Happy reading 📖.
.
.
"TEROR TUKANG SANTET 3"
.
A Thread.
.
Apa kalian pikir teror ini akan benar-benar berakhir?
@bacahorror #bacahorror
KARMA
Ustadz Malik memegang segelas air putih yang sebelumnya dilafalkan doa-doa. Lalu sedikit demi sedikit air itu dicipratkan ke wajah Pak Hamid, suami Mak Saroh. Seluruh orang di ruangan itu kaget bukan main melihat reaksi Pak Hamid usai-
“Astaghfirullah..”
Tiba-tiba saja meloncat menerkam pria dihadapannya. Ust Malik yang sedikit lengah kini ambruk di lantai bersamaan dengan Pak Hamid yang menindih tubuhnya.
Pak Hamid mencengkeram kuat-kuat leher ustadz Malik kala itu. Ustadz Malik tampak menahan cengkraman itu sambil melafalkan doa-doa. Semua orang yang panik melihat kejadian itu segera memegangi Pak Hamid. Dua orang pria berusaha sekuat tenaga menarik tubuhnya,
“Bapak-bapak tolong bantu kami, pegang tangan dan kakinya.” Teriak Damar pada beberapa orang yang berada-
“Susah. Bandel ini.” Jawab Damar sambil terus menekan dahi Pak Hamid.
“Ustadz nggak apa-apa?” Tanya keduanya khawatir.
“Saya tidak apa-apa.”
“Iya saya tahu.”
“Itu anjing kiriman. Dan dia memberi peringatan…”
Ust Malik menautkan kedua alis hitamnya. “Peringatan apa?”
Ustadz Malik menghela nafas panjang. Sepertinya ia mulai paham apa maksud dari rentetan musibah yang menimpa warga desa akhir-akhir ini
"Pantas saja akhir-akhir ini banyak warga yang kesurupan, jatuh sakit secara tiba-tiba, hingga meninggal dunia.
Ust Malik tersenyum sinis sambil menggelengkan kepala.
"Kamu tau kan Lik. Orang 'itu' punya banyak perewangan dan peliharaan.
Damar kembali menghisap rokoknya yang batangnya tinggal setengah. Matanya menerawang.
"Iya. Aku mengerti maksudmu Mar."
"Ntah lah Lik. Sama sepertimu. Aku pun ingin membantu warga sebanyak mungkin. Hanya saja, orang itu masih sangat kuat meski sudah tua.
"Aku tahu Mar. Dan aku tidak takut. Inshaa Allah, Allah yang akan melindungi."
Damar mengurungkan niatnya untuk meneruskan pembicaraan. Sebenarnya, ada sesuatu yang lebih mengganjal hati. Tentang mimpi yang terus menghantuinya selama beberapa malam ini.
Lanjut besok lagi ya 😎.
“Kamu yakin?” Tanyanya lagi. Ust Malik tampak khawatir melihat wajah Kinanti yang sedikit pucat.
“Ya sudah. Jangan terlalu capek-capek. Hari ini banyak istirahat saja ya di rumah.”
Ustadz Malik mengelus lembut lengan istrinya yang kemudian dibalas anggukan.
“Kinanti?”
“Dik kamu kenapa?” Tanyanya pelan seraya memeluk kedua lengan Kinanti.
Kinanti masih menangis setengah menunduk.
“Dik?” Merasa ada yang janggal, ust Malik pun melafalkan doa-doa lalu meniupkannya ke kedua-
“Mas?”
“Alhamdulillah kamu sudah sadar.”
“Aku kenapa ya mas?” Tanya Kinanti sesenggukan.
“Kamu nangis.”
“Astaghfirullahal’adziim.” Sebut Kinanti.
“Nggak apa-apa dik. Kayaknya cuma ketempelan. Yuk kita tidur lagi, jangan lupa baca-baca doa.”
Kinanti yang bingung menurut saja apa kata sang suami.
Ust Malik yang cukup berpengalaman dalam hal ini, mulai merukiyah istrinya. Seusai di rukiyah beberapa kali, akhirnya-
Kinanti tampak linglung "Apa mas? Memangnya kita ada masalah?"
"Ohh itu. Aku ...."
