Kawan" seusianya menyisir rambut, menutup ritsluiting rok, dan memakai kerudung dibantu ibundanya.
Teman" seumurnya menyiapkan buku pelajaran dan merampungkan PR didampingi kakak/ortunya.
Mungkin ia juga 😊.
Kebahagiaan teman"nya lepas saat berlarian dengan sebaya.
Mata rekan"nya membulat saat menyaksikan bungkusan" snack kering di kantin sekolah.
Mestinya ia juga 😊.
Si kecil ada di fase perkembangan berpikir operasional-konkrit, masih taraf mampu memahami hal-hal riil di depan matanya dan yang ada di lingkup realitas kesehariannya.
Tak sekedar konkrit.
Tak sekedar operasional.
Sepintar-pintarnya anak, ia belum paham dinamika pernikahan.
Pada kasus ini, menikahi anak tak jauh dari memanfaatkan keluguan anak untuk kepentingan pribadi.
This is unfair.
Sayangnya si gadis tadi terkunci pada sebuah dimensi. Ia tak boleh "mengembara", bereksplorasi dengan pikiran dan perasaannya seperti kawan lain.
Dari awal, relasi kuasa timpang mengintip untuk eksis.
Adakah yang menjamin?
Lagi-lagi bargaining position yang tak seimbang.
Juga risiko pengasuhan dan psikologi anak jika kelak melahirkan dan mesti merawat anak di masa mudanya.
Apapun pertimbangan mereka, sekompleks apapun, sangat disayangkan.
Sungguh bukan keputusan bijak.
Netizen bisa menakar ketelanjangannya.
Mohon maaf saya jika saya tak sanggup menghormati dia.
Saya berduka, saya sungguh berduka.
🙏😔
@poldajateng_ @poldajateng
Semua orang sama di mata hukum.
Anak adalah anak, bukan miniatur orang dewasa.
Mereka berhak atas ruang lapang untuk tumbuh wajar.
Mencuri hak mereka adalah sebuah kejahatan.
🙏🌹