyul selesai, kami berdua melakukan persiapan untuk pergi ke T**** minggu depan.
Gua sempet berfikir nih tuyul suruh nyolong lagi apa gimana yak enaknya buat ongkos dijalan. Tapi gua kan gak ada kontak sama si empunya! Ah mending gak usah lah dari pada kena karmanya.
Part 6. Perjalanan ke Desa Pesugihan

Minggu pagi pada tanggal yang sudah ditentukan, kami berangkat dari rumah Ricky ke daerah **** dengan motor andalannya.
Gue sangat berharap motor butut itu bisa sampai kesana dengan selamat, karena kami harus melalui tanjakan serem yang penuh dengan cerita magis.
Tetapi, Ricky sangat percaya diri bahwa tidak akan ada apa-apa yang bisa merintangi perjalanan kami berdua kali ini atas izin Allah dan dia juga seorang mekanik, meskipun amatiran.
Perjalanan kami cukup Panjang, karena harus melewati gunung dan lembah (kayak ninja hatori). Motor kami harus menerobos hutan yang sangat sepi, sesekali terdengar suara binatang dari dalam hutan.
Motor gue terus berjalan stabil, tidak ngebut dan juga tidak terlalu pelan. Sesekali kami berhenti ditengah hutan sambil menikmati sejuknya udara hutan dan menengguk air minum yang sudah kami siapkan.
Bawa bekal biar tidak terlantar, hitung-hitung meniru anak-anak PAUD. Ketika kami berhenti sebentar dijalan yang membelah hutan untuk menghilangkan penat dan beranjak mau berangkat kembali, tiba-tiba motor kami nggak mau dinyalakan...
“waaaah.... kita sudah disambut nich!” gerutu gue.

“Santuy Fan.... gue tak ijin dulu kalo cuman mau berkunjung” jelas Ricky.

Ricky terdiam sejenak sambil komat-kamit, gue tidak tahu lagi baca apaan yang dirapalkannya.
Tapi tak lama kemudia Ricky menyuruh gue untuk menyalakan kembali motornya. Brrrrrrr.... alhamdulillah motornya hidup kembali. Kita lanjutkan perjalanan kembali.
Gue dan Ricky beberapa kali juga harus istirahat di SPBU dan masjid, sekedar meluruskan punggung (jawa : ngengkok geger). Yang lebih penting lagi biar si motor butut bisa istirahat mendinginkan mesinnya.
Perjalanan masih belum selesai. Setelah sampai di kota T****, kami masih harus menempuh perjalanan sekitar 1 jam lagi ke desa si Tuyul tersebut.
Ternyata memang bener mulai dari kec. ***** menuju ke desa tersebut jalannya yang ada nanjak terus, seketika masuk desanya pun kami harus lewat jalan setapak. Untungnya kami masih bisa bawa motor, dengan medan jalan setapak.
Minggu Jam 15.30 Wib Setelah menempuh jalan setapak yang hanya bisa dilewati motor, gua dan Ricky berhenti diwarung tengah perkampungan. Suasana desanya sangat asri masih hijau dan nampak belum terjadi polusi pabrik, beda dengan keadaan yang ada di kota.
Kamipun singgah diwarung tersebut dengan niatan istirahat, Ngopi dan mencari informasi tentang Mbah Parmin.

“Pak kopi hitam dua “ pesan gue.

“Oh ya mas” jawabnya.
Kami duduk didalam warung dan mulai membakar rokok GG kami. Beberapa menit kemudian kopi pun tiba dimeja kami. Sambil menyeruput kopi hitam yang kelihatannya nikmat dan mantap, kami mulai tanya-tanya tentang Mbah Parmin.
Pemilik warung sempat menanyakan tujuan kami berdua mencari Mbah Parmin. Menurut dia banyak orang yang mencari Mbah Parmin dengan berbagai macam keperluan. Gue pun bercerita kalau kami berdua pingin ketemu beliau hanya untuk main saja dan tidak ada maksud apa-apa.
Namun pemilik warung sedikit curiga dengan kami berdua.

“Kamu mau beli apa disitu?” tanya pemilik warung.
Dengan polos gue tanya balik “lho memang jualan apaan Mbah Parmin, pak?”
Kemudian pemilik warung dengan suara pelan menjelaskan sedikit tentang Mbah Parmin yang jualan tuyul, babi ngepet dan masih banyak lagi. Intinya adalah pesugihan. Di kampung itu Mbah Parmin sudah terkenal dengan sesuatu yang berbau pesugihan.
Masih menurut pemilik warung yang dari tadi duduk di kursi sebelah gue, mengisahkan bahwa Mbah Parmin mempunyai akses langsung dengan para pemilik makhluk ghaib tersebut dan menjadi orang kepercayaannya.
Selain itu, Mbah Parmin juga sangat terkenal sebagai dukun sakti yang sering dimintai bantuan. Beliau juga tinggal jauh dari keramaian, menyendiri di hutan.
Gue merasa senang sudah mendapat sedikit info dan gambaran tentang Mbah Parmin, setelah itu gua membayar kopi lalu kita melanjutkan perjalanan ke arah rumah Mbah Parmin yang sudah ditunjukan oleh pemilik warung, ke arah ujung selatan dusun.
Motor kami terhenti ketika sampai dirumah terakhir ujung dusun, karena hanya terlihat jalan setapak yang hanya bisa dilalui dengan jalan kaki. Kami memperhatikan sekeliling sebalah kanan-kiri sudah tidak ada rumah lagi, suasana semakin mencekam bikin bulu kuduk berdiri.
“Rick, kita ndak salah jalan ini. Koq ndak ada rumah sama sekali” tanya gue ke Ricky. Tapi Ricky bersih kukuh kalau jalan yang diambilnya benar dan meneruskan perjalanan kami.
Disekeliling jalan hanya terlihat tumbuh-tumbuhan kebun yang besar dan rumpuk tumbuh liar disekitar jalan tersebut. Setelah hampir 15 menit perjalanan dari warung tadi kamipun berhenti dan menghampiri seseorang yang lagi mancari rumput.
“Maaf pak... apa bener ini jalan menuju ke rumahnya Mbah Parmin” tanya gue dengan sopan.

