Horror Story, sebuah sekuel Sang Pejalan Malam
@bacahorror #bacahorror #ceritahorror #ceritaseram
Beberapa lokasi pernah menjadi saksi bisu peristiwa horor yang sangat menyayat hati.
Catatan : nama tempat dirahasiakan
Bau bangkai menyengat pada siang itu. Burung-burung nazar dan gagak berseliweran di lokasi tersebut.
Mereka terus berjalan hingga tibalah di jembatan bambu yang membentang di atas sungai yang hampir kering itu.
"Kita harus tiba di desa sebelum maghrib. Pak Marbun sudah menunggu,"
"Kang, saya masih tidak yakin kalau orang itu sudah mati. Konon dia bukan manusia biasa," ucap rekannya yang berbaju loreng putih.
"Di zaman ini kamu masih percaya mitos, jang? Itu takhayul, jang. Ki Rawuk hanya seorang petani biasa."
"Kang, sepertinya jembatan ini mau runtuh," ujar rekannya yang lain yang berada paling depan.
"Aku akan mengeceknya, kang Soleh," tukas relawan itu seraya menghampiri Soleh yang sedang termangu di atas jembatan.
Brakkkk,
Mendadak jembatan tersebut ambruk saat Heri mencapai lokasi Soleh.
"Kembali Kang Heri, Kang Soleh! Jembatan ini sudah tidak bisa dilewati," seru Jajang.
"Siapa itu?" teriak Jajang.
"Ada apa, jang?" teriak rekannya yang lain yang berada di belakang.
Soleh dan Heri berhasil kembali saat jembatan bambu ambruk dan jatuh ke dasar sungai.
"Celaka! Kita tidak akan tiba di desa tepat waktu. Sungai ini terlalu lebar dan tebingnya terlalu tinggi untuk diseberangi," ucap Heri.
"Kang Heri, iiituu aapaa?" Jajang dengan kedua mata terbelalak ...
Sosok perempuan tersebut berwajah sangat menakutkan. Wajahnya begitu rusak menyisakan tengkorak yang sebagian terlihat.
Belum selesai kekagetan mereka, sosok tersebut menghilang disusul tercekatnya Heri dan yang lain saat melihat ke arah Jajang.
Heri hanya dapat berucap pendek sat melihat ke arah Jajang.
"Kang Heri sareng sadayana, pileuleuyan." Jajang berucap lirih sebelum sosok demit tersebut menerkamnya.
"Aaaaaaahhhhh....."
Glederrrrrrr.....
Halilintar menyalak diiringi kilatan petir.
Lokasi berganti.
Suara tabuhan genderang mem*kakkan telinga, mengiringi bangkitnya ratusan mayat di tanah kosong tersebut.
Ratusan mayat tersebut bangkit terus berjalan hanya ke satu arah yaitu bibir jurang dengan pepohonan tinggi tumbuh di sana.
Kakek tersebut berambut panjang penuh uban sebahu.
Mayat-mayat hidup itu berhenti pas di depan si kakek. Mereka
Sementara si kakek yang kedua matanya dalam kondisi terpejam serta sekujur tubuh dipenuhi luka tembakan yang masih mengeluarkan darah, mendadak membuka kedua matanya.
"Aing bakal males pati ka sakabeh nu geus mateni aing jeung babaturan!"
Sretttt
Tali yang mengekang kedua tangannya putus tanpa sebab. Tubuh kakek itu melayang ke atas tanah.
"Kuwari, hayu urang paehan sakabeh jalma nu nganyerikeun urang. Balad-balad, milu perang!"
Huaaa, huaaaa
Mayat-mayat hidup itu berteriak menyambut ujaran sang kakek.
Setelah itu suasana hening. Para mayat hidup mendadak tidak terlihat lagi. Kakek tersebut juga turut menghilang.
Seorang laki-laki berseragam tentara sedang termangu di ujung jembatan runtuh. Di belakangnya para warga desa yang terdiri dari beberapa orang laki-laki dan perempuan sedang memperhatikan ke arahnya.
"Mereka gagal keluar dari area itu. Kemungkinan besar mereka dijemput Sangkapati," tukas Pak Marbun.
Pak Marbun terdiam sejenak.
Para warga tampak saling pandang sambil berbisik-bisik.
Di hari berikutnya Pak Marbun bersama beberapa orang warga menyeberangi sungai kering tersebut.
"Abah, apakah tanah ini bisa ditempati?" tanya Pak Marbun.
"Tentu saja, Pak. Tentunya dengan syarat semua yang ingin tinggal di sini siap mematuhi segala ketentuan," ...
Abah Jahri sejenak berhenti di area tidak jauh dari jembatan bambu.
"Mereka semua disesatkan Sangkapati. Tempat ini bisa aman jika kita siap mendirikan mesjid di sini," ucap Abah Jahri.
