, 174 tweets, 22 min read
My Authors
Read all threads
Hai saya Banana. Ini adalah thread lanjutan cerita ke-3 dari "Teror Tukang Santet" Part 1 & 2.
Buat kalian yang belum membaca Part 1 & 2. Silahkan kunjungi profil saya. Cek tab 'LIKES', di sana sudah saya tandai sub judul dari masing2 Thread Horror yang lain, untuk memudahkan warga twitter mencarinya.
Saya ucapkan terima Kasih banyak buat follower tercinta yang sudah setia membaca thread-thread saya sebelumnya.

Happy reading 📖.
(Based on True Story)
.
.
"TEROR TUKANG SANTET 3"
.
A Thread.
.
Apa kalian pikir teror ini akan benar-benar berakhir?

@bacahorror #bacahorror
@bacahorror ***
KARMA

Ustadz Malik memegang segelas air putih yang sebelumnya dilafalkan doa-doa. Lalu sedikit demi sedikit air itu dicipratkan ke wajah Pak Hamid, suami Mak Saroh. Seluruh orang di ruangan itu kaget bukan main melihat reaksi Pak Hamid usai-
mendapat cipratan air dari ustadz Malik. Tangannya langsung menepis gelas yang dipegang sang ustadz, hingga terpental kearah tembok. Gelas yang terbentur berhasil menciptakan puing-puing kaca yang tajam di sekitarnya. Pak Hamid berubah ekspresi yang tadinya kosong menjadi sangar.
Matanya melotot sempurna, bibirnya menyeringai bahkan terdengar suara gemeletuk gigi yang ditekan secara berlebihan hingga membuat ngilu ditelinga. Deru nafasnya makin kencang seperti orang yang menahan amarah.
Pak Hamid mundur beberapa langkah hingga menyender tembok seolah ingin mengambil ancang-ancang.
“Astaghfirullah..”

Tiba-tiba saja meloncat menerkam pria dihadapannya. Ust Malik yang sedikit lengah kini ambruk di lantai bersamaan dengan Pak Hamid yang menindih tubuhnya.
“Grrrr… grrrr..”

Pak Hamid mencengkeram kuat-kuat leher ustadz Malik kala itu. Ustadz Malik tampak menahan cengkraman itu sambil melafalkan doa-doa. Semua orang yang panik melihat kejadian itu segera memegangi Pak Hamid. Dua orang pria berusaha sekuat tenaga menarik tubuhnya,
namun tak membuahkan hasil. Lelaki berusia 45 tahun itu masih kokoh mencekik. Tak lama kemudian Damar menghampiri, telapak tangan kirinya menyentuh kepala Pak Hamid tepat dibagian dahi sedang tangan kanannya mencengkram leher belakang.
Pak Hamid berteriak-teriak, merontak hingga cekikannya mulai melemah. Pada saat itulah Damar mengintruksikan dua orang yang memeganginya untuk segera menariknya kebelakang.

“Bapak-bapak tolong bantu kami, pegang tangan dan kakinya.” Teriak Damar pada beberapa orang yang berada-
di dalam ruangan, karena dirasa kewalahan menahan tenaga pak Hamid yang luar biasa. Ust Malik kembali berdiri setelah mengatur nafasnya sambil memegang lehernya yang masih masih sakit. Ia pun menghampiri kerumunan orang yang masih berusaha memegangi Pak Hamid.
“Gimana Mar?”

“Susah. Bandel ini.” Jawab Damar sambil terus menekan dahi Pak Hamid.
Ust Malik kembali melafalkan doa, kemudian menempelkan telapak tangannya di perut Pak Hamid. Dengan gerakan sedikit menekan, Ust Malik mengarahkan telapak tangannya dari perut hingga ke mulut, lalu menarik ambang sesuatu yang tak kasat mata dari sana. Pak Hamid berteriak lalu-
tersedak akan sesuatu. Tak lama kemudian ia memuntahkan darah berwarna merah pekat. Bersamaan dengan itu semua mata melihat sesuatu yang mengerikan. Diantara muntahan darah itu terdapat beberapa paku tajam berkarat berserakan.
Pak Hamid jatuh tergeletak, disaat yang sama Mak Saroh terlihat menangis dan langsung pingsan melihat kondisi suaminya. Ust Malik saling beradu pandang dengan Damar. Ini adalah kasus kelima yang ia tangani dalam dua minggu terakhir.
Beberapa hari setelahnya, ust Malik tampak berjalan beriringan bersama Nuri dan Nilam untuk mengantarkannya pulang usai mengaji. Jalanan desa yang terlihat sejuk di pagi hari dengan pohon-pohon rindangnya, memang cukup menyeramkan di malam hari. Salah satu alasan mengapa-
Ust Malik harus mengantarkan pulang semua anak didiknya seusai ngaji. Dan malam itu sedikit berbeda, terdengar suara gemuruh ketika daun dan dahan saling bergesekan padahal tidak ada angin. Tiba-tiba telinga mereka menangkap suara krasak krusuk di antara semak-semak.
Membuat ketiganya menghentikan langkah. Tidak terlihat jelas. Samar-samar ketiganya menangkap sepasang mata menyala di tengah jalan. Namun mata itu posisinya berada dibawah, seperti sedang berjongkok.
Nilam dan Nuri spontan bersembunyi dibalik tubuh tinggi Ust Malik. Ust Malik pun berjongkok dan mengambil tiga buah batu disekitarnya. Itu adalah seekor anjing. Tubuhnya seukuran anjing normal, berbulu hitam, mata kuning kehijauan menyala, dan menjulurkan lidah.
Seketika Nilam dan Nuri merinding luar biasa. Ust Malik mulai melempari batu ke arahnya untuk mengusirnya. Namun anjing hitam itu berhasil menghindar. Hewan itu masih menatap intens ketiganya. Ust Malik mulai mengerti itu bukan anjing biasa.
Kini mata anjing itu terlihat menyipit, terdengar suara menggeram dan mulai menunjukkan gigi runcingnya seperti hendak menerkam. Si anjing menggonggong keras kearah mereka, membahama, dan menimbulkan gema. Ust Malik masih bergeming dan tetap berdiri kokoh disana.
Sambil melafalkan doa-doa lalu melemparkan batu kedua. Anjing itu kembali menghindar namun terlihat makin marah. Hingga lemparan ketiga berhasil tepat mengenai perutnya. Membuat si anjing jatuh dan mengaing pilu. Saat kembali berdiri, anjing hitam itu mundur perlahan-
dengan suara menggeram seolah memperingatkan. Hingga akhirnya makhluk itu berbalik dan berlari, menghilang meninggalkan mereka bertiga di kegelapan.