“Looooh.... bukan nak. Pertigaan yang tadi seharusnya kalian belok kiri tidak kekanan” jawab bapak pencari rumput tadi.
“Matur suwun pak” (terima kasih pak)sahut gue.

“Sami-sami nak... hati-hati ya!” (sama-sama nak)jawab bapak tadi.

“Jiianncoook... iyo kan Rick” gerutu gue. Akhirnya Ricky memutar motor bututnya dan kembali menuju ke pertigaan tadi.
Haaaduch.... Sudah susah payah kok ternyata salah. Waah bensin tekor nih. Sambutan yang cukup baik... harus tersesat dulu sebelum meraih kemenangan. Perjuangan!. Kamipun sampai ke pertigaan dan mengambil belokan ke kiri seperti petunjuk bapak pencari rumput tadi.
Semoga ini jalan yang benar.

Akhirnya di rumah ujung yang terakhir, gue dan Ricky memutuskan turun dari motor, dan bertanya kepada sosok lelaki paruh baya yang sedang menurunkan pakan sapi di depan rumahnya.
“Nuwun sewu, pak bade nderek tanglet? griyane Mbah Parmin ten pundi nggih, terose ten pojok dusun mriki ?” (permisi, pak mau tanya ? pak rumahnya Mbah Parmin dimana ya,katanya di pojok dusun ini?) Tanya gue.
“Injih mas leres ten dusun mriki, griyane ten atas lereng gunung niku mas, mboten saget nek sampean beto kendaraan”( iya mas benar didusun ini, rumahnya di atas lereng gunung itu mas, tidak bisa kalau kamu bawa kendaraan)” jawabnya sambil menunjuk ke arah lereng gunung tersebut.
“Lha pripun pak kulo badene sowan ten griyane Mbah Parmin” (lha gimana pak saya mau bertamu kerumah Mbah Parmin) sahut ricky sambil memgangi motor gue didepan.
“Sampean titipno ae sepeda motore ten mriki mas gak popo, terus sampean mlampah lintang saben niku lurus mawon, terus sampean melok dalan cilik iku sampe kepanggih griyo gedek ngadep ngidul ten tengah alas”
(kamu titipkan saja motor kamu disini mas tidak apa-apa, terus kamu jalan lewat sawah itu lurus saja, terus kamu ikut jalan kecil itusamapi ketemu rumah bambu menghadap keselatan di tengah hutan) jawab bapak tadi dengan nada meyakinkan.
Kami berdua memutuskan untuk menitipkan motor butut di rumah bapak tadi. Karena menurut dia orang-orang yang bermaksud mengunjugi Mbah Parmin biasanya menitipkan kendaraan di rumahnya.
Masih cerita bapak yang berumur 40 tahunan ini bahwa mereka biasanya melanjutkan perjalanan ke lereng gunung untuk menemui Mbah Parmin dengan jalan kaki. Karena memang kondisi jalan setapak dan hanya bisa dilalui dengan jalan kaki.
Perjalanan menuju ke Mbah Parmin memang sebuah perjuangan, meskipun dengan niat yang berbeda-beda.
Part 7. Rumah Tengah Hutan

Waktu itu gue dan Ricky tak sabar untuk langsung berjalan menuju ke rumah di lereng gunung. Kami harus melewati jalan setapak yang licin, dan sedikit berlumpur. Hampir disepanjang jalan itu ditumbuhi oleh rumput glagah.
Rumput ini tumbuh subur hingga memiliki tinggi 3-4 meter. Untuk melewatinya pun kami harus menyingkap rumput-rumput dengan potongan ranting pohon yang kami temukan diperjalanan.
Ternyata perjalanannya cukup jauh juga, waktu juga sudah sore.
Matahari mulai meredup dan jalan yang kami lewati masih jauh karena masih ada hamparan sawah luas yang harus dilewati, setelah itu masuk jalan ke perkebunan yang lebat baru masuk ke lereng hutan.
Suasana hutan disore hari tampak seram, hari mulai gelap tertutup tingginya pepohonan dan lebatnya hutan apalagi suara hewan hutan yang saling bersahutan, disertai kabut putih tipis mulai turun di atas lereng. Hawanya pun sangat menusuk tulang karena dingin dan basah.
Hutan lebat ini terlihat tidak ada jejak manusia yang tinggal disana. Kamipun menempuh jarak sekitar 3 km-an dari rumah penduduk terakhir. Sepanjang perjalanan dengan penglihatan ghaib kami sepertinya sedang diawasi oleh mahluk-mahluk tak kasat mata yang teramat banyak.
Gue sedikit merinding dan tidak mau jauh dari Ricky. Tidak tahu kenapa, tiba-tiba gue merasa mual seperti ada yang menusuk-nusuk perut gue. Gue tetap jalan sambil menahan rasa mual tersebut. Gue trus memegangi perut yang tidak bisa lagi berkompromi.
Huueeeck... Huuuueeeccckk.... ugh... ugh... huuueeecckkk...
Gue menepi ke bawah pohon pinus dan mengeluarkan semua isi perut. Lega sekarang.