"Kita lanjutkan dulu perjalanan. Area di sekitar pohon sengon besar itu adalah lahan yang cocok," tukas Abah Jahri.
"Maaf, bah. Pembangunan mesjid akan sia-sia jika tidak
Abah Jahri tersenyum.
"Kita akan tinggal di sini. Kita akan bangun desa untuk melindungi semua orang dari intaian bahaya," ucapnya.
Sementara Pak Marbun dan yang lain mengaminkan doa-doa Abah Jahri.
Setelah itu Abah Jahri melihat sekeliling.
"Dia ada d sini," ucapnya.
"Sangkapati, bah?"
(Kamu yang tinggal di tempat ini, tolong kembalikan warga saya. Saya memberitahu tempat ini akan dibersihkan untuk tempat tinggal warga saya.)
Sayup-sayup mereka mendengar suara parau seorang perempuan yang entah dari mana sumbernya.
"Kumawani anjeun ngarebut tanah aing! Moal dibalikkeun eta jalma-jalma nu geus julid
(translate di kolom komentar saja ya)
Abah Jahri membaca ayat kursi seraya memejamkan kedua matanya.
(berani kamu merebut tanahku! Tidak akan kukembalikan orang-orang yang sudah jahat ke sesama.
"Pak Marbun, ini pertanda buruk. Sangkapati telah menutupi matahari menggunakan kekuatannya," ujar seorang warga dengan khawatir.
"Tenang, pak. Kita tunggu Abah Jahri selesai melakukan pembersihan," tukas Pak
Kegelapan terus menyelimuti hingga hari itu seperti sudah di tengah malam saja.
Angin berhembus kencang diiringi suara cicitan misterius seperti suara cicitan kelelawar di udara.
Mendadak sesosok negatif perempuan berwajah rusak muncul di hadapan Abah Jahri.
"Hampura, nyi. Lain kumawani ganggu, tapi kuring butuh wargi nu disasarkeun dipulangkeun," (Maaf, nyi. Bukan berani ganggu,tapi saya ingin warga
Tiba-tiba sosok perempuan itu menerkam ke arah Abah Jahri. Namun, terkamannya tidak dapat mencapai Abah Jahri.
Sebaliknya Abah Jahri dapat membuat mundur sosok demit tersebut.
"Mending anjeun nyingkah, nyi, atawa teu balik
Tak lama kemudian kegelapan sirna. Hari kembali terang.
"Alhamdulillah dia telah pergi, namun ancamannya tidak bisa dianggap
Pak Marbun dan yang lain menghela nafas lega setelah mendengar perkataan Abah Jahri.
"Sekarang kita bisa membangun desa di sini, namun tanah yang di selatan sana sebaiknya jangan digarap dulu. Para anggota PKI banyak yang
Setelah itu, seluruh warga yang bersama Pak Marbun dan Abah Jahri bergotong royong membersihkan area sekitar pohon sengon.
Mereka akan membangun mesjid lebih dahulu.
Pak Marbun telah didaulat sebagai pendiri desa dan dipilih secara aklamasi sebagai kepala desa.
Ia pun meninggalkan kesatuannya di angkatan darat
Desa baru tersebut, meski terlihat aman dan tenteram, namun di baliknya terdapat misteri yang menyelimuti. Terutama soal kekhawatiran Pak Marbun mengenai anaknya, Mahfud.
Selama ini rumah Pak Marbun yang lebih besar dari rumah-rumah warga yang lain dijadikan balai desa sementara.
"Saya tidak mau menebangi pepohonan lagi. Longsor pasti
"Tanah itu sengaja dibiarkan kosong
"Klenik. Tanah bekas apapun sama saja. Mau bekas pembunuhan massal atau bekas perkosaan massal, tanahnya tidak masalah jika
"Iiitu bagus. Hehe, benar katamu, desa ini perlu perluasan. Tapi memperluas ke barat dan timur tidak memungkinkan karena terhalang hutan yang tidak boleh dirambah. Ke utara terhalang sungai yang lebar dan tiadanya jembatan seperti di kota-kota,"
"Tuh, Kang Dadang saja setuju, Kang Asep. Desa ini harus berkembang. Tidak bisa begini-begini saja. Pembangunan harus dilanjutkan. Uang desa dari pemerintah jangan ditilep buat kepentingan pribadi," ucap Mahfud seraya tertawa.
"Jika semua orang pemikirannya sama seperti Kang Mahfud, tanah kuburan pun pasti akan digusur untuk dijadikan pemukiman," sindir Asep.
"Lah, itu kan bukan tanah kuburan, kang. Itu hanya tanah kosong bekas orang-orang menaruh mayat korban
"Pernah? Dia salah seorang petani simpatisannya PKI, bukan? Ada apa Kang Asep menanyakan soal dia?" tukas Mahfud balik bertanya.
