My Authors
Read all threads
MANUK KEDASIH °°°
Kematian Menantimu.
.
.
.
#bacahorror
@bacahorror
#urbanstory

Pict: Pinterest
Tahun 2000.

Saat itu aku baru duduk di kelas 1 SD, aku tinggal di salah satu desa pinggiran kota di Jawa Tengah. Rumahku berada sangat dekat dengan area pemakaman yang terkenal wingit (angker). Jarak rumahku dan pemakaman hanya terpisah oleh satu rumah di samping kanan rumahku,
kemudian sungai kecil, lalu kebun yang tak begitu luas, dan setelahnya langsung area pemakaman. Pemakaman tersebut merupakan pemakaman terbesar di desaku, karena hampir 70 % penduduk di desaku yang meninggal dimakamkan di pemakaman tersebut, yang sebut saja Pemakaman Mundu.
Pemakaman di pedesaan tidaklah seperti pemakaman yang ada di kota, yang biasanya berada di samping jalan besar yang sering dilalui oleh orang. Areanya pun biasanya tidak begitu luas. Pemakaman di desa biasanya berada di area yang cukup jauh dari pemukiman warga,
biasanya terletak di pojok-pojok desa atau di pinggiran desa yang hampir berbatasan dengan wilayah desa lain, dan sangat jarang dilalui oleh orang. Sama halnya dengan Pemakaman Mundu, karena rumahku pun terletak di pinggiran desa dan sudah masuk di wilayah pegunungan,
jalan depan rumahku pun merupakan tanjakan yang akan terus menanjak sampai di puncaknya merupakan perkebunan karet milik pemerintah. Jadi, jalan depan rumahku pun termasuk jarang dilalui oleh orang, karena rumah warga yang berada di dekat perkebunan karet pun tidaklah banyak.
Terlebih di tahun 2000 masih sangat jarang ada orang gunung yang memiliki kendaraan bermotor, dan kebanyakan masih menggunakan sepeda. Jadilah lingkungan rumahku cukup sunyi dan senyap terutama di malam hari. Di tambah dengan minimnya penerangan yang ada di jalan.
Setelah waktu maghrib berlalu, di lingkungan rumahku sudah sangat sepi. Orang-orang sudah masuk dan tinggal di rumahnya masing-masing. Warung-warung kecil pun telah tutup. Tiba-tiba bagaikan dusun yang mati tak berpenghuni sangking sepinya. Ronda pun tak pernah berjalan.
Tak berbeda dengan keluargaku. Kami memilih untuk menonton televisi. Kebetulan waktu itu aku baru saja memiliki adik bayi. Jadi yang awalnya aku masih tidur bersama ibuku, karena sekarang ada adikku, akhirnya aku mulai dibiasakan untuk tidur sendiri di kamar yang memang sudah
lama disiapkan khusus oleh orangtuaku untuk aku tempati. Awalnya aku sangat senang, karena akhirnya aku memiliki kamar sendiri dengan dipan yang luas dan kasur yang empuk. Namun, baru beberapa hari aku mulai tidur sendiri, kejadian-kejadian aneh banyak aku alami.
Bapak Ibuku adalah orang yang pekerja keras, Bapak bekerja di salah satu Rumah Sakit milik daerah, dan Ibu bekerja di kantor desa. Sedangkan adikku yang masih bayi diasuh oleh Babysitter, yang biasanya kami panggil Mak Jah. Karena jarak sekolahku dengan rumah tidak begitu jauh,
biasanya aku pulang dengan berjalan kaki bersama teman-temanku. Dan jalan yang melewati Pemakaman Mundu adalah satu-satunya akses dari rumah menuju sekolah dan begitu sebaliknya. Kebetulan kontur tanah di desaku memang banyak yang naik turun, karena masih dekat dengan
kaki gunung terbesar di Jawa Tengah. Jadi, banyak sekali tanjakan dan turunan di jalan desaku. Wilayah pemakaman sebenarnya berada di area yang datar, namun setelahnya langsung jalan menurun terjal. Area pemakaman ada di sebelah kanan dan kiri jalan. Jadi, bila melewati makam,