“Ustadz nggak apa-apa?” Tanya keduanya khawatir.
“Saya tidak apa-apa.”
“Ustadz, itu bukan anjing biasa.” ucap Nilam.

“Iya saya tahu.”

“Itu anjing kiriman. Dan dia memberi peringatan…”

Ust Malik menautkan kedua alis hitamnya. “Peringatan apa?”
“Anjing itu ingin saya menyampaikan pesan pada ustadz Malik. Katanya… Jangan ikut campur! Ini waktunya kami makan!”

Ustadz Malik menghela nafas panjang. Sepertinya ia mulai paham apa maksud dari rentetan musibah yang menimpa warga desa akhir-akhir ini
Suasana desa sangat hening, sama seperti halnya malam-malam yang lalu. Lolongan anjing liar dan hewan-hewan malam mendominasi keheningan. Damar menyesap sedikit demi sedikit kopi hitam yang masih mengepul dari sebuah lepek.
Meletakkannya. Lalu kembali menghisap rokok secara perlahan. Ujung mata tajamnya melirik ust Malik yang sedang memandang dingin pekatnya malam di depan rumah.

"Pantas saja akhir-akhir ini banyak warga yang kesurupan, jatuh sakit secara tiba-tiba, hingga meninggal dunia.
Awalnya aku menduga karena mereka sempat bersinggungan dengan mbah Darso. Tapi kenapa sesering ini? dan ternyata ..."

Ust Malik tersenyum sinis sambil menggelengkan kepala.

"Kamu tau kan Lik. Orang 'itu' punya banyak perewangan dan peliharaan.
Kamu pikir makhluk-makhluk itu tak membutuhkan imbalan?"

Damar kembali menghisap rokoknya yang batangnya tinggal setengah. Matanya menerawang.
"Mungkin benar. Dia membalas perlakuan orang-orang yang sudah membuatnya kesal. Tapi dilain alasan, bisa dibilang mereka dijadikan tumbal secara tak langsung. Agar makhluk-makhluk itu tetap mau membantunya."

"Iya. Aku mengerti maksudmu Mar."
"Khadamku bilang bulan ini memang waktunya perayaan. Aku tak mengerti, kenapa orang tua itu tak juga berhenti. Umurnya semakin tua, tapi malah semakin masuk ke lembah hitam. Peliharaannya pun semakin banyak."
"Karena itu, kita harus membantu warga desa dan menolong sebisa mungkin. Jangan biarkan iblis-iblis itu menang." ucap Ust Malik berapi-api.

"Ntah lah Lik. Sama sepertimu. Aku pun ingin membantu warga sebanyak mungkin. Hanya saja, orang itu masih sangat kuat meski sudah tua.
Yang ku takutkan, ia berbalik menyerang. Tak mudah untuk melawannya.. "

"Aku tahu Mar. Dan aku tidak takut. Inshaa Allah, Allah yang akan melindungi."
"Bukan itu .... maksudku... Ahh sudah lupakan saja."

Damar mengurungkan niatnya untuk meneruskan pembicaraan. Sebenarnya, ada sesuatu yang lebih mengganjal hati. Tentang mimpi yang terus menghantuinya selama beberapa malam ini.
-To Be Continue-
Lanjut besok lagi ya 😎.
Dan benar saja, serangan ghaib yang dialami penduduk desa ‘Tandur Timur’ kian menjadi. Hingga ust Malik, Damar, dan beberapa orang yang memiliki kemampuan disibukkan kesana kemari menolong warga yang terkena serangan dari perewangan mbah Darso. Hal ini membuat Ust Malik-
sering meninggalkan anak istrinya selama beberapa hari. Yang tanpa disadari, malah membuat keluarganya sendiri berada dalam bahaya. Pagi itu Kinanti menuangkan air teh di gelas yang kemudian ditujukan kepada suaminya.
“Kamu sakit dik?” Tanya ust Malik sembari menyambut segelas teh panas buatan sang istri. Kinanti tersenyum dan menggeleng pelan.

“Kamu yakin?” Tanyanya lagi. Ust Malik tampak khawatir melihat wajah Kinanti yang sedikit pucat.
“Iya mas. Aku tidak apa-apa. Mungkin cuma kelelahan.”

“Ya sudah. Jangan terlalu capek-capek. Hari ini banyak istirahat saja ya di rumah.”
Ustadz Malik mengelus lembut lengan istrinya yang kemudian dibalas anggukan.
Malam pun datang namun tetap hening sama seperti sebelumnya. Di tengah keheningan, sayup-sayup ust Malik mendengar suara isak tangis didekatnya. Pelan ia membuka kelopak mata, memastikan apa yang didengar bukan mimpi semata. Matanya pun menjelajah isi kamar meski-
pencahayaannya terbatas lampu minyak berwarna senja. Tangisan itu lirih namun terdengar cukup jelas. Bola mata berwarna hitam itu tampak menyipit, tatkala menangkap sesosok wanita berambut ikal duduk setengah membungkuk di ujung ranjang.

“Kinanti?”
Ust Malik beranjak dari posisi tidurnya dan menghampiri istrinya.

“Dik kamu kenapa?” Tanyanya pelan seraya memeluk kedua lengan Kinanti.
Kinanti masih menangis setengah menunduk.

“Dik?” Merasa ada yang janggal, ust Malik pun melafalkan doa-doa lalu meniupkannya ke kedua-
telapak tangannya. Setelah itu, diusapkan telapak tangan kanannya ke wajah Kinanti. Kinanti terhenyak beberapa saat, lalu menoleh kearah ust Malik.

“Mas?”
“Alhamdulillah kamu sudah sadar.”
“Aku kenapa ya mas?” Tanya Kinanti sesenggukan.
“Kamu nangis.”
Kinanti baru sadar dan mengusap pipinya yang terasa basah.

“Astaghfirullahal’adziim.” Sebut Kinanti.

“Nggak apa-apa dik. Kayaknya cuma ketempelan. Yuk kita tidur lagi, jangan lupa baca-baca doa.”
Kinanti yang bingung menurut saja apa kata sang suami.
Namun hal itu tak hanya terjadi malam itu. Selama seminggu, ust Malik selalu memergoki Kinanti menangis meringkuk di sudut ranjang tiap tengah malam.

