, 189 tweets, 29 min read
My Authors
Read all threads
Assalamu 'alaikum wr wb...
Selamat pagi,
Kali ini saya akan melanjutkan cerita dari narasumber saya mengenai pengalamannya dalam "membantu" salah seorang temannya.

Tanpa perlu panjang lebar, mari kita mulai ceritanya.
"Assalamu 'alaikum, Bray..."
"Wa 'alaikum salam Bray, gimana gimana?"
"Besok lo jadi gak ikut?"
"Boleh Bray... Gw jemput aja ya di kostan bang Rio."
"Ok, siap Bray... Jam 10 ya"
"Siap! Jam 10 gw ke sana"
Lana telah memutuskan sambungan telepon. Aku lihat sudah jam 23:44.
Tiga minggu berselang setelah prosesi "pembukaan" ku, Ratri, salah seorang adik tingkat ku di kampus yg jg mengenal Lana meminta bantuan Lana untuk "memeriksa" keadaan rumahnya.
Menurut Ratri, sering terjadi gangguan-gangguan ringan di rumahnya seperti suara-suara memanggil...
...yg menyerupai salah satu anggota keluarganya, beberapa kali jg "mereka" menampakan diri menyerupai salah satu anggota keluarga, dan yg lebih sering adalah "mereka" muncul melalui mimpi.
Lana menyetujui untuk membantunya, tapi Lana jg meminta bantuanku.
Sejujurnya aku ragu. Khawatir. Maksudku, bukan seperti aku "mampu" menangani hal-hal semacam ini, bahkan aku merasa tidak memiliki "kemampuan" apa pun untuk membantu Lana dalam hal ini.
Tapi Lana meyakinkanku. Dia menegaskan bahwa aku hanya perlu hadir di sana.
Bukan untuk membantu, tapi untuk "belajar memahami" eksistensi mereka.
Aku pun meng-iya-kan dgn niat sesuai dgn apa yg Lana sampaikan, agar aku tidak salah kaprah dan tidak sampai salah langkah dalam menyikapi hal-hal ini.

***
Alarm ku berbunyi nyaring sekali, membuatku terbangun seketika. Jam di hp ku sudah menunjukan pukul 07:33, aku segera beranjak dari kasur, bergegas turun ke lantai bawah.
"Mau pergi Nak?", sapa Bunda melihatku turun sambil membawa handuk.
"Iya Bun, mau ke rumah Ratri...
"...ngerjain tugas", aku terpaksa harus berkelit. Aku tidak mungkin mengatakan agenda ku yg sebenarnya mengingat Bunda ku termasuk orang yg skeptik terhadap hal-hal seperti itu.
"Di mana?"
"Cinere Bun..."
"Astaga... Jauh banget! Gak bisa ketemu di tengah-tengah aja?"
"Soalnya anak-anak yg lain lebih dkt ke sana Bun..."
"Ooh... Yaudah, sarapan dulu yaa"
"Iyaa dong! Bunda masak apa?"
"Nasi goreng cumi sama bakwan jagung"
"Okaay!!! Aku siap-siap dulu yaa..."
"Yaudah sana mandi."

Aku pun langsung bergegas menuju kamar mandi.

***
"Halloo..."
"Assalamu 'alaikum, Bang..."
"Udah dmn lo Bray?"
"Udah keluar tol Pondok Indah, Bang..."
"Siaap! Kita udah siap yaak"
"Okay bang, kalo udah mau muter balik gw misscall ya"
"Ok Bray"
Aku menutup telepon, menginjak lebih dalam gas mobilku mencoba mengejar waktu...
...yg seolah bergerak semakin cepat.
Tak berapa lama, aku pun tiba di depan kostan Bang Rio. Mereka sudah berdiri di depan menunggu kehadiranku.
"Macet Bray?", tanya Bang Rio sembari memasuki mobil.
"Tau bang, tumben-tumbenan hari Sabtu macet...", aku berdalih.
Aku memang berangkat sedikit lebih telat dari rencana awal ku, menghabiskan sepiring nasi goreng cumi dan 2 buah bakwan jagung buatan Bunda terlebih dulu.
"Ini kita gak perlu bawa apa-apa kan Bray?", tanyaku pada Lana.
"Bawa apaan, Bray?"
"Yaa apa kek gitu buat prosesi..."
"Apaan? Darah ayam cemani?", sahut Lana sambil sedikit tertawa.
"Yaa model-model gitu..."
"Hahahahahaa... Lo kata dukun?! Kagak laah Bray, kita udah punya Allah, doa, sama keimanan. Itu aja modalnya...", Lana menjelaskan.
"Serius nih?"
"Iya laah! Jangan diilustrasiin kayak yg...
"...di tipi tipi..."
"Hahaha... Yaa kan gw gak pernah yaa... Makanya nanya."
"Iyeee... Santai aja Bray, yg penting jangan pernah lepas dzikir aja dalam hati selama prosesi"
"Oke laah..."

***
Kami menyusuri jalanan yg familiar bagiku. Aku ingat bagaimana rasanya menetap dan tumbuh di daerah ini, Cinere. Ada banyak memori masa kecil ku di daerah ini, sampai kami akhirnya memutuskan pindah ke Sentul pada tahun 2011 akhir, dan kemudian berpindah lg ke Bekasi pada 2013.
Aku mengarahkan setir mobilku ke kiri, memasuki sebuah perumahan instansi pemerintah yg cukup terkenal sebagai perumahan elit di Cinere.
Ayah Ratri memang seorang abdi negara, begitu pula dgn kakak iparnya, suami dari Kakak perempuannya.
Lingkungan perumahan di sana memang terlihat tidak jauh berbeda dgn perumahan elit lainnya di Cinere. Hanya saja, di beberapa area memang memiliki kesan sedikit "mencekam" dgn masih banyaknya pepohonan tinggi untuk syarat penghijauan. Terutama bila malam tiba.
Aku menghentikan mobilku di depan sebuah rumah. Terlihat Ratri sudah berdiri di depan pagar menyambut kedatangan kami sambil tertawa sambil melompat-lompat kegirangan.
Ratri memang orang yg ceria. Terlalu ceria dan positif, sampai di kalangan teman-temannya, ia bahkan menjadi...
...sosok yg menyenangkan untuk berbagi cerita dan keceriaan karena kami hampir tidak pernah melihat dia berpikir hal-hal yg negatif. Agak sedikit mengejutkan ketika dia akhirnya bercerita kepada kami mengenai hal-hal yg terjadi di rumahnya. Sesuatu yg tidak pernah terlintas...
...di pikiranku, bahwa dia memiliki sebuah cerita yg cukup "mengerikan".
Kami pun turun dari mobil memasuki pagar rumahnya, dan disambut dgn ramah oleh Mamanya Ratri.
"Eyalaah... Udah pada dateng toh. Silahkan mas, pada duduk dulu... Tante ambilin minum yaa"
"Jangan repot-repot Tante...", ucap Bang Rio
"Ndak papa, moso ada tamu ndak disuguhi... Sek yoo",
Mama Ratri pun kembali masuk ke dalam rumah, meninggalkan kami di depan teras.
"Macet gak bang?", tanya Ratri
"Mayan laah... Tumbenan nih tol rame hari Sabtu", sahutku.

***
"Ndook... Temen-temennya suruh masuk aja toh, gak enak moso di luar...!", terdengar suara Mamanya Ratri dari dalam rumah
"Iyaa Maah... Yuk bang, pada masuk aja dulu. Sekalian bang Lana kalo mau liat-liat dulu hehe...", ajak Ratri
Tiba-tiba Mamanya Ratri keluar dari dalam rumah...
...sambil membawa nampan yg berisi 3 gelas besar es teh manis
"Kenapa Ndok, kamu koq teriak-teriak...?"
"Yaa kan nyahutin Mamah tadi manggil..."
"Hah? Wong aku dari tadi ngobrol sama si mba di dapur. Ndak ada manggil-manggil kamu..."
Kami berempat saling melempar pandang,
seolah memahami apa yg terjadi, Mamanya Ratri lamgsung menetralis suasana
"Wes lah, pada masuk aja yok... Gerah di luar"
Kami pun masuk mengikuti di belakang Mamanya Ratri.

