PARA PENGHUNI MESS
-mereka selalu ada, jagalah langkah dan tingkahmu.
#bacahorror @bacahorror
#memetwit @InfoMemeTwit
#threadhorror
Please Like and RT agar penulis bisa terus berkarya
Bagi yang ingin membaca utas pertama :
Mari kembali ke masa sekitar delapan tahun lalu-
(Jadi gitu nak ceritanya) ucap seorang pria yang usianya mungkin hampir separuh abad kepada dua pemuda di depannya.
Nampaknya ia baru saja menceritakan kisah lama yang ia bawa dari pulau seberang.
"Budhe kopine setunggal malih nggih, atis niki hehe"
"Ooo.. Ngoten toh pakdhe, trus sakniki Timur teng pundi kok kula mboten nate kepanggih"
Budi dan Reno adalah dua pemuda yang kost dirumah Pakdhe Hardi dan Budhe Sri, mereka bekerja di salah satu pabrik yang ada di daerah itu.
(Ya kuliah dong nak, bentar lagi pulang kok) jelas pria tua itu
Budi terlihat meraih gelas kopi yang diserahkan oleh Budhe Sri
Hawa dingin memenuhi dukuh itu, menyelimuti mereka hingga dinginnya menusuk ke tulang tulang.
Budi dan Reno hanya manggut manggut mendengar apa yang dikatakan oleh Pakdhe Hardi tadi.
Pria tua itu terlihat merebahkan diri di dipan kayu sambil sesekali menghisap
Malam itu warung kopi Budhe Sri sepi, hanya ada ia, suami dan anak perempuannya serta dua pemuda yang tinggal dirumahnya. Mungkin karena hujan lebat ini, membuat penduduk sekitar yang setiap malam biasanya menyatroni warungnya lebih memilih berdiam diri dirumah.
Tanah Pakdhe Hardi cukup luas, bahkan di belakang rumahpun terdapat kebun singkong, jagung dan pepaya yang ditanam istrinya.
"Dhit, mrengut wae kenopo?"
(Dhit, cemberut aja kenapa?) tanya Budi sambil cengengesan pada Dhita yang tengah mencuci piring di sudut warung
(Sebel liat mukamu mas) jawab Dhita yang menghela nafas panjang
Ya, Dhita adalah adik Timur, anak kedua dari Pakdhe Hardi. Remaja 17 tahun itu mempunyai paras yang cantik dan gaya bicaranya yang ceplas ceplos membuatnya memiliki kesan yang istimewa.
Semua orang menatap kearah luar, mencoba menerka siapakah gerangan yang malam malam begini terlihat begitu panik.
Setibanya sosok itu didepan warung, ia segera melepas
"Pakdhe... Tolongin kita Pakdhe, ada anak kesurupan di mess" ucapnya terburu buru
"Lha kok iso"
(Lha kok bisa) kejut Pakde Hardi yang segera melompat turun dari dipan
"Gaktau saya Pakde, ayo buruan Pakde" gesanya
"Nggih Pakde" jawabnya
Pakde Har keluar mengambil payung yang dibawa orang tadi dan segera berlari menuju mess yang dimaksud. Satu satunya rumah yang dekat dengan mess itu adalah rumahnya.
"Aaaaaa hwahahahaha uculno aaa hihihi"
"Cuk asu menengo koen! Mumet aku bangsat!."
*PLAKKK*
Tangan kirinya nampak memegangi lengan kawannya yang kesetanan. Dan tangan kanannya terlihat menampar wajah seseorang yang dipeganginya itu.
"Gila ya Mas kamu! Temennya kesurupan malah ditampar!"
"Ini mana lagi si Bowo. Disuruh panggil si Pakdhe kok gak balik balik!" Guntur pun tak kalah panik menghadapi temannya yang kerasukan itu
"He aku neng kene le"
(He aku disini nak) ucap Pakdhe Hardi yang telah berada disebelahnya. Guntur terkejut melihat Pakdhe
"Pegangin terus, pegangin jangan ampe lepas!" ucap Mas Alam menerjemahkan ucapan Pakdhe pada kedua temannya yang bukan orang jawa tersebut.