Asep menatap ke arah jejeran batang pohon tinggi yang berada di
"Di sanalah Ki Rawuk dibentangkan kemudian diberondong menggunakan Thompson. Konon mayatnya yang seharusnya tergantung di sana menghilang begitu saja. Begitu pun dengan ratusan mayat yang dikumpulkan di lahan itu."
Mahfud sejenak mengernyitkan kening saat menatap
Ia tercekat dan tampak gugup.
"Entah ini hanya penglihatanku saja, tapi di sana memang ada seseorang yang tergantung di kedua tangannya. Seorang kakek bermata sayu melihat ke arah kita," ujar Mahfud membuat Asep dan Dadang terkejut.
"Aku akan mencoba meminta izin padanya, setidaknya izin membangun rumah. Jika aku berhasil membangun rumah di sana, maka desa ini akan berkembang," kata Mahfud membuat Asep dan Dadang menepuk kening.
"Itu sangat berisiko, kang,"
"Masih ada Abah Jahri. Kang Somad juga pasti mau membantu kita membersihkan tanah terlarang ini. Cobalah pikirkan untuk apa planet ini diciptakan Tuhan," kata Mahfud membuat Asep menggelengkan kepala.
"Saya tidak akan membawa kalian berdua ke dalam bahaya. Biar bahaya saya yang tanggung sendiri," kata Mahfud.
Mahfud seorang diri membabat semak-semak, rerumputan ilalang hingga pepohonan kecil. Entah atas dasar pertimbangan apa, ...
Singkat cerita, Mahfud mendiri
Setelah rumah berdiri, tidak lupa ia mengajak istri tercinta tinggal di rumah itu.
Ia tidak peduli dengan berbagai tentangan baik dari keluarga maupun warga sekitar. Baginya, ia harus
Membawa istri tinggal di rumah yang lokasinya terpencil tentu bukan hal yang bagus, namun itu tetap ia jalani hingga kelahiran putra pertamanya, Dodi Sanjaya.
"Kang, kok kak Mahfud berani sekali tinggal di area dekat lokasi pembunuhan itu? Tempat itu kan seram," ucap istri Dadang.
"Entahlah, nyai. Kang Mahfud
Nyai Sarnah, istrinya Dadang meneruskan mengipasi nasi kukus di dalam dulang kayu sembari mengaduk-aduknya. (Jika di kampung saya disebutnya 'ngakeul').
Sementara Dadang kembali menyeruput kopinya sambil mendengarkan ....
Mendadak alunan musik qasidah berubah menjadi alunan musik tradisional khas sunda, seperti suara petikan kecapi yang diiringi gesekan rebab.
"Kenapa dipindahkan, kang? Lagu qasidah lebih baik diperdengarkan
Dadang terlihat kebingungan. "Aku tidak memindahkan gelombang-(channel)-nya, nyi."
Lantas kenapa channel radio mendadak berpindah sendiri?
"Ini aneh. Bukannya kang Somad setiap malam selalu berpatroli," kata Dadang seraya menengok ke arah radio.
"Sabar,nyi. Kang Somad pasti sedang berkeliling sekarang,"
Sayup-sayup terdengar suara teriakan.
"Allahu akbar!!"
"Kang Somad?" gumam Dadang seraya memeluk istrinya.
Dadang dan Sarnah hanya bisa saling berpelukan dengan rasa takut yang menjadi-jadi. Ditambah suara lolongan serigala di kejauhan membuat keadaan terasa sangat horor.
Mendadak Sarnah melihat
"Kang Dadang, itu apa!?" jeritnya seraya membenamkan kepala ke dada suaminya.
"Siapa itu!? Kau iblis itu, kah!?" Dadang terbelalak melihat ke arah sosok itu.
'Whuuushhhh
Makhluk tersebut menghilang, membawa serta Sarnah entah ke mana.
"Nyaiiiii......!!!" teriak Dadang ....
"Kembalikan istriku, dasar iblis!!" teriaknya seraya bangkit dari posisi duduknya kemudian berlari mondar-mandir di dalam rumah.
Tiba-tiba terdengar suara bergema, parau dan berat di telinga Dadang.
(...kalau kamu ingin istrimu dikembalikan, bunuh si Mahfud dan keluarganya. Bersihkan tanah larang
Dadang termangu setelah mendengar perkataan makhluk tersebut. Ia ragu untuk memenuhi permintaan itu, namun ia harus melakukannya demi istri tercinta.
"Baiklah, saya akan melakukan apa yang kau minta!"
Mahfud adalah sahabatnya. Ia tidak tega jika harus menjadi musuh dalam selimut bagi sahabatnya itu. Di sisi lain ia tidak mau kehilangan istrinya.
Bimbang dan ragu, itulah yang dirasakannya. Ia terus berjalan kemudian
Mendadak pundaknya disentuh seseorang dari belakang membuatnya terlonjak kaget setengah mati.
"Ada yang bisa dibantu, anak muda?" ujar kakek yang baru saja menepuk pundak Dadang.