“Ada apa Fan, kamu ndak apa-apa?” tanya Ricky.

“Ndak apa-apa Rick... gue masih kuat, ayo naik lagi” jawab gue.
Ternyata semua yang gue rasakan itu adalah sambutan dari penjaga hutan. Sambutan yang tidak menyenangkan. Gue dan Ricky mulai lebih berhati-hati dari sambutan-sambutan yang menyeramkan seperti tadi. Kami berjalan dengan penuh kehati-hatian.
Sebelah kanan dan kiri gue terlihat jelas banyak makhluk ghaib yang sedang memperhatikan. Sesekali ada anak kecil lari-larian kemudian lenyap tak tentu arah. Sungguh mencekam suasana waktu itu,
pancaran kuning sinar matahari semakin memerah pertanda ia akan segera menuju peraduannya disela-sela lebatnya hutan. Sedikitnya cahaya yang menyinari hutan ini, menjadikan tempat favorit untuk tinggal bagi hewan seperti penyedot darah (pacet/lintah).
Tiba-tiba terlihat ada sesosok wanita dengan pakaian serba putih duduk terdiam diatas pohon dengan rambut terurai panjang menutupi wajahnya. Dia terus-menerus menatap kearah kami. Wuuuuiiihh.... semakin membuat gue tidak berani lagi menoleh kekanan dan kekiri.
Saat kami berjalan kaki terlihat dari jauh, rumah seperti yang digambarkan bapak yang kami titipi motor tadi mulai terlihat jelas, kami sedikit lega karena tujuan kami sudah terlihat.
Sekitar pukul 5 lebih sebelum magrib atau “Surop”, kami sampai dirumah Mbah Parmin. Orang tua kita dulu bilang kalo “Surop-surop” tidak boleh keluar rumah, nanti ketemu “candi olo”. Waktu CANDI OLO yaitu ketika matahari mulai terbenam, siang akan berganti malam.
Pada waktu CANDI OLO para pedagang menutup tokonya, para pengembala memasukan ternaknya dan lain sebagainya semua kegiatan dihentikan. Pada saat itu orang-orang Jawa percaya ketika kita melakukan aktivitas keduniaan diyakini akan berdampak negatif pada aktivitas tersebut.
Dan banyak juga yang menyakini di waktu itu para makhluk halus juga mulai berani memunculkan diri.
Dari dekat kami melangkah pelan dan melihat rumah yang terbuat dari bambu , kayu, masih beralaskan tanah dan sudah beratap genting.
Kamipun pun memberanikan diri mendekat karena pintu sudah terbuka.

“Nuwun sewu…”

“Assalamu’alaikum...”

“Permisi...”

“Mbah…. mbah…. putumu teko?”(cucu kamu datang) ucap Ricky dengan sopan.
Tak lama kemudian tampak sesosok pria sudah berumur 80-an memakai (udeng) ikat kepala khas orang jawa, berbaju loreng lengan Panjang dan sarung hitam tanpa memakai alas kaki,
tinggi sekitar 165 cm berkulit gelap (terlihat pria tua ini sudah tinggi ilmunya nampak dari pandangan ghaib kami berdua). Pria itu mendekat sambil memperhatikan kami dengan seksama.
“Eh enek tamu, ayok le melbu kene gak usah wedi! “(eh ada tamu, ayo nak masuk gak usah takut) katanya dengan senyum.

Kami pun mengikuti Mbah Parmin untuk duduk dikursi kayu Panjang diruang tamunya,
sambil melihat – lihat rumah yang terbuat dari dinding bambu dipadu papan kayu tua. Terlihat rumah yang cukup sederhana dan jauh dari gemerlap kemewahan. Rumah tersebut mempunyai tiga kamar, satu ruang tamu dan dua ruang kamar tidur dibelakangnya.
Kamar mandi yang terpisah dari rumah utama, terdapat satu sumur didekat kamar mandi itu. Setengah merinding juga kami lama – lama, bagaimana tidak. Rumah itu hanya sendirian,
berdiri ditengah hutan dengan tumbuhan dan dikelilingi semak-semak yang sangat rimbun tanpa ada tetangga satupun, dan kalau malam hanya diterangi lampu seadanya.
Lampu ublik (lampu yang berbahan bakar dari minyak tanah) sebagian masih tertempel dibeberapa tiang utama, dan ada yang di atas meja.
“Enek opo le adoh-adoh mrene, awakmu asli endi le?” (ada apa nak jauh-jauh kesini, kamu asli mana ) tanya Mbah Parmin sambil mencoba berjabat tangan dengan gue dan ricky.
“Mboten wonten nopo-nopo mbah, niki loh! kulo bade tanglet jenengan, jenengan gadah ingon-ingon nopo?” (tidak ada apa-apa mbah, ini lho! Saya mau tanya, Mbah punya peliharaan mahluk apa) tanyanku pelan sambil menunjukkan botol yang berisi tuyul.
Sebenarnya Mbah Parmin sudah tahu dan mengerti maksud dan tujuan kami berkunjung ke rumahnya. Sambil menatap tajam ke arah botol air minum yang kami bawa, Mbah Parmin manggut-manggut seperti mengerti tujuan kami yaitu ingin membakar habis perkumpulan pesugihan disini.
Tatapan matanya menunjukkan rasa tidak terima atas apa yang akan kami lakukan. Namun Mbah Parmin bisa menyimpan kemarahan itu dari kami.

“Lho !!!! kok iso sampe neng awakmu le arek iku?” (lho kok bisa sampai di kamu anak itu) Tanya si Mbah setengah kaget.
“Inggih mbah Panjang ceritanya” jawab gue.