Segera Pakdhe menjambak rambut Yudi, pemuda yang tengah kesurupan dihadapannya.
"Anak ulo yo nyokotan!"
(Anak ular ya emang suka gigit!) bentak Pakdhe pada sosok yang merasuki Yudi
Ia terlihat mengambil batu merah padam yang ada disakunya, batu kecil yang hanya
"Cah cilik rasah kemaki, mbaliko wene mbokmu"
(Anak kecil gausah sok sokan, kembalilah ke ibumu) ucap Pakde sesaat sebelum teriakan terakhir dari mulut Yudi
*Aaaaaa...*
"Demit sialan, bikin repot orang mulu" gerutu Bowo yang ternyata dari tadi sudah berada disana. Ia tampak kedinginan dengan baju yang basah kuyup terguyur hujan.
Karena rumah itu cukup besar, awalnya perusahaan menempatkan 16 karyawan untuk tinggal disana.
Alasannya? Pastilah bukan karena mereka betah. Karena mereka berlima lah yang bertanggung jawab
~
Mereka semua masih kelelahan akibat memegangi Yudi yang kesurupan tadi. Semuanya duduk bersimpuh di lantai sambil membahas kejadian yang baru saja mereka hadapi.
"Gimana kok bisa gini?" tanya Pakde Hardi pada mereka berempat
"Iya Pakde, beberapa hari ini Yudi tuh selalu ngelamun. Udah saya bilangin tetep aja gaada respon" timpal Guntur yang juga terlihat kesal
"Nggih pripun Pakdhe, kula kalih rencang rencang mboten saget nambani tiang kwsurupan"
(Ya gimana Pakdhe, kami semua gabisa nyembuhin orang kesurupan)
"Mbuh opo sing bar dilakoni koncomu. Tapi siji pesenku, ono barang opo wae, ono gudo opo wae, jo dijupuk ojo diladeni"
(Entah apa yang telah dilakukan teman kalian itu. Tapi satu pesanku, ada barang apapun, ada godaan macam apapun, jangan diambil jangan ditanggapi)
*Tok Tok Tok*
Ketukan pintu membungkam obrolan mereka,
"Ki lho kopine dinggo melekan, kancane dirumat sing apik yo" ujar Budhe Sri yang datang bersama Dhita. Ia nampak menyodorkan seteko kopi
Dhita hanya terdiam berdiri di ambang pintu, matanya beradu tatap dengan mata Guntur.
Guntur tampan, pria kota dengan kulit bersihnya dan perawakannya yang tinggi dan berisi, hmmm sungguh idaman.
Yang membedakan mereka berdua adalah Bowo yang gemuk dan kulitnya sawo matang, berbanding terbalik
"Sampun pak urusane? Ayo mantuk Dhita ngantuk"
(Udah selesai pak urusannya? Ayo pulang Dhita ngantuk) ujar Dhita kepada bapaknya
"Yowesla ayo, nek ono opo opo maneh moro wae yo le, ojo sungkan"
(Kalo ada apa apa lagi dateng aja ya nak, jangan sungkan) ucap Pakdhe
Mereka bertiga pun pulang.
Dirumah, Budi dan Reno tengah merokok di teras. Mereka berdua tercekat melihat Dhita yang pulang bersama bapak ibunya. Sedangkan menurut mereka tadi Dhita sudah pulang sendirian dan masuk ke kamarnya.
(Ada ada aja, dahlah ayo masuk) ucap Pakdhe yang berusaha menutup kekhawatirannya
Entah apa yang dipikirkan pria tua itu. Sepertinya ia enggan membuat orang orang dirumah ikut merasa cemas.