"Kakek siapa? Kenapa ada di tengah hutan angker ini?" Dadang berucap gemetar.
Dadang tampak ragu-ragu untuk mengatakan apa yang sebenarnya sedang ia lakukan di hutan.
"Ssayaa sedang mencari istri saya yang diculik lelembut, kek."
Dadang terdiam kemudian berucap, "Makhluk itu menginginkan saya membunuh teman saya tapi saya tidak
"Hehehe, kasihan. Kakek akan bantu kamu menemukan istrimu. Syaratnya adalah tanah pengorbanan harus bersih dari unsur manusia. Kakek akan memberitahu caranya."
"Panggil saja kakek 'Ki Rawuk'. Hehehe."
"Jadi kakek, Ki Rawuk? Bukankah Ki Rawuk sudah lama meninggal?" Dadang seolah tidak percaya jika kakek itu benar Ki Rawuk.
"Hehehe, kakek sudah lama hidup sejak zaman Pakuan Padjajaran."
Ki Rawuk hanya menyeringai tertawa menyaksikan Dadang yang sedang keheranan.
Bangunan tersebut terletak di antara rimbunnya pepohonannya. Di depan bangunan terdapat sebuah kolam dengan air mancur yang misterius.
"Kamu tunggu di sini, nak. Kakek akan mengambil media
Samar-samar Dadang melihat bayangan sosok makhluk yang menculik istrinya.
"Kau, kembalikan istriku!" teriak Dadang sambil menunjuk sosok itu.
"Hehehe, jangan terbawa emosi, nak."
Ia kemudian menancapkan bagian bawah boneka itu ke tanah.
"Kakek akan memanggil sosok Sangkasena. Dia akan bernegosiasi denganmu."
Beberapa saat kemudian boneka tersebut bergetar kencang diiringi suara mendesis yang cukup keras.
Mendadak boneka tersebut melayang ke udara kemudian diselimuti asap tebal serta bau dupa.
Itulah sosok Sangkasena, lelembut yang dipanggil Ki Rawuk.
Dadang tampaknya tidak sabar ingin tahu di mana istrinya.
"Sabar dulu, anak muda. Semua butuh proses," ujar Ki Rawuk seraya melambaikan tangan ke arah Sangkasena.
Sangkasena melayang kemudian mendarat di hadapan Dadang dan Ki Rawuk.
"Saya tidak dapat melakukannya!" teriak Dadang.
"Istri maneh nu bakal paragat diteureuy ku aing! (istrimu yang akan mati ditelan olehku)"
Apakah ia harus membunuh sahabatnya sendiri demi istrinya? Ia benar-benar bimbang, memilih sahabatnya atau istrinya.
"Kamu sudah menyanggupi waktu hari pertama Sangkasena datang, anak muda," ujar Ki
Dadang hanya terdiam. Memang benar ia telah menyanggupi permintaan Sangkasena, namun itu ia lakukan atas dasar panik karena istrinya diambil begitu saja oleh Sangkasena dari pelukannya.
"Kek, saya mohon bantu saya. Jika memang saya harus membunuh teman saya, apa boleh
"Hehehe, kakek akan membantumu, nak. Kamu bunuhlah terlebih dahulu yang menurutmu mudah untuk dibunuh," tukas Ki Rawuk. "Kabar baiknya buat kamu, kita sebaiknya melakukan hal yang dapat menghancurkan keluarga itu terlebih dahulu. Hehe."
Dodi saat ini sedang mengenyam bangku kuliah di kota.
Itu terlihat ketika Dodi mengalami mati suri pasca berhasil mengusir Sangkasena.
Apa yang terjadi selanjutnya?
Lanjut ke cerita inti, yaitu Tanah Pengorbanan.
Pada hari itu, setelah berhasil memfitnah Dodi, Dadang kembali ke desa. Malamnya dia pergi ke Tanah Pengorbanan. Apa yang akan ia lakukan pasti bukan sesuatu yang baik.
Selanjutnya ia menebarkan bunga-bunga berbau tajam di atasnya. Setelah itu ia mengenakan topeng yang biasa digunakan perampok.
Kemudian ia menuju rumah Mahfud yang ....
Sementara di dalam rumah. Istrinya Mahfud yakni Rodiah terbangun dari tidurnya karena merasa ingin buang air kecil. Ia pun bangun kemudian pergi ke dapur di mana kamar mandi berada.
Rodiah menjerit sejadi-jadinya.
"Tolooong!! Rampok!!" teriaknya.
Tentu saja Mahfud yang sedang terlelap langsung terbangun mendengar jeritan istrinya. Ia langsung menuju dapur mendapati seseorang sedang mencekik leher
"Lepaskan dia, keparat!" Mahfud melompat ke arah orang yang sedang mencekik istrinya tersebut.
Tiba-tiba ia tertegun saat sesosok negatif muncul di hadapannya kemudian menarik sukmanya keluar. Anehnya meski yang ditarik hanya sukmanya, tubuh Mahfud turut menghilang.
