Cerita yang menjadi pondasi dasar sebelum SUMIYATI dan ANGKLEK ANGKLEK BALUNGAN WESI.
"Dari keputus asaan aku menembus hutan belantara. Melalui Angon Sukma aku memulai semuanya"
@bacahorror #bacahorror #bacahoror #ceritaht
"Pak maaf, bapak tau sendiri keadaan pabrik seperti apa. saya tau ini berat namun jika harus mempertahankan semua buruh perusahaan, kami pun kuwalahan. jadi buruh yang sudah tidak produktif lagi terpaksa akan kami berhentikan"
"Maaf pak keputusan pabrik sudah bulat"
ya mau tak mau aku harus menerimanya. sembari mencari opsi lain untuk bertahan hidup.
masih segar di fikiranku tentang ban yang di bakar juga tentang raungan buruh yang bingung akan mendapatkan penghasilan di jaman yang serba susah ini.
aku memilih melamun di dekat sungai sembari menyalakan rokok yang tinggal satu biji. memikirkan bagaimana kelanjutan hidup.
sudah tiga bulan menunggak kontrakan, sudah tiga bulan tidak gajian,
andai istriku masih hidup pastilah semua akan lebih mudah.
di sela lamunanku aku teringat akan Ndoho. kawan karibku semasa di kampung dulu. dengan rasa tidak tau malu aku sempat berfikir ingin mengunjunginya.
malam itu juga kami berangkat.
"Pak mau kemana?" tanya Agus
"Kerumah kawan bapak" kataku
"Pak laper"
"sabar ya"
syukurlah tidak lama setelah itu lelaki jangkung keluar dengan raut wajah kaget.
"Duh Gusti Karso? karso koncoku? hoalah Gusti"
aku menangis tersedu-sedu. sedih bercampur bahagia.
sedih karna datang tak membawa apapun, senang karna di sambut hangat.
"Ho, iki anakku lanang. Agus" (Ho, ini anak lelaki ku. Agus)
untuk sesaat kekawatiranku hilang.
kami masuk ke dalam rumah yang hangat, ada Ndoho beserta istrinya Wati. dan buk Nah
"Hoalah so, ibuk kangen" katanya, membuatku menitikan air mata.
"Onok opo mas?" (ada apa mas?) tanyanya.
"onok opo ngger?" (ada apa nak?) tambah Buk nah.
aku berdiam sejenak sebelum menjawab pertanyaan mereka.
"Aku di PHK" jawabku sembari menundukkan wajahku
"Buk, aku pengen ngerti asal usulku. peninggalan bapak. uduk kanggo aku. tapi kanggu anakku Agus" (buk aku ingin ngerti asal usul ku. peninggalan bapak. bukan untuk aku. tapi untuk anakku Agus)
"Bagianmu ada di ujung bukit itu. semua yg kamu butuhkan ada di sana" kata Buk Nah menunjuk bukit yang sama-samar terkena sinar matahari.
"Onok opo buk?" (ada apa buk?) tanyaku penasaran.
"Bapakmu mati mergo ibumu gagal menjalankan amanah. dulu ibu dan bapakmu orang yang kaya. hampir keseluruhan dari bukit
Buk nah mengatakan dengan mata yg berkaca" seakan beliau tau tentang segala hal yang ada di dalam bukit tersebut.
"Ngger" Buk nah memegang tanganku erat, seakan menahan agar aku tidak pergi.
"Buk titip Agus" kataku.
"Gus" panggilku.
anakku berlari kecil lalu duduk di pangkuanku, menatapku dengan tatapan tanya.
"Wes talah Ho, keputusanku wes gak iso di ganggu" (sudahlah Ho, keputusanku sudah tidak bisa di ganggu)
kataku sebelum ahirnya keluar dari rumah tersebut. namun belum juga aku berjalan jauh, Ndoho kembali memanggilku.
aku tersenyum, menghargai kebaikanya. setelah mengambil bungkusan berwarna hitam aku kembali melanjutkan jalanku.
sedikit lebih masuk aku melewati jalan dengan pohon bambu di kanan kirinya.
jalan ketiga sudah tidak ada lagi jalan setapak yang artinya warga desa sebelah hanya sampai disini saja.
semakin masuk semakin terlihat banyak pohon cengkeh. mungkin inilah bagian dari desaku. peninggalan orang tuaku.
semakin masuk semakin tinggi pula rumput yang harus aku lewati. sampai ahirnya terlihat gapura dari kayu yg bertuliskan "DESA RAWA TERLUH"
terlihat bangunan-bangunan itu sangat mengerikan. bagaimana tidak? bangunanya roboh dan sudah di tumbuhi banyak lumut juga rumput yang begitu tinggi.
bangunanya sangat besar dan terbuat dari kayu jati. mungkin itu sebabnya dia tidak roboh. aku memasukinya, coba mencari tahu apa saja yang terdapat di dalam sana.
awal aku masuk ruangan di bawah hanya terdapat meja dan kursi. di belakangnya dapur. dan saat aku naik keatas
di ruang atas terdapat tiga kamar. kamar pertama seperti kamar pada umumnya, kasur dan meja rias.