sangat terasa begidik dan ngeri. Ketika aku dan teman-temanku telah sampai di jalan makam, kami biasanya langsung lari menuruni jalan turunan terjal, kami lari sampai di jalan yang datar yang terdapat sungai kecil dibawahnya. Entah mengapa, kami selalu takut ketika melewati
Pemakaman Mundu, meskipun itu di siang hari.
Sampai suatu hari, waktu itu adalah hari Kamis. Pagi hari, seperti biasa aku bangun dan meminum susu yang telah disiapkan oleh Ibu. Kemudian aku sarapan pagi, mandi, dan berangkat sekolah dengan diantar oleh Ibu, sekalian Ibu
berangkat kerja. Jam pulang sekolah pun tiba, aku pulang dengan berjalan kaki seperti biasanya.
Sesampainya dirumah aku melihat adik bayiku sedang tertidur, Mak Jah sedang menyiapkan makan siang untukku. Entah mengapa, hari itu aku merasa sangat lelah, aku pun merasa agak pusing,
"Mak aku kok rodok puyeng, nggih?!" (Mak aku kok agak pusing ya?!) tanyaku kepada Mak Jah, sambil meletakkan kepalaku di meja makan.
"Walah nduk, paling kowe kie suren wae..gek maem nggih iki Mak Jah wis goreng iwak bandeng kesenenganmu" (Walah nak, paling kamu hanya kelaparan
saja..cepet makan ya ini Mak Jah udah goreng ikan bandeng kesukaanmu) jawab Mak Jah dengan senyum ramahnya sambil menyodorkan piring berisi nasi putih hangat dan lauk ikan bandeng. "Mak aku tulung digawekne teh ya" (Mak aku minta tolong dibuatkan teh ya) pintaku kepada Mak Jah.
"Iyo nduk..opo mau iki akeh tugas karo PR saking Bu Guru? Kok dadi puyeng nduk?" (Iya nak..apa tadi banyak tugas dan PR dari Bu Guru? Kok jadi pusing nak?) tanya Mak Jah sambil menuangkan beberapa sendok gula ke cangkir kecil.
"Ora kok Mak, ora ono PR malah. Mak miki pas aku
liwat neng kuburan, aku kok kaya ambon2nen bacin ya. Pas nang nggon turunan kui. Tapi iku dudu mambu bacin bunga bangkai, aneh mambune" (Enggak kok Mak, gak ada PR malahan. Mak tadi waktu aku lewat di pemakaman, aku kok kaya mencium bau busuk ya. Pas di jalan turunan itu.
Tapi itu bukan bau busuk bunga bangkai, aneh baunya) aku berusaha menceritakan yang aku alami kepada Mak Jah.
"Yo kui paling bunga bangkai nduk..nek udu yo berarti ono kewan mati, paling ono asu mati maning sing dibuak nang kono" (Ya itu paling bunga bangkai nak..kalau bukan
ya berarti ada hewan mati, paling ada anjing mati lagi yang dibuang disitu) jawab Mak Jah tenang sambil menyodorkan secangkir teh hangat. Persis di bawah area makam tepatnya di wilayah kebun, memang sangat sering digunakan sebagai tempat membuang sebungkus kepala anjing
dan beberapa tulangnya. Karena entah kebiasaan warga mana yang sangat suka berpesta dengan mengkonsumsi daging anjing, lalu kepalanya dibuang di bawah area pemakaman. Menurut kabar yang beredar, warga yang berada dekat dengan kebun karet yang suka melakukan sambil berjudi.
Setelah selesai makan siang aku masuk ke kamar adikku, aku memainkan pipinya karena gemas. Namun tiba-tiba saja adikku menangis kencang, Mak Jah pun datang mencoba menggendongnya, tetapi adikku tetap saja menangis malah semakin kencang. Aku pun merasa bersalah karena aku telah
mengganggu adikku yang sedang tertidur pulas. Kebetulan di kamar adikku terdapat jendela kayu yang lumayan tinggi. Dari jendela tersebut kita bisa langsung melihat area perkebunan yang rimbun dengan pohon singkong dan terlihat juga satu pohon yang menjulang tinggi
yaitu pohon petai. Karena waktu itu aku masih pendek, jika ingin melihat ke area kebun melalui jendela harus naik terlebih dahulu ke dipan, karena jendela memang berada di atas dipan kasur.