Ust Malik yang cukup berpengalaman dalam hal ini, mulai merukiyah istrinya. Seusai di rukiyah beberapa kali, akhirnya-
Kinanti berhenti menangis di malam hari. Namun itu hanyalah awal. Tiba-tiba Kinanti berubah menjadi seorang yang pendiam & sering melamun. Takut kalau-kalau istrinya akan diganggu lagi, Ust Malik berusaha menyenangkan hati sang istri. Mencegah agar pikirannya tak jadi kosong.
"Apa kamu ada masalah dik? Kalau ada ceritakan saja sama mas. Dua kepala lebih baik daripada satu." Tanya ust Malik meyakinkan.

Kinanti tampak linglung "Apa mas? Memangnya kita ada masalah?"
"Bukan. Mas yang tanya, apa kamu sedang ada masalah? Kalau ada, ceritakan saja sama mas. Agar beban itu lebih ringan."

"Ohh itu. Aku ...."
Kinanti terdiam sejenak, lalu kembali tak fokus.

"Ya dik?" tanya ust Malik sekali lagi karena melihat istrinya kembali melamun.
Kinanti menoleh "Iya mas? Barusan ngomong apa?"
Ust Malik mengerutkan dahi. Ia semakin curiga dengan kondisi Kinanti. Makin lama kondisi Kinanti bertambah parah. Ia sering melamun, menjadi pendiam, dan tidak begitu mengurusi suami dan Nina (anaknya).
Tak hanya itu, tubuhnya terlihat semakin kurus dan lingkaran hitam di sekitar matanya makin pekat. Padahal tiap malam Ust Malik selalu melantunkan ayat-ayat suci di samping Kinanti saat terlelap.
"Aku kecolongan Mar." Keluh ust Malik frustasi.

Damar menghembuskan nafas panjang "Bagaimana bisa?"

"Ini semua salahku. Aku lengah. Harusnya aku memagar (ghaib) rumah & keluargaku lebih kuat. Aku terlalu fokus dgn kondisi desa. Aku sok bersikap pahlawan." ucapnya penuh sesal.
"Tidak. Sikapmu sudah benar. Sudah kewajiban kita menolong sesama. Kita hanya... sedikit lengah."

“Kamu juga berhati-hatilah.” Peringat Ust Malik.

Ust Malik tampak berpikir sejenak. Bagaimanapun ia harus tetap berpikir jernih jika ingin menolong istrinya.
Hingga suatu hari Ust Malik mendapati kenyataan dari putri semata wayangnya Nina, sebab kiriman santet itu berhasil mengenai Kinanti.

"Jadi, sole setelah bapak pelgi ke lumah pak Yanto. Ada ibu-ibu datang bawa makanan. Katanya sih tetangga balu." Jawab Nina yang masih cadel.
"Kamu makan makanan itu?" Tanya Ust Malik khawatir. Nina menggeleng, Ust Malik sedikit merasa lega.

"Kamu tahu nak siapa nama ibu itu?" Selidik Ust Malik.

Nina memandang keatas langit-langit seolah berpikir.
"Uhmm... uhmm... Bu Kalto?"

((Karto)).
Setelah mendengar pernyataan tersebut, Ust Malik langsung menyelidiki seseorang yang bernama Bu Karto. Namun tak seorang pun warga desa yang mengenalnya.

Segala upaya yang dilakukan Ust Malik dan Damar untuk menyembuhkan Kinanti tetap tak membuahkan hasil.
Santet yang dikirim melalui makanan itu sudah terlanjur masuk ke dalam tubuh sang istri, hingga sulit untuk melepasnya. Akhirnya Ust Malik pun pasrah dan terus mendoakan Kinanti tanpa putus asa. Tubuh Kinanti semakin habis, pipinya menjadi cekung, dan-
tulang belikatnya pun terlihat. Hingga akhirnya menjadi lumpuh. Kinanti pun menghembuskan nafas terakhir setelah 3 bulan mengalami penderitaan yang panjang.
Usai kehilangan sang istri tercinta, keadaan Ust Malik juga tidak begitu baik. Putrinya Nina sering menangis mencari ibunya. Hingga suatu malam, sebuah peristiwa hampir mencelakai Nina. Malam itu Nina tampak berjalan ke kebun belakang rumahnya seorang diri.

"Ibu?"
Ia mengikuti seorang wanita bergaun putih panjang dan berambut ikal menyerupai ibunya. Wanita itu terus berjalan hingga ke arah sumur belakang rumah.

"Ibuuu... ibuuu... tunggu Nina."

Nina berlari ke arah sumur, untunglah Ust Malik saat itu memergokinya.
Dan langsung mendekap Nina yang hampir melompat ke dalamnya.

"Aku dan Nina akan tinggal sementara di rumah neneknya yang berada di Jawa. Kurasa di sana lebih aman. Aku tak ingin kehilangan Nina, dia satu-satunya hartaku yang tersisa." Pamit Ust Malik pada sahabatnya.
Saat itu ia menggandeng Nina kecil di sampingnya.

"Aku mengerti Lik. Kamu yang sabar ya. "

"Oh iya. Jangan menungguku Mar. Aku tak tahu kapan harus kembali." Ust Malik tersenyum. Namun senyum itu malah membuatnya tak nyaman. Seolah-olah Damar pernah melewati momen ini.
Damar berusaha berfikir positif dan menghilangkan prasangka buruk.

"Sudahlah. Ayo, aku antar kalian ke pelabuhan."
Setelah keberangkatan sang sahabat, esok paginya Damar mendapat berita yang sangat mengejutkan. Kapal besar penyeberangan yang ditumpangi Ust Malik ke Jawa tenggelam di tengah lautan.

((Menurut narasumber. Jaman dahulu, kapal-kapal besar penyeberangan dari Pulau Boyan-
ke Jawa memang sering mengalami kecelakaan. Penyebab utamanya karena kelebihan muatan penumpang. Kapal-kapal itu memang milik beberapa orang kaya di Pulau Boyan. Namun akhirnya, banyak dari mereka mengalami kebangkrutan dikarenakan kapal-kapalnya yang tenggelam)).

