Selamat pagi,
Kali ini saya akan melanjutkan cerita dari narasumber saya mengenai pengalamannya dalam "membantu" salah seorang temannya.
Tanpa perlu panjang lebar, mari kita mulai ceritanya.
"Wa 'alaikum salam Bray, gimana gimana?"
"Besok lo jadi gak ikut?"
"Boleh Bray... Gw jemput aja ya di kostan bang Rio."
"Ok, siap Bray... Jam 10 ya"
"Siap! Jam 10 gw ke sana"
Lana telah memutuskan sambungan telepon. Aku lihat sudah jam 23:44.
Menurut Ratri, sering terjadi gangguan-gangguan ringan di rumahnya seperti suara-suara memanggil...
Lana menyetujui untuk membantunya, tapi Lana jg meminta bantuanku.
Tapi Lana meyakinkanku. Dia menegaskan bahwa aku hanya perlu hadir di sana.
Aku pun meng-iya-kan dgn niat sesuai dgn apa yg Lana sampaikan, agar aku tidak salah kaprah dan tidak sampai salah langkah dalam menyikapi hal-hal ini.
***
"Mau pergi Nak?", sapa Bunda melihatku turun sambil membawa handuk.
"Iya Bun, mau ke rumah Ratri...
"Di mana?"
"Cinere Bun..."
"Astaga... Jauh banget! Gak bisa ketemu di tengah-tengah aja?"
"Ooh... Yaudah, sarapan dulu yaa"
"Iyaa dong! Bunda masak apa?"
"Nasi goreng cumi sama bakwan jagung"
"Okaay!!! Aku siap-siap dulu yaa..."
"Yaudah sana mandi."
Aku pun langsung bergegas menuju kamar mandi.
***
"Assalamu 'alaikum, Bang..."
"Udah dmn lo Bray?"
"Udah keluar tol Pondok Indah, Bang..."
"Siaap! Kita udah siap yaak"
"Okay bang, kalo udah mau muter balik gw misscall ya"
"Ok Bray"
Aku menutup telepon, menginjak lebih dalam gas mobilku mencoba mengejar waktu...
Tak berapa lama, aku pun tiba di depan kostan Bang Rio. Mereka sudah berdiri di depan menunggu kehadiranku.
"Macet Bray?", tanya Bang Rio sembari memasuki mobil.
"Tau bang, tumben-tumbenan hari Sabtu macet...", aku berdalih.
"Ini kita gak perlu bawa apa-apa kan Bray?", tanyaku pada Lana.
"Bawa apaan, Bray?"
"Yaa apa kek gitu buat prosesi..."
"Yaa model-model gitu..."
"Hahahahahaa... Lo kata dukun?! Kagak laah Bray, kita udah punya Allah, doa, sama keimanan. Itu aja modalnya...", Lana menjelaskan.
"Serius nih?"
"Iya laah! Jangan diilustrasiin kayak yg...
"Hahaha... Yaa kan gw gak pernah yaa... Makanya nanya."
"Iyeee... Santai aja Bray, yg penting jangan pernah lepas dzikir aja dalam hati selama prosesi"
"Oke laah..."
***
Ayah Ratri memang seorang abdi negara, begitu pula dgn kakak iparnya, suami dari Kakak perempuannya.
Ratri memang orang yg ceria. Terlalu ceria dan positif, sampai di kalangan teman-temannya, ia bahkan menjadi...
Kami pun turun dari mobil memasuki pagar rumahnya, dan disambut dgn ramah oleh Mamanya Ratri.
"Eyalaah... Udah pada dateng toh. Silahkan mas, pada duduk dulu... Tante ambilin minum yaa"
"Ndak papa, moso ada tamu ndak disuguhi... Sek yoo",
Mama Ratri pun kembali masuk ke dalam rumah, meninggalkan kami di depan teras.
"Macet gak bang?", tanya Ratri
"Mayan laah... Tumbenan nih tol rame hari Sabtu", sahutku.
***
"Iyaa Maah... Yuk bang, pada masuk aja dulu. Sekalian bang Lana kalo mau liat-liat dulu hehe...", ajak Ratri
Tiba-tiba Mamanya Ratri keluar dari dalam rumah...
"Kenapa Ndok, kamu koq teriak-teriak...?"
"Yaa kan nyahutin Mamah tadi manggil..."