Tiba-tiba angin berhembus kencang, menggoyang-goyangkan pepohonan yang ada di kebun samping kamar adikku. Sementara adikku masih saja menangis. Aku mencoba menaiki dipan dan mengintip keluar jendela, awan menjadi sangat mendung, padahal masih pukul 13.30 siang.
Aku melihat ke arah pohon petai yang mejulang tinggi, kebetulan saat itu daun-daun pohon petai sedang meranggas, dan menyisakan ranting-rantingnya yang kecil dan panjang berwarna coklat kehitaman. Di salah satu rantingnya aku tak sengaja menangkap seekor burung kecil berwarna
coklat dengan sedikit bulu putih. Lalu, "Tiit tuut tiit...tiit tuut tiit...tiiit...tiiit...tiiit....tiiit..." bunyi burung itu. Dia berbunyi keras dan nyaring sekali serta berulang-ulang. Aku teringat bahwa Simbahku pernah bercerita bahwa jika ada burung kedasih
datang dan berbunyi di sekitar rumah kita, berarti tandanya akan ada orang yang meninggal, entah itu tetangga kita atau malah keluarga kita sendiri. Aku semakin merasa pusing, kepalaku sakit sekali mendengar bunyi burung kedasih ditambah tangisan adikku.
Aku pun keluar dari kamar adikku dan menuju kamarku yang berada di samping ruang tamu, sedangkan kamar Ibu dan adikku ada di belakang dekat kamar mandi. Adikku sudah sedikit tenang saat digendong dengan diayunkan pelan oleh Mak Jah. Aku mencoba untuk tidur, tapi suara burung
kedasih masih terdengar jelas. Aku menutup kepalaku dengan bantal, tetapi suara burung kedasih masih saja terdengar meskipun sedikit menyamar. Aku berfikir apakah benar yang diceritakan oleh Simbahku tentang burung kedasih ini. Akhirnya tak terasa aku tertidur.
Saat aku terbangun jam sudah menunjukkan pukul 17.30, Ibuku sudah pulang dan sedang menggendong adikku di sambil melihat halaman depan dari jendela ruang tamu. Sedangkan Mak Jah pulang ke rumah ketika Ibuku pulang kerja pukul 16.00.
"Mirsani nopo buk?" (Melihat apa bu?) tanyaku seraya menghampiri ibu dan sambil mengucek mataku. "Rapopo nduk, Ibu mung lagi ndelok dalan ngarep, koe gek papung yo bar iku wudhu sekalian shalat maghrib" (Gakpapa nak, Ibu cuma lagi liat jalan depan, kamu cepat mandi
setelah itu wudhu sekalian shalat maghrib) perintah Ibuku sambil tersenyum. "Nggih buk, bapak kok dereng kondur?" (Iya bu, bapak kok belum pulang?) tanyaku sambil mencium pipi adikku. "Iyo durung, bapakmu dikon ngancani Pak Dhe Rikun gowo ambulance neng kota S. Paling lagi
kondur ngko bengi." (Iya belum, bapakmu disuruh nemenin Pak Dhe Rikun bawa ambulance ke kota S. Paling baru pulang nanti malam). Aku pun langsung ke kamar mandi untuk mandi kemudian shalat maghrib.
Setelah shalat maghrib seperti biasa aku menonton televisi sampai adzan isya, aku pun shalat isya lalu bersiap untuk tidur. Rumah terasa lebih sepi karena Bapak belum pulang. Adikku pun tertidur sejak sore tadi. Ibu mungkin juga kelelahan dan akhirnya ikut tertidur
di kamar bersama adikku. Di kamar aku mencoba belajar, dengan membaca buku pelajaran bahasa indonesia. Malam hari di lingkunganku memang selalu sunyi dan senyap, hanya suara jangkrik dan sesekali suara katak yang terdengar. Sudah pukul 21.00, namun aku masih belum mengantuk.
Mungkin karena sore tadi aku tertidur sampai menjelang maghrib. Tiba-tiba...suara burung kedasih berbunyi lagi, sangat jelas. Karena heningnya malam, burung itu berbunyi dengan sangat nyaring. Aku merasa ketakutan berada di kamar sendiri. Akhirnya aku berlari keluar kamarku,