***

Lana memperhatikan suasana sekitar, melemparkan pandangannya dari satu sudut ke sudut lainnya.
"Gimana bang?", tanya Ratri. Lana hanya tersenyum sambil melihat ke arah ku.
"Gimana Bray menurut lo?", Lana melemparkan pertanyaan Ratri kepadaku.
"Laah koq gw? Mana gw tau..."
"Hahahaha... Maksud gw, apa yg lo rasain di lantai atas sini?"
"Yaa... Agak berat sih..."
"Kayak sesek aja gitu rasanya...", sambungku sambil memperhatikan sekitar dari posisiku. Kami bertiga baru saja menyelesaikan sholat dzuhur berjama'ah. Sebelum sholat Lana berpesan kepadaku untuk mulai berusaha se-khusyuk mungkin dalam setiap sholat ku, dan untuk tidak...
...meninggalkan berdzikir setelah sholat. "Penting", kalo kata Lana.
"Coba Bray, baca Ayat Kursi, lanjut 3 Qul, sambil lo fokusin bacaannya di dalam hati."
Aku mencoba mengikuti instruksi dari Lana. Aneh, aku merasakan sesuatu, seperti udara yg hangat, tapi dingin, aah...
...sulit kujelaskan. Tapi udara itu seakan menjalar ke seluruh permukaan tangan kanan ku. Perlahan seperti seakan-akan ada yg menggerakan tangan kanan ku. Aku berusaha untuk melawan, namun suara Lana terdengar, "Ikutin aja Bray, jangan di lawan...", aku pun mengikuti alurnya.
Tangan ku bergerak seolah menunjuk pada suatu tempat, aku tahu dalam pikiranku, di mana tempat itu, tangga.
"Fokusin Bray, Ada apa di sana?", tanya Lana padaku.
Aku mencoba lebih fokus, aku merasakan sesuatu, seperti sebuah sosok... Panjang. Tidak, tidak hanya panjang. Besar.
Tiba-tiba aku dikejutkan oleh sesuatu yg seolah mencoba menerkamku. Aku membuka mataku, tersentak.
"Ular... Item... Mahkota...", entah dari mana, tapi itulah kata-kata yg terucap dari mulutku.
"Iya, dia gak suka niat kita ke sini.", ucap Lana.
Aku melihat ke arah Ratri...
...terdiam mendengar ucapanku dan Lana.
"Bang... Lo serius...?", tanya Ratri terbata
"Gw gak tau Tri... Itu yg gw liat...", sahutku.
"Soalnya... Ada yg pernah bilang...", kami menyimak dgn seksama apa yg ingin Ratri sampaikan
"...berasa kayak ada yg nyentuh kakinya kalo lewat...
"...tangga. Dan katanya... Ada sensasi licin, kayak belut..."
Aku melemparkan pandanganku ke Lana yg menghembuskan nafas panjang dan berat.
"Berat nih kayaknya Bray...", ucap Lana melihat kepada ku sambil tersenyum.
"Di mana lg Bray?", Lana kembali menanyakanku. Aku pun mulai menutup mataku kembali, mengulangi hal yg sama seperti sebelumnya.
"Ada 2 lg yg besar di bawah..."
"Apa itu?"
"Gw gak tau namanya... Satu di di depan kamar mandi di dapur, satu lagi suka berkeliaran di ruang tengah..."
"... Besar, kulitnya kayak gelap, tapi bukan item, kayak sedikit cokelat kemerahan, rambutnya panjang acak-acakan, di badannya..."
"Banyak bulu.", selak Lana.
"Udah Bray, jangan terlalu detail... Capek lo nanti, masih panjang ini hari kita hahaha", sambungnya sambil tertawa.
Aku pun membuka mataku, melemparkan pandanganku ke arah Lana. Seolah mengerti arti tatapanku yg penasaran, Lana pun menimpali,
"Jin ya banyak yg kayak gitu Bray... Kalo org kita biasanya nyebut yg bentuknya begitu tuh Genderuwo...."
"Tapi koq... Buahahaa", seketika aku tertawa...
...terbahak-bahak mengingat apa yg baru saja ku lihat.
"Kenapa lo Bang?", tanya Ratri yg kebingungan melihatku.
"Bray... Si Ifan kemasukan??", tanya Bang Rio pada Lana yg jg panik melihatku tertawa.
"Kagak Bang, emang lucu aja kalo liat langsung...", jawab Lana.
"Udah Bray, kasian dia... Jangan diketawain", ucap Lana padaku sambil menahan tawa.
"Tapi gw gak abis pikir aja Bray, koq bisa kejepit gitu doi di kulkas?", tanyaku masih dambil tertawa dan menyeka air mataku yg keluar mengiringu tawaku.
Lana menarik nafas panjang.
"Jadi gini Bray...", Lana pun menjelaskan. Menurutnya, rumah Ratri dibangun di atas tanah yg menjadi tempat tinggal "mereka" sebelumnya. Mereka tidak akan, dan tidak mau pergi dari sini karena menganggap ini adalah "rumah" mereka.
Genderuwo yg suka berkeliaran di ruang tengah...
...adalah yg biasa menyerupai anggota keluarganya Ratri. Sedangkan yg terjepit di antara kulkas dan tembok kamar mandi di dapur adalah bukti "authentic" (menurut Lana) bahwa kekuatan doa dan iman masih berperan besar sebagai proteksi manusia. Pasalnya Mamanya Ratri sering...
...sekali melaksanakan Tahajud di ruangan yg berada di tengah-tengah antara ruang tengah, dapur, dan ruang makan. Semacam ruang antara. Hal itulah yg menjadi "dinding" penghalang dan seakan mengunci si Genderuwo tsb tetap pada posisinya.
Suara-suara yg menyerupai suara salah satu anggota keluarga Ratri merupakan suara dari si Genderuwo yg terjepit itu sebenarnya, sebagai bentuj untuk menandakan keberadaannya di sana, dan sebagai panggilan untuknya meminta pertolongan. Sayangnya tak ada satu pun di rumah Ratri...
...yg menyadarinya, sehingga suara-suara tersebut semakin lama justru semakin menjadi gangguan bagi keluarganya Ratri.