Rupanya ia melihat bayangan siluman ular perempuan
Pakdhe duduk di dalam rumahnya, ia memejamkan mata.
"Kate lapo koe rene?!"
(Mau apa kamu kesini?!)
Wanita siluman itu menarik lidahnya yang menjulur panjang sampai tanah kedalam mulutnya lalu tersenyum sinis
"Koe ta sing ngganggu olehe anakku dolanan mau"
(Kamu kan yang ganggu anakku main tadi) ucap wanita ular itu yang
"Ojo ganggu bocah bocah kui, deweke amung numpang sedelok"
(Jangan ganggu anak anak itu. Mereka cuma numpang sebentar) pinta Pakdhe Hardi
"Hahahahahaha" ucapan Pakde sama sekali tak diindahkan olehnya, hanya tawa yang terdengar mulai menjauh
~
"Yud, udah enakan? Ngantor gak hari ini?" tanya Bowo yang sedang duduk di kursi ruang tamu sambil menali sepatunya
Malam tadi, mereka semua tidur menggelar kasur lantai di ruang tamu. Lelah, rasa gundah
Yudi hanya mengangguk, tiada sepatah katapun terucap dari bibirnya. Ia masuk ke kamar dan segera bersiap untuk mandi.
"Wo, Yudi kenapa?" tanya Uwak Tohar pada Bowo
*Praaang*
*klontang klontang*
Suara seperti alat masak yang dibanting terdengar dari belakang. Disusul dengan derap kaki Mas Alam yang tampak berlari ketakutan dari arah dapur.
(Anjing! Pagi pagi udah dikasih sarapan) teriaknya yang menghampiri Uwak Tohar dan Bowo
"Apaan Lam?" tanya Uwak keheranan
"Liat sendiri sana, ada yang abis masakin kita kayanya" gerutu Mas Alam yang masih ngos ngosan
"Tiap masak kok gapernah yang enak, apes apes" ucap Uwak, kepalanya terlihat menggeleng geleng
"Gue gamau beresin ah. Lu aja bang!" seru Bowo pada Uwak
Mereka bertigapun berangkat ke kantor meninggalkan Guntur dan Yudi sendirian.
Guntur memang suka berlama lama saat bersiap, satu jam mungkin masih kurang baginya.
Ketukan terdengar dari pintu kamar Guntur. Nampak Yudi tengah berdiri disana.
"Napa Yud? Nyari anak anak? Udah pada berangkat tuh" ucap Guntur yang menengok kearah Yudi
Betapa terkejutnya dia melihat tubuh Yudi yang gosong gosong membiru, membentuk bekas lilitan
Semua lebam itu terlihat jelas karena Yudi bertelanjang dada dan hanya memakai handuk di pinggangnya, khas para pria saat seusai mandi
"Heh badan lu kenapa?! Astaga" tanya Guntur dengan panik
"Tolong" ucap Yudi lirih yang kemudian pingsang begitu saja di pintu kamar Guntur
Guntur sangat panik, ditambah lagi tiada seorangpun dimess. Ia berusaha tenang dan menelpon teman temannya.
Ia segera mematikan telefon dan berusaha mengangkat tubuh Yudi keatas ranjang.
~
"Dhita.. " ucap seorang pria yang tengah menghampirinya bersama dua
Saat itu Dhita tengah menyapu halaman rumahnya
"Ada apa lagi Mas?" tanya remaja itu
"Pakdhe ada gak? Si Yudi mulai lagi nih" jelas Bowo padanya
Dhita tampak mengerutkan dahinya, ia heran mengapa lagi lagi Mas Yudi yang diganggu
"Bapak ke sawah. Tunggu bentar"
"Biar kami aja mas yang manggil Pakdhe, sekalian berangkat" ujar Budi pada mereka bertiga
"Saya ikut kesana ya mas" pinta Dhita pada Mas Alam
"Makasih ya Budi Reno" timpalnya
Mereka berempat akhirnya berangkat menuju mess. Sedangkan Budi dan Reno menuju sawah untuk memanggil Pakdhe
Sesampainya di mess mereka terheran melihat tubuh Yudi yang tergolek lemas diatas ranjang.