Sementara Dadang tampak berlutut di samping perempuan yang ia bunuh tersebut. Ia menangis tersedu-sedu merasa sangat bersalah atas apa yang telah diperbuatnya.
Ini semua demi istri tercinta.
Begitulah ratapan Dadang sebelum ia pergi keluar meninggalkan rumah Mahfud.
"Setidaknya aku bisa membersihkan tanah itu untuk kubangun istana kerajaanku nanti. Hehehe," gumamnya seraya berlalu.
Hari itu Dodi bersama Andre pergi ke kabupaten untuk mengunjungi Pak Dadang di penjara. Tujuannya tiada lain untuk mengorek keterangan lebih mengenai sosok Ki Rawuk.
"Lalu kenapa anda diam saja tidak melaporkan kehilangan itu ke Pak Kades maupun warga lain. Paman saya pun pasti akan membantu kalau anda terus terang!" Andre tampak
"Tujuan Pak Dadang untuk membunuh saya, ayah saya, dan ibu saya, bukan? Anda berhasil membunuh ibu saya dan membuat ayah saya tinggal di rumah sakit jiwa! Saya sampai detik ini masih hidup. Apa yang akan terjadi setelah anda gagal membunuh seluruh keluarga saya?"
Pak Dadang tampaknya tidak mampu menjawab. Ia hanya terdiam dengan raut wajah suram.
"Jawab, pak!" sentak Andre.
"Makhluk itu mengancam akan membunuh istri saya jika saya memberitahu semua orang mengenai
"Kenapa itu terdengar seperti manusia, mengancam-ancam ala manusia? Kalau mendengar keteranganmu, tampaknya benar kata Pak Somad, sesuatu yang tidak terlihat namun berbahaya yang datang dari hati yang jahat," kata Andre.
"Pak Dadang, apa anda mengenal Ki Rawuk. Kalau iya, beritahu kami di mana tempatnya berada," kata Andre ketika teringat hal pokok yang harus diketahuinya dari Pak Dadang.
Pak Dadang terlihat ragu saat ditanya Andre mengenai begawan itu.
"Seharusnya kita kemari bersama Pak Somad, di. Aku merasa mengorek keterangan mengenai Ki Rawuk akan
Dodi turut melihat-lihat sekeling. Benar apa yang dikatakan Andre.
"Sangkasena akan datang. Kita tidak dapat kabur darinya," kata Pak Dadang cemas dari balik kaca.
"Waktu itu saya ....
"Iblis tidak akan pernah bisa dibunuh manusia. Kita hanya bisa mengusirnya atau mengurungnya. Sekarang yang lebih gawat, Sangkapati telah keluar dari kurungannya. Ada apa dengan ....
"Beliau telah meninggal tepat di malam tanggal 1 Januari menjelang tahun ke-30," tukas Andre.
Pak Dadang terlihat tertegun mendengar jawaban Andre.
Sementara Dodi terlihat waspada ketika suatu asap putih
Petttt
Mendadak listrik padam, menyebabkan semua lampu di ruangan tersebut mati.
"Celaka, dia benar-benar datang," ucap Pak Dadang. "Aku tidak mau menjadi pengikut mereka. Bagi kalian saya mohon bunuh saya sekarang," pinta Pak Dadang tiba-tiba.
"Nak Andre, nak Dodi, saya mohon, bunuh saya sekarang," pinta Pak Dadang lagi seraya celingukan dengan panik ketika suatu bau menyengat meme-
"Kami tidak bisa begitu saja membunuh seseorang meskipun orang itu memiliki salah terhadap kami. Tetap di sana, pak. Jangan ke mana-mana," kata Andre seraya merogoh kitab suci al-Qur'an dari tas gendongnya.
"Aku tidak pernah mengalahkan iblis secara sengaja. Apa
"Kita harus bekerja sama. Tampaknya musuh benar-benar telah mengurung kita di dalam lingkaran gaib," tukas Andre seraya membaca ta'awudz dan basmalah.
"Pantas saja siang hari tiba-tiba menjadi gelap. Rupanya ini ulah Sangkapati," ujar Pak Dadang membuat Dodi dan Andre sejenak ....
"Apakah Sangkapati peliharaannya Ki Rawuk juga?" tanya Dodi.
Pak Dadang menggeleng. "Hanya Sangkasena yang selalu patuh terhadap Ki Rawuk. Sangkapati adalah sosok yang lain. Sosok seorang perempuan berkebaya merah berwajah hancur."
Andre yang berada di samping Dodi membaca doa serta ayat-ayat suci sebanyak-banyaknya. Namun sialnya, sosok tersebut tidak juga pergi.
"Hanya Abah Jahri yang dapat mengalahkannya. Tapi sekarang?" ucap Pak Dadang tanpa berusaha menoleh ke belakang.
