"JURAGAN PESUGIHAN" [Based On True Story]
-Horror Thread-
@bacahorror #bacahorror #ceritaht
Malam seringkali memberikan ketenangan dan sebaliknya bencana bagi segenap manusia. Kesunyian malam menjadi pelengkap dalam meraih ketenangan. Namun, kesunyian juga bisa menjerumuskan kedalam kesesatan.
Ricky adalah sahabat karib gue di SMA, dan kami berteman sejak awal masuk SMA sampai sekarang!
Beda dengan Ricky, meskipun gue sedikit bisa lihat barang-barang yang tak kasat mata atau ghaib, tapi gue sebenarnya orangnya sedikit penakut.
Malam itu, warnet cukup ramai dijejali oleh hampir seluruhnya anak muda. Ada yang main game online, browsing artikel, ngerjain tugas, cari-cari artikel dan bahkan ada yang buka bokep (tentunya pake VPN kan) meskipun harus diam-diam dan sedikit ditutupi.
“Mas, engko tutupe sampe jam piro?” (Mas, nanti tutupnya sampai jam berapa?) tanya Fandi kepada penjaga warnet.
“Bentar mas, tinggal dikit” jawab gue sambil memelas.
“Yo wes mas, tak tinggal golek kopi disik nang warkop ngarep yo.
“Inggih mas” jawab kami berdua.
Krrriiiieek... krriieeek...
Bllakkk... Blakkk...
“Rick, wonge metu. ambune amis iki” (Rick, orangnya keluar. Baunya amis) bilang gue sambil sedikit ketakutan.
“Sudah rampung mas” sura lirih muncul. Spontan gue terperanjat dan terjatuh dari kursinya. Penjaga warnet muncul dari pintu masuk tanpa memberi aba-aba dulu. Tentu saja kami berdua kaget,
Brrraakkkk....
“Loh... kenapa mas?” kata Penjaga Warnet sambil berlari kecil menghampiri Ricky dan gue.
“Ngunu ae wedi Bro...” (Begitu aja takut) sahut Ricky sambil memapah gue bangun.
Malam itu sudah menunjukkan pukul 01.30 dini hari, Ricky yang memakai motor jadul andalan membonceng gue. Malam semakin dingin, sunyi dan hening disetiap sudut tempat.
“OK, siip” timpal Ricky.
Akhirnya kami pergi menuju kesalah satu pasar yang berada satu jalur dengan arah kami pulang. Lumayan jauh dari warnet tadi.
Sesampainya di pasar krempyeng, pasar sudah mulai ramai. Meskipun dinginnya malam masih sangat terasa menusuk tulang. Para pedagang (bakul) mulai menyiapkan daganganya, ada yang menurunkan dagangan dari becak motor.
“Haalaah yu... koyok biasane ae” (Haalaah yu... seperti biasanya saja) jawab bakul sayur.
“Yo wes... 20 kilo, diangkatno sekalian ya” (Ya Sudah diangkatkan sekalian ya) pinta ibu pembeli.
Percakapan tersebut sayup-sayup terdengar dari kejauhan.
Akhirnya, pandangan kami tertuju pada dua warung yang berada di pojok pasar. Ada perbedaan yang agak menonjol diantara dua warung tersebut.
Pengunjung saat itu sudah sepi, karena waktu sudah larut malam menjelang subuh.
“Iya mas, tungu sebentar” jawabnya.
Hanya itu yang bisa kami pesan, dua cangkir kopi. Masalahnya uang kami hanya cukup untuk beli 2 cangkir kopi saja, rokokpun tinggal 6 biji lusut dan tak enak dipandang. Nasib boy.....!!!
“Gimana apanya?” timpal Ricky.
“Yo uripe awak dewe (ya hidup kita berdua)... kuliah jalan, kerja juga sudah, tapi aku merasa masih kurang?” tanya gue.
“aaaah-oooooh... Cuuuuk” ucap gue kesal.
Tapi Ricky tidak merespon sama sekali. Kemudian...
“Aneh apanya... biasa” jawab Ricky.
“Rasakan hembusan angin malam ini.... ada yang aneh.
Kelihatannya bakal terjadi sesuatu” jelas gue pelan.
Sesaat gue tertegun dan pandangannya fokus ke arah kanan kepada sesosok pria dewasa memakai baju dan celana warna hitam, umur sekitar 40-an.