"Gimana sih Tur kok badan dia bisa kaya gini" tanya Uwak keheranan menatap pemandangan yang ada dihadapannya
Dhita mendekat kearah ranjang tempat Yudi dibaringkan. Ia menatap tubuh itu dengan seksama lalu menyentuh
Para pria itupun tercekat menatap apa yang Dhita lakukan
"Temen kalian abis ngapain?!" tanya Dhita dengan wajah serius, matanya yang tajam tampak sangat tegas menyudutkan mereka
Dengan gugup Mas Alam menjawab
"G g ga ngerti Dhit takono Guntur"
Ia mengalihkan pandangannya pada wajah Guntur. Pria tampan itu hanya menggeleng kepala tanpa berkata apa apa.
Dhita melepaskan tangannya dari tubuh Yudi lalu melangkah keluar kamar. Ia tampak mencoba menelfon
"Mbak kapan mulih?"
(Mbak kapan pulang?" ucapnya pada seseorang di telepon
"Ono perlu, ketone gaiso nek bapak tok"
(Ada perlu, kayanya gabisa kalo cuma bapak sendirian) jelasnya kembali
Keempat pria itu hanya mengamati percakapan Dhita dari dalam kamar.
(Yaudah jangan kelamaan ya, assalamualaikum) tutupnya
Ia kembali ke kamar itu, kamar yang dulunya ditempati oleh Mas Galuh kini ditempati oleh Bowo dan Guntur. Sedang kamar milik Mbak Retno dan Pak Sutar dulu ditempati oleh Mas Alam,
Tak ada satupun dari mereka berlima yang berani menempati kamar atas. Tidak lain tidak bukan pastilah karena kejailan yang pernah terjadi pada teman teman mereka dulu saat semuanya masih tinggal satu mess dengan mereka.
Kembali ke beberapa minggu sebelumnya...
Mess mereka mempunyai 2 kamar besar dilantai bawah dan 2 kamar besar pula di lantai atas. Dibawah, ada kamar mandi di masing masing kamar dan 1 kamar mandi untuk tamu di dekat dapur. Sedangkan diatas hanya ada 1 kamar mandi.
Di hari pertama mereka semua bermalam di mess, teror itu sudah dimulai.
Pukul 23.30, sebagian orang telah lelap dalam tidurnya. Tersisa 8 orang, sebut saja namanya Yanto dan ketujuh
"Ajur kang raiku cemong kabeh"
(Haduh bang mukaku kotor semua) ucap salah satu anak buahnya yang tengah bercermin. Ia merasa lucu memandangi wajahnya
Sehabis mengajak bicara Kang Yanto ia pun kembali menatap cermin yang dipegangnya. Serasa mau copot jatungnya saat melihat kuntilanak berdiri tepat di belakangnya.
Ada yang berbeda, kuntilanak itu tidak memiliki bola mata,
Orang itu kaget bukan main, badannya bergetar dan keringat mengucur deras di dahinya. Mulutnya terkunci, badannya kaku, sama sekali tidak ada satupun anggota badan yang bisa ia kontrol.
Hingga sosok itu menoleh kearahnya
*Kretak kretak*
Seperti suara tulang yang dipatahkan, rupanya sosok itu beralih ke posisi kayang namun dengan kepala yang menggantung dilantai
Ketakutan menyeruak didalam dadanya, ingin sekali saat itu ia memejamkan mata. Namun apa daya, hal mengerikan itu terjadi begitu saja.