***
"Gimana, enak ndak masakan Tante?"
"Enak Tante...", jawab kami serempak.
"Oh iya mas Lana... Gmn udah liat-liatnya?",
"Udah Tante..."
"Trus gmn... Kira-kira, aku harus apa toh biar gak ada yg begini-begini lg gitu di rumah? Soalnya kan kadang ponakan-ponakannya si Ratri ini...
"...yg sering diganggu."
Lana pun menjelaskan semuanya kepada Mamanya Ratri.
"Astaghfirullaah... Trus itu bisa diusir ndak yg suka 2 biji itu?", tanya Mamanya Ratri yg gelisah mendengar penjelasan Lana.
"Karena memang ini sudah jadi rumah buat mereka, mungkin kalo pun diusir...
"...mereka tetap akan balik lg."
"Waduuh... Lha ya terus gmn doong?"
"Kalo untuk membuat mereka gak ganggu lg sih insyaAllah bisa Tante..."
"Tapi kalo ndak pergi kan ya podo wae toh..."
"Bisa kita kasih pembatas InsyaAllah Tante... Jadi mereka gak akan bisa masuk ke area rumah."
"Jadi mereka cuma di luar aja gitu bang?", sambung Ratri penasaran
"Iya Tri, jd di sekitaran rumah insyaAllah aman. Kita kasih jarak beberapa meter dr pager rumah."
"Oalaah... Yo aman kalo kayak gitu.", Mamanya Ratri terlihat menghela nafas, lega mendengar jawaban Lana.
"Jadi apa aja yg perlu disiapin Bang?"
"Gak ada sih... Cuma ya gak bisa hari ini, insyaAllah besok kita mulai dari pagi."
"Nah kalo besok mulainya, bisa ndak dari siang aja?", sambung Mamanya Ratri
"Boleh aja Tante..."
"Aku anu lhoo... Mau minta tolong sekalian mas-masnya ke...
"...warung aku di pasar. Sekalian minta tolong liatin gitu hehe..."
"Yee Mamah... Gak enak aah Mah", selak Ratri yg merasa sungkan pada Lana.
"Oalah, iya Tante gpp... Besok jd pagi-pagi kita ke warung Tante dulu aja."
"Nah boleh itu..."
"Tapi hari ini blm selesai kan ya mas?", tanya Mamanya Ratri melanjutkan
"Blm Tante, masih harus diperiksa beberapa kali dulu buat mastiin emang cuma itu aja yg menetap di sini...", jawab Lana menjelaskan
"Yo lah mas, biar bener-bener adem lg ini rumah... Suka ndak kerasan aku."
"Iya Tante, insyaAllah bener-bener diperiksa... Tapi kalau pun ada yg bisa langsung ditanganin gpp ya Tan?"
"Ndak apapa mas, malah bagus!"
"Siap Tante! Alhamdulillaah nih ada si Ifan, jd bisa lebih detail meriksanya hehe"
"Lah lah... Koq jd gw?", tanya ku bingung dgn pernyataan..
..Lana, mengingat aku tidak punya kemampuan apa-apa.
"Mas Ifan nya jg ngerti toh yg begini-begini?", tanya Mamanya Ratri yg penasaran mendengar ucapan Lana.
"Gak Tante... Aku mah cuma nemenin doang.", sahutku menjawab Mamanya Ratri. Namun Lana menjelaskan,
"Ifan paham Tante..."
"...cuma blm terasah dgn baik aja, dan blm paham sepenuhnya fungsi dan manfaatnya."
"Oalah, sayang toh mas... Banyak manfaatnya kalo gunainnya bener. Keluarga ku itu sebenernya banyak sing ngerti. Iki lho, Pakde ne Ratri, kakak ku, paham... Tapi yo kalo ngejelasin,"
"aku ne ra mudeng hahahaha", beliau pun tertawa disambut oleh tawa kami berempat.
Namun sesaat ketika Mamanya Ratri mengucapkan hal itu, sesuatu terlintas dalam pengelihatan ku. Sesuatu, lebih tepatnya "se-sosok" yg berdiri di belakang Mamanya Ratri.
Sosok pria tegap dan gagah lengkap dgn pakaian adat jawa berwarna cokelat dan sarung bermotif batik. Beliau berdiri dengan tangan kanannya yg menggenggam tongkat. Parasnya tampan, namun terlihat jelas ekspresinya yg sedih, khawatir, seolah menandakan hal buruk yg akan terjadi.
Beliau menatap ku dgn ekspresi tersebut, kemudian mengalihkan pandangannya ke arah Mamanya Ratri. Perlahan bibirnya terbuka seolah mengucapkan sebuah kata, tapi aku tidak bida mendengar apa yg diucapkannya.
Berulang kali beliau mengucapkan kata yg sama, namun tetap tanpa suara.
"Bray..."
Lana berseru sembari menepuk pundak kananku. Seketika aku pun tersentak, melihat semua mata tertuju padaku.
"Kenapa toh mas?", tanya Mamanya Ratri.
"Gpp Tante...", jawabku yg kemudian melemparkan pandangan ke arah Lana. Ekspresi Lana saat itu seperti bingung,
menandakan dia tidak melihat apa yg ku lihat. Aku kembali mengarahkan pandanganku pada sosok yg berdiri di belakang Mamanya Ratri, dan beliau masih ada di sana, di posisi yg sama. Aku melirik ke arah Lana lg, memperhatikan tatapannya yg bertanya-tanya.
Aku berusaha memastikan berkali-kali sampai aku benar-benar yakin, sosok tersebut hanya berusaha "berinteraksi" dgn ku.
"Aman Bray?", tanya Lana memastikan
"Aman... Hahahaha, kenapa emang?", jawabku menatralisir situasi.
Lana beranjak dari duduknya, mengajakku melihat sekeliling, setiap sudut rumah di lantai satu kami telaah berdua. Lana mengangkat kedua tangannya, lengan kanannya diarahkan menghadap setiap sudut, sedangkan telapak tangan kirinya dihadapkan tepat di depan mataku yg tertutup...
...sesuai permintaannya. Dia mencoba menyalurkan energi, membantuku membuka tabir dimensi yg tak kasat mata di area tersebut.
"Aman.", ucapku. Lana pun menuntunku ke sudut lainnya,
"Aman."
Kami berpindah ke sudut lain lg,
"Aman."
"Aman."
.
.
.
"Aman."
"Am...", aku terdiam...
...beberapa saat sampai Lana menegurku,
"Bray...?"
"...", aku hanya diam tidak menjawab.
"Bray...? Gimana...?", tanya Lana sekali lg.
"... Ada yg lain Bray...", sahutku.
"Apa Bray?"
"Anak kecil Bray..."
"Ada berapa?", tanya Lana
"Dua... Tapi...", kalimatku terhenti oleh suara ketukan dari kaca aquarium yg terletak tidak jauh dari posisi kami berdiri. Spontan kami semua menoleh ke arah suara tersebut, namun tidak menemukan apa pun di sana.
Bang Rio yg penasaran, berjalan...
...mendekati aquarium tersebut. Dia memperhatikan setiap sisi aquarium sampai pada satu sisi ia terdiam dan mendekatkan wajahnya, melihat lebih jelas pada sebuah sisi kaca aquarium.
"Bray...", kami pun mendekat mendengar ucapan Bang Rio yh sembari menunjuk pada kaca aquarium.
"Kenapa bang?", tanya Ratri yg penasaran dan ikut mendekat,
"Ini jejak tangan siapa...?", ucap Bang Rio yg sontak membuat kami semua terkejut dan segera mendekat untuk melihatnya.
Jiplakan tangan kiri berukuran kecil, persis menyerupai tangan anak-anak.
"Astaghfirullahalazhiim... Tangan sopo iku?", ucap Mamanya Ratri yg terkejut bukan main, terlihat dari ekspresi wajahnya yg memucat.
Sesaat setelah ucapan Mamanya Ratri, tiba-tiba terdengar sayup-sayup suara tawa anak-anak kecil yg saling bersahutan.
Kami semua saling melempar pandang. Suara tawa itu terdengar sangat dekat, seakan melintas mengitari tepat di belakang kami. Ratri yg terlihat ketakutan, terduduk lemas seketika.
"Astaghfirullaah... Astaghfirullaah... Astaghfirullahalazhiim!!!",
Aku dan Lana bergegas...
Mengangkat Ratri, sedangkan Bang Rio menarik Mamanya Ratri, kami berusaha secepat mungkin menjauhkan mereka dari area tersebut, menggiring mereka keluar menuju teras.
"Bray... Masih kuat gak?", tanya Lana padaku seusai kami mengamankan Ratri dan Mamanya.
"Hah? Lo mau masuk lg?!"
"Harus Bray... Harus segera diberesin yg kayak begini!", ucapnya
"Gimana cara Bray?", tanyaku ragu. Lana melihat sekeliling, dan segera berjalan mengambil ember yg berada tepat di bawah keran di samping pagar.
"Tante, aku pinjem embernya ya?", ucap Lana sambil mengisi ember...
...tersebut dgn air. Mamanya Ratri hanya mengangguk, tak mengerti apa yg ingin Lana lakukan.
"Lo mau ngapain Bray?", tanyaku bingung. Aku pun tak mengerti apa yg ingin Lana lakukan dgn ember yg telah ia isi setengah penuh tersebut.
"Gw bakal minta bantuan lo lg nih Bray..."
"Hah?! Mau ngapain kita?!", tanyaku panik
"Kita netralisir dulu kondisi di dalem... Tri, lo ada garem?"
"Ada bang... tapi di dalem..."
"Gw aja yg ambil!", sahut Bang Rio yg terlihat cukup berani.
"Garemnya ada di dapur Bang...", sahut Ratri.
Bang Rio segera berlari ke dalam,
bergegas menuju ke dapur. Tak berapa lama, ia sudah kembali ke teras dgn sebungkus garam di genggamannya.
"Nih Bray...", Bang Rio pun seger memberikannya pada Lana. Aku memperhatikan Lana menaburkan garam tersebut ke dalam ember, terlihat mulutnya bergerak membaca doa sambil...
...menaburkan garam tadi. Lana pun meletakan bungkusan garam yg tersisa di atas meja dan beranjak melangkah masuk ke dalam,
"Ayok Bray!", aku pun mengikutinya di belakang, tanpa mengetahui apa yg akan kami lakukan.