Kinanti terdiam sejenak, lalu kembali tak fokus.
"Ya dik?" tanya ust Malik sekali lagi karena melihat istrinya kembali melamun.
Ust Malik mengerutkan dahi. Ia semakin curiga dengan kondisi Kinanti. Makin lama kondisi Kinanti bertambah parah. Ia sering melamun, menjadi pendiam, dan tidak begitu mengurusi suami dan Nina (anaknya).
Damar menghembuskan nafas panjang "Bagaimana bisa?"
"Ini semua salahku. Aku lengah. Harusnya aku memagar (ghaib) rumah & keluargaku lebih kuat. Aku terlalu fokus dgn kondisi desa. Aku sok bersikap pahlawan." ucapnya penuh sesal.
“Kamu juga berhati-hatilah.” Peringat Ust Malik.
Ust Malik tampak berpikir sejenak. Bagaimanapun ia harus tetap berpikir jernih jika ingin menolong istrinya.
"Jadi, sole setelah bapak pelgi ke lumah pak Yanto. Ada ibu-ibu datang bawa makanan. Katanya sih tetangga balu." Jawab Nina yang masih cadel.
"Kamu tahu nak siapa nama ibu itu?" Selidik Ust Malik.
Nina memandang keatas langit-langit seolah berpikir.
"Uhmm... uhmm... Bu Kalto?"
((Karto)).
Segala upaya yang dilakukan Ust Malik dan Damar untuk menyembuhkan Kinanti tetap tak membuahkan hasil.
"Ibu?"
"Ibuuu... ibuuu... tunggu Nina."
Nina berlari ke arah sumur, untunglah Ust Malik saat itu memergokinya.
"Aku dan Nina akan tinggal sementara di rumah neneknya yang berada di Jawa. Kurasa di sana lebih aman. Aku tak ingin kehilangan Nina, dia satu-satunya hartaku yang tersisa." Pamit Ust Malik pada sahabatnya.
"Aku mengerti Lik. Kamu yang sabar ya. "
"Oh iya. Jangan menungguku Mar. Aku tak tahu kapan harus kembali." Ust Malik tersenyum. Namun senyum itu malah membuatnya tak nyaman. Seolah-olah Damar pernah melewati momen ini.
"Sudahlah. Ayo, aku antar kalian ke pelabuhan."
((Menurut narasumber. Jaman dahulu, kapal-kapal besar penyeberangan dari Pulau Boyan-
*
“ Mas?”
Damar menoleh “Ya dik?”
“Lintang demam.” Ujar sang istri
“Sejak kapan?”
“Tadi sebelum shubuh. Dan dia mengingau. Terus menerus menyebut ‘bala api’.”
Sang istri yang tampak mengerti bergegas meninggalkan kamar. Tak lama kemudian, Diah datang membawa baskom kayu berisi air dengan beberapa helai daun-
“Bismillahirrohmanirrohiim.” Damar mencelupkan tangan dan mengusapkannya diseluruh tubuh sang anak. Tak lama kemudian Lintang berhenti bergumam.
Diah mengangguk lega.
Damar sekilas menarik napas. Ingatannya menjelajah tadi malam. Semalam ia memang mendengar sesuatu menghantam keras di atas atap rumahnya.
“Dik, aku ada perlu. Aku minta jangan mengganggu sampai aku keluar kamar. Dan tolak siapapun yang ingin menemuiku nanti.”
Tak lama kemudian terdengar suara pintu tertutup tak jauh dari sana.
Hingga malam kembali datang. Damar mendapati sebuah mimpi.
Dari mimpinya itu, Damar bisa bernapas sedikit lega, karena menemukan sebuah jalan.
Uminya Hafizah tampak memegang sebuah karung goni berukuran sedang dengan kedua tangan.
"Antarkan ini ke rumah mbah Darso."
Nuri memekik "Nggak mau umi."
"Kamu harus antar ini." perintah sang ibu.
"Kak Fuad?"
"Lagi kerja, madamin kebakaran hutan di kampung sebelah."
"Mereka semua sedang ada urusan."
"Kalau umi?" Tawar Nuri.