"Hah? Wong aku dari tadi ngobrol sama si mba di dapur. Ndak ada manggil-manggil kamu..."
Kami berempat saling melempar pandang,
"Wes lah, pada masuk aja yok... Gerah di luar"
Kami pun masuk mengikuti di belakang Mamanya Ratri.
***
Lana memperhatikan suasana sekitar, melemparkan pandangannya dari satu sudut ke sudut lainnya.
"Gimana Bray menurut lo?", Lana melemparkan pertanyaan Ratri kepadaku.
"Laah koq gw? Mana gw tau..."
"Hahahaha... Maksud gw, apa yg lo rasain di lantai atas sini?"
"Yaa... Agak berat sih..."
"Coba Bray, baca Ayat Kursi, lanjut 3 Qul, sambil lo fokusin bacaannya di dalam hati."
Aku mencoba mengikuti instruksi dari Lana. Aneh, aku merasakan sesuatu, seperti udara yg hangat, tapi dingin, aah...
"Fokusin Bray, Ada apa di sana?", tanya Lana padaku.
Aku mencoba lebih fokus, aku merasakan sesuatu, seperti sebuah sosok... Panjang. Tidak, tidak hanya panjang. Besar.
"Ular... Item... Mahkota...", entah dari mana, tapi itulah kata-kata yg terucap dari mulutku.
"Iya, dia gak suka niat kita ke sini.", ucap Lana.
Aku melihat ke arah Ratri...
"Bang... Lo serius...?", tanya Ratri terbata
"Gw gak tau Tri... Itu yg gw liat...", sahutku.
"Soalnya... Ada yg pernah bilang...", kami menyimak dgn seksama apa yg ingin Ratri sampaikan
"...berasa kayak ada yg nyentuh kakinya kalo lewat...
Aku melemparkan pandanganku ke Lana yg menghembuskan nafas panjang dan berat.
"Berat nih kayaknya Bray...", ucap Lana melihat kepada ku sambil tersenyum.
"Ada 2 lg yg besar di bawah..."
"Apa itu?"
"Gw gak tau namanya... Satu di di depan kamar mandi di dapur, satu lagi suka berkeliaran di ruang tengah..."
"Banyak bulu.", selak Lana.
"Udah Bray, jangan terlalu detail... Capek lo nanti, masih panjang ini hari kita hahaha", sambungnya sambil tertawa.
"Jin ya banyak yg kayak gitu Bray... Kalo org kita biasanya nyebut yg bentuknya begitu tuh Genderuwo...."
"Tapi koq... Buahahaa", seketika aku tertawa...
"Kenapa lo Bang?", tanya Ratri yg kebingungan melihatku.
"Bray... Si Ifan kemasukan??", tanya Bang Rio pada Lana yg jg panik melihatku tertawa.
"Kagak Bang, emang lucu aja kalo liat langsung...", jawab Lana.
"Tapi gw gak abis pikir aja Bray, koq bisa kejepit gitu doi di kulkas?", tanyaku masih dambil tertawa dan menyeka air mataku yg keluar mengiringu tawaku.
Lana menarik nafas panjang.
Genderuwo yg suka berkeliaran di ruang tengah...
***
"Enak Tante...", jawab kami serempak.
"Oh iya mas Lana... Gmn udah liat-liatnya?",
"Udah Tante..."
"Trus gmn... Kira-kira, aku harus apa toh biar gak ada yg begini-begini lg gitu di rumah? Soalnya kan kadang ponakan-ponakannya si Ratri ini...
Lana pun menjelaskan semuanya kepada Mamanya Ratri.
"Astaghfirullaah... Trus itu bisa diusir ndak yg suka 2 biji itu?", tanya Mamanya Ratri yg gelisah mendengar penjelasan Lana.
"Karena memang ini sudah jadi rumah buat mereka, mungkin kalo pun diusir...
"Waduuh... Lha ya terus gmn doong?"
"Kalo untuk membuat mereka gak ganggu lg sih insyaAllah bisa Tante..."
"Tapi kalo ndak pergi kan ya podo wae toh..."
"Bisa kita kasih pembatas InsyaAllah Tante... Jadi mereka gak akan bisa masuk ke area rumah."
"Iya Tri, jd di sekitaran rumah insyaAllah aman. Kita kasih jarak beberapa meter dr pager rumah."