***
Lana meletakan ember yg dibawanya di ruang tengah. Ia berjalan mengitari ruang tengah dari satu sudut ke sudut yg lain, dari satu sisi ke sisi lainnya.
Kini Lana pun berdiri tepat di depan aquarium,
"Bray... Dzikir yak. Baca ayat kursi sama 3 Qul kayak tadi."
Aku pun mengikuti instruksi Lana. Dalam pengelihatanku kini, "mereka" muncul, tapi tidak hanya 2. Ada 5 secara keseluruhan yg berbentuk seperti anak kecil.
"Bray... Koq jadi banyak?", ucapku yg masih menutup kedua mataku.
"Gpp Bray, mereka baru keluar semua.", jawab Lana.
"Bray, lo coba berdiri di belakang ember ngadep ke sini ya...", aku mengangguk, mengikuti petunjuk Lana. Anehnya, setelah aku menghentikan langkahku dan menghadapkan badanku ke arah Lana, aku baru sadar, aku berjalan dan melihat dgn normal kondisi sekelilingku dgn mata tertutup.
Aku melihat situasi di sekitar aquarium, memperhatikan sosok-sosok kecil tersebut, dan baru menyadari paras mereka tidaklah seperti anak-anak pada umumnya. Lebih terkesan... Tua.
Wajah mereka berkeriput, ada yg berjanggut dan beruban. Semuanya hanya mengenakan celana pendek...
...yg agak tebal, seperti memakai pempers. "Tuyul". Entah dari mana kata itu datang, namun itu yg terlintas dalam pikiranku.
"Tahan di sana ya Bray, udah gw kasih pembatas di sekeliling tempat lo berdiri. Kita arahin mereka ke tempat lo", ucap Lana. Aku hanya mengangguk,
berusaha tidak menunjukan rasa takutku.
Lana pun berdiri di depan ember yg berada tepat di depan ku, ia menghadap ke arah aquarium, mengambil segenggam air dari ember itu dan mengibaskannya ke arah mereka.
Ekspresi mereka seketika berubah. Paras mereka memerah, marah.
Jadi ini maksud Lana, membereskan mereka dgn cara memancing kemarahannya?
Mereka pun mengamuk, berlarian menuju ke arah kami. Setiap kali salah satu dari mereka menyerang, Lana mengelak dan menghindari. Setiap kali itu jg mereka seakan kesakitan.
Aku yg penasaran, mencoba...
...memperhatikan dan mulai menyadari, air itu membakar mereka. Pembatas yg dimaksud Lana adalah lingkaran yg ia gambar menggunakan air dari ember tersebut, dan itu yg menyakiti mereka.
"Bray... Udah Bray... Jangan bakar lg...", ucapku pada Lana.
"Hah?!", Lana hanya menoleh...
...ke arahku dgn ekspresinya yg terkejut mendengar ucapanku.
Entah, dari mana aku mengetahui hal ini, tapi aku mengambil posisu duduk bersila dgn perlahan dan tenang. Lana yg sudah mengambil ancang-ancang untuk mengibaskan air lg pun terdiam, mengikutiku.
Perlahan, mereka pun menghentikan serangan dan terduduk di luar garis pembatas. Di saat inilah sesuatu yg tidak pernah kualami sebelumnya terjadi. Kami berbincang. Berdiskusi dgn tenang. "Kongkow dgn makhluk ghoib" bukan lah sesuatu yg pernah terlintas dalam pikiranku selama ini.
Yah, ini adalah pengalaman pertamaku berdialog dgn makhluk ghoib, terlebih lg dgn Tuyul. Apa yg kami bicarakan bukan hal yg cukup penting sebenarnya, hanya mengenai alasan mereka berada di sana dan apa dampaknya bila mereka pergi.
Aku membuka mataku sejenak dan melemparkan...
...pandanganku pada Lana sesaat. Aku melihat tatapan Lana saat itu yg kebingungan memperhatikanku. Dan sekali lg, aku menyadari bahwa hanya aku yg berinteraksi dgn mereka melalui bahasa di ruangan ini.
"Bray... Mereka cuma disuruh, dan kalo gak nurut mereka bakal dimusnahin", ucapku pada Lana.
"Lo yakin Bray? Bukannya mereka dusta?"
"Untuk hal ini, gw rasa gak. Soalnya gw jg ngerasa ada orang lain yg berperan di sini", jelasku.
"Hmm... Yaudah, kita netralisir aja"

***
Kami pun beranjak keluar menemui Bang Rio, Ratri dan Mamanya. Mereka sudah menunggu kabar dari aku dan Lana.
"Gimana toh mas?"
"Alhamdulillaah Tante, aman...", ucap Lana.
"Tapi mohon maaf Tante, tadi Ifan yg coba komunikasi sama mereka, jadi mungkin lgsg Ifan aja yg jelasin."
"Gpp Bray gw ceritain?", Bisikku pada Lana,
"Gpp, lebih baik dijelasin supaya gak ada salah paham, tapi jgn sampe nimbulin fitnah ya Bray ngejelasinnya...".
Aku pun duduk di depan Ratri dan Mamanya, menjelaskan hasil dialog ku dgn mereka tadi.
"Astaghfirullahalazhiim... Koq ada ya org yg dzolim itu? Gak cuma mengancam keselamatan org lain, tapi jg mengancam yg ghoib...", ucap Mamanya Ratri setelah mendengar penjelasanku.
"Tapi mohon maaf Tante... Semoga yg saya jelasin gak buat Tante menduga-duga siapa orangnya...",
"Gak mas. Aku jg gak mau tau siapa, sing penting keluarga ku aman dulu... Tapi untuk besok tetap jd ya mas buat liatin warung ku... Hahaha"
"Mamaa iih!", selak Ratri.
Kami pun hanya tertawa mendengar ucapan Mamanya Ratri. Satu urusan telah selesai, kini tinggal merapihkan sisanya
***
Seluruh badan ku terasa pegal, setiap persendian ku rasanya ingin lepas dari sanggahannya. Aku tak mengira kalau berurusan dgn hal-hal ghoib betul-betul menguras tenaga. Bahkan sangat sulit bagiku untuk melirik melihat ujung jari kaki dari posisi ku saat ini.
Perlahan mataku mulai berat, tanpa sadar aku mulai terlelap hanyut dalam tidurku. Namun seketika mataku kembali terbuka, dgn badan yg tak lagi pegal dan kini kembali bugar.
Aku melihat seseorang yg sedang duduk bersila di hadapanku, tersenyum kecut dgn ekspresi sedihnya.
°Assalamu 'alaikum warrahmatullah wabarakatuh...°
Terdengar suaranya yg berat menyapaku dgn nada yg tenang dan menenangkan.

"Wa 'alaikum salam warrahmatullah wabaraktuh... Anda siapa?", jawabku dgn pertanyaan lainnya.