"Sudah saya bilang, bunuh saya," ucap Pak Dadang memelas ketika hawa dingin berhembus mengenai pundaknya.
Sosok Sangkapati semakin mendekat saja ke arah Pak Dadang. Mulutnya yang sebagiannya telah
Grrrrrrrr...... happpp..............
Pintu tersebut terbuka.
Pak Dadang yang berhasil menghindari serangan Sangkapati berhasil keluar dari bilik isolasinya.
"Anda?" Dodi terkejut melihat seorang polisi ...
"Kita harus keluar dari sini!" ujar polisi itu seraya menarik Pak Dadang keluar dari tempat itu.
Dodi dan Andre pun mengikuti sembari membaca doa-doa.
"Semua orang yang berada di sini pasti bisa, termasuk teman-teman saya yang telah pulang lebih dulu ke rumah masing-masing." Polisi itu mendadak menghentikan langkah ketika pintu di depannya mendadak tertutup sendiri.
"Memangnya kenapa dengan kalung ini, pak?" tanya
"Kalung itu seharusnya menjadi pelindung bagi pemiliknya yang sekarang sudah mati karena dibunuh orang yang serupa dengan kekasihnya," tukas polisi itu membuat Dodi terkejut. "Ratih tentu saja pemilik kalung itu. Pembunuhnya bernama Jakro. Ia sudah dieksekusi mati."
Polisi tersebut tidak menjawab. Ia berbelok menuju koridor yang mengarah ke belakang gedung kepolisian tersebut.
"Seharusnya kalian bunuh saya mumpung
"Sudahlah, Pak Dadang. Mati tidak akan menyelesaikan masalah. Seharusnya bapak lebih optimis untuk menyelesaikan masalah yang bapak timbulkan," tukas Andre.
"Mayat hidup?"
"Mereka adalah gerombolan simpatisan PKI yang dieksekusi mati di tanah kosong selatan Desa Cikahuripan
"Saya pikir Ki Rawuk yang membangkitkan mereka," kata Pak Dadang.
"Ki Rawuk tidak membangkitkan siapapun. Ia pun kembali hidup karena bantuan Sangkapati. Namun sekarang mereka bermusuhan," kata Ardi membuat Andre, Dodi dan Pak
Mereka merasa bingung karena polisi ini banyak tahu soal para demit dan Ki Rawuk. Namun mereka memilih tidak bertanya-tanya lagi.
Suara hentakan genderang terdengar menandakan kemunculan entitas lain yang berjumlah banyak.
"Celaka, kita terlambat. Pasukan mayat hidup telah datang," kata Ardi seraya merogoh sakunya kemudian mengeluarkan beberapa butir peluru dan mengisikannya ke shot
"Apa mereka bisa dibunuh dengan senjata manusia?" tanya Andre.
"Tentu saja tidak, tapi ini akan memperlambat pergerakan mereka," tukas Ardi seraya menodongkan senjata ke depan.
Seiring suara hentakan genderang, Andre dan yang lain menyaksikan ratusan mayat hidup dalam
Duarrrrr.....
Shotgun Ardi menyalak memuntahkan butiran proyektil yang menghancurkan sebatang tiang kayu di tengah ruangan. Tiang tersebut langsung rubuh kemudian menimpa ke arah gerombolan mayat hidup tersebut.
"Mereka adalah mayat betulan. Kekuatan iblis yang menggerakkan mereka. Begitupun dengan Sangkasena dan Sangkapati. Kau tahu bukan kalau iblis tidak memiliki wujud riil seperti manusia?" ujar Ardi.
Mereka menjadi lebih buas, berlari ke arah Ardi dan yang lain.
"Kita harus kembali!" pekik Andre.
"Tidak, kita harus tetap bergerak. Kita lari melalu celah itu," tukas Ardi seraya
Mereka pun berlari ke arah lorong tersebut untuk selanjutnya keluar dari gedung.
Sementara mayat-mayat hidup terus mengejar hingga tertahan di lorong kecil itu.
"Dia sudah di sini aja. Kita tidak mungkin melewatinya," ujar Andre.
"Seandainya Abah Jahri masih hidup. Kita pasti bisa keluar dari sini," ucap Pak Dadang.
"Abah Jahri?" Ardi
"Iya, pak. Ada apa? Kok seperti kaget?" tanya Pak Dadang.
"Abah Jahri adalah ayah saya. Ia bercerai dari ibu saya sudah lama sekali," tukas Ardi.
"Saudara tiri tepatnya karena kami beda ibu. Sebaiknya kita tidak membahas itu dulu. Demit di depan kita tampaknya tidak akan memberikan kita kesempatan," kata Ardi.
"Celaka, mayat-mayat hidup juga ada di belakang kita!" pekik Dodi saat melihat ke belakang.
Ardi tanpa menyahut, menembakkan shotgun ke arah
Tanpa aba-aba lagi, mereka melewati pagar rusak tersebut keluar dari halaman belakang gedung.