“Ayo nak, waktunya bekerja!” perintah pria itu dengan sura pelan.
“Inggih bos...” jawab anak kecil itu sambil turun dari gedongannya.
Gue terus memperhatikan mereka berdua dengan sedikit takut. Gue menggeser posisi duduk mendekati Ricky.
Apa yang ada dibenak bapak itu. Tragis sekali...
Seiring dengan hisapan terakhir rokok di tangan Ricky, akhirnya mata ini terpengaruh juga dan mulai memperhatikan gerak-gerik anak kecil yang sedang berjalan menuju kerumunan para pedagang.
“Lhoooh tuyul iku cukkk….tuyullll…tuyul…menengo disek (Lhoooh tuyul iku cukkk….tuyullll…tuyul…diam dulu)”
“Looh... iya ta?” tanya gue memastikan.
“Gue liat dengan mata kepalaku sendiri fan, Asli itu cuk!” Sahut Ricky.
"Anj*ng lu rick, mau lu apain sih bawa gituan?" Tanya gue.
"Diem cuuukkkk, kita juga lagi kere kan." kata ricky sambil ngikat tuyul.
“Eh, lu mana duitnya bagi sini!” bentak ricky pada tuyul.
“Ga.... ga... ada bos” Jawab bohongnya si tuyul!
“Jangan bos…jangan bos!!!! Ampun bos” teriak tuyul itu ketakutan.
Pada saat ketakutan karena diancam “dibakar”!
Kemudian ricky memesan 2 porsi pecel ke warung sebelah, hati merasa senang saat itu karena dapat uang untuk beli makan.
Selesai makan gue lihat tuyul yang tadi diikat sama ricky, sambil menyalakan sebatang rokok. Gue perhatikan tuyul itu baik-baik, sepertinya ada sesuatu dengannya. Si tuyul mulai komat-kamit seperti dukun merapalkan mantranya.
Dengan terbatah-batah si tuyul menjawab “Ehhh... iya... iya... bos”.
“Setan ini bener-bener harus dikasih pelajaran” gumam Ricky.
“Eh... Juragan Lo siapa? Dimana?” tanya ricky dengan suara keras dan tatapan marah.
“Dimana cokkkk... jangan muter – muter kalo ditanya setan?” bentak Ricky.
“Jawab apa gak setan?????” bentak ricky lebih keras lagi.
“Diselatan pulau ini pak bosssss” kata tuyul dengan tergagap dan ketakutan.
“Jangan bos … jangan booosss….” rintih si tuyul dengan muka pucat, memelas dan mulai menangis.
“Lha gitu jawabnya dari tadi kan enak ngomong gak usah muter-muter kayak kipas angin ae…. Setan, anj***ng“ jawab Ricky dengan nada emosi yang mulai melandai.
“Wes eroh aku, jiancokkkk nak koe iku tuyul!!! iku mau kelakuanmu seng koyok anj***ing cokkk, kon nak jek mbanggel tak sapu pisan yo!!!!”
“Uasemmmm raimu Fan….” jawab Ricky.
“Bawa ke rumah lo saja Rick, rumah lo kan kosong?” pinta gue.
“Emmm masuk juga saran lo fan, ayok kita masukin botol saja ni bocah.” cerocos Ricky.
“Fan... mana botolnya?” tanya Ricky.
“Sabar Rick... ini botolnya” sahut gue.
Wuuuuuusssshhhhh...
“Ayok fan kita langsung pulang, kita urus tuyul ini dirumah saja, lagian gue sudah ngantuk nih, besok juga masih ada kuliah pagi” pinta ricky kepada gue.
“OK... sekarang pulang kerumah sendiri-sendiri saja.” Kata Ricky.
“Siiip... Lagian aku besok juga mau anter adek sekolah dulu” jawab gue sambil menguap karena menahan kantuk.
Motor tak mau menyala. Gue juga heran, dari tadi motor tidak bermasalah tapi sekarang tiba-tiba ngadat.
“Kenapa Rick?” tanya gue.
“Coook... pasti tuyul kurang ajar ini bikin ulah” sahut Ricky.
Pagi ini, kami berdua berangkat ke kampus seperti biasa. Kami berdua juga kuliah seperti biasa, tidak ada yang berbeda. Sekitar pukul 16.00 wib perkuliahan kami selesai.