°Saya adalah dia yg tak bernama, yg dititip tugaskan...
°...untuk menjaga dan merawat keutuhan dan kelangsungan beliau yg menyambut mu dalam wujud manusia sebagai garis darah keturunannya°

Aku hanya diam mencoba memahami makna perkataan beliau. Aku sadar bahwa ini hanya mimpi, dan semua yg terjadi saat ini tidak nyata.
Namun ada yg mengusik pikiranku tentang sebuah pesan yg ingin disampaikan. Sampai aku teringat akan sesuatu. Sosok yg tengah duduk di hadapanku adalah sosok yg kulihat berdiri di belakang Mamanya Ratri tadi siang.
Tiba-tiba dari arah belakangku terdengar suara yg seakan familiar.
°Utarakan apa yg ingin kau sampaikan dgn lugas... Dia yg ada di hadapanmu blm memahami makna dirinya sendiri, terlebih makna ucapanmu.°

Aku tau, suara itu bukan berbicara dgn ku, melainkan dgn sosok yg ada di hadapanku. Ada gejolak untuk menoleh ke belakang melihat wujud...
...dan sang pemilik suara, namun sesuatu seolah meyakinkanku bahwa ini blm saatnya. Aku tau aku pernah melihatnya, namun seakan sosok tersebut kali ini hadir dalam wujud yg berbeda. Wujud yg harus beliau tunjukan ketika berhadapan dgn sosok lainnya di hadapan ku.
Kini sosok yg duduk di hadapanku pun tersenyum, dan sesaat ketika aku menatapnya, ada yg berbeda dalam penampilannya. Pakaian yg dikenakannya telah berganti, pakaian ada Jawa yg semula berwarna cokelat menjadi berwarna putih bersih, wajah yg semula berkeriput kini...
...tampak kembali muda dan tampan. Beliau pun mulai membuka bibirnya, berbicara dgnku,

°Nak, apa kamu ingat ucapanku tadi?°, tanyanya padaku

"Maaf mbah, saya gak bisa mendengar suara mbah tadi siang... Hanya bisa melihat gerakan bibir saja", jawabku pada beliau.
Sosok itu tersenyum,
°Wes, coba diingat dulu...°
Entah bagaimana caranya, seketika aku terbayang kejadian tadi siang. Dan kali ini, aku dapat mendengar suara beliau,
°Cincin°,
itu yg beliau sampaikan.

°Wes eling, Le?°,
"Nggih mbah...",
Keanehan berikutnya terjadi,
Aku membalas dgn bahasa Jawa! Sedikit, namun secara spontan aku membalas seolah itu adalah bahasa sehari-hari yg kugunakan. Tanpa ku sadari, refleks aku menoleh ke belakang. Ke tempat di mana sosok lain berada. Ke tempat yg tidak seharusnya ku lihat saat ini.
Aku merasa seolah dikendalikan oleh sosok dibelakangku, sehingga bertutur bahasa yg sama dgn sosok yg ku hadapi.
Namun betapa terkejutnya aku melihat perubahan pada sosok yg sebelumnya pernah kulihat ketika pertama kali aku di "buka" dengan bantuan Lana.
Beliau duduk dgn pakaian yg megah, dengan nuansa kuning keemasan. Syorban yg dikenakannya kini lebih besar, seolah menunjukan kebesaran dan betapa tinggi derajatnya. Di lengan kanannya menjuntai tasbih berwarna putih gading.
Beliau menatap mataku yg sedang menatapnya.
Beliau hanya tersenyum, tanpa sepatah kata pun keluar dari bibirnya, sembari tangan kanannya menepuk pundakku seolah mengingatkanku betapa tidak sopannya memalingkan muka ketika sedang berbicara dengan seseorang.
Aku segera mengembalikan pandanganku pada sosok di hadapanku.
Sosok yg (masih dalam posisi duduk bersila) kini tertunduk dengan telapak tangan kananya diletakan pada dada sebelah kirinya, seolah menyapa santun memberi hormat pada sosok yg ada di belakangku. Sekali lg, aku dibuat terkejut dan terkesima dgn sikap dan tata krama "mereka".
"Sampun mba...", ucapku yg seakan membuat sosok di hadapanku itu kembali mengarahkan pandangannya padaku.

°Sampaikan padanya tentang cincin...°
°Selebihnya, ia akan mengerti.°

Sesaat setelah ucapan yg beliau sampaikan, ada sensasi hangat pada punggungku.
Tak berapa lama, aku merasakan sesuatu menepuk keras tepat di sisi kiri bahuku. Aku pun terbangun dgn nafas yg berat.
Mataku menatap lurus pada langit-langit kamar, masih mencoba memahami arti mimpi yg baru saja ku alami.

***
"Bu, LA Ice nya satu ya!", seruku pada perempuan paruh baya yg sedang duduk santai di ruangan dalam warung.
"Ini mas...", ucap ibu itu memberikan rokoknya sambil mengambil uang yg telah kuletakan pada meja etalase kaca.
"Bentar ya, saya ambil kembaliannya dulu...",
lanjut si ibu yg segera masuk ke dalam ruangan di belakang warung tersebut.
"Bray, udah beli rokoknya?", tanya bang Rio yg berjalan menghampiriku.
"Udah nih bang, lg nunggu kembalian... Lo mau beli rokok jg bang?"
"Kagak... Ayok lah, nyokapnya Ratri udah nyiapin sarapan itu"
"Laah, repot-repot amat..."
"Makanya... Lah gw mah seneng, namanya anak kostan! Hahaha..."
Kami pun segera menuju ke tempat warung makan Mamanya Ratri setelah aku mengambil kembalianku.
Dari kejauhan aku melihat Lana yg sudah sibuk melihat-lihat suasana sekitar,
seperti sedang mencari sesuatu. Dia yg sadar kalau aku dan bang Rio sudah berjalan mendekat pun melambaikan tangannya memanggilku.
Aku segera mempercepat langkahku. Aku tau pasti ada yg ingin dia perlihatkan padaku.
"Mas, ayok toh... Sarapan dulu!", seru Mamanya Ratri pada kami,
"Iya Tante, jd repot-repot amat...", jawabku
"Ndak apapa toh, pasti blm pada nyarapkan?"
"Tau aja si Tante hahaha", sahut bang Rio yg langsung mengambil posisi duduk di sebelah Mamanya Ratri. Sedangkan aku langsung menghampiri Lana yg sebelumnya sudah memanggilku.
"Kenapa Bray?", tanyaku
"Gpp sih...", jawab Lana tanpa melihatku. Dia masih menatap ke arah yg lain. Lana berdiri membelakangi warung makan Mamanya Ratri, mengahadap ke arah belakang pasar. Di sana berdiri kokoh dinding yg membatasi area pasar dgn area pemukiman.
Namun sayangnya, warung Mamanya Ratri berada di sisi dinding yg membatasi pasar dgn area yg lain. Area kebun kosong dgn pohon-pohon yg masih terbilang rindang untuk perumahan. Dan tepat ke arah itulah tatapan Lana tertuju.
"Lo liat apaan?", tanyaku penasaran,
"Lo... liat apa?",
jawabnya mengembalikan pertanyaanku, sambil melemparkan pandangannya padaku. Aku pun spontan melihat ke arah yg sama di mana tatapan Lana tertuju sebelumnya. Dan kali ini, aku hanya terdiam.
"Lo liatnya apa Bray?", tanya Lana padaku. Namun aku tak bisa menjawabnya.
Atau lebih tepatnya, aku tak mau menjawab pertanyaan itu. Hanya melihatnya dgn mata batinku saja sudah membuatku ketakutan, apalagi bila harus mendeskripsikannya.
"Eh, lo liat apaan...?", Lana masih tetap berusaha menanyakan hal yg sama padaku. Namun sekali lg aku hanya diam,
dan berpaling berjalan menuju bangku yg di sebelah bang Rio.
"Lo kenapa Fan?", kali ini giliran bang Rio yg bertanya padaku.
"Gpp bang...", jawabku datar. Bang Rio melirik ke arah Lana, memberi kode. Namun Lana yg seperti mulai paham apa yg kurasakan hanya membalas dgn senyum.
"Mas, ayok toh dimakan... Sekalian dikomentari apa yg kurang.", ucap Mamanya Ratri yg berhasil sedikit mencairkan suasana. Kami pun menyantap sarapan yg telah disajikan sambil berbincang membahas banyak hal, sampai tiba-tiba aku teringat akan mimpiku semalam.
"Eh, Lan... Lo ngerasa ada sesuatu gak sama Mamanya Ratri?", tanyaku berbisik pada Lana yg duduk tepat di sebelah kiriku.
"Sesuatu apaan?"
"Gak tau sih, kayak ada yg jagain gitu..."
"... Mungkin... Emang kenapa Bray?"
"Gpp sih..."
Pertanyaanku sepertinya membuat Lana sedikit bingung. Dia hanya memicingkan tatapanya ke arahku, mencoba menerka apa yg ku lihat.
"Ada yg datengin lo?", tanyanya seketika
"Iya... Tapi di mimpi", jawabku singkat.
"Ngapain? Ada pesen?"
"Semacam itu lah..."
"... Buat Mamanya Ratri, Apa buat kita?", Lana mencoba memastikan,
"Buat Mamanya Ratri laah... Masa buat kita?"
"Ooh... Ya aman kalo gitu. Gw takutnya buat kita... Takut yg jagain gak suka cara kita", ucap Lana menjelaskan kekhawatirannya.
"Gak sih Bray, insyaAllah aman"
"Yaudah, nanti lo jelasin aja ke Mamanya Ratri, tapi jgn di sini"
"Iyaa...",