kamar kedua, seperti kamar anak kecil, terlihat dari beberapa mainan kayu yg bergeletakan
aku mendekat, ku lihat kepala kerbau tertancap di atas, di bawahnya terdapat bekas bunga kering juga kertas-kertas
aku membaca satu persatu, mencoba mengerti apa yang tertulis di tiap lembaranya.
dan kaget bukan main saat mengetahui kalau ternyata kertas-kertas itu bertuliskan sebuah penawaran, pemanggilan dan juga serah tumbal.
karna merasakan kengerian yang teramat sangat aku pun berencana pulang. ternyata benar yang dikatakan Buk Nah. pernah terjadi pekara besar di sini, dan kedatanganku kesini salah
BRAKKKKK
namun baru juga aku berbalik suara bantingan pintu membuat badanku roboh. hingga terduduk.
aku membelalakkan mataku saat aku merasakan ada yang merambat dari atab turun kebawah.
"Ndoro" katanya.
"Hwaaa hih hih aaaaaa" teriakku berbalik. menjauh darinya namun terlahang pintu.
"So.. sopo kowe" (Si.. siapa kamu?) tanyaku gemetaran.
"Baturmu" katanya
"Ojok wedi, awakmu Akso. anak e Nyai Durasih. aku open-openane" (jangan takut, kamu Akso anak dari Nyai Durasih. aku peliharaan beliau)
"Opo emhh opo kiro-kiro utange ibukku?" (apa emhh apa kira-kira hutang ibuku?) tanyaku.
"Nyowo" Nyawa.
"Lak awakmu gak iso mbayar utang. awakmu ae seng dadi ganti" (kalau kamu tidak bisa bayar utang. kamu saja yang jadi ganti) katanya kian mendekat.
"Aku iso ngekek i opo ae nok awakmu. aku ngerti awakmu gak kiro rene lak awakmu gak susah"
"Gak usah kesusu, tak wehne opo seng kok butuhne, lagek awakmu mbayar utangmu" (gak usah terburu-buru aku kasih apa yg kamu butuhkan baru kamu bayar hutangmu)
"Tak trimo tawaranmu" (aku trima tawaranmu) kataku gemetaran.
"opo seng kudu tak lakoni saiki?" (apa yang harus aku lakukan sekarang?) tanya mahluk itu tajam
"Weono aku wektu" ( kasih aku waktu) katanya dengan mata yang menatapku tajam.
"Satu minggu" kataku kasar.
"Iya" jawabnya...
"A..Aku arep muleh" (a..aku mau pulang)
Brakkkkk
namun ternyata diluar rumah suasananya lebih mengerikan karna gelap.. terlebih saat aku menembus hutan
kulihat bayanganku bukan hanya satu namun ada banyak, sialnya sinar bulan malah menambah ke ngerian. jika tidak karna rasa takutku
dan saat aku akan masuk ke desa sebelah, tepat di pohon karet terahir sosok besar turun dari atas pohon.
"Ojok lali bagianku"
asu.. ingin loncat rasanya jantungku saat sosok itu menyeringai, sampai roboh ragaku karna tak kuat menopang tubuhku yg terlanjur syok.
"Iyo" kataku nyaris tak ada suara.
"Haha" tawanya kembali naik ke pohon. bergelantung dari satu pohon ke pohon lain
"Pak?? njenengan opo o?" (pak? anda kenapa?) tanya salah satu orang itu.
karna tak ada jawaban dariku, mereka membawaku ke pos ronda
sebenarnya tak sekosong itu juga, karna aku bisa mengingat semua detailnya
Malam berganti pagi saat Agus membangunkanku untuk sarapan.. aku yang mengingat tentang semalam pun segera bergegas bangun, menemui Buk Nah, guna menanyakan Wartel terdekat.
Buk Nah mengernyitkan dahinya.
"Opo o to So? tangi-tangi kok nakokne Wartel?" (ada apa sih So? bangun2 kok nanyain Wartel?) tanya Buk Nah keheranan.
"Pak Kades onok telfon, nunuto nde kono ae. lak golek wartel kudu nde kuto" (Pak Kades ada telfon, kamu numpang disitu saja. kalau cari Wartel harus ke kota) kata Buk Nah.
"Soale wektuku gak akeh" (soalnya waktuku gak banyak) kata ku menjawab seadanya.
Namun saat Ndoho ingin kembali bertanya aku mengisyaratkan untun diam.
"Nko ae tak jelasne nde omah"
Untunglah pal kades sangat baik hati, membolehkan aku menggunakan telfon genggamnya.
ku rogoh saku ku untuk mengambil dompet. didalamnya masih ada satu nomor yang bisa ku hubungi.
"Halo?"
"Halo, halo.. emhh Di aki aku Karso" kataku antusias
"Lho Pak Karso, ada apa pak?" tanya suara dari sebrang.
"Tolong kasih tau buruh, saya ada pekerjaan untuk mereka. tolong pak, saya cuman percaya sama Pak Edi" kataku tulus.
"Saya kasih tau pas mereka sampai sini.. yang mau saja. bawa tabungan untuk satu bulan, untuk biaya hidup sebelum gajian" kataku menjelaskan.
"Baik Pak nanti saya kabari ke yang lain"
"Bilang sama mereka saya tidak akan mengecewakan"