menuju kamar Ibu dan adikku. Mereka masih terlelap tidur. Dan justru suara burung kedasih semakin terdengar jelas di kamar Ibu. Dugaanku burung tersebut kembali bertengger di salah satu ranting pohon petai. Aku pun menggoyang-goyangkan tubuh Ibu berusaha membangunkan.
"Buk..buk..buk...tangi buk...aku wedi. Ana suara manuk kedasih bengi-bengi ngene ki, ana apa ya buk?" (Bu..bu..bu..bangun bu..aku takut. Ada suara burung kedasih malam-malam begini, ada apa ya bu?). Ibuku terkaget karena aku menggoyangkan badannya dengan keras.
"Apa to nduk? Orapopo, wes koe bubu wae yo. Mengko malah adimu tangi, angel turune maneh" (Apa sih nak? Gakpapa, udah kamu tidur aja ya. Nanti malah adikmu bangun, susah tidurnya lagi) jawab Ibu sambil setengah merem, dan memiringkan badannya membelakangiku.
Aku pun sedikit kesal dan kembali ke kamarku. Burung kedasih masih berbunyi hanya saja tidak sesering tadi siang. Dari bunyi pertama ke bunyi kedua ada jarak beberapa menit. Suaranya pun lebih pelan dan mendayu-dayu. Akhirnya aku pun bisa tertidur.
Sampai tiba-tiba aku terbangun, aku mendengar suara pintu depan diketuk, ku lirik jam dinding di kamarku pukul 02.00 dini hari. Aku dengarkan dengan seksama, pintu masih diketuk, kemudian berhenti dan hening. Dan... Dok..dok..dok...jendela kamarku diketuk,
karena memang jendela kamarku langsung menghadap ke arah halaman depan. "Ngga..Jingga..!! Bukakno bapak lawang..!!" (Ngga..Jingga..!! Bukain bapak pintu..!!). Aku pun menghela nafas lega, ternyata Bapakku baru pulang. "Nggih Pak.. sekedap" (Ta pak.. sebentar) jawabku
setengah berteriak. Aku pun bergegas ke ruang tamu dan membuka pintu. Tidak ada siapa-siapa di depan. Kosong. Hanya ada cahaya lampu 5 watt di teras rumah dengan hewan-hewan kecil yang berterbangan memutarinya. "Pak..pak??" Teriakku sambil melihat ke sekeliling,
aku tidak berani untuk keluar ke teras karena diluar sangat gelap, samping kanan dan kiri rumahku pun hanya ada kebun singkong. Tiba-tiba pundakku ditepuk dari belakang. "Lagi ngopo nduk?" (Lagi ngapain nduk?) tanya Bapak. "Loh Pak? Bapak wis neng omah to? Kit kapan?"
(Loh Pak? Bapak sudah dirumah? Sejak kapan?) tanyaku dengan ekspresi panik dan takut. "Lha Bapak ki wis bali kit jam 11 mau nduk. Kowe ki ngopo neng ngarep lawang jam 2 bengi? Goleki opo?" (Lha Bapak sudah pulang dari jam 11 tadi nak. Kamu ini ngapain di depan pintu jam 2
malem? Nyariin apa?). "Anu Pak..miki ono sing dodok-dodok lawang kene, trus ganti dodok jendelaku, karo ngomong jaluk bukakno lawang jarene iku bapak, mangkane langsung tak bukakne tapi barang tak tiliki raono sopo-sopo." (Anu Pak..tadi ada yang ngetuk pintu ini, trus ganti
ngetuk jendelaku, sambil bilang minta bukain pintu katanya itu bapak, makanya langsung tak bukain tapi setelah tak tengok gak asa siapa-siapa). Bapak tersenyum simpul, lalu menutup pintu dan merangkul aku sambil memapah agar aku kembali ke kamar. "Wes..wes..paling kowe ki
mung ngimpi tapi kowe krasane kaya tenanan. Awakmu lho rodok panas iki. Demam." (Sudah..sudah..paling kamu hanya mimpi tapi kamu berasa seperti beneran. Tubuhmu lho agak panas. Demam.) kata Bapak menenangkan sambil menempelkan telapak tangannya di keningku.
Dengan berat hati dan fikiran yang penuh tanda tanya, aku kembali membaringkan tubuhku di kasur. Aku menatap langit-langit dan merenungi yang baru saja terjadi. Karena aku yakin yang tadi adalah nyata dan bukan mimpi. Aku semakin membenamkan kepalaku di bantal berharap