Aku sependapat dgn Lana. Sepertinya memang pesan ini harus aku sampaikan langsung pada Mamanya Ratri, tanpa perantara.
"Eeh, tapi Bray... Gw masih penasaran yg lo liat tadi apaan?",
pertanyaan Lana seketika membuatku kembali terdiam. Sendok yg sudah melaju menuju mulutku pun tiba-tiba terhenti mendengar pertanyaan itu. Akhirnya aku pun menjelaskan,
"Mungkin yg lo liat gak sama kayak apa yg gw liat, Lan... Tapi yg jelas sosok yg gw liat bentuknya gak banget!"
Namun sayang, suaraku sepertinya sedikit terlalu keras ketika mengucapkan hal itu. Spontan bang Rio, Ratri dan Mamanya langsung melihat ke arahku.
"Sosok apaan Bray?", tanya bang Rio yg penasaran mendengar ucapanku tadi.
"Perempuan?", Lana mencoba memastikan,
Aku hanya bisa mengangguk sambil membakar rokokku.
"Ancur?", lanjut Lana yg mencoba menyamakan persepsinya
"Mukanya?", selak Ratri yg jg semakin penasaran,
Aku menghisap dalam rokokku dan menggeleng. Semua mata kini benar-benar tertuju padaku, menanti penjelasan.
Aku menggerakan jari telunjuk tangan kananku, mengarahkannya dari sisi kanan atas kepalaku, menyilang ke pipi kiriku,
"Ini...",
Aku melanjutkan dengan meletakan kedua tanganku secara menyilang, seperti posisi memeluk,
"Ini...",
Kini tangan kiri ku letakan pada pangkal paha sebelah kiri,
"Ini...", aku kembali menghisap rokokku kemudian melanjutkan penjelasanku,
"Gak ada...",
Jari-jemari tanganku menggerayang pada kedua pangkal lenganku,
"Di sini... Busuk, banyak nanah...",
Mata mereka terpaku padaku, mencermati setiap gerakan yg kuberikan, mencoba memahami penjelasanku.
"Bang!", suara tinggi Ratri seketika membuatku berhenti menjelaskan,
"Udah bang... Gw eneg!"
"... Makanya gw males jelasin...", ucapku sambil melempar tatapanku ke arah Lana.
Lana hanya terdiam. Sepertinya dia tidak menyangka persepsi kami berbeda. Jauh berbeda. Sampai dia berkata,
"Nanti sebelum mulai di rumah Ratri, kita kunci dikit ya mata batin lo..."
"Hah, kenapa Bray?", tanyaku terkejut
"Terlalu detail Bray yg lo liat, gak baik jg..."
"Hah, terlalu detail gmn?", tanyaku penasaran
"Yaa... Detail", jawaban singkatnya seperti biasa tidak menjelaskan apa pun. Namun sepertinya Lana segera menyadari apa yg kupikirkan, sambil melanjutkan menyantap makanan yg telah tersaji dia pun berkata,
"Nanti gw jelasin..."

***
Jam dinding rumah Ratri sudah menunjukan pukul 12:36 WIB, dan kami baru saja menyelesaikan ibadah sholat dzuhur berjama'ah. Lana yg saat itu menjadi imam, langsung membalikan badan setelah menyelasaikan dzikir.
"Bray...", serunya sambil menepuk dengkul ku,
"Ada alasannya kenapa bokap lo minta lo disegel dulu dikit dan gak sepenuhnya dibuka...", lanjut Lana,
"Maksudnya?", sahutku
"Gini, bukannya mau lebay ya. Tapi apa yg ada di belakang lo itu terlalu kuat buat lo yg belom paham maksud dan kegunaannya..."
"...takutnya malah jd boomerang kalo dibiarin kebuka full buat lo yg sekarang ini", lanjut Lana menjelaskan.
"Jadi hubungannya sama yg lo bilang di sana tadi, gw terlalu detail ngeliat karena efek dari apa yg ada di belakang gw itu terlalu kuat gitu?",
"Iya. Dan yg ditakutin bokap lo kejadian jg kan... Lo sendiri gak siap buat ngeliat yg kayak gitu."