*Aaaaaaaaa... *
"Lho kenopo cah iki"
(Lho anak ini kenapa) tanya Kang Yanto panik
"Mbuh kang aku yo rak ngerti"
"Astaghfirullah ayo gowo ning rumah sakit, Jo ndang tokno mobile"
(Astaghfirullah ayo bawa ke rumah sakit, Jo cepet keluarin mobilnya) perintah Kang Yudi pada Parjo anak buahnya
Seisi rumah terbangun, mereka semua
"Gimana dok?" tanya Kang Yanto
Dokter menjelaskan bahwa teman Kang Yanto itu terkena stroke, akibat tekanan darahnya
Para pria itu menangis, mereka tidak tega melihat kondisi kawannya yang terkapar lemas diatas ranjang rumah sakit itu.
(Mas kok bisa gini sih kamu tu kenapa) ucap Parjo yang tengah menangis sesenggukan
Di tubuh yang terbaring itu nampak bibirnya berubah menjadi perot, tangannya bengkok dengan jari jarinya yang kaku, betapa menyedihkan kondisinya saat itu.
Teman temannya yang sedari tadi menangis di kejauhan segera berlari mendekat
"Piye mas? Sampean ngomong nopo"
(Gimana mas? Kamu mau ngomong apa) tanya salah seorang kawan
"U ho!" jawabnya kembali dari bibir yang perot itu
Di mess, para karyawan mencoba untuk menghubungi keluarga pria tersebut. Esok hari, keluarganya pun datang untuk mengurusnya yang terbaring dirumah sakit itu.
Banyak warga datang ke mess itu bersama ketua RT, sekedar
"Lagi wae sedino lho manggon nang kene, wes geger koyo ngene"
(Baru sehari loh tinggal disini, udah ribut kaya gini) bisik seorang warga kepada warga lain
Mereka yang tengah asik bergosip itu tidak
"Yo kebangeten sing nyewo, opo raroh lemah iki lemah opo"
(Ya kebangetan yang nyewa, apa gak tau tanah ini tanah apa) jawab salah seorang warga
Mereka semua tak habis pikir mengapa bisa bos mereka menyewa rumah seangker itu. Akankah ia tidak tahu? Atau memang sengaja? Pertanyaan pertanyaan itu terus berputar di pikiran mereka
(Udah gausah takut, berani aja) ujar Pakdhe Hardi
"Apa gabisa dihalau pakdhe? Dipagari atau dipindahkan mungkin" tanya Bowo yang malam itu juga berada disana
"Tadi udah tak bilangin kan, almarhum yang punya rumah gak nurutin apa kata orang orang
Disisi lain, Guntur sering bertukar pandang dengan Dhita, mereka berdua mungkin merasa tertarik satu sama lain.
~
Beberapa haripun berlalu tanpa adanya gangguan, namun beberapa saat kemudian...
Sepulang dari kantor mereka bukannya segera mandi malah memilih menenggak minuman keras yang baru saja mereka beli bersama sama.
"Yaiya lah bang udah dibeli mahal mahal masa dianggurin" jawab Yanto sambil tertawa
"Lu udah denger kan kemaren apa kata Pak Hardi" tanya Uwak Tohar kembali memastikan, kali ini alisnya mengerut
Para anak buahnya mulai merasa takut, mereka semua ingat apa pesan yang diberikan oleh Pakdhe Hardi kemarin. Mereka semua terdiam mendengar perkataan atasannya itu
"Lu semua pada takut?"
"Banci ah, lu udah pada pernah ngeliat hantu disini? Gak kan? Yaelah kalem aja mabok biar ga stres" ujar Yanto yang merasa kesal
"Tapi Bang, kan lu tau sendiri gimana nasib satu temen kita gara gara makhluk yang tinggal disini" ujar seseorang
Kali ini nada bicara Yanto mulai meninggi, emosinya mulai terpancing karena tiada mendapat dukungan dari seorangpun.
Mau tak mau semua bawahnnya pun menuruti kemauan Yanto. Mereka menenggak seluruh miras itu sampai habis tiada bersisa.
Hari semakin gelap, mereka semua masih terkapar di lantai atas.