"Oalaah... Yo aman kalo kayak gitu.", Mamanya Ratri terlihat menghela nafas, lega mendengar jawaban Lana.
"Gak ada sih... Cuma ya gak bisa hari ini, insyaAllah besok kita mulai dari pagi."
"Nah kalo besok mulainya, bisa ndak dari siang aja?", sambung Mamanya Ratri
"Boleh aja Tante..."
"Aku anu lhoo... Mau minta tolong sekalian mas-masnya ke...
"Yee Mamah... Gak enak aah Mah", selak Ratri yg merasa sungkan pada Lana.
"Oalah, iya Tante gpp... Besok jd pagi-pagi kita ke warung Tante dulu aja."
"Nah boleh itu..."
"Blm Tante, masih harus diperiksa beberapa kali dulu buat mastiin emang cuma itu aja yg menetap di sini...", jawab Lana menjelaskan
"Yo lah mas, biar bener-bener adem lg ini rumah... Suka ndak kerasan aku."
"Ndak apapa mas, malah bagus!"
"Siap Tante! Alhamdulillaah nih ada si Ifan, jd bisa lebih detail meriksanya hehe"
"Lah lah... Koq jd gw?", tanya ku bingung dgn pernyataan..
"Mas Ifan nya jg ngerti toh yg begini-begini?", tanya Mamanya Ratri yg penasaran mendengar ucapan Lana.
"Gak Tante... Aku mah cuma nemenin doang.", sahutku menjawab Mamanya Ratri. Namun Lana menjelaskan,
"Ifan paham Tante..."
"Oalah, sayang toh mas... Banyak manfaatnya kalo gunainnya bener. Keluarga ku itu sebenernya banyak sing ngerti. Iki lho, Pakde ne Ratri, kakak ku, paham... Tapi yo kalo ngejelasin,"
Namun sesaat ketika Mamanya Ratri mengucapkan hal itu, sesuatu terlintas dalam pengelihatan ku. Sesuatu, lebih tepatnya "se-sosok" yg berdiri di belakang Mamanya Ratri.
Berulang kali beliau mengucapkan kata yg sama, namun tetap tanpa suara.
Lana berseru sembari menepuk pundak kananku. Seketika aku pun tersentak, melihat semua mata tertuju padaku.
"Kenapa toh mas?", tanya Mamanya Ratri.
"Gpp Tante...", jawabku yg kemudian melemparkan pandangan ke arah Lana. Ekspresi Lana saat itu seperti bingung,
"Aman Bray?", tanya Lana memastikan
"Aman... Hahahaha, kenapa emang?", jawabku menatralisir situasi.
"Aman.", ucapku. Lana pun menuntunku ke sudut lainnya,
"Aman."
Kami berpindah ke sudut lain lg,
"Aman."
"Aman."
.
.
.
"Aman."
"Am...", aku terdiam...
"Bray...?"
"...", aku hanya diam tidak menjawab.
"Bray...? Gimana...?", tanya Lana sekali lg.
"... Ada yg lain Bray...", sahutku.
"Apa Bray?"
"Anak kecil Bray..."
"Dua... Tapi...", kalimatku terhenti oleh suara ketukan dari kaca aquarium yg terletak tidak jauh dari posisi kami berdiri. Spontan kami semua menoleh ke arah suara tersebut, namun tidak menemukan apa pun di sana.
Bang Rio yg penasaran, berjalan...
"Bray...", kami pun mendekat mendengar ucapan Bang Rio yh sembari menunjuk pada kaca aquarium.
"Ini jejak tangan siapa...?", ucap Bang Rio yg sontak membuat kami semua terkejut dan segera mendekat untuk melihatnya.
Jiplakan tangan kiri berukuran kecil, persis menyerupai tangan anak-anak.
Sesaat setelah ucapan Mamanya Ratri, tiba-tiba terdengar sayup-sayup suara tawa anak-anak kecil yg saling bersahutan.
"Astaghfirullaah... Astaghfirullaah... Astaghfirullahalazhiim!!!",
Aku dan Lana bergegas...
"Bray... Masih kuat gak?", tanya Lana padaku seusai kami mengamankan Ratri dan Mamanya.
"Hah? Lo mau masuk lg?!"
"Gimana cara Bray?", tanyaku ragu. Lana melihat sekeliling, dan segera berjalan mengambil ember yg berada tepat di bawah keran di samping pagar.