“Ok... siiip” jawab gue.
Botol tetep aman sama isinya saat itu. Masih terlihat tuyul kecil lagi duduk sambil mendekap kedua kakinya. Tidak bisa berbuat apa-apa, hanya termenung meratapi nasib.
“Ok... rick gue ngikut saja daah. Lu kan tuan rumahnya” jawab gue.
“Ternyata... enak Rick. Bikin kenyang dan tak harus bayar” celoteh gue.
“Raimu Fan... biasa saja!” sahut Ricky.
“Whoi... bangun whoi molor mulu….” kata ricky sambil tangannya menggoyang-goyangkan botol bekas itu.
“Lho wani bantah koen yul” (lho kamu berani bantah yul). Jawab Ricky dengan mata melotot.
“Yul namamu siapa? kamu punya nama kan?” tanya gue.
“iya bos, biasanya juraganku panggil aku andre” Jawab tuyul.
“Huahaha... huahaha...“ Tawa lebarnya Ricky.
“Kamu disini ikut siapa, juragan kamu?” tanya gue.
“lo aslinya dari mana?” tanya gue lagi.
“Ya yang kemaren itu bos” jawab tuyul.
“Bener di kec **** ? lanjut gue.
“Bener bos! Jawabnya dengan kepala manggut-manggut kedepan.
“Desa mana?” tanyaku lagi.
“Rick coba lo check google map ada ga nama desanya di kabupaten itu?” pintaku kepada ricky untuk cek valid tidaknya jawaban si andre tuyul ini.
Interogasipun berlanjut.
“Kamu di T*** ngabdi kesiapa?” tanya gue.
“Ke Mbah Parmin Bos” jawabnya pelan.
“Setan kayak kamu disana ada banyak?” tanya gue lagi.
“Banyak bos, macem-macem” jawab tuyul.
“Ohhhhh... seberapa banyak ndre?” Tanya gue.
“Ratusan.... lebih. Huahaha... huahaha...” sahut Ricky sambil ketawa tak percaya.
“Ya adalah bos kelas – kelasnya, ada yang kelas 1,2,3 sampai kelas 6. Tiap kelas mempunyai kemampuan ngasilin duit berbeda-beda.
“Oooohhhh...kayak anak sekolah SD pake kelas segala” gumam gue dengan manggut-manggut mencoba memahami bisnis laknat ini.
“lo sendiri disini sehari ngasilin berapa duit?” tanyaku lagi.
“200 ribu bos” jawabnya lagi.
“Jadi kelas dua dong lo disana” kata gue.
“Iya bos bener” jawab tuyul.
“Fan ada nih desanya, beneran kata si tuyul andre tuh” kata Ricky sambil pegang HP.
“Seeeepppp...” jawab gue.
“Bisa bos...” jawab tuyul.
“Kira-kira minggu depan gimana?” tanya gue lagi.
“Sebentar bos gua mau hubungi dulu sama tuan parmin dulu” sahut si utyul.
“Jauh Rick ini” tanya gue.
Kemudian, tiba-tiba si tuyul menyela.
“Bos… bosss... boosss….” kata tuyul memanggil.
“Sudah bos... Mbah Parmin adanya hari minggu, dia sudah siap bos dikunjungi!” jawab tuyul.
Gila bener nih orang, mau ketemu aja pakai janjian segala. Tidak hanya dunia nyata yang butuh manajer, dunia ghaib pun butuh.
“Gimana Fan lo minggu ini ada acara gak?” tanya Ricky.
“Sama dong... Gua juga lagi free nih” jawab ricky.
Setelah introgasi dengan si tuyul selesai, kami berdua melakukan persiapan untuk pergi ke T**** minggu depan.
Minggu pagi pada tanggal yang sudah ditentukan, kami berangkat dari rumah Ricky ke daerah **** dengan motor andalannya.
“Santuy Fan.... gue tak ijin dulu kalo cuman mau berkunjung” jelas Ricky.
Ricky terdiam sejenak sambil komat-kamit, gue tidak tahu lagi baca apaan yang dirapalkannya.
“Pak kopi hitam dua “ pesan gue.
“Oh ya mas” jawabnya.
“Kamu mau beli apa disitu?” tanya pemilik warung.
Dengan polos gue tanya balik “lho memang jualan apaan Mbah Parmin, pak?”