Jarum jam menunjukkan pukul 00.00
Semua yang berada di lantai atas masih tertidur pulas, hingga suara seseorang
"Mas, bangun... " seru seorang perempuan membangunkan mereka
"Hmm... Sopo koe"
(Hmm... Siapa kamu) tanya Yanto yang masih setengah sadar
"Kan tadi mas yang manggil saya, katanya suruh main kesini" jawab perempuan itu
Ia hanya berdikir mungkin ia lupa telah memesan psk sebelum pulang tadi. Ia pun membangunkan kawan kawannya dan memulai tindakan gilanya.
Mereka semua berfikir tengah menyetubuhi wanita cantik itu bersama sama
Di pagi harinya,
"Bang Yanto, bangun bang udah pagi. Gak ngantor apa?" teriak Guntur dari bawah
Hening, tiada jawaban dari lantai atas tempat Yanto berada
"Mas, coba deh lu tengokin sono" ucap Guntur pada Mas Alam yang kemudian menuruti pinta Guntur dan segera berjalan
"Astaghfirullah!!!" ucapnya histeris
Ia pun segera menuruni anak tangga dan berteriak kepada teman temannya
"Gila! Sumpah sinting tu bocah bocah. Ayo semuanya naik keatas deh" seru Mas Alam yang terlihat masih sangat syok.
Mereka tampak bingung dengan sikap aneh Alam itu. Mereka saling tatap satu sama lain seolah bertanya apa yang terjadi pada Alam.
"Astaga malah pada bengong! Cepetan naik gih biar pada liat sendiri" ucapnya
Yanto dan anak buahnya terkapar dilantai tanpa seorangpun mengenakan busana. Mereka semua teridur seperti orang pingsan, dan di antara mereka tergeletak bangkai seekor kambing yang nampaknya
Wajah semua orang panik. Ini kali pertama mereka melihat hal menjijikkan seperti itu
*Huwekkk*
Bowo yang tadi ikut keatas pun terlihat berlari kearah kamar mandi bawah. Ia memuntahkan seluruh isi perutnya karena tak kuasa menatap apa yang baru saja dilihatnya
"Asu, tangien cok! Mari opo koe podo iki"
(Anjing, bangun! Habis ngapain kalian ini) teriak Mas Alam menggunakan bahasa Jawa pada Yanto
Mereka berhasil dibangunkan lalu didesak oleh Mas Alam dan kawan kawan
"Dasar orang orang sinting! Gini ya kelakuan lu semua di kota orang, pada gada duit apa sampe gabisa nyewa cewek" gerutu Uwak Tohar yang merasa jengkel dengan kelakuan mereka
Ia lalu melihat apa yang tengah Parjo tatap
Sadarnya kembali seketika. Ia mendekat kearah benda itu lalu menyentuh bulu bulu yang terlihat basah itu.
Cairan yang dikenalnya, sangat sangat dikenal oleh pria.
Mual menyeruak dari perut mereka. Rasa jijik pun memenuhi kepala hingga pusing mulai terasa.
*Hmmpp*
Terdengar orang orang itu menahan mual dan kemudian berhamburan mencari tempat untuk memuntahkan
Pahit, lidah mereka terasa sangat pahit karena memuntahkan minuman keras yang kemarin mereka teguk.
Pemandangan itu sungguh menguras isi perut mereka hingga badan terkapar lemas kembali.
Masih dalam keadaan polos tanpa sehelai benang pun, mereka dibantu
"Nyoh ben podo warasss!!!"
(Nih biar pada waras!!!) ucap Yudi yang tampak geram
Sungguh seperti ruwatan masal, haha. Tiada lagi rasa malu malu diantara mereka. Semuanya tengah syok hingga tak sempat memikirkan tubuh masing masing.