"Tante, aku pinjem embernya ya?", ucap Lana sambil mengisi ember...
"Lo mau ngapain Bray?", tanyaku bingung. Aku pun tak mengerti apa yg ingin Lana lakukan dgn ember yg telah ia isi setengah penuh tersebut.
"Gw bakal minta bantuan lo lg nih Bray..."
"Kita netralisir dulu kondisi di dalem... Tri, lo ada garem?"
"Ada bang... tapi di dalem..."
"Gw aja yg ambil!", sahut Bang Rio yg terlihat cukup berani.
"Garemnya ada di dapur Bang...", sahut Ratri.
Bang Rio segera berlari ke dalam,
"Nih Bray...", Bang Rio pun seger memberikannya pada Lana. Aku memperhatikan Lana menaburkan garam tersebut ke dalam ember, terlihat mulutnya bergerak membaca doa sambil...
"Ayok Bray!", aku pun mengikutinya di belakang, tanpa mengetahui apa yg akan kami lakukan.
***
Kini Lana pun berdiri tepat di depan aquarium,
"Bray... Dzikir yak. Baca ayat kursi sama 3 Qul kayak tadi."
"Bray... Koq jadi banyak?", ucapku yg masih menutup kedua mataku.
"Gpp Bray, mereka baru keluar semua.", jawab Lana.
Wajah mereka berkeriput, ada yg berjanggut dan beruban. Semuanya hanya mengenakan celana pendek...
"Tahan di sana ya Bray, udah gw kasih pembatas di sekeliling tempat lo berdiri. Kita arahin mereka ke tempat lo", ucap Lana. Aku hanya mengangguk,
Lana pun berdiri di depan ember yg berada tepat di depan ku, ia menghadap ke arah aquarium, mengambil segenggam air dari ember itu dan mengibaskannya ke arah mereka.
Ekspresi mereka seketika berubah. Paras mereka memerah, marah.
Mereka pun mengamuk, berlarian menuju ke arah kami. Setiap kali salah satu dari mereka menyerang, Lana mengelak dan menghindari. Setiap kali itu jg mereka seakan kesakitan.
Aku yg penasaran, mencoba...
"Bray... Udah Bray... Jangan bakar lg...", ucapku pada Lana.
"Hah?!", Lana hanya menoleh...
Entah, dari mana aku mengetahui hal ini, tapi aku mengambil posisu duduk bersila dgn perlahan dan tenang. Lana yg sudah mengambil ancang-ancang untuk mengibaskan air lg pun terdiam, mengikutiku.
Aku membuka mataku sejenak dan melemparkan...
"Lo yakin Bray? Bukannya mereka dusta?"
"Untuk hal ini, gw rasa gak. Soalnya gw jg ngerasa ada orang lain yg berperan di sini", jelasku.
"Hmm... Yaudah, kita netralisir aja"
***
"Gimana toh mas?"
"Alhamdulillaah Tante, aman...", ucap Lana.
"Tapi mohon maaf Tante, tadi Ifan yg coba komunikasi sama mereka, jadi mungkin lgsg Ifan aja yg jelasin."
"Gpp, lebih baik dijelasin supaya gak ada salah paham, tapi jgn sampe nimbulin fitnah ya Bray ngejelasinnya...".
Aku pun duduk di depan Ratri dan Mamanya, menjelaskan hasil dialog ku dgn mereka tadi.
"Tapi mohon maaf Tante... Semoga yg saya jelasin gak buat Tante menduga-duga siapa orangnya...",
"Mamaa iih!", selak Ratri.
Kami pun hanya tertawa mendengar ucapan Mamanya Ratri. Satu urusan telah selesai, kini tinggal merapihkan sisanya
Seluruh badan ku terasa pegal, setiap persendian ku rasanya ingin lepas dari sanggahannya. Aku tak mengira kalau berurusan dgn hal-hal ghoib betul-betul menguras tenaga. Bahkan sangat sulit bagiku untuk melirik melihat ujung jari kaki dari posisi ku saat ini.
Aku melihat seseorang yg sedang duduk bersila di hadapanku, tersenyum kecut dgn ekspresi sedihnya.
Terdengar suaranya yg berat menyapaku dgn nada yg tenang dan menenangkan.
"Wa 'alaikum salam warrahmatullah wabaraktuh... Anda siapa?", jawabku dgn pertanyaan lainnya.