Akhirnya kami ceritakan Panjang lebar kejadian dari awal di pasar krempyeng, penangkapan, hingga mengurungnya di dalam botol. Mbah Parmin hanya geleng–geleng kepala. Beliau menjelaskan bahwa mahluk ghaib sejenis banyak di rumahnya.
Tidak hanya satu, dua, tiga tapi banyak sekali. Karena memang hidup si Mbah Parmin di rumah tengah hutan itu setiap hari dikelilingi oleh mereka dan berkewajiban menjaganya. Sungguh gaya hidup aneh yang mengerikan.
Part 8. Misteri Pesugihan

Sejenak kami hening di ruang tamu itu. Gue dan Ricky hanya saling pandang satu sama lain dan tidak berani berbuat macam-macam. Kemudian Mbah Parmin berdiri dan mengajak kami berdua.
Seketika itu, gue dan Ricky berdiri dan berjalan mengikuti Mbah Parmin dari belakang, Mbah Parmin membuka kamar pertama yang lumayan luas ditutup kelambu hitam. Redupnya cahaya lampu ublik menambah ngeri suasana rumah tersebut.
Di dalam kamar pertama kulihat ada tiga sosok perempuan dengan telanjang dada semua sedangkan di bagian bawah pusar hanya ditutup lilitan kain “sewek” (kain batik). Secarik kain “sewek” itu hanya bisa menutupi kemaluan para wanita paruh baya tersebut.
Masih terlihat kemolekan tubuh-tubuh wanita itu, payu**** dengan ukuran sedang menyembul dari tubuhnya. Mereka semua sedang berbaring di masing – masing tempat tidur sambil memejamkan mata dan kelihatan meringis menahan sakit.
Sungguh miris melihat wanita-wanita itu. Hanya bisa lemah lunglai terbaring dengan kemolekan tubuhnya di atas “amben” (tempat tidur) tanpa daya dan asa. Mereka harus memberikan air susunya kepada anak-anak kecil yang sedikitpun tidak mempuyai hak.
Tapi para wanita itu tak berdaya, mereka hanya bekerja untuk mendapatkan upah dari Mbah Parmin. Hanya untuk sesuap nasi.
Kulihat dengan seksama dan mendekat pelan sekitar jarak 6 meter pemandangan yang terlihat sungguh menyeramkan,
pay**** mereka semua hanya mengeluarkan darah bukan susu lagi yang diteteknya.(waktu itu gue hanya bisa menangis dalam hati)

Setiap wanita ini harus melayani 4-5 tuyul tiap 3 jam sekali.
Tuyul-tuyul itu mengerubutinya dan menetekinya satu persatu. Tuyul yang lagi antri menunggu giliran sangat asyik memainkan kemaluan wanita itu. Menusuk-nusukan jari jemarinya yang hitam kedalam kemaluan wanita tersebut sambil cengingisan.
Sungguh menyedihkan hingga gue tak kuasa untuk melihat. Wanita yang di ujung berumur seketikar 40 tahunan, yang ditengah berumur 37 tahunan yang paling dekat dengan pintu sekitar 32 tahunan. Mereka terlihat sangat mengenaskan kondisinya, sangat lemah dan tak berdaya.
Wanita yang sudah berumur 40 tahunan juga sudah terlihat pingsan.

"Miris dan marah saat lihat sendiri kejadian itu rasanya pengen bakar semua penghuni mahluk jahanam dirumah Mbah Parmin dan menyelamatkan ke tiga wanita itu" dalam piker gue.
Dengan cepat Mbah Parmin menutup kembali kelambu hitam tersebut, dan mengajak kami kebelakang kamar. Dia menunjukkan berbagai macam mahluk pesugihan mulai tuyul, babi ngepet, keblek (pencuri beras di jawa), Kuntilanak merah, genderuwo,
lainnya gua gak tau apa namnya juga dan luar biasa banyaknya.

“Jancok gateli mbah iki” (Jancok… kurang ajar mbah iki) bisik Ricky pelan ke telingaku.

“Huussssh.... cangkemmu, diam!” (Huussssh.... mulutmu, diam) sahut gue.
“Iki kabeh daganganku le” (ini semua daganganku nak) terang Mbah Parmin lirih dan memelas.

“Inggih mbah” jawab kami berdua.

Bener sore hari yang mengerikan bagi kami, karena baru pertama kali seumur hidup gue disuguhi pemandangan yang gila, dan manusia gila Mbah Parmin ini!!!
Gua hanya bengong melihat semua mhaluk setan ini, ada yang bermain, lari-larian, bernyanyi dan segala macam tingkah para setan tersebut !!! Ternyata lama juga kami mengamati hal yang tak lazim tersebut. Gue dan ricky di ajak Mbah Parmin kembali ke ruang tamunya.
Kami duduk berdampingan, dan tak lama Mbah Parmin menyuguhkan hidangan kopi hitam. Tatap kami curiga terhadap kopi tersebut, soalnya pengalaman kopi yang disuguhkan ditempat beginian banyak yang dikasih guna – guna.
Dengan memecah keheningan di ruang tamu, Mbah Parmin membuka obrolan dengan mempersilahkan kepada kami berdua untuk meminum kopi hitam yang telah disajikan. Gue sama ricky hanya diam dan mengangguk pelan saja.
Kami berdua sama-sama kembali menyulut rokok GG kesukaan, Mbah Parmin juga terlihat membakar rokok lintingan dari penutup jagung (klobot : Bahasa jawanya), sekedar untuk mencairkan suasana yang tegang sejak kedatangan kami.
“Le aku juluk tulung ojo ngamuk, iki usahaku le. Wong wedok telu seng nang kamar mburi mau iku yo kerjo melu aku le, yo tak bayar mben ulan le. Iki ancen usahaku kaet mbiyen.” (nak aku minta tolong jangan marah, ini usahaku nak.
Perempuan tiga yang didalam kamar belakang tadi itu tadi ya kerja ikut aku, yo tak bayar tiap bulan nak, ini memang usahaku dari dulu) jelas Mbah Parmin.