“Looooh.... bukan nak. Pertigaan yang tadi seharusnya kalian belok kiri tidak kekanan” jawab bapak pencari rumput tadi.
“Sami-sami nak... hati-hati ya!” (sama-sama nak)jawab bapak tadi.
“Jiianncoook... iyo kan Rick” gerutu gue. Akhirnya Ricky memutar motor bututnya dan kembali menuju ke pertigaan tadi.
Akhirnya di rumah ujung yang terakhir, gue dan Ricky memutuskan turun dari motor, dan bertanya kepada sosok lelaki paruh baya yang sedang menurunkan pakan sapi di depan rumahnya.
Waktu itu gue dan Ricky tak sabar untuk langsung berjalan menuju ke rumah di lereng gunung. Kami harus melewati jalan setapak yang licin, dan sedikit berlumpur. Hampir disepanjang jalan itu ditumbuhi oleh rumput glagah.
Ternyata perjalanannya cukup jauh juga, waktu juga sudah sore.
Gue menepi ke bawah pohon pinus dan mengeluarkan semua isi perut. Lega sekarang.
“Ada apa Fan, kamu ndak apa-apa?” tanya Ricky.
“Ndak apa-apa Rick... gue masih kuat, ayo naik lagi” jawab gue.
Dari dekat kami melangkah pelan dan melihat rumah yang terbuat dari bambu , kayu, masih beralaskan tanah dan sudah beratap genting.
“Nuwun sewu…”
“Assalamu’alaikum...”
“Permisi...”
“Mbah…. mbah…. putumu teko?”(cucu kamu datang) ucap Ricky dengan sopan.
Kami pun mengikuti Mbah Parmin untuk duduk dikursi kayu Panjang diruang tamunya,
“Lho !!!! kok iso sampe neng awakmu le arek iku?” (lho kok bisa sampai di kamu anak itu) Tanya si Mbah setengah kaget.
Akhirnya kami ceritakan Panjang lebar kejadian dari awal di pasar krempyeng, penangkapan, hingga mengurungnya di dalam botol. Mbah Parmin hanya geleng–geleng kepala. Beliau menjelaskan bahwa mahluk ghaib sejenis banyak di rumahnya.
Sejenak kami hening di ruang tamu itu. Gue dan Ricky hanya saling pandang satu sama lain dan tidak berani berbuat macam-macam. Kemudian Mbah Parmin berdiri dan mengajak kami berdua.
Kulihat dengan seksama dan mendekat pelan sekitar jarak 6 meter pemandangan yang terlihat sungguh menyeramkan,
Setiap wanita ini harus melayani 4-5 tuyul tiap 3 jam sekali.
"Miris dan marah saat lihat sendiri kejadian itu rasanya pengen bakar semua penghuni mahluk jahanam dirumah Mbah Parmin dan menyelamatkan ke tiga wanita itu" dalam piker gue.
“Jancok gateli mbah iki” (Jancok… kurang ajar mbah iki) bisik Ricky pelan ke telingaku.
“Huussssh.... cangkemmu, diam!” (Huussssh.... mulutmu, diam) sahut gue.
“Inggih mbah” jawab kami berdua.
Bener sore hari yang mengerikan bagi kami, karena baru pertama kali seumur hidup gue disuguhi pemandangan yang gila, dan manusia gila Mbah Parmin ini!!!
“Terus mau embah gimana?” tanya Ricky dengan nada kecut.
“Monggo mbah...” (silahkan mbah) gue mempersilahkan.
Kemudian Mbah Parmin mulai bercerita tentang hal perdagangannya.
Setelah Mbah Parmin selesai bercerita singkat, gue minta tolong untuk bisa dipertemukan dengan Raja Iblis junjungan Mbah Parmin. Kemudian Mbah Parmin terdiam sambil komat-kamit sendiri layaknya orang yang sedang berkomunikasi.
Sukma Gue dan ricky melayang dengan cepat menuju ke puncak gunung, dan masuk ke dalam kerajaan raja iblis yang terlihat sangat besar.
“Hai anak manusia, berani-beraninya kau masuk ke istanaku?” bentak raja iblis.
“Kenapa harus takut sama mahluk macam lo setan?” jawab Ricky dengan pedenya.
Wajah Si Raja Iblis memerah dengan membawa trisula yang diselimuti api seakan siap menghunus kami berdua.