"Gendeng arek iku ck!" gerutu Mas Alam sambil mencangkuli tanah
"Gara gara alkohol jadi matanya ngawur semua Mas, kambing bisa dikira cewek cantik kali" ujar temannya mencairkan suasana
"Tapi tadi malem, waktu gue kebelet mau ke kamar mandi gue liat kok bang ada bayangan cewek jalan ke tangga atas" pernyataan salah satu dari mereka
"Yang gue heran , kok bisa ada kambing masuk ke mess kita? Ke lantai atas lagi" tanya Guntur
"Lu serius liat cewe?" tanya Mas Alam pada orang tadi
"Iya bang ngapain gue boong. Tapi aneh deh, kakinya nggak napak. Gue juga takut waktu itu, tapi gegara kebelet
"Lagian kalo lu pikir nih bang, tu kambing punya siapa coba. Yanto ama anak anak juga pada mabok, gaada yang keluar mess dari sore" timpal Bowo tiba tiba
Benar, mereka membenarkan perkataan Bowo
Hari ini seluruh penghuni mess memutuskan untuk tidak berangkat kerja.
Di siang itu, Kang Yanto dan keenam anak buahnya telah selesai mandi dan duduk berkumpul di ruang tamu bawah.
Yudi, Uwak Tohar, Mas Alam, Guntur, Bowo dan ketiga lainnya ikut duduk disana. Mereka merasa sangat kesal kepada teman kerja mereka itu.
Yudi mengambil sebungkus rokok di saku
"Rausah sepaneng"
(Gausah tegang) ucap Yudi pada mereka
Mereka hanya menunduk tanpa menjawab
"Jelasin ke kita, semuanya" perintah Mas Alam pada Yanto
Yanto menatap Alam, ia mulai menjelaskan sesuai apa yang ia ingat dan lihat
Mas Alam dan anak buahnya hanya diam mendengarka penjelasan Yanto dengan ekspresi heran
"Udah cukup kan sekarang? Udah ada bukti nyata. Mau gak mau kalian harus percaya apa kata Pakdhe Hardi" ucap Guntur pada Yanto
Rasa penyesalan tampak sekali dari sorot matanya
~
Hari itu telah mereka lalui, namun tidak dengan kejutan kejutan kedepan yang sanggup membuat sebagian besar karyawan penghuni mess itu memutuskan untuk pindah
Suatu hari, sekitar pukul 22.00
Tiga anak buah Mas Alam baru saja pulang dari tempat karaoke.
"Mas, kok masuk hutan? Kalian ga mau bunuh kita kan?" tanya salah satu wanita itu, sambil melepaskan pelukan dari kedua orang yang tengah mendekapnya. Ia menengok keluar dari balik kaca mobil. Bulu kuduknya merinding, ngeri
Setibanya di mess, kedua wanita itu menolak untuk masuk dan meminta untuk diantar pulang saja.
"Maksud kalian rumah ini mess yang kalian tempatin? Sinting kali lo ya ngajak kita berdua kesini!" ujar si wanita
"Mending lu nyuruh kita nyebur sumur daripada masuk kesitu!" bentak wanita lainnya
Oh ya, sebut saja nama mereka Wiwin dan Lastri
"Ya mau gimana dong. Ini udah malem, kalo kalian mau pulang
Di dalam, Yudi dan Alam belum juga tidur, mereka masih bermain PS di ruang tamu. Mereka menengok kearah pintu saat
"Bangsat! Gila lo ya? Cari perkara lagi? Ga cukup apa contoh dari Kang Yanto kemarin?" hardik Yudi yang terlihat geram
Matanya menatap tajam para pria itu.
Wanita wanita itupun menurutinya, mereka masuk bertiga.