*
Damar benar-benar sedih kehilangan sahabatnya. Di sisi lain, serangan-serangan ghaib kini mulai mengincar ia dan keluarganya. Untunglah Damar sudah mengantisipasi hal tersebut setelah Malik memperingatkannya. Damar memperkuat pagar (ghaib) keluarga dan rumahnya. Bahkan ia-
mewanti-wanti istrinya, agar tidak menerima makanan atau pemberian apapun dari siapa saja. Sementara itu Damar berusaha mencari jalan keluar, bagaimana menghadapi mbah Darso meski harus seorang diri.
Pagi hari di kediaman Damar. Sederhana, rapi nan asri dengan berbagai jenis bunga dan tanaman yang menghiasi. Kicau burung dimasing-masing sangkar digantung berjejer. Duduk di teras rumahnya adalah terapi. Bisa dipastikan siapapun betah berlama-lama di sana termasuk-
pemiliknya sendiri. Damar masih termangu menikmati lamunannya. Kopi dan rengginang masih utuh hingga dingin pun belum tersentuh. Setidaknya itu yang dilihat orang-orang yang melewati. Tidak, ia tidak melamun.
Hanya sedang berdiskusi dengan sesuatu tak kasat mata yang mendiami tubuhnya.
“ Mas?”

Damar menoleh “Ya dik?”
“Lintang demam.” Ujar sang istri
“Sejak kapan?”
“Tadi sebelum shubuh. Dan dia mengingau. Terus menerus menyebut ‘bala api’.”
Damar pun beranjak dari posisi dan segera menuju ke kamar si anak. Saat mencapai pintu kamar, ia melihat Lintang masih terpejam hanya saja bibir kecilnya menggumam sesuatu. Damar pun mendekatkan telinga.
“Dik, tolong ambilkan air dan petik daun bidara dari halaman depan.” Perintah Damar pada sang istri yang berdiri di dekatnya.

Sang istri yang tampak mengerti bergegas meninggalkan kamar. Tak lama kemudian, Diah datang membawa baskom kayu berisi air dengan beberapa helai daun-
yang sudah mengambang diatasnya. Bibir Damar bergerak-gerak melafalkan doa, lalu meniupkannya di dalam air baskom.

“Bismillahirrohmanirrohiim.” Damar mencelupkan tangan dan mengusapkannya diseluruh tubuh sang anak. Tak lama kemudian Lintang berhenti bergumam.
“Kalau lintang sudah sadar, minumkan air ini padanya. Jangan khawatir, demamnya akan segera turun.”
Diah mengangguk lega.

Damar sekilas menarik napas. Ingatannya menjelajah tadi malam. Semalam ia memang mendengar sesuatu menghantam keras di atas atap rumahnya.
Untunglah tidak menembus ke dalam, karena memang sudah dipagari. Hanya saja pagar (ghaib) yang dipasang sedikit rusak. Lintang anaknya memiliki kemampuan lebih seperti Nilam. Ada seorang khadam yang juga menjaganya, tapi bukan Damar yang menurunkan.
Mungkin itu sebabnya, Lintang sangat sensitif dan sedikit terkena imbas dari serangan yang datang.

“Dik, aku ada perlu. Aku minta jangan mengganggu sampai aku keluar kamar. Dan tolak siapapun yang ingin menemuiku nanti.”
Lagi-lagi Diah yang mengerti membalas dengan anggukan. “Baik mas.”
Tak lama kemudian terdengar suara pintu tertutup tak jauh dari sana.
Damar mengurung diri seharian di kamar. Tanpa makan dan minum. Kalau pun keluar, itu pun hanya waktu-waktu shalat saja. Sekedar mengambil wudhu. Lebih tepatnya, Damar melakukan tirakad wirid untuk meminta petunjuk.

Hingga malam kembali datang. Damar mendapati sebuah mimpi.
Almarhum gurunya mendatanginya. Kala itu Kyai Bustomi yang mengenakan jubah putih meminta Damar untuk mendekatinya. Matanya yang teduh memandang lekat mata sang murid. Kyai Bustomi memang tak mengatakan apapun, tapi mereka saling bicara melalui isi pikiran masing-masing.
Di sana gurunya menyuruh Damar untuk melakukan tirakad di sebuah gunung di Boyan selama 33 hari. Setelah itu, Damar mencium tawaddu' punggung tangan sang kyai.

Dari mimpinya itu, Damar bisa bernapas sedikit lega, karena menemukan sebuah jalan.
Di suatu siang, saat matahari seolah tepat diatas kepala, Nuri mendapati suatu kenyataan pahit saat sedang asik-asiknya bermain gaplek bersama teman-temannya di halaman rumah.

Uminya Hafizah tampak memegang sebuah karung goni berukuran sedang dengan kedua tangan.
Nuri melongok ke dalam yang ternyata isinya buah merra dari kebun keluarganya.

"Antarkan ini ke rumah mbah Darso."
Nuri memekik "Nggak mau umi."
"Kamu harus antar ini." perintah sang ibu.
"Kak Fuad?"
"Lagi kerja, madamin kebakaran hutan di kampung sebelah."
"Mbak Laila, mbak Ifah?"
"Mereka semua sedang ada urusan."
"Kalau umi?" Tawar Nuri.

Hafizah melotot ke arah anaknya "Berani ya kamu nyuruh umi. Gak punya adab. Masa pantas anak menyuruh-nyuruh orang tua. Dan blaaa blaa blaa...."
Seketika Nuri mendapat siraman rohani yang mendayu-dayu dari sang ibu. Akhirnya setelah puas memberikan ceramah, Hafizah memberi paksa karung goni tersebut ke anaknya.

"Kalau kamu takut, minta antarin sama mas Damar sana."
Hafizah pun segera berlalu dari hadapan Nuri.
Dengan wajah tertekuk Nuri berjalan lunglai menuju ke rumah Damar.

"Maaf ya Nuri, mas Damar nggak bisa nganterin. Dianya sedang tidak bisa diganggu." Jawab Diah saat Nuri berdiri di depan pintu rumahnya.

'Mati aku'. Batin Nuri.

"Ohh.. iya deh mbak nggak apa-apa."
Nuri pun berbalik dan berubah haluan, memutuskan pergi menuju kediaman Nilam.

"Lagian mas Damar kemana ya kok nggak pernah kelihatan hampir sebulan ini?!" Gumam gadis kecil itu di tengah perjalanan.
Nilam beberapa kali menggelengkan kepala. Namun Nuri tetap memohon.

"Minta tolonglah aku Nil. Nggak berani aku kesana sendirian. Gini aja deh, gaco gaplekku boleh kamu ambil. Asal antarin aku ya ke rumah mbah Darso."

Nilam melirik sekilas Nuri. Tawaran yang cukup menggoda.
Di sisi lain ia juga merasa kasihan kepada sahabatnya. Dengan berat hati Nilam menyetujui permintaan Nuri.