Mendengar penjelasan Lana terakhir membuatku berpikir, apa mungkin itu pula yg menyebabkan sosok yg ada di belakang Mamanya Ratri hanya bisa dilihat oleh ku? Atau...
"Nah, contoh lainnya kayak mimpi lo.", tepat saat aku memikirkan hal tersebut, Lana berusaha membahas apa yg sudah kuceritakan padanya di perjalanan menuju rumah Ratri. Menurut Lana, aku harus menyampaikannya langsung pada Mamanya Ratri.
Namun aku meminta supaya Lana yg menyampaikannya. Sekali lg dia menolak dgn alasan pesan itu dititipkan kepadaku untuk disampaikan kepada Mamanya Ratri. Amanah, itulah prinsip yg harus dipegang bagi setiap siapa saja yg memiliki kemampuan berinteraksi dgn "mereka".
Bukan malah menyampaikan kepada khalayak ramai mengenai pesan yg ditujukan secara khusus. Sedangkan untuk pesan yg disampaikan secara umum, utarakan lah dgn bahasa yg mudah dipahami dan tidak multi-tafsir sehingga tidak menimbulkan asumsi yg tidak diharapkan.
"Mimpi lo semalem itu jg efek dari apa yg ada di belakang lo.", lanjut Lana.
Aku hanya terdiam mencoba mamahami banyak hal yg saat ini berkecamuk dalam pikiran dan hatiku.
"Jadi gimana, lo siap gak untuk kebuka kayak gini? Atau kita segel aja dulu?", tanya Lana melanjutkan.
"Bismillah Bray... Kalo emang ini caranya supaya gw cepet paham, gw coba ikhlas. InsyaAllah gw siap.", jawabku tegas. Mendengar jawabanku yg mungkin tidak sesuai perkiraannya, Lana terdiam. Ekspresi terkejutnya tidak bisa tertutupi oleh pembawaannya yg tenang kali ini.
Tapi di saat yg bersamaan, terlihat senyum tipis dari bibirnya. Entah apa maksud dari senyum Lana saat itu.
"Yaudah yok, kita langsung ke bawah aja kalo gitu!"
Kami pun bangkit dan beranjak menuju ke bawah. Dan di sinilah keanehan mulai terjadi.
Ada sesuatu yg menyentuh kakiku ketika kami menuruni tangga.
"Waaa!!", aku seketika berteriak karena terkejut. Dan sepertinya teriakanku jg mengejutkan semua orang di rumah itu.
"Kenapa mas?", tanya Mamanya Ratri yg datang menghampiri bersama bang Rio dan Ratri.
"Lo kenapa bang?",
"Bray?",
Semuanya melemparkan pertanyaan yg sama, tapi aku hanya diam dan menoleh kembali ke lantai atas berharap bahwa memang ada sesuatu yg terjatuh dari sana.
Aku melihat ke atas dan ke bawah lantai tempat pijakan terakhirku, dan tidak menemukan apa pun.
Hingga aku terimgat dengan hal yg kulihat kemarin. Ular! Pikirku dalam hati. Aku menoleh ke arah Lana, seakan paham maksud tatapanku, Lana pun mengangguk.
"Yaudah, kita liat yg ditangga dulu ya", ucapnya
"Tapi... Sekarang udh pindah",
sahutku yg entah sejak kapan sudah menutup mata, melihat sekeliling dan tidak menemukan sosok itu lg di sekitar area tersebut.
"Kemana Bray skeg ularnya?", tanya Lana. Entah apa yg menggerakan tubuhku, namun tanpa kusadari aku telah berjalan mengitari ruangan.
Seakan mencoba mencari sesuatu, tangan kananku bergerak bagaikan antena penangkap signal. Sampai pada satu titik, di muka sebuah lorong, ruangan penghubung antara rumah kakaknya Ratri, tempat kami berada saat ini, dgn rumah orang tua nya. Tanganku menunjuk tepat di sana.
Lana berjalan mendekat ke tempat kemana tanganku menunujuk
"Di sini?", tanya Lana padaku.
Aku hanya mengangguk, namun perlahan mengambil langkah mundur. Bang Rio, Ratri dan Mamanya pun mengikutiku. Seolah memberikan isyarat, Lana mengangguk padaku.
Kami berdua mengambil posisi duduk bersila di masing-masing pangkal dan penghujung lorong tersebut, dan mulai melafazkan bacaan surat-surat Al Qur'an yg biasa kami baca.
Sosok ular besar itu mulai merespon dgn desisan dan gerakan-gerakan badannya dalam penglihatanku.
Semakin banyak dan lama kami melafazkan bacaan, semakin besar pula respon dari sosok tersebut. Hingga pada suatu momen, hal yg tidak kuduga terjadi.
Gerakan yg awalnya terlihat lambat kini semakin cepat, dengan radius gerakan yg semakin kecil.
Semakin cepat hingga terlihat seperti sebuah getaran yg tiada henti. Namun semakin cepat getaran yg ditimbulkan, seperti satu persatu ada sesuatu yg terlepas dari badannya. Dan sesuatu itu membentuk sosok yg sama dgn ukuran yg jauh lebih kecil.
Semakin cepat getarannya, semakin banyak yg terlepas, bahkan dari sosok-sosok yg lebih kecil tersebut, seperti seakan membelah diri. Hal itu terjadi beberapa saat, sampai tanpa kusadari seluruh lorong itu penuh dgn sosok ular-ular hitam berukuran kecil namun tanpa mahkota.
Di sinilah keanehan berikutnya terjadi. Perlahan, gerakan dari sosok ular-ular kecil itu pun melambat, sampai satu per satu berhenti bergerak, terdiam dan perlahan-lahan menghilang seperti seperti debu yg tertiup angin. Ruangan lorong yg sesak dipenuhi ular-ular kecil,
secara perlahan kembali lowong dgn menghilangnya sosok-sosok mereka satu per satu. Hingga pada akhirnya hanya menyisakan satu sosok ular hitam berukuran normal dgn sesuatu seperti mahkota berwarna kuning keemasan melekat di kepalanya.
Aku dan Lana secara bersamaan membuka mata, kami saling melemparkan pandangan seperti memberikan kode. Aku pun mengangguk menandakan suasana sedikit mulai terkendali.
Melihat itu, Lana pun bangkit dan berjalan menuju tempat di mana sosik ular terakhir tergeletak.
°Aku hanya menjalankan apa yg diminta, seperti apa yg telah diucapkan dalam perjanjian°,

Entah dari mana, namun aku mendengar suara seorang berbicara kepadaku dengan nada lirih. Seperti suara perempuan. Aku membuka mataku, melihat sekeliling memastikan bahwa itu...
...bukanlah suara Ratri ataupun Mamanya. Ekspresi mereka tidak menunjukan hal tersebut, bahkan mereka hanya terfokus dgn apa yg akan Lana lakukan. Aku kembali melemparkan pandanganku ke setiap sudut, hingga aku menemukan sesuatu.
Tepat dititik dimana Lana duduk sebelumnya, diujung lorong yg berlawanan dgn ku, berdiri sesosok perempuan cantik lengkap dengan atribut pakaian berwarna hitam dengan 2 lembar kain selendang berwarna kuning dan hijau persis seperti penari, atau putri jaman kerajaan.
Aku kencoba melihat ke arah Lana, namun dia seakan tidak menyadari hal itu. Kembali, berarti hanya aku yg melihatnya.

"Pergilah... Bukan tempatmu di sini!", ucap ku dalam hati.

°Perjanjian telah usai ketika tubuh malang itu kutinggalkan°, jawabnya
°Namun tugasku blm tuntas...°, lanjut sosok cantik itu.

"Tidak bisa! Kamu tidak boleh lg menetap dan mengganggu keluarga ini lg."

°Mereka tetap akan datang, sekali pun bukan aku yg melanjutkan. Akan selalu ada yg datang di setiap yg pergi.°,
aku terdiam, bila memang tidak akan berakhir, lalu buat apa usaha "pembersihan" ini. Sudah pasti akan sia-sia belaka. Namun seperti mendengar suara dalam pikiran ku, sosok itu pun menjawab dgn senyum tipis,

