My Authors
Read all threads
Selamat pagi dan selamat akhir pekan, wanwakan.

Salah satu tugas ilmu adalah menghilangkan "prejudice" dan asumsi2 yg keliru di tengah2 masyarakat, serta membawa publik kepada pemahaman yg berimbang dan "less prejudiced".

Inilah yg mau saya bahas pagi ini. Sambil ngopi.
Jika ilmu justru melanggengkan prasangka yg penuh dg tendensi dan bias kebencian terhadap hal2 atau kelompok2 tertentu, maka itu jelas berbahaya. Ini bukan ilmu yg bermanfaat, tetapi ilmu yg destruktif.

Makin maju perdaban, mestiya makin maju pula perkembangan ilmu.
Dalam setiap masyarakat, selalu saja ada asumsi, anggapan, prasangka, bias, pandangan tertentu yg "keliru", "merendahkan", "rada ngenyek" kelompok lain.

Ini terjadi di semua kasus. Prejudice is a normal fact of life. Normal, but not to be given any legitimacy.
Dalam banyak kasus, yg sering menjadi sasaran prasangka buruk dan "merendahkan" seperti ini adalah kaum minoritas. Merekalah yg selalu menjadi sasaran empuh dari setiap prasangka.

Prasangka mula2 ada di pikiran, tetapi kemudian "menetes" secara empirik menjadi tindakan.
Yang menarik, yg menjadi korban dari dan pelaku prasangka ini bukan saja kalangan awam. Kalangan ilmiah, dunia kampus, dunia akademis kadang2 jg ikut membiakkan, merawat, dan menyebarkan prasangka2 popouler.

Tetapi, keunggulan dunia akademis adalah: mereka punya self-criticism.
Kadang2, prasangka buruk tentang kelompok minoritas justru berasal atau malah diperkuat karena tafsiran keagamaan, sehingga memiliki "legitimasi teologis".

Ini sangat berbahaya. Kadang, atau malah kerap agama dijadikan alasan untuk memperkuat "popular prejudice".
Tugas ilmu, kalangan akademis di manapun adalah melawan dan mengkal prasangka2 populer semacam ini di kalangan masyarakat.

Dari dunia ilmiah kita berharap agar prasangka2 populer yg keliru tentang kelompok lain terus dikaji secara kritis dan dikoreksi.

Memang resikonya berat.
Kalangan ilmiah bisa "berhadapan" dengan publik dan dimusuhi, termasuk oleh "political establishment", karena melakukan koreksi atas prasangka2 populer yg bersifat mendiskriminasi kelompok lain, terutama kelompok minoritas.

Resiko berhadapan dan dimusuhi ini, jelas berat.
Karena kondisi di setiap negara berbeda2, maka tugas kaum akademis juga berbeda dari satu konteks ke konteks yg lain. Kelompok yg merupakan mayoritas di sebuah negara bisa menjadi minoritas di negeri lain.

Pelaku prasangka dan diskriminasi, karena itu, juga berbeda2.
Saya ingin menyebut tugas kalangan akademis untuk melawan prasangka2 tendensius dalam masyarakat ini sebagai "tugas profetik", tugas kenabian yg mulia. Ini bukan tugas yg sepele. Jika sukses menjalankannya, dunia akademis telah menjalankan misi yg agung.

Jika gagal, berbahaya.
Saya akan berikan contoh kecil ttg bagaimana tugas profetik ini dijalankan oleh kalangan akademis. Contoh ini saya ambil dari dunia Barat, terutama Eropa dan Amerika.

Saya akan berikan contoh bagaimana kalangan akademis di sana "memandang" Islam dan Muslim.
Kajian ttg Islam di dunia Barat sudah berlangsung sejak lama sekali. Salah satu tonggak pertama dalam studi Islam di sana adalah munculnya terjemahan Qur'an dalam bahasa Latin. Ini terjadi pada tahun 1143.

Artinya, tak lama setelah Imam Ghazali pengarang Ihya' itu meninggal.
Yg menarik, terjemahan Qur'an dalam bahasa Latin yg pertama itu terbit dg judul yang amat "merendahkan". Judulnya: Lex Mahumet pseudoprophete (Hukum Muhammad sang nabi palsu).