Di sana mereka malah mendapati suatu hutan lebat yang gelap. Hanya cahaya senter dari shotgun Ardi menerangi.
"Di belakang memang hanya ada hutan. Tidak ada pemukiman penduduk," tukas Ardi.
"Kita harus nencapai jalan raya, pak," kata Dodi.
Ardi mengangguk seraya beranjak menuju arah kiri gedung.
Namun tiba-tiba Sangkapati muncul.
Ardi dengan sigap melompat menghindar.
"Cepat lari!" teriaknya kepada Andre dan yang lain.
Namun Andre malah terpaku begitu pula Pak Dadang dan Dodi.
Ardi mengambil sesuatu dari kantong baju dinasnya kemudian membentangkannya.
"Abah, semoga engkau tidak salah memberikan ini kepadaku."
Ardi membaca doa-doa yang...
Mendadak kain itu bercahaya setelah ia membaca doa-doa.
"Allaahu akbar!"
Glederrrrr....
Halilintar menggelegar disusul percikan kilat menerangi tempat itu.
"Dodi, bangun!! Berikan kalung itu ke Sangkapati!"
Mendadak dari belakang muncul sosok lain yang merupakan Sangkapati versi laki-laki.
Catatan : Sangkapati versi laki-laki sebenar-
Sosok tersebut bergerak cepat melayang ke arah Atdi.
"Dodi, dengarkan saya!!" teriak Ardi. "Berikan kalung itu ke Sangkapati atau kita akan mati!!"
Wuuuusshhhh....
Sangkapati melorot kemudian jatuh ke atas tanah. Sosoknya tiba-tiba menjelma menjadi seorang gadis ber-
Dodi terkejut melihat perubahan wujud Sangkapati. Namun ia langsung mengalihkan perhatian ke arah Ardi yang sedang sekarat karena diguna-gunai Sangkasena.
Gadis jelmaan Sangkapati tiba-tiba melemparkan tusuk konde
Sangkasena terlempar ke belakang saat tusuk konde mengenai wajahnya.
Tanpa memberi kesempatan, Sangkapati melanjutkan serangan ke arah Sangkasena.
"Balik maneh!! (Pulang kamu)" ujar Sangkapati seraya melilitkan selendang ke tubuh Sangkasena.
Tak lama terdengar suara ayam jantan berkokok menandakan fajar telah tiba.
Sangkapati masih berada di sana. Ia mendekati Ardi kemudian memeriksa kondisi pria itu.
"Anda siapa?" Pak Dadang tercekat melihat penampilan Sangkapati yang sekarang.
"Namaku Dewi Rahayu Anggraeni bergelar Sri Sangkawati, putri Prabu Jayakusuma dari Kerajaan Paninggalan," tukas
"Siapa?" ucap Andre seolah lupa dengan apa yang dikatakan Sangkapati.
"Terima kasih sudah mengembalikan kalung sukma kepadaku. Aku tidak tahu apa yang sudah aku lakukan selama mati suri. Pasti banyak hal telah aku lewati. Ngomong-ngomong sekarang tahun berapa saka?" tutur Rahayu.
Rahayu terlihat kebingungan.
"Kerajaan Padjajaran telah menghancurkan kerajaan ayahku. Hari itu aku disiksa oleh para hulubalangnya," ucapnya.
"Apa? Masehi?" Rahayu terlihat semakin bingung.
"Pak Ardi, sudah mendingan, kah?" ujar Andre ketika melihat Ardi memijit kepalanya.
"Kepala saya agak pusing," ucap
Shubuh akhirnya tiba. Andre bersama Dodi, Pak Dadang, dan Ardi pergi menuju jalan raya.
Sementara Rahayu memasuki gedung. Tampaknya ada sesuatu yang ingin ia selesaikan di sana.
Mereka menemukan ratusan tulang belulang manusia yang berserakan di lokasi. Bahkan di antaranya ada yang berserak di bekas
"Darimana asalnya tulang-tulang ini?" gumam Pak Dirman.
"Ini sangat aneh," tukas Pak Somad. "Setelah bertahun-tahun kenapa baru ada sekarang? Padahal eksekusi liar itu dilakukan pada tahun 1968."
"Pak Dadang tidak bebas secara murni. Saya membawanya kemari untuk mengembalikan semua orang yang disesatkan Sangkasena dan Sangkapati," ucap Ardi di hadapan seluruh warga desa yang akan kerja bakti
"Kak Ardi?" Pak Somad yang baru tiba terkejut melihat kakak tirinya sedang berpidato di hadapan warga.
"Sekarang apa yang akan kita lakukan untuk mengembalikan mereka yang disesatkan?" tanya Pak Dirman.
"Saya menemukan seseorang yang
Dari balik kerumunan warga muncullah Rahayu, membuat semua orang terkejut. Ia maju ke arah Pak Ardi.