“Terus mau embah gimana?” tanya Ricky dengan nada kecut.
“Sek le, tak critani awale ya”? (sebentar nak, tak ceritai awalnya ya) jawab Mbah Parmin.

“Monggo mbah...” (silahkan mbah) gue mempersilahkan.

Kemudian Mbah Parmin mulai bercerita tentang hal perdagangannya.
Semua itu dimulai dengan adanya perjanjian sama raja iblis di gunung ini. Perjanjianku memakai tumbal berupa kepala hewan, biasanya kepala kerbau, kepala sapi, atau kepala kambing,
itu juga tidak pasti tiap tahun permintaan sang saja iblis itu beda-beda yang diminta tapi tidak ada tumbal yang memakai manusia. Gue jadi pingin tahu seperti apa raja iblis itu. Gue penasaran banget...
Part 9. Raja Pesugihan

Setelah Mbah Parmin selesai bercerita singkat, gue minta tolong untuk bisa dipertemukan dengan Raja Iblis junjungan Mbah Parmin. Kemudian Mbah Parmin terdiam sambil komat-kamit sendiri layaknya orang yang sedang berkomunikasi.
Kami berdua sabar menunggu hingga Mbah Parmin mempersilahkan untuk menemui raja junjungannya. Gue kasih isyarat ke Ricky untuk menemui Raja Iblis dengan meraga sukma karena yang akan kami temui adalah makhluk ghaib.
Artinya hanya sukma kami yang pergi sedangkan raga tetep ditempat mbah Parmin. Kami terdiam sementara untuk melepas sukma ini, intinya kami ingin mencari siapa iblis itu sebenarnya.
Jika mata batin indra keenam sudah terbuka dengan sendirinya dengan mudah kita melakukan hal itu,kita bisa melakukan perjalanan tubuh halus ini.Untuk meraga sukma juga harus dibutuhkan latihan dan harus ada gurunya, terkecuali bawaan lahir atau anugrah yang didapat dari tuhan,
istilah keagamaan adalah ilmu Laduni (ilmu yang langsung dari sang pencipta tanpa belajar dari manusia).

Sukma Gue dan ricky melayang dengan cepat menuju ke puncak gunung, dan masuk ke dalam kerajaan raja iblis yang terlihat sangat besar.
Saat itu gue sama ricky langsung berada di depan pelataran singgsana raja iblis, raja iblis gunung itu mempunyai, badan besar dan tinggi kulit berwarna merah menyala,mukanya seperti kuda bertanduk dua Panjang, berjambang warna merah,
hidung yang besar dengan tatapan mata merah tajam. Raja iblis juga membawa trisula berwana kuning kemerahan menyala seakan ada api disekelilingnya. Raja iblis ini hanya memkai celana pendek khas raja jawa dan selempang warna hitam di punggungnya.
Di pergelangan tangan dan kakinya terdapat gelang emas, serta mahkota khas raja diatas tanduknya dan tanpa alas kaki, hal ini memang terlihat mengerikan sekali. Tapi semua ini hanya terlihat di alam ghaib saja.
Raja Iblis didampingi oleh banyak permaisuri yang cantik-cantik dan para pengawal kerajaan yang kelihatannya tangguh dan kuat. Para budaknya juga sangat banyak, kelihatannya seperti manusia yang pernah membuat perjanjian dengan raja iblis.
Sehingga para manusia itu harus rela menjadi tumbal dan mengabdi kepada raja iblis selamanya.

“Hai anak manusia, berani-beraninya kau masuk ke istanaku?” bentak raja iblis.

“Kenapa harus takut sama mahluk macam lo setan?” jawab Ricky dengan pedenya.
“Ada perlu apa kamu datang kemari, cepat katakan!” bentaknya marah.

Wajah Si Raja Iblis memerah dengan membawa trisula yang diselimuti api seakan siap menghunus kami berdua.
Para pengawal rajapun bersiap-siap menghunus senjata tombaknya masing-masing dan tinggal menunggu perintah. Gue mulai takut, bulu kuduk berdiri dan hanya berdo’a agar bisa keluar dari istana ini dengan selamat.
Tapi gue harus kuat dan menanyakan keingintahuan kami berdua kepada raja iblis. Gue pun memberanikan diri untuk bertanya.

“Apa benar Mbah Parmin itu pengikutmu?” tanya gue.
“Benar!!! Mau apa kau, jangan ikut campur urusanku anak manusia!” jawabnya degan emosi yang mulai membuncah.