Hafizah melotot ke arah anaknya "Berani ya kamu nyuruh umi. Gak punya adab. Masa pantas anak menyuruh-nyuruh orang tua. Dan blaaa blaa blaa...."
"Kalau kamu takut, minta antarin sama mas Damar sana."
Hafizah pun segera berlalu dari hadapan Nuri.
"Maaf ya Nuri, mas Damar nggak bisa nganterin. Dianya sedang tidak bisa diganggu." Jawab Diah saat Nuri berdiri di depan pintu rumahnya.
'Mati aku'. Batin Nuri.
"Ohh.. iya deh mbak nggak apa-apa."
"Lagian mas Damar kemana ya kok nggak pernah kelihatan hampir sebulan ini?!" Gumam gadis kecil itu di tengah perjalanan.
"Minta tolonglah aku Nil. Nggak berani aku kesana sendirian. Gini aja deh, gaco gaplekku boleh kamu ambil. Asal antarin aku ya ke rumah mbah Darso."
Nilam melirik sekilas Nuri. Tawaran yang cukup menggoda.
Kini sampailah keduanya di depan sebuah rumah kayu yang di sekelilingnya di penuhi rumput ilalang yang menjulang dan ladang-ladang. Nuri memandang angker rumah tersebut.
Nuri mengetuk pelan beberapa kali pintu kayu jati yang berwarna pucat. Tak lama kemudian, terdengar derik pintu yang dibuka secara perlahan. Nuri dan Nilam meneguk ludah berat.
"Ini mbah... anuu ... i...ni titipan buah merr..raaa dari nenek Aminah." Nuri menyodorkan sekarung goni dengan tangan sedikit bergetar.
"Hmmm... bawa masuk!"
"Hah? masuk mbah?"
"Iya, bawa masuk. Taruh saja di dapur belakang." Pinta mbah Darso.
Nuri dan Nilam beradu pandang. Dengan langkah berat keduanya masuk kearah ruangan yang sudah ditunjukkan mbah Darso.
Akhirnya Nuri meletakkan karung berisi buah merra itu di dekat tungku. Keduanya pun lekas berbalik dan ingin cepat-cepat keluar dari rumah tersebut.
Langkah Nilam sempat terhenti tatkala kornea matanya tak sengaja bersibobrok dengan mata mbah Darso.
Tiba-tiba Nuri melihat tubuh Nilam sedikit bergetar saat saling-
"Monggo mbah."
Tak jauh dari tempatnya, mata Nilam kembali menyipit memandang sebuah jalan setapak menuju kearah hutan.
"Mana?"
Nuri menggeleng. Barulah setelah itu Nilam menyadari bahwa apa yang dilihatnya adalah sukma Damar.
“Cuci kaki mas.” Tegur Diah saat memergoki kembali kaki suaminya yang penuh pasir. Damar mengangguk dan tersenyum tenang.
“Dik, nggak perlu menungguku pulang malam ini. Aku ada perlu dan mungkin baru pulang besok.”
Diah mengerutkan kening. Baru juga suaminya keluar dari peradaban selama lebih-
“Mau kemana mas?”
“Aku mau menemui Tomo dan Farid.” Jawabnya singkat.
“Bagaimana Mar rencananya?”
Damarpun mulai bercerita. Saat itu seperti biasa, sukma Damar melakukan wirid diatas batu dekat sebuah air terjun. Lalu angin mulai bertiup, menerpa pohon-pohon sekitar hingga-
“Assalamu’alaikum.”
Damar membuka kedua kelopak matanya, lalu mendapati seorang lelaki tua memakai jubah dan sorban berwarna cokelat tua datang menghampiri. Lelaki itu duduk disamping Damar-
“Wa’alaikumsalam.” Jawab Damar kemudian.
“Maaf. Kalau boleh tahu anda siapa?” Tanya Damar
“Aku Ki Ageng Simo. Aku datang karena tirakadmu.”
Damar tersenyum senang “Terima kasih Ki.”
“Alhamdulillah. Kita mendapat bantuan. Lalu sekarang bagaimana?” Tanya Farid
“Kembalilah dengan selamat Mar. Kami akan berjaga disini. Semoga Allah melindungimu.”