°Selama perjanjian masih ada. Selama masih ada...°

***
Aku berjalan keluar rumah, melangkah keluar pembatas pagar rumah Ratri. Bertahap aku melemparkan pandanganku ke setiap arah, memperhatikan setiap sudut rumah dari luar. Atap, kebun kosong di depan rumah Ratri, sampai ke ujung jalan,
"Aman insyaAllah Bray...",
ucapku seraya berjalan kembali ke rumah Ratri kepada Lana yg berdiri di depan pagar jg sambil memperhatikan area sekitar.
"Di dalem jg mulai aman.", sahut Lana padaku.
Namun aku tahu, kami berdua merasakan hal yg sama. Sesuatu yg membuat perasaan kami masih tidak tenang.
Kami saling beradu pandang, sama-sama meyakinkan diri. Lana mengangguk seakan memberikanku kode. Ok, jadi sekarang aku harus mencoba menjelaskan apa yg terjadi selama di lorong kepada Ratri dan Mamanya.
Kami berjalan kembali ke teras depan, tempat bang Rio, Ratri dan Mamanya.
Perlahan Lana mulai menjelaskan, dan sesekali melihat ke arah ku mencoba memintaku untuk membantu menjelaskan. Kami berhasil menjelaskan situasi yg kami alami. Namun ada satu hal yg tidak dijelaskan oleh Lana. Satu hal yg mungkin bahkan Lana pun tidak mengetahuinya.
Ya, sesuatu yg hanya aku yg mengalaminya. Aku tidak dapat menjelaskannya kepada Ratri dan Mamanya, kepada kakaknya Ratri dan kakak iparnya yg jg sudah pulang dan turut mendengarkan penjelasan kami. Bahkan aku tidak bisa menjelaskan kepada Lana apa yg tadi ku alami.
Aku bingung bagaimana aku harus menjelaskannya. Aku takut bilamana kusampaikan justru akan menimbulkan pikiran-pikiran negatif dalam benak keluarga Ratri, yg mana sangat berbahaya bila pikiran negatif dibiarkan ttp dalam lingkungan yg "sedang tidak aman" seperti rumah mereka.
Pikiranku tak karuan, bingung harus bagaimana menyampaikannya, sampai tiba-tiba suara Lana memecahkam semua,
"Bray, mungkin ada yg mau lo sampein?"
"Hah?", sahutku yg tersentak kaget. Hal apa yg ingin kusampaikan? Aku bingung dgn ucapan Lana. Aku menatap Lana penuh tanda tanya.
Lana hanya tersenyum sambil menepuk bahuku,
"Tadi waktu di pasar kan katanya ada yg mau lo sampein", seketika aku langsung teringat dgn mimpiku. Aku melemparkan tatapanku ini ke araha Mamanya Ratri yg jg sedang menatapku bingung. Aku pun segera memperbaiki posisi dudukku.
"Maaf sebelumnya Tante, ada yg mau saya tanyakan kalo Tante gak keberatan", ucapku
"Ada apa toh mas Ifan?", sahut Mamanya Ratri yg terlihat penasaran dgn ucapanku.
"Anu... Kalo bapak-bapak yg tinggi, kumisan, pake blangkon dan baju beskap jawa warna coklat sama tongkat itu...
...siapa ya?", entah kenapa seketika aku merasa salah menanyakan hal ini.
Aku melihat Mamanya Ratri menutup mulutnya dgn kedua tangannya seolah terkejut. Di sisi lain, tatapan bingung Lana pun kini seakan meyakinkan pertanyaan yg tidak seharusnya terucap dari mulutku.
"Ma... Maaf Tante, bukan maksudnya lancang, tapi...", aku mencoba mengklarifikasi pertanyaanku, namun terpotong oleh pertanyaan Mamanya Ratri.
"Badannya tegap yo mas...? Mukane galak, tapi rajin senyum... Iyo?",
"Iya Tante...", jawabku
"Subhanallah, mas... Mas liat dmn?"
Aku hanya bisa diam, bingung menjelaskan.
"Itu mbah uyut ku...", jawab Mamanya Ratri.
"Beliau deket buanget sama aku. Kalo kata orang, aku ini cicit kesayangan beliau...", sambungnya sambil tertunduk meratap. Cicit kesayangan. Tak heran beliau bahkan hadir dalam mimpiku,
hanya untuk menyampaikan pesan untuk Mamanya Ratri.
"Cincin", ucapku. Dan seperti terkejut, Mamanya Ratri mengangkat kepalanya, menatapku dgn matanya yg membesar.
"Dari mana...?", sahut Mamanya Ratri terbata.
"Beliau datamg ke mimpi saya semalem...", jawabku
"Dan sebelumnya, waktu kita lg periksa lantai 1 kemarin, beliau jg ada di belakang Tante. Dan pesannya itu... Cincin", sambungku menjelaskan.
Tiba-tiba Mamanya Ratri bangkit dari duduknya, bergegas masuk ke dalam kamarnya. Kami semua terdiam. Ada perasaan menyesal,
apakah aku menyampaikan hal seharusnya tidak perlu kusampaikan? Hingga tak berapa lama Mamanya Ratri segera kembali keluar, kembali ke tempat duduk yg sebelumnya ia tinggalkan. Ditangannya kini ada sebuah kotak, seperti kotak perhiasan.
Ia membuka kotak perhiasan tersebut dan mengeluarkan sesuatu yg dibalut rapih dgn kain berwarna putih. Ia menutup kembali kotak tersebut dan meletakannya di meja teras yg berada di sampingnya.
Seakan ingin menunjukan sesuatu kepadaku,
ia menjulurkan tangan kanannya yg memegang bungkusan kain putih tersebut, sembari tangan kirinya membuka balutan kain itu secara perlahan.
Aku terdiam melihat isi di dalam kain putih itu. Sebuah cincin cantik dengan ikatan emas murni yg cukup berkilau,
dengan batu cincin berwarna hijau bening seperti batu krypton di film superman. Cincin yg sangat cantik dalam sudut pandangku, sekalipun aku tidak mengerti ttg cincin dan batu. Namun melihatnya saja membuatku mengerti ada sesuatu yg lain dari cincin tersebut.
Sesuatu yg jauh lebih berharga dari sekedar cincin. Ada sesuatu yg seakan menyelimuti cincin tersebut. Seperti sebuah resonansi aura dgn warna putih kebiruan (dalam pengelihatanku).

"Iki, peninggalan mbah uyut buatku. Cincin ini disimpen lama banget sama kakakku..."
"...dan baru dikasihkan ke aku sebelum almarhum meninggal tahun lalu.", ucap Mamanya Ratri menjelaskan. Sambil menatap mataku dgn tatapannya haru, Mamanya Ratri kembali melanjutkan,
"Apa cuma itu pesan yg disampaikan beliau?", aku pun hanya mengangguk.
Terlihat senyum tipis dari bibir Mamanya Ratri. Seakan banyak yg ingin ia tanyakan sebenarnya.
"Beliau bilang, Tante harus kuat. Ujian datang semata-mata karena Allah sayang sama Tante.", ucapku setelah melihat sosok yg disebut sebagai "Mbah Uyut" kembali hadir...
...tapt di sisi belakang sebelah kiri Mamanya Ratri sambil merangkul dan mengusap lembut rambutnya. Dan seperti mendengar pesan yg telah lama dinanti-nanti, air mata haru menetes dari mata Mamanya Ratri.
Usaha pembersihan pun kami sudahi di sini dgn masih banyaknya tanda tanya dalam benakku. Bagaimana kedepannya keadaan rumah Ratri? Apa lagi yg akan datang dan mencoba mengganggu keluarga ini? Siapa yg sebenarnya memiliki masalah dgn keluarga Ratri, sampai tega berbuat begini?
Semua pertanyaan ini yg kemudian merubah banyak hal dalam sudut pandangku. Begitu banyaknya sampai mempengaruhi keputusan-keputusan yg kuambil dalam hidupku.

***
Sekian cerita "Part II : Interaksi" kali ini. Mohon maaf bila ada kesalahan dalam penulisan atau penyampaian, semoga teman-teman bisa memahami dgn baik dan bisa mengambil hikmah dari cerita ini. Sebelumnya, saya sudah minta izin dgn narasumber dan mba Ratri untuk menuliskan...
...kembali pengalaman yg mereka alami bersama. Untuk Lana, kebetulan sampai saat ini saya masih susah untuk menghubungi beliau yg sedang berada di Timur Tengah karena tugas pekerjaannya. Untuk keadaan rumah mba Ratri sendiri alhamdulillah saat ini sudah jauh lebih baik,
walaupun beberapa waktu setelah kejadian itu memang muncul beberapa gangguan lg.
Demikian cerita ini saya sampaikan. Semoga sang narasumber masih berkenan untuk membagikan kisah-kisahnya yg lain supaya serial "TU7UH" ini bisa berlanjut di part ke-3.
Sekali lg mohon maaf apabila ada penyampaian ataupun penulisan yg kurang berkenan. Wassalamu 'alaikum wr wb,

bonkioong pamit 🙏
Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh.

Enjoying this thread?

Keep Current with bonkioong

Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

Twitter may remove this content at anytime, convert it as a PDF, save and print for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video

1) Follow Thread Reader App on Twitter so you can easily mention us!

2) Go to a Twitter thread (series of Tweets by the same owner) and mention us with a keyword "unroll" @threadreaderapp unroll

You can practice here first or read more on our help page!

Follow Us on Twitter!

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just three indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3.00/month or $30.00/year) and get exclusive features!

Become Premium

Too expensive? Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal Become our Patreon

Thank you for your support!