“Aku dan temanku hanya memastikan kalau kamu adalah tuan dari Mbah Parmin, itu saja” sahut gue dengan tenang.
“Kalau adu kekutatan belum saatnya, nanti saja kalau sudah waktunya pasti akan kubakar kau! seperti membakar nenek moyangmu!!!” kata ricky yang mengancam si raja iblis.
Setelah perkaatan Ricky tadi, secepat kilat kami kembali ke jasad kami yang tengah duduk diruang tamu Mbah Parmin. Dari kejahuan terdengar sayup-sayup perkataan si raja iblis memperingatkan kami berdua.
“Sleeeeepppppppp, kami kembali ketubuh kasar dirumah mbah parmin, kedua mata kami ikut terbuka pelan”

“Piye le wes ketemu rojoku ?(bagaimana nak sudah ketemu sama rajaku ?)” tanya Mbah Parmin kepada kami berdua.
Seakan dia sudah tahu apa yang kami lakukan barusan waktu kami diam sejenak. Gua saling pandang dengan Ricky, sudah mbah jawab ricky. Kami sudah mendapatkan jawaban atas rasa keingintahuan kami. Kami bisa pulang dengan tenang.
“Ingon – ingonku kabeh neng kene iki soko rojoku, seng tas kok temui mau le!(ini semua peliharaanku dari raja yang baru saja kalian temui tadi!)” jelas Mbah Parmin.
“Nek kerjoku apik 20 tahun iki le, kontrak karo rojoku bakal sak lawase! (kalau kerjaku bagus 20 tahun ini nak, kontrak sama rajaku tadi akan selamanya!).” tambah Mbah Parmin dengan bangga dan meyakinkan kami.
Selama ini Mbah Parmin sudah menjual banyak sekali peliharaannya kepada manusia dengan satu tujuan yaitu “KAYA”. Manusia tersebut adalah makhluk yang tidak bisa bersyukur dengan apa yang telah diberikan Allah SWT.
Mereka selalu kurang hingga menghalalkan segala macam cara, bahkan sampai menggadaikan imannya. Gue menanyakan kepada Mbah Parmin sebenarnya bagaimana cara untuk mendapatkan tuyul peliharaannya. Menurut Mbah Parmin syarat untuk memboyong tuyul tidaklah terlalu sulit.
Pertama, dia harus sanggup menyediakan wanita yang bisa menyusui tuyul tersebut. Kedua, rumahnya nanti harus selalu dicat dengan warna cerah dan ngejreeng.
Dan ketiga, dia harus membayar uang mahar yang bervariasi dari 1,5 juta untuk tuyul yang kelas rendahan sampai dengan puluhan juta untuk tuyul kelas atas. Karena hasil yang didapatkan tuyul tersebut juga berdasarkan kelasnya.
“Iku penjelasanku le, ben awakmu ngerti tapi gak usah melu wong-wong sing koyok ngunu. Aku maksud nek tujuanmu mrene ora ngunuku (itu penjelasanku, supaya kamu ngerti tapi kamu gak usah ikut-ikutan. Aku ngerti kalau tujuanmu kesini bukan untuk itu)” Jelas Mbah Parmin.
“Inggih mbah” jawab kami berdua.

Part 10. Syarat Siasat

Rumah Mbah Parmin mulai ramai, bukan manusia tapi makhluk lain penghuni malam. Peliharaan Mbah Parmin mulai menampakkan diri dan sibuk dengan dirinya sendiri.
Ada yang menatap gue dengan penuh curiga, saling bercanda dengan teman sejenisnya dan dipojok sesosok kuntilanak terdiam dengan rambut terurai panjang menutupi sebagian wajahnya.
Pemandangan yang cukup menyeramkan. Suara binatang malam terdengar saling bersahut-sahutan membuat bulu kudukku mulai berdiri. “Ayo Rick, kita kembalikan aja” pintaku dengan berbisik ketelinga Ricky. Ricky bergegas mengambil botol bekas air minum dan meletakkannya di atas meja.
“Sudah mbah, ini peliharaan mbah khan? Kami berdua mau menyerahkannya tapi ada beberapa syarat!” “kata gue. Gue pegang botol yang di atas meja tadi, sambil melihat ke dalamnya. Ternyata tuyul andre terlihat sumringah karena mau kembali ketuannya.
Gue dan Ricky dari awal sudah merencakan untuk menyerahkan tuyul tersebut dengan beberapa syarat. Dengan syarat itu kami berharap Mbah Parmin tidak lagi sembarangan melepas peliharaannya. “Opo iku le? (apa iku nak?)” tanya Mbah Parmin.
“Peliharaan mbah jangan ada yang beroperasi di kecamatanku, syarat yang lain nanti saya minta kalau ada waktu kesini lagi!” ucap gue dengan enteng meski dengan sedikit takut.
Gue sangat kasihan dengan orang-orang dilingkungan kecamatan gue yang harus berjibaku untuk mencari nafkah. Pagi hingga siang, siang hingga malam, bahkan malam hingga pagi lagi susah payah memeras keringat digunakan untuk mencari uang.
Namun tuyul andre dengan mudahnya mengambil yang bukan haknya tanpa harus mengeluarkan keringat. Kondisi itu yang membuat kami prihatin, serta tidak mau ada lagi kejadian seperti yang ada di pasar krempyeng. Sudah! Kejadian itu yang terakhir.Kecamatan kami harus bebas dari tuyul.
“Iyo le nek karepmu ngunu (ya nak kalau mau kamu begitu”) jawab Mbah Parmin menyanggupi.