°Saya adalah dia yg tak bernama, yg dititip tugaskan...
Aku hanya diam mencoba memahami makna perkataan beliau. Aku sadar bahwa ini hanya mimpi, dan semua yg terjadi saat ini tidak nyata.
Tiba-tiba dari arah belakangku terdengar suara yg seakan familiar.
Aku tau, suara itu bukan berbicara dgn ku, melainkan dgn sosok yg ada di hadapanku. Ada gejolak untuk menoleh ke belakang melihat wujud...
°Nak, apa kamu ingat ucapanku tadi?°, tanyanya padaku
"Maaf mbah, saya gak bisa mendengar suara mbah tadi siang... Hanya bisa melihat gerakan bibir saja", jawabku pada beliau.
°Wes, coba diingat dulu...°
Entah bagaimana caranya, seketika aku terbayang kejadian tadi siang. Dan kali ini, aku dapat mendengar suara beliau,
°Cincin°,
itu yg beliau sampaikan.
°Wes eling, Le?°,
"Nggih mbah...",
Keanehan berikutnya terjadi,
Namun betapa terkejutnya aku melihat perubahan pada sosok yg sebelumnya pernah kulihat ketika pertama kali aku di "buka" dengan bantuan Lana.
Beliau menatap mataku yg sedang menatapnya.
Aku segera mengembalikan pandanganku pada sosok di hadapanku.
°Sampaikan padanya tentang cincin...°
°Selebihnya, ia akan mengerti.°
Sesaat setelah ucapan yg beliau sampaikan, ada sensasi hangat pada punggungku.
Mataku menatap lurus pada langit-langit kamar, masih mencoba memahami arti mimpi yg baru saja ku alami.
***
"Ini mas...", ucap ibu itu memberikan rokoknya sambil mengambil uang yg telah kuletakan pada meja etalase kaca.
"Bentar ya, saya ambil kembaliannya dulu...",
"Bray, udah beli rokoknya?", tanya bang Rio yg berjalan menghampiriku.
"Udah nih bang, lg nunggu kembalian... Lo mau beli rokok jg bang?"
"Kagak... Ayok lah, nyokapnya Ratri udah nyiapin sarapan itu"
"Makanya... Lah gw mah seneng, namanya anak kostan! Hahaha..."
Kami pun segera menuju ke tempat warung makan Mamanya Ratri setelah aku mengambil kembalianku.
Dari kejauhan aku melihat Lana yg sudah sibuk melihat-lihat suasana sekitar,
Aku segera mempercepat langkahku. Aku tau pasti ada yg ingin dia perlihatkan padaku.
"Mas, ayok toh... Sarapan dulu!", seru Mamanya Ratri pada kami,
"Ndak apapa toh, pasti blm pada nyarapkan?"
"Tau aja si Tante hahaha", sahut bang Rio yg langsung mengambil posisi duduk di sebelah Mamanya Ratri. Sedangkan aku langsung menghampiri Lana yg sebelumnya sudah memanggilku.
"Gpp sih...", jawab Lana tanpa melihatku. Dia masih menatap ke arah yg lain. Lana berdiri membelakangi warung makan Mamanya Ratri, mengahadap ke arah belakang pasar. Di sana berdiri kokoh dinding yg membatasi area pasar dgn area pemukiman.
"Lo liat apaan?", tanyaku penasaran,
"Lo... liat apa?",
"Lo liatnya apa Bray?", tanya Lana padaku. Namun aku tak bisa menjawabnya.
"Eh, lo liat apaan...?", Lana masih tetap berusaha menanyakan hal yg sama padaku. Namun sekali lg aku hanya diam,
"Lo kenapa Fan?", kali ini giliran bang Rio yg bertanya padaku.
"Gpp bang...", jawabku datar. Bang Rio melirik ke arah Lana, memberi kode. Namun Lana yg seperti mulai paham apa yg kurasakan hanya membalas dgn senyum.
"Sesuatu apaan?"
"Gak tau sih, kayak ada yg jagain gitu..."
"... Mungkin... Emang kenapa Bray?"
"Gpp sih..."
"Ada yg datengin lo?", tanyanya seketika
"Iya... Tapi di mimpi", jawabku singkat.
"Ngapain? Ada pesen?"
"Semacam itu lah..."
"Buat Mamanya Ratri laah... Masa buat kita?"