"Maaf jika kedatangan saya membuat
Salah seorang warga melangkah maju kemudian berkata lantang.
"Kamu Sangkapati? Kalau begitu kembalikan anak saya yang hilang!" kata warga itu.
"Betul!!" teriak yang lain.
Rahayu mengedarkan ...
"Raden Jara Saksana alias Ki Rawuk. Apa yang sedang kamu lakukan di sini?" ujarnya dengan suara keras.
Ki Rawuk terkekeh. Sementara para warga langsung
"Jadi dia Ki Rawuk?" ucap Andre.
"Iya, dia memang Ki Rawuk. Aku melihatnya sewaktu mati suri," tukas Dodi sambil melihat dengan waspada.
"Apa? Jadi Sangkasena sebenarnya adalah Ki Rawuk?"
"Sangkasena hanya wujud lain dari dirinya. Sekarang wujud itu tidak bisa kau gunakan lagi, bukan? Iblisnya telah kembali ke alamnya," tutur Rahayu.
"Hehehe, istrimu tidak akan kembali. Dia sudah menjadi penghuni tetap di alam gaib," tukas Ki Rawuk membuat Pak Dadang marah.
"Pak Dadang, jangan!" teriak Andre seraya berlari ke arah Pak Dadang.
Terlambat. Pak Dadang telah melakukan serangan ke arah Ki Rawuk.
Namun,
"Pak Dadang!!" teriak Andre.
Para warga terlihat kaget bukan main melihat kejadian yang baru saja terjadi.
Pak Dadang telah tiada karena jentikan Ki Rawuk.
"Kau yakin, Ki Rawuk? Lalu bagaimana dengan kejadian hari itu? Sangkasenamu juga bernasib seperti bapak malang itu," tukas Rahayu
"Aku tidak tahu kalau aku membunuh mereka. Aku tidak ingat sama sekali. Kau membuatku kehilangan diriku selama ini,"
"Aku menyesatkanmu agar dirimu membalas dendam atas kematian ayahmu dan seluruh keluargamu. Kau telah melakukannya dengan baik. Dendammu sudah terbalaskan. Sekarang waktunya bagimu menyusul mereka." Ki Rawuk menatap tajam ke arah Rahayu.
"Orang yang sudah mati alangkah baiknya tidak dikembalikan ke dunia. Biarkan mereka mengikuti proses seleksi alam."
"Masalahnya mereka berada di alam gaib karena campur tangan kita! Kita harus mengembalikan mereka!"
Ki Rawuk menggeleng.
Rahayu melangkah ke arah Ki Rawuk.
"Seleksi alam, huh? Lalu yang kau lakukan terhadap mereka adalah seleksi alam juga?!"
"Tidak! Itu hanyalah seleksi manusia. Kau pikir dirimu beda dengan mereka?!" Rahayu terkekeh.
"Pak Somad, sebaiknya lanjutkan prosesi pemakaman. Soal Ki Rawuk, biar saya yang tangani," ucap Rahayu ke Pak Somad.
Sementara Rahayu bersama Andre, dan Dodi berada di sekitar Ki Rawuk. Begitupula Pak Ardi.
Serentak semua orang yang sedang beraktifitas menghentikan aktifitasnya kemudian mengadah ke langit.
"Hujan akan segera turun. Ini akan membantu kita menggali tanah," ucap Pak Somad.
Semua orang tentu saja melakukan prosesi penguburan sembari hujan-hujanan.
Di antara mereka yang tidak terkena siraman hujan hanya dua orang itu.
Petir menyambar-nyambar mengiringi pemakaman dari ratusan kerangka itu.
Tentu mereka akan membutuhkan beberapa batang pohon untuk membangun monumen sementara itu.
Ketika malam tiba, suasana desa tetaplah sepi seperti biasanya. Namun kali ini lebih sepi dari biasanya.
Di dalam sebuah rumah panggung beratap seng.
Andre, Dodi, dan Pak Ardi berkumpul di sana.
"Pak Ardi, tampaknya masalah belum selesai. Meski Ki Rawuk terlihat seperti lebih bersahabat, namun saya menyangsikannya," ujar Dodi memecah keheningan.
Pak Ardi tampak tercenung pasca Dodi bicara.
"Jadi, masalah sudah selesai? Sayangnya saya seperti mendengar suara teriakan orang di luar sana," ucap Andre seraya menajamkan pendengaran.
Pak Ardi lantas bangun dari posisi berbaringnya. Ia turut mendengarkan suara teriakan
"Apakah Ki Rawuk ingkar janji?" gumamnya.
"Saya tidak akan ingkar janji, Pak Ardi." Ucapan seseorang dari luar rumah membuat seisi rumah terperanjat.
"Ki Rawuk?!"
Maaf kalau ceritanya menggantung begini. Sabar, di balik menggantungnya cerita akan ada lanjutan dalam judul lain pastinya. Peace ya...