bisa segera kembali tertidur. Namun nyatanya nihil, satu jam kemudian aku masih belum bisa tertidur. Pukul 03.00, tiba-tiba aku mendengar ada teriakan minta tolong dari seorang laki-laki. Aku sangat terkejut dan bingung, aku langsung beranjak menjadi posisi terduduk di kasur.
"Tolong..tolong..tolong.." teriak laki-laki tersebut. Teriakannya terulang sampai 3 kali sampai akhirnya berhenti, kembali hening. Aku benar-benar sangat pusing. Kepalaku terasa sangat berat. Aku kembali berbaring. Tatapanku berkunang-kunang dan dunia terasa berputar.
Belum sampai aku merasa lega. Aku kembali dikejutkan dengan suara burung gagak dari arah pemakaman. Karena rumahku dan area makam sama-sama di wilayah yang menanjak dan di tengahnya ada turunan dan dataran, jadi suara dari makam terutama suara burung terdengar sangat jelas.
Bahkan menggema. Aku mencoba mencubit-cubit bagian tubuhku untuk memastikan ini mimpi atau kenyataan. Dan faktanya aku merasakan sakit yang berarti ini merupakan nyata. Pikiranku kacau dan kalut. Kejadian-kejadiannya berjalan begitu cepat dan aku tak mampu memahami maksudnya.
Sampai akhirnya aku ketiduran hingga adzan subuh berkumandang. Aku terbangun dan mendengar suara gaduh orang memotong sayur di talenan. "Ah..Alhamdulillah Ibu sudah bangun.." aku pun bergegas menuju ke dapur dan benar saja ada Ibu sedang menyiapkan bahan-bahan untuk memasak.
"Lho tumben wis tangi nduk?" (Lho tumben sudah bangun nak?) tanya Ibu sambil merajang cabai. "Buk, mau bengi ki Bapak bali jam piro?" (Buk, tadi malam Bapak pulang jam berapa?) tanyaku penasaran. "Jam 11, ngopo kok takok ngono?" (Jam 11, kenapa kok tanya begitu?).
"Hmmm..Buk mau bengi jam 2 isuk ono sing dodok-dodok lawang ngarep loh. Trus njuk dodok jendela kamarku, jarene iku Bapak jalok dibukakne lawang. Yo tak bukakne, pas tak buka raono sopo-sopo, eh malah Bapak nyamperi aku seko jero omah..trus sing ndodok lawang ro jendelaku sopo?"
(Hmmm..Buk tadi malam jam 2 pagi ada yang ngetuk pintu depan loh. Trus ngetuk jendela kamarku, katanya itu Bapak minta dibukain pintu. Ya tak bukain, pas tak buka gak ada siapa-siapa, eh malah Bapak nyamperin aku dari dalam rumah..trus yang ngetuk pintu sama jendelaku siapa?)
"Kowe ki ngimpi paling nduk? Lha wong Bapak yo sare karo Ibuk karo adimu kok. Mangkane ojo sering-sering ngrungokno cerita horror yo..!" (Kamu itu mimpi paling nak? Lah orang Bapak juga tidur bareng Ibu dan adikmu kok. Makanya jangan sering-sering dengerin cerita horror ya..!)
Aku pun sedikit kesal karena tak satupun mempercayai apa yang aku alami. Namun, aku memilih untuk tak berlarut dalam kegelisahan ini. Aku melaksanakan shalat subuh kemudian membantu Ibu memasak. Setelah itu aku mandi dan bersiap-siap berangkat sekolah.
Sambil menunggu Ibu selesai bersiap-siap untuk berangkat bekerja, aku duduk di bangku panjang di teras rumah, aku memperhatikan sekitar rumah, terasa udara segar yang masih berbalut embun dan daun-daunan di kebun yang hijau menyejukkan mata. Kebetulan tetangga depan rumahku,
merupakan orang yang cukup berada, rumahnya gedongan dengan tembok yang tinggi, rumah itu ditinggali oleh 3 orang yaitu Pak Sumar, istrinya Bu Saodah, dan anaknya Robi. Robi ini merupakan anak laki-laki semata wayang mereka yang menderita kelumpuhan sejak lahir.