Gue berpikir, kegiatan jual beli setan ini sudah menjadi profesi Mbah Parmin. Sudah berapa orang beli dan transaksi disini.
Sudah berapa manusia yang disesatkan oleh setan-setan ini gue sendiri tidak tahu. Semua itu hanya sebatas pertanyaan di dalam benak gue. Kalau gue sama ricky menghancurkannya sekarang, juga kasihan.
Toh cari kerjaan sekarang juga gak gampang untuk manusia seumuran Mbah Parmin dan juga wanita yang dibelakang tadi. Demi mencari sesuap nasi cara yang aneh dihalalkan.
Padahal manusia tidak kekal, gua juga bingung mau gimana caranya menghentikan semua ini! Tapi gua juga bukan pahlawan. Kami berdua dari awal masuk hanya memandangi kopi yang disuguhkan, tanpa berani meminumnya karena masih khawatir apa yang akan terjadi.
Masih menghisap rokokku Fuuuuhhhhhhhh…

“Mbah syarat yang lain, nanti kalau kesini lagi saya akan sampaikan “ kata ricky mengulangi perkataan gue tadi. Syarat apa lagi yach! Gue hanya bisa termenung memikirkan syarat kedua,
ketiga dan seterusnya, karena sebenarnya gue dan Ricky tidak ada niatan apa-apa hanya ingin mengembalikan si tuyul andre. Namun untuk menghadapi orang semacam Mbah Parmin, gue dan ricky harus jeli, penuh siasat dan “tatak”.
Tatak maksudnya pede dan berani, sehingga tidak terlihat takut. Syarat jadi siasat.

“Oh ya gak papa nak, asal tidak terlalu berat syaratnya nanti dan tidak mengganggu usahaku ya“ jelas Mbah Parmin.
Gue hanya bisa mengangguk saja tanda setuju untuk tidak membuat syarat yang berat. Usaha Mbah Parmin yang menyesatkan manusia ini ternyata berkembang dengan pesat.
Tiap hari tidak kurang 2 manusia sesat datang untuk menjalin pernjanjian syirik dengan raja iblis dengan perantara Mbah Parmin. Zaman sudah digital namun tingkah manusia makin tradisional. Semuanya karena buta akan harta duniawi.
Meskipun ramai pengunjung, Mbah Parmin tetep sekali-kali mengeluh kalau daganganya juga pernah sepi. Alhamdulillah sepi, jadi makin sedikit manusia yang tersesat.
“Gak diminum nak kopinya?” tanya Mbah Parmin dengan tangan menunjuk hidangan yang sudah disediakan. Dua gelas kopi yang tersedia di meja sejak kami datang masih utuh dan tidak bergeser dari tempatnya. Kopi sudah mulai dingin dan malam beranjak larut.
Kami memutuskan untuk tidak meminum kopi tersebut karena takut kalau ada apa-apanya. Kami harus pamit. Sejenak kami menghabiskan rokok, lalu bersiap-siap pulang. Sambil melirik kedalam, gue masih bisa melihat para setan itu sedang bermain-main layaknya anak-anak.
Raut muka ricky juga tampak sangat kesal malam itu.

“Mbah saya pamit pulang dulu” kata gua sambil menjabat tangan pria tua itu, ricky pun ikut menyalaminya. “Iya nak, hati-hati dijalan!” jawab Mbah Parmin.
Kami melangkah keluar rumah, dan berjalan dari tengah hutan yang menyeramkan. Namanya jalan di hutan, terus maju tanpa menoleh kesamping kanan dan kiri. Kami percepat jalan ditengah hutan itu karena sayup-sayup pelan terdengar alunan suara gamelan yang semakin dekat.
Kami terus berjalan menyusuri jalan setapak yang licin dan penuh ilalang.

“Brrrrruuukkk.... Coook.”

Ricky yang berjalan didepan gue terpeleset. Jalan setapak yang licin ditambah dengan suara-suara asing yang menyeramkan dan membuat kami tidak fokus.
Gue pelan-pelan membantu Ricky untuk bangun dan meneruskan kembali perjalanan kami turun. Makin lama daerah semakin tidak beres, mungkin semua orang yang ada di daerah ini aneh-aneh.
Hiiii... suasananya menyeramkan waktu itu! Semoga cepet-cepet sampai ke rumah yang kami titipi motor.

Selama perjalanan kami serasa ada yan mengikuti dari belakang, tapi gue tak peduli dan tak mau ambil pusing. Kami tetap melajukan motor ini sampai kerumah Ricky.
Sesampai dirumahnya gue istirahat sebentar untuk minum dan menghilangkan lelah karena perjalanan jauh. Setelah itu aku pun pulang kerumahku untuk istirahat dan melanjutkan kegiatan dihari esok.
11. Jalan Hidup (The End)

Keesokan paginya, aku sudah bisa menghirup udara di rumahku sendiri. Hati terasa senang dan bahagia tanpa memikirkan dagangan Mbah Parmin yang tekutuk itu. Gue jalan-jalan di depan rumah menikmati segarnya udara pagi hari.
Sambil melakukan pelenturan tubuh agar tidak merasa kaku dan cepat lelah. Selesai kegiatan dipagi itu gue kembali kedalam rumah.

Krrriiiinnggg... Kkkriiing...(bunyi suara HP di dalam kamar gue)
Waah.... itu suara hp gue. Emang ringtonenya gue atur seperti HP jadul. Ternyata telpon dari Ricky.

“Jancook Fan... Aku ora iso tangi iki (Jancook Fan... aku tidak bisa bangun)” rintih Ricky di dalam telpon.

“Jagoan kok cemen” Jawabku enteng.
“Mreneo des, tulungi kancamu iki (kesinio des, tolongin temenmu ini).

“Ya, aku berangkat!
Pagi itu gue langsung pergi kerumah Ricky, untuk melihat keadaannya. Gue tetap naik motor jadul sendirian. Sampai dirumah ricky, kelihatan rumahnya masih sepi. Para penghuninya belum ada yang kelihatan diluar diluar rumah.
“Assalamu’alaikum, Assalamu’alaikum.., Assalamu’alaikum” !!! salam gue yang cukup lama diteras depan rumah Ricky.