Kini sampailah keduanya di depan sebuah rumah kayu yang di sekelilingnya di penuhi rumput ilalang yang menjulang dan ladang-ladang. Nuri memandang angker rumah tersebut.
Sedang Nilam, jangan ditanya lagi. Matanya memandang awas ratusan hingga ribuan makhluk didepannya.

Nuri mengetuk pelan beberapa kali pintu kayu jati yang berwarna pucat. Tak lama kemudian, terdengar derik pintu yang dibuka secara perlahan. Nuri dan Nilam meneguk ludah berat.
Tampak seorang kakek setengah bungkuk berdiri menatap sangar keduanya. Meski tubuhnya agak membungkuk, badannya terlihat masih cukup bugar.

"Ini mbah... anuu ... i...ni titipan buah merr..raaa dari nenek Aminah." Nuri menyodorkan sekarung goni dengan tangan sedikit bergetar.
Mbah Darso mengangguk sambil mengelus-elus dagunya.

"Hmmm... bawa masuk!"
"Hah? masuk mbah?"
"Iya, bawa masuk. Taruh saja di dapur belakang." Pinta mbah Darso.

Nuri dan Nilam beradu pandang. Dengan langkah berat keduanya masuk kearah ruangan yang sudah ditunjukkan mbah Darso.
Saat menuju dapur, tampak beberapa kali Nilam bergerak ke kanan dan ke kiri seolah menghindar dari sesuatu.

Akhirnya Nuri meletakkan karung berisi buah merra itu di dekat tungku. Keduanya pun lekas berbalik dan ingin cepat-cepat keluar dari rumah tersebut.
Mbah Darso tampak duduk diatas sebuah amben dengan satu kaki diangkat sambil menghisap sebatang rokok.

Langkah Nilam sempat terhenti tatkala kornea matanya tak sengaja bersibobrok dengan mata mbah Darso.
Tiba-tiba Nuri melihat tubuh Nilam sedikit bergetar saat saling-
beradu pandang dengan lelaki tua dihadapannya. Menyadari ada yang tak beres, cepat-cepat Nuri menarik tangan Nilam untuk segera keluar sambil berpamitan pada mbah Darso.

"Monggo mbah."
Setelah beberapa meter keduanya keluar dari rumah mbah Darso, Nilam menghentikan langkah. Tak disangka-sangka Nilam langsung muntah dan hampir mengeluarkan seluruh isi perutnya. Nuri sempat kaget dengan reaksi Nilam yang mendadak itu.
Nilam bilang dia tidak apa-apa. Dan menjelaskan, itu karena pengaruh gesekan energi negatif khadam miliknya dengan energi khadam milik mbah Darso tadi.

Tak jauh dari tempatnya, mata Nilam kembali menyipit memandang sebuah jalan setapak menuju kearah hutan.
"Lah itu mas Damar mau kemana ya?" Celetuk Nilam tiba-tiba. Nuri pun spontan melengok arah yang dimaksud Nilam. Dan tak melihat siapapun di sana.

"Mana?"
"Itu.. tuh mas Damar lagi jalan menuju hutan. Masa nggak lihat?" Jelas Nilam lagi.

Nuri menggeleng. Barulah setelah itu Nilam menyadari bahwa apa yang dilihatnya adalah sukma Damar.
Di hari ke-33, sore itu Damar terlihat melangkahkan kaki keluar dari kamarnya.

“Cuci kaki mas.” Tegur Diah saat memergoki kembali kaki suaminya yang penuh pasir. Damar mengangguk dan tersenyum tenang.
Seusai melaksanakan shalat isya’, Damar tampak bersiap-siap.

“Dik, nggak perlu menungguku pulang malam ini. Aku ada perlu dan mungkin baru pulang besok.”

Diah mengerutkan kening. Baru juga suaminya keluar dari peradaban selama lebih-
dari sebulan dan tiba-tiba saja Diah kembali ditinggal.
“Mau kemana mas?”
“Aku mau menemui Tomo dan Farid.” Jawabnya singkat.
Singkat cerita, Damar, Tomo dan Farid melakukan sebuah pertemuan rahasia. Satu bulan sebelumnya mereka memang saling bertemu hingga akhirnya menyusun sebuah rencana untuk mengakhiri terror di desanya. Meskipun nyawa taruhannya.

“Bagaimana Mar rencananya?”
“Di malam ke 31 aku bertemu dengannya. Salah satu penghuni tertua di Pulau Boyan.”

Damarpun mulai bercerita. Saat itu seperti biasa, sukma Damar melakukan wirid diatas batu dekat sebuah air terjun. Lalu angin mulai bertiup, menerpa pohon-pohon sekitar hingga-
menjatuhkan dedaunannya. Angin itu terasa hangat bukan dingin.

“Assalamu’alaikum.”

Damar membuka kedua kelopak matanya, lalu mendapati seorang lelaki tua memakai jubah dan sorban berwarna cokelat tua datang menghampiri. Lelaki itu duduk disamping Damar-
dengan sebuah tongkat kayu sebagai penyangga. Sesaat Damar merasakan aura begitu dahsyat berasal dari sang kakek tua.

“Wa’alaikumsalam.” Jawab Damar kemudian.
“Maaf. Kalau boleh tahu anda siapa?” Tanya Damar
“Aku Ki Ageng Simo. Aku datang karena tirakadmu.”
Lalu Ki Ageng Simo mulai menceritakan tentang dirinya. Dimana usianya sudah mencapai ribuan tahun dan sudah menempati pulau ini sebelum berpenghuni. Ki Ageng Simo juga mengaku dirinya memeluk agama islam saat bertemu dengan salah satu waliyah pertama yang datang di Pulau Boyan.
“Aku akan membantumu. Akan kupinjamkan pasukanku untuk melawan si pengguna ilmu hitam itu. Allah yang mengirimku.” Ucap Ki ageng Simo diakhir cerita seolah-olah telah menjawab semua tirakad yang dilakukan Damar.

Damar tersenyum senang “Terima kasih Ki.”
Ki Ageng Simo mengangguk sambil mengelus-elus seekor macan putih yang tiba-tiba saja sudah ada disampingnya. Dimana sebelumnya Damar pun tak tahu kapan macan putih itu datang.