Robi tidak bisa berjalan, namun anggota tubuh lainnya normal. Saat itu Robi duduk di kelas 5 SD, setiap hari Pak Sumar mengantar jemput Robi. Robi pun satu sekolah denganku. Ketika aku sedang duduk di teras, aku melihat Pak Sumar sedang membopong Robi untuk dinaikkan
di sepeda motor untuk berangkat ke sekolah. Pak Sumar pun sempat menyapaku. "Hei Ngga?! Kok durung mangkat?" (Hei Ngga?! Kok belum berangkat?) sapa Pak Sumar dari seberang jalan rumahku. "Nggih Pak, seg nunggu Ibu dereng rampungan. Sekedap malih." (Iya Pak, lagi nunggu Ibu belum
selesai. Sebentar lagi.) jawabku seraya tersenyum. Pak Sumar terlihat menyalakan motornya, terlihat Robi melempar senyum kepadaku. "Yowes Mas Robi disikan yo Ngga?!" (Yasudah Mas Robi duluan ya Ngga?!) sahut Pak Sumar sembari berlalu mengendarai motornya. "Nggih Pak, atos-atos."
(Ya Pak, hati-hati) jawabku singkat.
Aku megecek ke dalam rumah, "Buuu?? Kok sui tenan to? Aku selak telat ngko!!" (Buuu?? Kok lama banget sih? Aku keburu telat nanti!!) teriakku sambil membuka gorden kamar Ibu. Terlihat Ibu sedang merapikan bantal dan guling adikku yang sedang
tertidur. "Iyo..iyo sek. Iki wedine nek adimu tibo, soal e Mak Jah durung teko-teko iki, wes ayo mangkat.." (Iya..iya sebentar. Takutnya adikmu jatuh, soalnya Mak Jah belum dateng-dateng, udah ayo berangkat..) Ibu keluar dari kamar dan menuju ke belakang rumah menghampiri Bapak
yang sedang memotong rumput, karena hari ini Bapak shift siang jadi belum berangkat kerja. "Pak..titip Langit yo..iku lagi turu, soal e Mak Jah durung teko, paling sediluk neh teko." (Pak..titip Langit ya..itu lagi tidur, soalnya Mak Jah belum dateng, paling sebentar lagi dateng)
pinta Ibu kepada Bapak sambil mencium tangan Bapak. Aku pun turut berpamitan dengan Bapak. Sampai di sekolah aku melewati ruang kelas Mas Robi, karena setelah gerbang masuk merupakan deretan ruang kelas 4 sampai 6. Aku tak sengaja melihat Mas Robi sedang duduk termenung dibangku
nya. Dia kurang ceria, tak seperti biasanya. Aku berlalu bergegas menuju ruang kelasku karena lima menit lagi bel masuk akan berbunyi.
Jam pelajaran telah usai, aku pun pulang bersama teman-temanku. Aku kembali melewati ruang kelas Mas Robi, ku lihat dia masih duduk dibangkunya, yang berarti Pak Sumar belum datang menjemputnya. Tumben, padahal biasanya Pak Sumar tak pernah telat menjemput Mas Robi barang
semenit pun. Aku pun berhenti sejenak di pintu ruang kelasnya, "Mas, durung di petuk?" (Mas, belum di jemput?) tanyaku dengam nada sedikit keras. "Durung Ngga, tumben Bapak durung tekan, koe wis arep bali?" (Belum Ngga, tumben Bapak belum sampai, kamu sudah mau pulang?)
"Iya mas, yowes paling sediluk neh Pak Sumar tekan, aku disikan yo mas, wis ditunggu nang kanca-kanca" (Iya mas, yasudah paling sebentar lagi Pak Sumar sampai, aku duluan ya mas, sudah ditunggu sama teman-teman) sahutku sambil berlalu. "Iyo ati-ati Ngga" (Iya hati-hati Ngga).
Aku pun berjalan menyusuri area persawahan bersama teman-temanku, sambil bercanda dan sesekali bernyanyi riang. Sampai di Pemakaman Mundu, aku melihat segerombol Bapak-bapak berada di salah satu sudut pemakaman sedang menggali tanah. "Sopo sing ninggal?!" (Siapa yang meninggal?!)
batinku. Karena aku tau jika aku bertanya kepada teman-temanku pun pasti tidak ada yang tahu. Kami memilih tidak mencari tahu lebih jauh, dan tetap melanjutkan perjalanan menuju rumah. Saat aku sudah hampir sampai dirumah, aku melihat bendera putih di halaman Pak Sumar.