“Walaikum salam” jawab ibunya ricky dengan membukakan pintu ruang tamunya.

“eh nak Fandi? Cari Ricky ya? Tanyanya

“Iya buk” Jawabku tenang
“Langsung masuk saja Fan, itu Ricky lagi sakit dikamar.” Jawab ibu Ricky

Kemudian gue langsung kekamar Ricky tanpa basa basi lagi. Pagi itu ricky terlihat terbaring ditempat tidurnya sambil menahan sakit.
Dia berselimut setengah badan, badannya menggigil. Bibirnya tak henti hentinya mengeluh karena sakitnya.

“hei rick? Sapaku dengan berjalan dan langsung duduk dikursi samping tempat tidurnya.

“eh lu Fan? Kok cepet datangnya? Tanyanya sambil menahan sakit
“Iya tadi ngebut kesininya! Terang gue.

“Gimana ceritanya elu bisa kayak gini Rick? Tanyaku.

“kemaren kan cuma jatuh kepleset doank” Terangku
Kemudian Ricky cerita kalau dia tidak bisa bangun dari tempat tidurnya, selain kakinya yang terpeleset tadi malam. semalam ia merasa bermimpi didatangi raja iblis pesugihan, dia merasa di ikat dan dihajar malam itu.
Mungkin itu benar-benar ulah raja pesugihan atau mbah parmin kami pun tak tahu. Atau ini hanya sebagai peringatan yang disampaikan raja iblis semalam.
Siang itu gue yang masih dikamar ricky langsung pamit kerumah pembimbing kami, Gue berangkat sendiri waktu itu, karena ricky tidak memungkinkan untuk gue ajak. Gue kerumah sang pembimbinng untuk minta doa dan solusi atas keadaan Ricky tadi malam.
Sebut saja pembimbing kami namanya Abah Soleh. Rumah orangnya cukup dekat dengan gue, pembimbing kami ini hanya sebagai membimbing dan penasehat atas kelebihan kami. Waktu gue sampai rumah pembimbingku suasanya sejuk dan juga sepi.
“Assalamu’alaikum, Taaakkkk…Taaaakk. Taaaakkk, salam gue dengan mengetuk pegangan pintu gerbang besi rumahnya.

“Walaikum salam. Jawab Abah soleh dari dalam

“Oh nak Fandi, masuk saja tidak dikunci gerbangnya. Jawab Abah Soleh yang sudah berdiri diteras.
“Maaf bah, saya mengganggu.” Kataku serta menjabat tangan beliau.

“Gak papa nak, sebenarnya ada apa kok tiba-tiba kesini tanpa kabar-kabar dulu.” Kata Abah soleh disertai tangannya yang merangkul gue mengajak duduk diterasnya.
“Gini bah, Ricky sekarang sakit dirumahnya.” Jelas gue

“Sakit apa nak?.” Tanya Abah Soleh

Waktu itu kuceritakan kejadian gua dan ricky menemukan tuyul itu, sampai akhirnya Ricky sekarang sakit.
Beliau hanya mengangguk-angguk kepala seakan sudah memahami apa yang kami hadapi. Beliau langsung mengambil botol air kemasan dan mendoakannya saat itu juga.

“Oooohhh, ya sudah. Ini kamu kasih ke Ricky ya, mudah-mudahan dia cepet sembuh.
Tapi ingat jangan ganggu urusan orang lain, karena itulah jalan yang dipilih mbah parmin.” Jelas abah soleh
“ya bah.” Jawabku singkat

Waktu itu gue langsung pulang kerumah ricky untuk mengantar air yang didoakan dan pesannya abah Soleh.
Sesampainya dirumah ricky gue langsung menyuruh dia untuk meminumnya dan mengoleskan keseluruh bagian yang sakit. Saat kami berdua, gue sampaikan pesannya abah Soleh ke Ricky untuk tetap sabar dan tidak mencampuri urusan orang lain.
Setelah kejadian siang itu, tiga hari kemudian ricky sudah sembuh dari sakitnya.
Kami berpikir Inikah penyesat manusia, yang mencari jalan pintas untuk kekayaan tanpa mau bekerja keras. Fenomena di negeri kita tercinta sampai kapan akan berlanjut?
Tapi Mbah Parmin juga tak mau disalahkan, karena disini hukum ekonomi berlaku bagi dia. “Dimana ada permintaan disitu Mbah Parmin menyediakan”. Kekayaan yang didapatkan dari pesugihan dan semacamnya sama halnya mengambil rejeki dari anak keturunan kita.
Dan setelah tiadapun para penyembah setan/para pencari kekayaan jalan pintas akan menjadi budak abadi mereka. Maka kita harus selalu kepada-Nya kepada tuhan kita yang Esa, yang maha kaya dan maha segalanya. karena suatu saat ajal pasti akan menjemput kita.
Gue dan ricky memang harus instropeksi diri, sebelum menilai orang lain. kami juga akhirnya tak mau ikut campur dengan urusannya. Mulai saat itu kami putuskan tidak lagi berhubungan, mencampuri urusan dengan mbah parmin.

***TAMAT***
Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh.

Enjoying this thread?

Keep Current with bayuuubiruuu

Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

Twitter may remove this content at anytime, convert it as a PDF, save and print for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video

1) Follow Thread Reader App on Twitter so you can easily mention us!

2) Go to a Twitter thread (series of Tweets by the same owner) and mention us with a keyword "unroll" @threadreaderapp unroll

You can practice here first or read more on our help page!

Follow Us on Twitter!

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just three indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3.00/month or $30.00/year) and get exclusive features!

Become Premium

Too expensive? Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal Become our Patreon

Thank you for your support!