Terjemahan ini dikerjakan oleh Robertus Ketenensis, atas restu Peter the Venerable, Abbot of Cluny.
Setelah terbitnya terjemahan Qur'an yg pertama itu, kajian Islam terus berkembang di dunia Barat, dan masih dalam semangat "ingin menunjukkan kesalahan Islam".

Ini bisa dimaklumi krn semua pelaku kajian Islam di era awal ini ini kebanyakan adalah kaum gereja.
Perubahan terjadi pelan2 setelah era Pencerahan di Barat pada abad ke-17 dan 18. Semangat pencerahan mendorong para intelektual dan sarjana di Eropa untuk melakukan studi atas kebudayaan lain dg cara yg lebih obyektif.

Tidak lagi untuk menjukkan superioritas budaya sendiri.
Salah satu "turning point" dalam kajian Barat mengenai Islam adalah terbitnya buku seorang orientalis Perancis, Ernest Renan, berjudul: "Averroës et l'Averroïsme" yg terbit pada 1852, kira2 dua puluh tahun setelah Perang Diponegoro di Jawa.

Buku ini punya peran penting.
Kenapa buku Renan ini penting? Karena berperan untuk mengubah citra mengenai Islam yg buruk di kalangan pengkaji Islam yg semula kebanyakan adalah kalangan gereja itu.

Buku ini menunjukkan bhw Islam bukan agama yg anti rasio dan akal.
Salah satu citra ttg Islam yg dominan di Eropa pertengahan adalah bhw Islam adalah agama Muhammad yg hanya berpusat pada hukum (syariat) yg keras, semacam reinkarnasi dari tradisi Yahudi yg jg sangat legalistik.

Tak ada diskursus rasional dlm ajaran Islam. Islam hanya hukum.
Citra ini yg pelan2 diubah oleh bukunya Ernest Renan itu. Bukunya Renan membahas soal Ibn Rushd, seorang filsuf Muslim kelahirab Andalusia (Spanyol) yg hidup di abad ke-12. Di kalangan Eropa Latin ia dikenal sebagai: Averroes.

Ajaran2 dan filsafat Averroes dibahas oleh Renan.
Buku Renan juga membahas soal pengaruh gagasan2 Ibn Rushd alias Averroes di Eropa Latin pada abad pertengahan pra-Pencerahan.

Semangat utama filsafat Ibn Rushd adalah: tak ada pertentangan antara agama dan filsafat. Ini mengoreksi citra ttg Islam di Eropa pada zaman itu.
Begitulah, kajian Islam terus berkembang di dunia Barat. Semula kajian Islam dikerjakan di Eropa dg tujuan untuk "menunjukkan kekeliruan Islam" dan untuk memperlihatkan bhw Muhammad adalah "impostor", nabi palsu.

Tetapi pelan2 kajian itu berkembang ke arah yg lebih objektif.
Sekarang ini, kajian Islam di Barat justru makin simpatik pada pandangan kaum Muslim. Salah satu "turning point" penting dlm kajian Islam di sana adalah Wilfred Cantwell Smith, gurunya Prof. Mukti Ali, mantan Menag di era Orde Baru dulu.

Smith membawa banyak perubahan penting.
Salah satu warisan intelektual penting Smith yg masih dikenang hingga sekarang adalah kaidah berikut ini:

Apapun yg dikatakan oleh pengkaji Islam (atau agama apapun) yg biasanya berasal dari "pihak luar" itu, tak akan valid jika tidak di-amin"-i oleh pihak Islam sendiri.
Makna kaidah Smith itu adalah: Jika ada sarjana Barat mengkaji Islam, dan memproduksi "observasi" apapun ttg Islam, maka amatan dia itu tak akan valid jika tidak dikonfirmasi oleh kaum Muslim.