Disana pun telah ramai orang mengenakan pakaian serba hitam. Aku pun berlari menuju rumah, dan langsung mencari Mak Jah. Ternyata saat aku masuk ke kamar adikku, disana sudah ada Ibu sedang mengganti pakaiannya dengan tergesa. "Nduk, Pak Sumar ninggal."
(Nak, Pak Sumar meninggal) jelas Ibuku singkat. Aku pun sangat terkejut dan setengah tak percaya. "Tenan Buk? Kapan? Kok iso?" (Beneran buk? Kapan? Kok bisa?) tanyaku kaget. "Mau jam 10 isuk. Kecelakaan, sirahe ketabrak tronton. Kowe neng omah wae jagakne adimu, soal e Mak Jah
yo ngewangi neng omahe almarhum." (Tadi jam 10 pagi. Kecelakaan, kepalanya ketabrak truck tronton. Kamh dirumah saja jagain adikmu, soalnya Mak Jah juga bantu-bantu di rumah almarhum) jawab Ibuku sambil bergegas keluar rumah. Aku pun sangat shock mendengar penjelasan Ibu.
Benar-benar tidak percaya, karena baru tadi pagi aku melihat Pak Sumar dalam keadaan baik-baik saja. Lalu aku justru terfikirkan Mas Robi yang masih ada di sekolah, apakah sudah ada yang menjemput atau belum. Aku buru-buru ke teras rumah, ternyata ku lihat Mas Robi
sudah ada di depan rumahnya, sudah menangis begitu kencang. Aku pun merasa lega, karena Mas Robi sudah dijemput. Aku kembali ke kamar adikku, aku berusaha menidurkannya tetapi sepertinya adikku baru saja bangun tidur. Akhirnya mau tidak mau aku harus menjaganya
dan tidak bisa meninggalkannya. Aku merasa sangat gelisah, walaupun aku berada di kamar belakang, aku tetap bisa mendengar suara riuh di rumah Pak Sumar. Sebenarnya aku sangat ingin datang kerumahnya dan melihat langsung keadaannya untuk terakhir kalinya.
Namun sialnya aku harus menjaga adikku, Langit. Sejam kemudian, Mak Jah datang dan langsung melihat keadaan adikku. Tiba-tiba dia menuju ke dapur beberapa saat, lalu kembali ke kamar dengan membawa bawang putih dan kunyit, Mak Jah memasang di baju adikku dengan menggunakan
peniti. Kalau di desaku, katanya jika sedang ada lelayu (orang meninggal) bayi dan anak kecil harus dipagari menggunakan bawang putih dan kunyit agar tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, karena bayi dan anak kecil masih sangat lemah dan rentan.
"Mak, wis arep dikubur to?" (Mak, sudah mau dimakamkan ya?) tanyaku penasaran. "Durung, lagi rampung di dusi. Lagi dikafani trus disholati nembe dikubur." (Belum, baru selesai dimandikan. Lagi dikafani trus disholati baru setelah itu dimakamkan) jawab Mak Jah sambil
menimang Langit. "Mak, aku tak rono sediluk yo aku pengen ndelok je" (Mak, aku tak kesana sebentar ya, aku pengen lihat) pintaku kepada Mak Jah. "Yowes rapopo tapi ojok sui-sui, ra apik ngge cah cilik." (Yasudah gapapa tapi jangan lama-lama, ngga baik buat anak kecil).
Aku pun bergegas menuju rumah Pak Sumar, aku melihat Ibu ada di ruang tamu, dimana disana ada Pak Sumar berbaring di atas meja dan sudah terbungkus kain kafan. Namun, di bagian kepala dan wajah belum diikat. Aku masih bisa melihat wajah Pak Sumar untuk terakhir kalinya.
Wajahnya sudah setengah hancur dan hampir tidak dapat dikenali. Ibu yang melihatku pun menarikku, agar tidak terlalu dekat dengan jenazah Pak Sumar. Tak berapa lama, Pak Sumar pun disholati. Aku melihat Bu Saodah dan Mas Robi masih menangis sesenggukan.
Setelah selesai disholatkan, jenazah Pak Sumar dibawa ke Pemakaman Mundu untuk dikebumikan. Aku dan Ibu tidak ikut ke pemakaman, Ibu mengajakku pulang ke rumah. Sebelum pulang, tak lupa Ibu mencoba sedikit menghibur Bu Saodah dan Mas Robi untuk tetap sabar dan tabah.