“Alhamdulillah. Kita mendapat bantuan. Lalu sekarang bagaimana?” Tanya Farid
Malam semakin larut, ditengah keheningan malam dengan berani tiga pemuda berjalan menuju arah rumah sang dukun santet. Tepat 20 meter dari rumah mbah Darso, ketiganya berhenti tepat di bawah sebuah pohon jati. Damarpun mengambil posisi duduk bersila di atas tanah.
“Tomo, Farid. Tolong jaga ragaku apapun yang terjadi. Tunggu sampai aku (sukmaku) kembali.” Pinta Damar.

“Kembalilah dengan selamat Mar. Kami akan berjaga disini. Semoga Allah melindungimu.”

Tepat setelah Damar memejamkan mata, ruhnya sudah keluar dari raganya.
Tingkatan ilmu Damar memang sudah terbilang tinggi, hingga mampu mengendalikan ruhnya keluar/ masuk atau berjalan-berjalan berpisah dari tubuhnya sesuka hati. (Ruh) Damar mulai berjalan kearah rumah mbah Darso. Tepat di hadapannya sudah berdiri-
ratusan atau ribuan makhluk yang sudah mencegatnya. Sepertinya mereka tahu akan kedatangan Damar. Hampir semua bermata merah, bermacam-macam ukuran maupun bentuknya. Beberapa diantaranya bahkan memegang senjata. Dilihat dari aura dan perwujudannya, sudah dipastikan-
makhluk-makhluk tersebut adalah para jin kafir. Tiba-tiba datang sesosok makhluk bertubuh tinggi besar namun memiliki dua kepala, maju berada di barisan paling depan. Suaranya menggelegar, hingga membuat Damar menutup kedua telinga saat makhluk itu berbicara.
Di sini Damar tak datang untuk berunding, sampai kapanpun dia tak akan pernah berunding apapun dengan makhluk-makhluk bathil itu. Tanpa gentar Damar mengemukakan akan mengalahkan dan menghabisi mereka semua, jika mereka tak mau meninggalkan Pulau Boyan.
Makhluk berkepala dua itu tertawa dan bersikap jumawa. Bahkan mengaku, bahwa dia adalah salah satu penyihir terkuat dari bangsanya. Makhluk yang mengaku dirinya bernama Baturrekso pun mengancam akan memakan sukma Damar, dan mengambil lebih banyak korban lain di desa.
Dan benar saja, Baturrekso mengangkat tangannya seakan memberi isyarat pada seluruh anak buahnya untuk menyerang Damar. Damar dan khadamnya pun mengambil posisi kuda-kuda, bersiap-siap menghalau serangan.
Di saat yang sama tiba-tiba sebuah angin berhembus kencang. Tepat dibelakang Damar juga ada ribuan pasukan yang siap menyerang, dimana pasukan astral itu memang didominasi dalam perwujudan macan. Tepat disampingnya, Ki Ageng Simo tampak menunggangi seekor macan putih tiga-
kali ukuran macan biasa, memberi isyarat untuk membalas serangan. Peperangan besar ghaib itu tak dapat dihindarkan. Waktu seolah berjalan seharian, namun tidak dengan waktu di dunia nyata. Singkatnya, peperangan itu dimenangkan mutlak oleh pasukan Ki Ageng Simo.
Baturrekso pun tak berkutik saat Ki Ageng Simo berhasil memutus kedua tangannya. Di sini untuk pertama kali, Damar menyaksikan medan perang paling berdarah darah dalam hidupnya.

Amis, darah dimana-mana. Darah berwarna merah kehitaman membentuk banyak kubangan.
Ki Ageng Simo menghampiri Damar yang terlihat pucat menyaksikan kengerian tersebut.

“Pergilah. Selesaikan apa yang memang menjadi urusanmu.”

Lalu Ki Ageng Simo memberikan sebuah batu hitam pada Damar. Konon katanya batu itu akan bisa mencabut ilmu dan kekebalan sang dukun.
(Ruh) Damar akhirnya kembali ketubuhnya. Damar memberi sebuah isyarat pada kedua temannya untuk melanjutkan rencana. Ketiganya pun mengendap-endap ke rumah mbah Darso dan berhasil-
menculiknya. Singkatnya, ketiga pemuda itu membawa mbah Darso ke dalam hutan dan menutupi kepalanya dengan kain hitam. Saat itu mereka membanting tubuh mbah Darso ke tanah. Mbah Darso tertawa mengejek saat mengetahui siapa dalang penculikannya.
“Berani sekali kalian. Mau setor nyawa! Hah!” mbah Darso meludah. Lalu dengan kekuatannya berhasil melepas ikatannya. Tomo dan Farid sedikit melangkah mundur. Namun tidak halnya dengan Damar.
Saat mbah Darso merapal mantra, Damar bergegas mengeluarkan batu yang diberikan Ki Ageng Simo. Lalu menjatuhkannya dan menginjaknya sebanyak tiga kali di atas tanah. Seperti itulah Ki Ageng Simo memberikan petunjuk sebelumnya.
Tak lama kemudian, terdengar suara ledakan keras di sekitar mbah Darso.

“Kurang Ajar!” Teriak mbah Darso kemudian karena ilmunya tiba-tiba tidak bisa digunakan.

“Bertobatlah mbah. Minta ampun pada Allah. Ilmumu hilang karena kehendak Allah.”
Mbah Darso kembali meludah. Karena kesal, akhirnya lelaki tua itu malah memprovokasi ketiga pemuda itu. Tomo dan Farid terpancing dan langsung memukul mbah Darso secara bertubi-tubi.

“Bajingan kamu mbah! Laknat! Bapakku mati karena ulahmu ternyata!” Caci Farid sambil terus-
memukul mbah Darso.