"Ooh... Ya aman kalo gitu. Gw takutnya buat kita... Takut yg jagain gak suka cara kita", ucap Lana menjelaskan kekhawatirannya.
"Gak sih Bray, insyaAllah aman"
"Iyaa...",
Aku sependapat dgn Lana. Sepertinya memang pesan ini harus aku sampaikan langsung pada Mamanya Ratri, tanpa perantara.
"Eeh, tapi Bray... Gw masih penasaran yg lo liat tadi apaan?",
"Mungkin yg lo liat gak sama kayak apa yg gw liat, Lan... Tapi yg jelas sosok yg gw liat bentuknya gak banget!"
"Sosok apaan Bray?", tanya bang Rio yg penasaran mendengar ucapanku tadi.
"Perempuan?", Lana mencoba memastikan,
"Ancur?", lanjut Lana yg mencoba menyamakan persepsinya
"Mukanya?", selak Ratri yg jg semakin penasaran,
Aku menghisap dalam rokokku dan menggeleng. Semua mata kini benar-benar tertuju padaku, menanti penjelasan.
"Ini...",
Aku melanjutkan dengan meletakan kedua tanganku secara menyilang, seperti posisi memeluk,
"Ini...",
"Ini...", aku kembali menghisap rokokku kemudian melanjutkan penjelasanku,
"Gak ada...",
Jari-jemari tanganku menggerayang pada kedua pangkal lenganku,
"Di sini... Busuk, banyak nanah...",
"Bang!", suara tinggi Ratri seketika membuatku berhenti menjelaskan,
"Udah bang... Gw eneg!"
"... Makanya gw males jelasin...", ucapku sambil melempar tatapanku ke arah Lana.
"Nanti sebelum mulai di rumah Ratri, kita kunci dikit ya mata batin lo..."
"Hah, kenapa Bray?", tanyaku terkejut
"Terlalu detail Bray yg lo liat, gak baik jg..."
"Yaa... Detail", jawaban singkatnya seperti biasa tidak menjelaskan apa pun. Namun sepertinya Lana segera menyadari apa yg kupikirkan, sambil melanjutkan menyantap makanan yg telah tersaji dia pun berkata,
"Nanti gw jelasin..."
***
"Bray...", serunya sambil menepuk dengkul ku,
"Maksudnya?", sahutku
"Gini, bukannya mau lebay ya. Tapi apa yg ada di belakang lo itu terlalu kuat buat lo yg belom paham maksud dan kegunaannya..."
"Jadi hubungannya sama yg lo bilang di sana tadi, gw terlalu detail ngeliat karena efek dari apa yg ada di belakang gw itu terlalu kuat gitu?",
Mendengar penjelasan Lana terakhir membuatku berpikir, apa mungkin itu pula yg menyebabkan sosok yg ada di belakang Mamanya Ratri hanya bisa dilihat oleh ku? Atau...
Aku hanya terdiam mencoba mamahami banyak hal yg saat ini berkecamuk dalam pikiran dan hatiku.
"Jadi gimana, lo siap gak untuk kebuka kayak gini? Atau kita segel aja dulu?", tanya Lana melanjutkan.
"Yaudah yok, kita langsung ke bawah aja kalo gitu!"
Kami pun bangkit dan beranjak menuju ke bawah. Dan di sinilah keanehan mulai terjadi.
"Waaa!!", aku seketika berteriak karena terkejut. Dan sepertinya teriakanku jg mengejutkan semua orang di rumah itu.
"Kenapa mas?", tanya Mamanya Ratri yg datang menghampiri bersama bang Rio dan Ratri.
"Bray?",
Semuanya melemparkan pertanyaan yg sama, tapi aku hanya diam dan menoleh kembali ke lantai atas berharap bahwa memang ada sesuatu yg terjatuh dari sana.
Aku melihat ke atas dan ke bawah lantai tempat pijakan terakhirku, dan tidak menemukan apa pun.
"Yaudah, kita liat yg ditangga dulu ya", ucapnya
"Tapi... Sekarang udh pindah",
"Kemana Bray skeg ularnya?", tanya Lana. Entah apa yg menggerakan tubuhku, namun tanpa kusadari aku telah berjalan mengitari ruangan.
"Di sini?", tanya Lana padaku.
