Semenjak ewinghade menyerang, gue selalu panggil mba kun itu dengan nama mba dini.
@bacahorror #bacahorror #threadhoror
"Gatau dah, kayaknya sih gara-gara gue bengong pas magrib."
"Yang lo rasain apa?"
"Gak inget apa-apa, ingetnya waktu kebangun udah rame aja disini."
"Ya sebenarnya sih udah ga kaget kaya gitu, cuma gue aja bingung kenapa gue sampai pingsan sore tadi."
"Kayaknya sih gara-gara gue niat ga magriban tadi, hehe."
"Dia mba dini ya?" Tanya gue.
Dia nunjukkin ekpresi kaget, "Lo bisa juga?"
Gue yang mengerti maksudnya langsung menampik hal itu, "Kagak kok, gue bukan indihom."
"Gue udah kenalan sama dia kok, udah lama malah, namanya tuh mba ****." Tapi ya kita panggil dia mba dini aja ya hehe.
Asep lalu menunjukan sebuah foto di hapenya. Ya, bentuknya memang seperti kuntilanak, mirip bet mirip.
Dia masih bercerita, "Gue aja udah tahu asal usul dia, bagaimana dia bisa mati dan kenapa berdiam diri di....."
Lagi-lagi dia terkejut, kemudian mengangguk, "Iya."
"Lo kayaknya udah tau ya, Nan?"
"Kalo soal bagaimana dia mati sih belom." Ujar gue sambil nyengir. Tapi soal mba dini dan pohonnya, gue udah tau.
Gue rada lupa tentang kasus ini, tapi intinya dibunuh sama pacarnya.
Tapi kalo ga salah sih gara-gara hamil atau gimana dah, lupa gue tuh. Ehehe.
"Itu dia yang disebelah lo?" Gue menunjuk objek yang tak kasat mata disebelah Asep.
Asep menoleh sekilas, tersenyum kemudian mengalihkan pandangannya kembali lalu mengangguk.
Dia mengangguk, "Tapi gatau dah, kalo lo gak ngasih tau, gue juga gabakal ngerti kalo dia dateng, ya walau hawanya rada berubah sih tadi."
"Tapi kayaknya sih iya." Lanjutnya.
Walau dia tidak terlalu suka dengan cerita horor.
"Perasaan tadi gue taruh disini deh." Ucap gue pada asep dan udin.
Gue melakukan apa yang diperintahkan oleh asep, namun hasilnya nihil.
"Coba telpon si Bagas, kali aja ketinggalan di dalem." Usul Udin kemudian. Bagas itu pemilik fotokopi dan sebelumnya gue memang masuk ke rukonya.
Alhamdulillahnya bagas ngangkat telpon, lalu gue menyuruhnya untuk keluar sebentar. Tak begitu lama dia membuka folding gatenya.
"Emang lo taro mana?" Tanya Bagas.
"Apa dijahilin ya sama mba dini?" Gue menerka kejadian itu.
"Gatau dah." Jawab si asep.
Kemudian gue mengingat-ingat kembali, apakah gue lupa naroh kuncinya.
"Gue tau kuncinya dimana, dibawah pohon mangga."
Asep menyahut, "Iya gue juga dilihatinnya begitu."
"Beneran kita diusilin ini mah." Gue membuka suara.
Asep mengangguk. Tapi Udin dan Bagas hanya terheran-heran melihat kami berdua.
Tapi apakah mungkin kunci itu ada di bawah pohon?
Gue membuka pintu folding gate itu perlahan, lalu memasuki ruangan diikuti oleh asep, udin dan bagas.
"Lo aja, Sep."
Gue mendorong tubuhnya agar ke depan, namun dia mengelak.
"Enggak dah, Nan." Ucapnya.
Sial, batin gue.
"Tapi jangan pada ninggalin ya."
Mereka bertiga mengiyakan.
"Ini mah di luar nalar." Batin gue.
"Yaudah balik yuk, udah ga nyaman gue." Ucap gue .
"Lo mau nginep di rumah gue apa disini?" Tawar gue ke Asep.
"Lagian seringkan begini, walau gue juga ngerasa takut, haha." Lanjut si Asep.
Akhirnya gue dan udin balik, untungnya sehabis itu ga ada yang membututi kami.
Gue mengangguk.
Asep senyum, "Mereka gak betah karena di gangguin juga. Gue aja baru 5 bulan tapi udah paling lama." Kata si Asep.
Salam, Nan.