Mbah Darso masih tertawa-tawa meski hidung dan mulutnya sudah mengeluarkan darah. Damar mencoba menghentikan Farid agar tidak berbuat lebih jauh lagi. Namun ntah karena apa, mbah Darso masih terus berbicara.
Kali ini ia berhasil memprovokasi Damar. Hilang sudah kesabaran, ketiganya pun kembali kalap menghajar mbah Darso secara bertubi-tubi. Dalam kepala Damar, terselip bayang-bayang Malik dan korban-korban mbah Darso yang lain yang telah menderita. Hingga akhirnya terdengar -
suara gemeletak tulang-tulang rusuk yang patah. Wajah mbah Darso kini berlumuran darah. Lelaki tua itu pun akhirnya ambruk ke tanah. Napasnya tersengal-sengal, seolah kematian memang sudah menunggu untuk menjemputnya.
Kian lama gerakan dadanya yang naik turun makin melambat. Hingga akhirnya tubuh itu terdiam kaku, namun masih dengan mata terbelalak.
Keesokan harinya, warga desa dikejutkan dengan penemuan sesosok mayat di pinggir hutan. Mayat itu ditemukan dalam kondisi mengenaskan. Seluruh tubuhnya lebam dengan warna kulit biru keunguan. Wajahnya hampir tak berbentuk dan berwarna sedikit hitam kecoklatan, karena darah-
yang mengering bercampur dengan tanah. Sosok itu tak sengaja ditemukan oleh salah satu warga yang sedang mencari kayu bakar di sekitar hutan. Tampak sekumpulan warga mengerumuni sesuatu yang ditutup dengan kain putih. Di dekatnya, beberapa orang terlihat menangisi si mayit.
Ya, mayat itu adalah mbah Darso. Warga pun tak menyangka dan mulai bertanya-tanya siapa yang bisa membunuh si tukang santet yang paling ditakuti ini. Nilam dan Nuri hanya bisa memandang dari kejauhan.

“Sudah kuduga itu mbah Darso.” Gumam Nilam
Semalam ia bermimpi menyaksikan semua kejadian. Di mulai dari peperangan ghaib, penculikan, bahkan detik-detik kematian mbah Darso yang cukup mengenaskan. Tak hanya mbah Darso, sebelumnya Nilam pun sering mendapat mimpi kematian dari beberapa korban santet mbah Darso,
mulai dari kematian Pak Jarwo, Bu Kinanti (istri Ust Malik) dan warga yang lain. Yang terakhir Nilam juga bermimpi didatangi qorin Ust Malik sebelum tragedi kapal tenggelam.
Lebih tepatnya, khadam milik Nilam yang menyaksikan semua peristiwa tersebut. Lalu menghantarkan penglihatannya pada Nilam. Hanya saja ia tak bisa berbuat banyak, karena mimpi itu datang saat kematian menjemput.
Tak lama kemudian, datang beberapa orang memakai seragam yang tak lain adalah pihak berwajib dan petugas medis. Lalu mereka pun membawa si mayit beserta para pengurus desa untuk dimintai keterangan. Selang beberapa waktu, para aparat terlihat kembali membawa-
tiga orang pria yang sangat dikenal warga. Mengetahui itu, warga mencoba menghalangi aparat yang dimana sedikit menimbulkan kericuhan.
“Tidak apa-apa bapak-bapak, ibu-ibu. Tolong jangan menghalangi para petugas. Kami memang menyerahkan diri karena bersalah. Bagaimana pun hukum harus ditegakkan.” Ucap Damar menenangkan.
Damar, Tomo, dan Farid menampakkan raut wajah legowo. Sedang Istri dan anaknya menangis mengiringi kepergian Damar. Diketahui akhirnya mereka bertiga dibawa dan diadili pengadilan yang ada di Jawa. Kabar terakhir dari perangkat desa,
Damar dijatuhi hukuman 3 tahun sedang kedua temannya 5 tahun penjara.

Di saat yang sama, warga desa ‘Tandur Timur’ tampak bersuka cita dengan kematian mbah Darso. Mereka pun lega, akhirnya teror santet yang telah lama menghantui desa selama beberapa tahun berhenti.
Namun disisi lain, warga tetap bersimpati dengan keluarga mbah Darso yang berduka. Bagaimana pun, keluarga mbah Darso juga keluarga yang dikenal cukup baik di desa. Keluarga mbah Darso juga tidak menyalahkan dan memaklumi sikap warga yang terlihat bersuka cita.
Mengingat bagaimana mbah Darso sudah banyak berbuat zalim pada sebagian penduduk desa. Bagaimanapun kematian adalah hal yang tidak bisa dicegah kapan, dimana, dan bagaimana itu datang.
Pak Madi berjalan pulang seorang diri menuju rumahnya yang terletak di dekat sungai. Ia baru saja pulang dari acara 7 harinya mbah Darso. Bulan terlihat penuh di antara gelapnya langit malam, suara jangkrik bersahutan, serta derik-derik bambu yang saling bergesek karena angin.
Sebenarnya Pak Madi sudah terbiasa dengan suasana seperti itu. Namun kali ini berbeda, hawa dingin begitu merasuk hingga sendi tulang padahal angin tak bertiup kencang. Bersamaan dengan itu Pak Madi mencium bau busuk yang menyengat, seperti bau bangkai yang gosong.
"Madiiiiiii ... Madiiiiii ..."

Kaki Pak Madi terhenti, entah kenapa kakinya tiba-tiba berhenti bergerak begitu saja.

"Madiiiiii ... Madiiiiii ... "
Suara itu terdengar tua, menggema, namun cukup familiar di telinga.
Pak Madi menoleh, seolah ada sesuatu yang memaksa kepalanya untuk memutar ke arah suara.

"Madiiiiii .... Tolooong Madiiii..."
Mata Pak Madi terbelalak, lidahnya kelu, jantungnya bergerak cepat, dan tubuhnya kaku sepersekian detik. Itu Mbah Darso.
Terbungkus kain putih lusuh di ikat lima dengan bercak kecoklatan dibagian bawah. Wajahnya hancur namun masih bisa dikenali. Raut muka datar dengan mulut menganga yang meminta tolong.

"Tolooong Madiiiiiii ...."
"Jeee.... Jerrr.. Jerrrangkoooooong."
Teriak Pak Madi secara spontan. Ntah mendapatkan kekuatan dari mana, akhirnya pria paruh baya itu berhasil menggerakkan kaki dan berlari cepat ke arah rumah.
[*Jerangkong: Hantu yang menyerupai tulang belulang/ tengkorak manusia. Namun sebutan Jerangkong bagi penduduk pulau boyan juga berarti penampakan orang yang telah mati].
Hasim mengantuk berat, namun ia harus memaksa tubuhnya untuk terjaga dari tempat tidur. Jika tidak ingin membasahi kasurnya. Dengan langkah malas, dipaksakan kedua kaki untuk tetap bergerak. Kebetulan letak kamar mandi berada di luar rumah. Hasim sudah keluar dari pintu belakang.
Angin semilir menerpa, membuat rambut halus di sekujur tubuh meremang. Dilihatnya bangunan kamar mandi berukuran 3x3 tinggal beberapa langkah lagi di depan. Kebetulan letak kamar mandi bersebelahan dengan sebuah sumur.
Ia mengucek kedua mata saat menangkap sosok berbentuk guling diikat lima melayang di atas sumur. Hasim tercekat tak bisa bergerak.