Konfirmasi dari "pihak pribumi" (sori menggunakan istilah ini!) diperlukan.
Kaidah Smith ini punya efek yg luar biasa bagi kajian Islam di Barat. Kaidah ini mendorong sarjana2 Barat yg hendak mengkaji Islam u/ memakai secara sungguh2 sumber2 sejarah yg berasal dari Islam sendiri, termasuk pandangan pihak Muslim.

Tentu saja ada yg mengkritik kaidah ini.
Perubahan besar terjadi dalam tahun2 terakhir ini terkait dg kajian Islam di Barat. Kalangan akademis di sana makin simpatik pada Islam. Gambaran ttg orientalisme di Barat tidak statik spt dimiliki oleh sebagian kalangan Muslim.

Orientalisme di Barat berkembang terus.
Sekarang ini kita mengenal penulis2 populer ttg Islam di Barat yg sangat simpatik pada Islam, seperti Karen Armstrong, penulis asal Inggria. Buku2nya ttg Islam dan agama selalu laris manis.

Lahirnya penulis spt Armstrong itu jelas terkait dg perubahan2 di dunia akademis.
Pihak sarjana Barat yg mengkaji Islam ini sekarang justru menjadi "teman" bagi dunia Muslim untuk menghadapi Islamophobia di sana.

Yg membela Islam di sana sekarang adalah ya sarjana2 Barat non-Muslim itu. Salah satunya, selain Armstrong, adalah John L. Esposito.
Salah satu sarjana Islam lain yg kerap menjadi Islam di Barat melawan "prasangka buruk" terhadap Muslim adalah Prof. Robert W. Hefner yg mengajar di Boston University. Riset dia adalah tentang Islam di Indonesia.
Kajian ttg Islam di Barat ini saya pakai sbg contoh kasus ttg dunia akademis yg selalu mengkritik diri sehingga mengoreksi asumsi2 dan prasangka2nya sendiri, sehingga lama2 kian objektif.

Demikianlah seharusnya dunia akademis dan sarjana memerankan diri.
Sekali lagi, tugas kaum sarjana adalah mengoreksi prasangka2 populer yg berkembang di masyarakat, yg cenderung merendahkan kelompok lain.

Bukan malah ikut2an memperkuat, apalagi menyebarkan prasangka2 seperti itu. Sbb prasangka adalah asal-mula diskriminasi.
Di Indonesia, kita menjumpai banyak prasangka2 negatif yg berujung pada diskriminasi terhadap berbagai kelompok, terutama kelompok minoritas -- minoritas apa saja.

Prasangka ttg Ahmadiyah, Syiah, salafi, Wahabi, Cina, Madura, Papua, dll. Semua prasangka2 spt ini berbahaya.
Yg biasanya cenderung mengeksploitasi prasangka2 semacam ini adalah para politisi (saya tidak menggeneralisasi; ada jg banyak politisi yg baik).

Dalam banyak kasus di seluruh dunia, kaum politisi kerap mengeksploitasi prasangka2 populer untuk meraih keuntungan politik.
Tugas kaum akademis dan sarjana di kampus adalah mengoreksi prasangka2 populer ini, dan mengkritik kecenderungan eksploitasi atas prasangka ini oleh kaum politisi.

Ini adalah tugas profetik yg amat mulia.
Sebagai tambahan: dalam situasi krisis (seperti wabah corona), biasanya muncul gejala mencari "kambing hitam" dan prasangka2 populer itu sering juga dipakai untuk tujuan ini. Ini jelas sangat berbahaya.

Sentimen anti-imigran di Itali, misalnya, kain kuat gara2 wabah corona skg.
Sekian.
Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh.

Enjoying this thread?

Keep Current with Ulil Abshar-Abdalla

Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

Twitter may remove this content at anytime, convert it as a PDF, save and print for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video

1) Follow Thread Reader App on Twitter so you can easily mention us!

2) Go to a Twitter thread (series of Tweets by the same owner) and mention us with a keyword "unroll" @threadreaderapp unroll

You can practice here first or read more on our help page!

Follow Us on Twitter!

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just three indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3.00/month or $30.00/year) and get exclusive features!

Become Premium

Too expensive? Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal Become our Patreon

Thank you for your support!