“Apa benar Mbah Parmin itu pengikutmu?” tanya gue.
“Aku dan temanku hanya memastikan kalau kamu adalah tuan dari Mbah Parmin, itu saja” sahut gue dengan tenang.
“Piye le wes ketemu rojoku ?(bagaimana nak sudah ketemu sama rajaku ?)” tanya Mbah Parmin kepada kami berdua.
Part 10. Syarat Siasat
Rumah Mbah Parmin mulai ramai, bukan manusia tapi makhluk lain penghuni malam. Peliharaan Mbah Parmin mulai menampakkan diri dan sibuk dengan dirinya sendiri.
Gue berpikir, kegiatan jual beli setan ini sudah menjadi profesi Mbah Parmin. Sudah berapa orang beli dan transaksi disini.
“Mbah syarat yang lain, nanti kalau kesini lagi saya akan sampaikan “ kata ricky mengulangi perkataan gue tadi. Syarat apa lagi yach! Gue hanya bisa termenung memikirkan syarat kedua,
“Oh ya gak papa nak, asal tidak terlalu berat syaratnya nanti dan tidak mengganggu usahaku ya“ jelas Mbah Parmin.
“Mbah saya pamit pulang dulu” kata gua sambil menjabat tangan pria tua itu, ricky pun ikut menyalaminya. “Iya nak, hati-hati dijalan!” jawab Mbah Parmin.
“Brrrrruuukkk.... Coook.”
Ricky yang berjalan didepan gue terpeleset. Jalan setapak yang licin ditambah dengan suara-suara asing yang menyeramkan dan membuat kami tidak fokus.
Selama perjalanan kami serasa ada yan mengikuti dari belakang, tapi gue tak peduli dan tak mau ambil pusing. Kami tetap melajukan motor ini sampai kerumah Ricky.
Keesokan paginya, aku sudah bisa menghirup udara di rumahku sendiri. Hati terasa senang dan bahagia tanpa memikirkan dagangan Mbah Parmin yang tekutuk itu. Gue jalan-jalan di depan rumah menikmati segarnya udara pagi hari.
Krrriiiinnggg... Kkkriiing...(bunyi suara HP di dalam kamar gue)
“Jancook Fan... Aku ora iso tangi iki (Jancook Fan... aku tidak bisa bangun)” rintih Ricky di dalam telpon.
“Jagoan kok cemen” Jawabku enteng.
“Ya, aku berangkat!
“Walaikum salam” jawab ibunya ricky dengan membukakan pintu ruang tamunya.
“eh nak Fandi? Cari Ricky ya? Tanyanya
“Iya buk” Jawabku tenang
Kemudian gue langsung kekamar Ricky tanpa basa basi lagi. Pagi itu ricky terlihat terbaring ditempat tidurnya sambil menahan sakit.
“hei rick? Sapaku dengan berjalan dan langsung duduk dikursi samping tempat tidurnya.
“eh lu Fan? Kok cepet datangnya? Tanyanya sambil menahan sakit
“Gimana ceritanya elu bisa kayak gini Rick? Tanyaku.
“kemaren kan cuma jatuh kepleset doank” Terangku
“Walaikum salam. Jawab Abah soleh dari dalam
“Oh nak Fandi, masuk saja tidak dikunci gerbangnya. Jawab Abah Soleh yang sudah berdiri diteras.
“Gak papa nak, sebenarnya ada apa kok tiba-tiba kesini tanpa kabar-kabar dulu.” Kata Abah soleh disertai tangannya yang merangkul gue mengajak duduk diterasnya.
“Sakit apa nak?.” Tanya Abah Soleh
Waktu itu kuceritakan kejadian gua dan ricky menemukan tuyul itu, sampai akhirnya Ricky sekarang sakit.
“Oooohhh, ya sudah. Ini kamu kasih ke Ricky ya, mudah-mudahan dia cepet sembuh.
“ya bah.” Jawabku singkat
Waktu itu gue langsung pulang kerumah ricky untuk mengantar air yang didoakan dan pesannya abah Soleh.
Kami berpikir Inikah penyesat manusia, yang mencari jalan pintas untuk kekayaan tanpa mau bekerja keras. Fenomena di negeri kita tercinta sampai kapan akan berlanjut?
***TAMAT***