Tepat setelah Damar memejamkan mata, ruhnya sudah keluar dari raganya.
Amis, darah dimana-mana. Darah berwarna merah kehitaman membentuk banyak kubangan.
“Pergilah. Selesaikan apa yang memang menjadi urusanmu.”
Lalu Ki Ageng Simo memberikan sebuah batu hitam pada Damar. Konon katanya batu itu akan bisa mencabut ilmu dan kekebalan sang dukun.
“Kurang Ajar!” Teriak mbah Darso kemudian karena ilmunya tiba-tiba tidak bisa digunakan.
“Bertobatlah mbah. Minta ampun pada Allah. Ilmumu hilang karena kehendak Allah.”
“Bajingan kamu mbah! Laknat! Bapakku mati karena ulahmu ternyata!” Caci Farid sambil terus-
Mbah Darso masih tertawa-tawa meski hidung dan mulutnya sudah mengeluarkan darah. Damar mencoba menghentikan Farid agar tidak berbuat lebih jauh lagi. Namun ntah karena apa, mbah Darso masih terus berbicara.
“Sudah kuduga itu mbah Darso.” Gumam Nilam
Di saat yang sama, warga desa ‘Tandur Timur’ tampak bersuka cita dengan kematian mbah Darso. Mereka pun lega, akhirnya teror santet yang telah lama menghantui desa selama beberapa tahun berhenti.
Kaki Pak Madi terhenti, entah kenapa kakinya tiba-tiba berhenti bergerak begitu saja.
"Madiiiiii ... Madiiiiii ... "
Suara itu terdengar tua, menggema, namun cukup familiar di telinga.
"Madiiiiii .... Tolooong Madiiii..."
Mata Pak Madi terbelalak, lidahnya kelu, jantungnya bergerak cepat, dan tubuhnya kaku sepersekian detik. Itu Mbah Darso.
"Tolooong Madiiiiiii ...."
"Jeee.... Jerrr.. Jerrrangkoooooong."
"Tolooooong .... Tolooooooong ..."
Suara itu terdengar rendah namun menggema.
"Toloooooong .... Toloooong ...."
Sosok dibungkus kain putih itu melayang mendekat, hingga wajah hitamnya yang hancur kini tepat beberapa centi dari wajah Hasim.
Terdengar suara pintu yang diketuk.
"Eniiiiiiii bukain pintu." Teriak Mak Farida dari arah dapur.
Dengan malas Eni melangkah ke arah pintu depan. Dibuka, namun tak ada siapa-siapa. Kepalanya melongok, ke sekitar rumah, kosong dan gelap.
"Eniiii jangan banting pintu. Nanti rusak. Tuman!" omel mak Farida.
TOKKK TOKKK...
"Eniiiiii... " Teriak Mak Farida lagi. Tak ada sahutan dari sang anak.
"Siapa sih bertamu malam-malam begini?" Gumamnya kesal sambil membuka pintu. Tak ada siapapun, kosong.
"Jerangkoooong ...."
"Jiiiiii .... Jiiiiiiiii...."
Panggil seorang laki-laki dengan suara berat. Hajjah Aminah menoleh.
"Astaghfirullahal'adziiim..."
Pocong mbah Darso tampak berdiri melayang-layang di samping kanannya dengan wajah hancur.
'BRAAKKK'
Hajjah Aminah masuk dan menutup pintu serampangan.
Hajjah Aminah menyuruh mereka berkumpul dan menceritakan apa yang dilihatnya. Dan malam itu mereka semua memutuskan berkumpul, tidur dalam satu kamar.
Hal ini menimbulkan momok menakutkan tersendiri bagi mereka. Bahkan beberapa orang menyarankan untuk selalu menyediakan sapu lidi di kamar. Karena menurut kepercayaan setempat, sapu lidi mampu menghalau roh roh jahat.
-SELESAI-
Sengaja dibuat detail, agar para reader bisa ikut masuk dalam cerita.
Semoga ada hikmah dan pelajaran yang bisa dipetik dari thread ini.
Siapa yang menanam maka itu yang dituai. Hukum tabur tuai tetap berlaku di mata Tuhan.
Saya Banana, sampai jumpa di thread selanjutnya (/^▽^)/.