"Tolooooong .... Tolooooooong ..."
Suara itu terdengar rendah namun menggema.

"Toloooooong .... Toloooong ...."
Mulut Hasim menganga namun tak mampu berkata-kata. Seumur hidup baru kali ini ia melihat sosok berwajah semengerikan itu.

Sosok dibungkus kain putih itu melayang mendekat, hingga wajah hitamnya yang hancur kini tepat beberapa centi dari wajah Hasim.
Matanya membelalak menatap pemuda malang tersebut. Bau busuk yang sangat menyengat menyeruak masuk ke dalam rongga hidung. Tak dipedulikan lagi cairan hangat mengalir dari kedua sela kakinya. Hasim tak mampu lagi menahan. Lalu pandangannya berubah gelap saat itu juga.
TOKK TOKKK ....
Terdengar suara pintu yang diketuk.

"Eniiiiiiii bukain pintu." Teriak Mak Farida dari arah dapur.

Dengan malas Eni melangkah ke arah pintu depan. Dibuka, namun tak ada siapa-siapa. Kepalanya melongok, ke sekitar rumah, kosong dan gelap.
Ditutupnya pintu kembali. Baru berbalik beberapa langkah terdengar lagi suara ketukan. Eni membuka pintu, kosong lagi. Bulu kuduknya merinding. Gadis kecil itu pun langsung menutup pintu kasar dan berlari ke arah kamar.
Terdengar suara teriakan dari arah dapur.
"Eniiii jangan banting pintu. Nanti rusak. Tuman!" omel mak Farida.

TOKKK TOKKK...
"Eniiiiii... " Teriak Mak Farida lagi. Tak ada sahutan dari sang anak.
Akhirnya mak Farida berjalan sendiri dengan tangan masih membawa spatula penggorengan ke arah pintu.

"Siapa sih bertamu malam-malam begini?" Gumamnya kesal sambil membuka pintu. Tak ada siapapun, kosong.
Namun ada yang aneh. Ada kaki yang melayang-layang di depan matanya. Kaki itu kotor penuh lumpur. Mak Farida mendongak perlahan. Matanya membelalak mendapati sosok lelaki tua dengan kepala mencengklak seakan lehernya patah,
wajah berdarah-darah, menatap kosong mak Farida yang sedang ketakutan. Sontak Mak Farida menjatuhkan spatula di atas tanah.

"Jerangkoooong ...."
Hajjah Aminah duduk seorang diri di ruang tamu, sayup-sayup terdengar lantunan ayat-ayat suci Al-Qur'an keluar dari mulutnya. Tiba-tiba ada suara benda berat yang jatuh di teras rumah. Hajjah Aminah menghentikan aktifitas mengaji sejenak,
alu melangkahkan kaki menuju pintu. Pintu terbuka, pelan-pelan ia mengecek sesuatu diluar sana. Namun tak ada apapun atau siapapun.

"Jiiiiii .... Jiiiiiiiii...."
Panggil seorang laki-laki dengan suara berat. Hajjah Aminah menoleh.

"Astaghfirullahal'adziiim..."
"Jiiiii... Jiiiiii... Tolong Jiii." Rintihnya.
Pocong mbah Darso tampak berdiri melayang-layang di samping kanannya dengan wajah hancur.

'BRAAKKK'
Hajjah Aminah masuk dan menutup pintu serampangan.
"Hafizaaahh, Ifaaaaah, Nuriiii ...." Panggilnya pada anak dan cucunya.

Hajjah Aminah menyuruh mereka berkumpul dan menceritakan apa yang dilihatnya. Dan malam itu mereka semua memutuskan berkumpul, tidur dalam satu kamar.
Desas desus kabar penampakan jerangkong mbah Darso tersebar dengan cepat. Kesaksian datang dari berbagai pihak. Hampir sebagian besar warga desa mengaku pernah melihatnya. Ada yang melihatnya dalam bentuk pocong , ada juga yang melihat mbah Darso dengan tubuh berdarah-darah-
sama seperti mayatnya ditemukan.

Hal ini menimbulkan momok menakutkan tersendiri bagi mereka. Bahkan beberapa orang menyarankan untuk selalu menyediakan sapu lidi di kamar. Karena menurut kepercayaan setempat, sapu lidi mampu menghalau roh roh jahat.
Selama beberapa hari, desa mendadak sunyi. Hampir tak ada siapapun yang berani keluar di malam hari. Namun Mbah Darso menampakkan diri kepada warga hanya selama 40 hari. Setelahnya, jerangkong mbah Darso tak pernah terlihat lagi.
Tak lama kemudian tersiar berita lain yang cukup meresahkan. Menurut kabar, sebelum kematiannya, Mbah Darso telah menurunkan semua ilmu hitamnya pada salah satu kerabatnya. Ntah itu anak atau saudaranya. Tak ada seorang pun yang tahu.

-SELESAI-
"TEROR TUKANG SANTET"- TAMAT
Demikian thread ini akhirnya bisa saya selesaikan juga. Maaf sebelumnya kalau jalan ceritanya panjang dan terkesan membosankan.

Sengaja dibuat detail, agar para reader bisa ikut masuk dalam cerita.
Cerita ini ditulis berdasarkan kisah nyata. Percaya/ tidak saya serahkan kembali pada masing-masing reader.

Semoga ada hikmah dan pelajaran yang bisa dipetik dari thread ini.
Bagaimana pun , perbuatan syirik/ menyekutukan Tuhan tidak dibenarkan dalam ajaran agama dan norma-norma apapun.

Siapa yang menanam maka itu yang dituai. Hukum tabur tuai tetap berlaku di mata Tuhan.
Mohon maaf jika ada kesalahan-kesalahan penulisan dari dalam cerita.

Saya Banana, sampai jumpa di thread selanjutnya (/^▽^)/.
Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh.

Enjoying this thread?

Keep Current with Banana

Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

Twitter may remove this content at anytime, convert it as a PDF, save and print for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video

1) Follow Thread Reader App on Twitter so you can easily mention us!

2) Go to a Twitter thread (series of Tweets by the same owner) and mention us with a keyword "unroll" @threadreaderapp unroll

You can practice here first or read more on our help page!

Follow Us on Twitter!

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just three indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3.00/month or $30.00/year) and get exclusive features!

Become Premium

Too expensive? Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal Become our Patreon

Thank you for your support!