Salah satu tugas ilmu adalah menghilangkan "prejudice" dan asumsi2 yg keliru di tengah2 masyarakat, serta membawa publik kepada pemahaman yg berimbang dan "less prejudiced".
Inilah yg mau saya bahas pagi ini. Sambil ngopi.
Makin maju perdaban, mestiya makin maju pula perkembangan ilmu.
Ini terjadi di semua kasus. Prejudice is a normal fact of life. Normal, but not to be given any legitimacy.
Prasangka mula2 ada di pikiran, tetapi kemudian "menetes" secara empirik menjadi tindakan.
Tetapi, keunggulan dunia akademis adalah: mereka punya self-criticism.
Ini sangat berbahaya. Kadang, atau malah kerap agama dijadikan alasan untuk memperkuat "popular prejudice".
Dari dunia ilmiah kita berharap agar prasangka2 populer yg keliru tentang kelompok lain terus dikaji secara kritis dan dikoreksi.
Memang resikonya berat.
Resiko berhadapan dan dimusuhi ini, jelas berat.
Pelaku prasangka dan diskriminasi, karena itu, juga berbeda2.
Jika gagal, berbahaya.
Saya akan berikan contoh bagaimana kalangan akademis di sana "memandang" Islam dan Muslim.
Artinya, tak lama setelah Imam Ghazali pengarang Ihya' itu meninggal.
Terjemahan ini dikerjakan oleh Robertus Ketenensis, atas restu Peter the Venerable, Abbot of Cluny.
Ini bisa dimaklumi krn semua pelaku kajian Islam di era awal ini ini kebanyakan adalah kaum gereja.
Tidak lagi untuk menjukkan superioritas budaya sendiri.
Buku ini punya peran penting.
Buku ini menunjukkan bhw Islam bukan agama yg anti rasio dan akal.
Tak ada diskursus rasional dlm ajaran Islam. Islam hanya hukum.
Ajaran2 dan filsafat Averroes dibahas oleh Renan.
Semangat utama filsafat Ibn Rushd adalah: tak ada pertentangan antara agama dan filsafat. Ini mengoreksi citra ttg Islam di Eropa pada zaman itu.
Tetapi pelan2 kajian itu berkembang ke arah yg lebih objektif.
Apapun yg dikatakan oleh pengkaji Islam (atau agama apapun) yg biasanya berasal dari "pihak luar" itu, tak akan valid jika tidak di-amin"-i oleh pihak Islam sendiri.
Konfirmasi dari "pihak pribumi" (sori menggunakan istilah ini!) diperlukan.
Tentu saja ada yg mengkritik kaidah ini.
Orientalisme di Barat berkembang terus.
Lahirnya penulis spt Armstrong itu jelas terkait dg perubahan2 di dunia akademis.
Yg membela Islam di sana sekarang adalah ya sarjana2 Barat non-Muslim itu. Salah satunya, selain Armstrong, adalah John L. Esposito.
Demikianlah seharusnya dunia akademis dan sarjana memerankan diri.
Bukan malah ikut2an memperkuat, apalagi menyebarkan prasangka2 seperti itu. Sbb prasangka adalah asal-mula diskriminasi.
Prasangka ttg Ahmadiyah, Syiah, salafi, Wahabi, Cina, Madura, Papua, dll. Semua prasangka2 spt ini berbahaya.
Dalam banyak kasus di seluruh dunia, kaum politisi kerap mengeksploitasi prasangka2 populer untuk meraih keuntungan politik.
Ini adalah tugas profetik yg amat mulia.
Sentimen anti-imigran di Itali, misalnya, kain kuat gara2 wabah corona skg.