Aku hanya mengangguk, namun perlahan mengambil langkah mundur. Bang Rio, Ratri dan Mamanya pun mengikutiku. Seolah memberikan isyarat, Lana mengangguk padaku.
Sosok ular besar itu mulai merespon dgn desisan dan gerakan-gerakan badannya dalam penglihatanku.
Gerakan yg awalnya terlihat lambat kini semakin cepat, dengan radius gerakan yg semakin kecil.
Melihat itu, Lana pun bangkit dan berjalan menuju tempat di mana sosik ular terakhir tergeletak.
Entah dari mana, namun aku mendengar suara seorang berbicara kepadaku dengan nada lirih. Seperti suara perempuan. Aku membuka mataku, melihat sekeliling memastikan bahwa itu...
"Pergilah... Bukan tempatmu di sini!", ucap ku dalam hati.
°Perjanjian telah usai ketika tubuh malang itu kutinggalkan°, jawabnya
"Tidak bisa! Kamu tidak boleh lg menetap dan mengganggu keluarga ini lg."
°Mereka tetap akan datang, sekali pun bukan aku yg melanjutkan. Akan selalu ada yg datang di setiap yg pergi.°,
°Selama perjanjian masih ada. Selama masih ada...°
***
"Aman insyaAllah Bray...",
"Di dalem jg mulai aman.", sahut Lana padaku.
Namun aku tahu, kami berdua merasakan hal yg sama. Sesuatu yg membuat perasaan kami masih tidak tenang.
Kami berjalan kembali ke teras depan, tempat bang Rio, Ratri dan Mamanya.
"Bray, mungkin ada yg mau lo sampein?"
"Hah?", sahutku yg tersentak kaget. Hal apa yg ingin kusampaikan? Aku bingung dgn ucapan Lana. Aku menatap Lana penuh tanda tanya.
"Tadi waktu di pasar kan katanya ada yg mau lo sampein", seketika aku langsung teringat dgn mimpiku. Aku melemparkan tatapanku ini ke araha Mamanya Ratri yg jg sedang menatapku bingung. Aku pun segera memperbaiki posisi dudukku.
"Ada apa toh mas Ifan?", sahut Mamanya Ratri yg terlihat penasaran dgn ucapanku.
"Anu... Kalo bapak-bapak yg tinggi, kumisan, pake blangkon dan baju beskap jawa warna coklat sama tongkat itu...
Aku melihat Mamanya Ratri menutup mulutnya dgn kedua tangannya seolah terkejut. Di sisi lain, tatapan bingung Lana pun kini seakan meyakinkan pertanyaan yg tidak seharusnya terucap dari mulutku.
"Badannya tegap yo mas...? Mukane galak, tapi rajin senyum... Iyo?",
"Iya Tante...", jawabku
"Subhanallah, mas... Mas liat dmn?"
"Itu mbah uyut ku...", jawab Mamanya Ratri.
"Beliau deket buanget sama aku. Kalo kata orang, aku ini cicit kesayangan beliau...", sambungnya sambil tertunduk meratap. Cicit kesayangan. Tak heran beliau bahkan hadir dalam mimpiku,
"Cincin", ucapku. Dan seperti terkejut, Mamanya Ratri mengangkat kepalanya, menatapku dgn matanya yg membesar.
"Dari mana...?", sahut Mamanya Ratri terbata.
"Beliau datamg ke mimpi saya semalem...", jawabku
Tiba-tiba Mamanya Ratri bangkit dari duduknya, bergegas masuk ke dalam kamarnya. Kami semua terdiam. Ada perasaan menyesal,
Seakan ingin menunjukan sesuatu kepadaku,
Aku terdiam melihat isi di dalam kain putih itu. Sebuah cincin cantik dengan ikatan emas murni yg cukup berkilau,
"Iki, peninggalan mbah uyut buatku. Cincin ini disimpen lama banget sama kakakku..."
"Apa cuma itu pesan yg disampaikan beliau?", aku pun hanya mengangguk.
"Beliau bilang, Tante harus kuat. Ujian datang semata-mata karena Allah sayang sama Tante.", ucapku setelah melihat sosok yg disebut sebagai "Mbah Uyut" kembali hadir...
***
Demikian cerita ini saya sampaikan. Semoga sang narasumber masih berkenan untuk membagikan kisah-kisahnya yg lain supaya serial "TU7UH" ini bisa berlanjut di part ke-3.
bonkioong pamit 🙏