Sesampainya dirumah, aku pun langsung bertanya kepada Ibu. "Buk kejadiane piye? Kok iso kecelakaan ketabrak tronton?" (Buk kejadiannya gimana? Kok bisa kecelakaan ketabrak truck tronton?) tanyaku sembari membuntuti Ibu yang berjalan ke kamar.
"Nek seko critane, jare Pak Sumar ki ngebut neng daerah cedak alun-alun kono, ngebut nyalip tronton, eh jebul neng ngarep tronton onok lobang gede bgt njuk Pak Sumar ngindari lobang, trus buri motor e kesenggol lampu ngarep e tronton, oleng to trus awake mlebu ng ngisor tronton,
yo trontone kan ora siap, raiso ngerem mendadak juga to dekne ki." (Kalau dari ceritanya, katanya Pak Sumar itu ngebut di daerah dekat alun-alun sana, ngebut menyalip truck, eh ternyata didepan truck ada lubang besar banget trus Pak Sumar menghindari lubang tersebut,
trus bagian belakang motornya kesenggol lampu depan truck, jadi oleng kan trus tubuhnya masuk ke bawah truck, ya truck nya kan gak siap, dia juga gak bisa ngerem mendadak) jelas Ibu. Mak Jah pun tampak turut memperhatikan penjelasan Ibu dengan seksama.
"YaAllah Buk, padahal lagi mau isuk aku ndelok Pak Sumar sumringah sempet ngobrol juga pas dekne arep jujug Mas Robi." (YaAllah Buk, padahal baru tadi pagi aku melihat Pak Sumar sumringah sempat ngobrol juga pas dia mau nganterin Mas Robi) terangku kepada Ibu.
"Yo ngono kui nduk, awakdewe ra ngerti kapan kematian menghampiri, mulakno tetep siapno bekal di ngge sangu mati di ngge sangu ning akhirat." (Ya begitulah nak, kita tidak tahu kapan kematian menghampiri, makanya tetap siapkan bekal buat bekal mati buat bekal di akhirat).
jawab Ibu sambil mengelus kepalaku.
"Pantesan wae Buk, kit wingi ki manuk kedasih e muni-muni wae neng wit pete kulon umah kui." (Pantesan saja Buk, dari kemarin burung kedasihnya bunyi-bunyi terus di pohon petai sebelah barat rumah) kataku seraya menunjuk ke arah jendela.
"Yo jare wongtuo sih iku pertanda arep ono sing ninggal. Tapi kabeh mau yo balik maneh ning takdir e Gusti Allah, awakdewe raiso ndisiti kerso. Tapi wong jowo ki senengane niteni, ndelalah kedadian." (Ya kata orangtua sih itu pertanda akan ada yang meningggal.
Tapi semua itu ya balik lagi ke takdirnya Allah, kita gakbisa mendahului takdir. Tapi orang jawa itu sukanya mengamati, kebetulan ya kejadian) jawab Ibu sambil tersenyum.

***
Cerita Manuk Kedasih bagian pertama selesai.

Akan berlanjut ke cerita bagian kedua - yaitu arwah Pak Sumar yang konon katanya bergentayangan mengganggu warga desa.

***
@bacahorror
#bacahorror
#threadhorror
Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh.

Enjoying this thread?

Keep Current with Sekala Niskala

Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

Twitter may remove this content at anytime, convert it as a PDF, save and print for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video

1) Follow Thread Reader App on Twitter so you can easily mention us!

2) Go to a Twitter thread (series of Tweets by the same owner) and mention us with a keyword "unroll" @threadreaderapp unroll

You can practice here first or read more on our help page!

Follow Us on Twitter!

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just three indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3.00/month or $30.00/year) and get exclusive features!

Become Premium

Too expensive? Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal Become our Patreon

Thank you for your support!