"Bahaya Wak, bahaya! Mereka semua bisa kena nasib buruk" ucap Yudi sambil mengguncangkan
"Maksud kau apa Yud" tanya Uwak kebingungan
"Lu liat berapa cewek yang masuk kesini tadi?" tanya Yudi tegas
"Tiga lah, merah kuning ijo kan bajunya udah kaya pelangi" jawab Uwak dengan polosnya
"Nah iya itu bang!!! Si cewek baju merah itu yang pernah
Uwak tampak mencernah kata kata Yudi barusan. Kini ia sadar maksud perkataan Yudi. Wajahnya tampak terkejut, ia segera berdiri
"Ayo buruan kasih tau mereka Yud!" ucapnya tiba tiba
Mereka berdua pun menggedor
Tak lama, mereka semua sudah berkumpul dan dijelaskan oleh Yudi tentang apa yang sedang terjadi.
Semua orang berusaha membuka pintu kamar itu, dicongkel, di dobrak, apapun sudah mereka lakukan akan tetapi gagang pintu itu
"Sialan, eh lu bertiga coba pecahin jendela kamar dari luar" perintah Yanto pada ketiga anak buahnya yang disambut oleh anggukan mereka
Sesampainya didepan jendela itu, mereka mencoba memecahkannya dengan batu yang biasa digunakan untuk
"Gabisa pecah bang kacanya, aneh sumpah" ucap salah satunya
"Panggil Pakdhe, cepetan!" perintah Yanto, namun kali
Di tengah perjalanan yang hanya perlu melewati 100 meter itu, merek dikejutkan oleh penampakan makhluk besar dengan wujud kera ditengah jalan. Dibelakangnya ada ratusan
Panik, itulah yang mereka semua rasakan. Keenam pria itu berlari, kabur dari kejaran makhluk makhluk itu. Derap ayunan kaki membawa mereka tak tentu arah, menyebar kesegala penjuru hutan. Sungguh hilang akal, begitulah adanya jika nyali sudah berhasil dikalahkan
Mereka yang berada di mess telah lama menunggu, mungkin lebih dari dua jam anak anak tadi tak kunjung kembali.
"Gila, mereka muterin hutan dulu apa sampe jam segini gak balik balik" ucap Guntur yang mulai resah
Tak ada yang bisa mereka lakukan, tiada akses masuk ke
Tubuh mereka bertiga menggelinjang tak karuan seperti seseorang yang tengah tersengat listrik, tiada henti bergerak.
Perempuan yang terlihat sangat syok, entah apa yang telah terjadi semalam. Ia menangis tak henti henti sambil menggigiti kuku kuku jarinya, tangannya bergetar seakan masih terasa ketakutan membakar
Bowo berjongkok dihadapannya
"Tenang, tenang, coba bilang pelan pelan temen kamu kemana" ujar Bowo yang mencoba menenangkan wanita itu
"Mati... Deweke mati... Deweke mlayu"
(Mati.. Dia mati.. Dia lari) jawab Wiwin dengan lirih dari bibirnya yang masih bergetar
"Gimana Wo?" tanyanya
"Gatau nih gue gapaham dia ngomong apa" jawab Bowo sambik menggaruk kepalanya yang bahkan tidak
"Pripun mbak? Sing tenang nggih sakniki jawab alon alon. Rencange sampean pundi?"
(Gimana mbak? Yang tenang ya, sekarang jawab pelan pelan. Teman mbaknya mana?) tanya Yudi pada perempuan itu
Jawabannya masih sama, ia mengatakan bahwa temannya mati.
Disana ia menjelaskan apa ynag terjadi, Pakdhe pun mengajaknya untuk memanggil semua warga, meminta bantuan dan segera kembali ke mess bersama seluruh warga dusun.
Para lelaki diajaknya mencari keberadaan Lastri, hingga ditemukanlah tubuh wanita itu telah terbujur kaku menekuk di dalam sumur tua belakang rumah
Diangkatlah mayat Lastri keatas, warga sangat mengenalnya. Dulu ia pernah tinggal di dusun itu untuk sementara waktu. Ia tidak punya siapapun,
Salah satu warga mencoba menghubungi bos Lastri, namun jawaban yang didapatkan sangat tidak memuaskan. Ia tidak peduli pada wanita sebatang kara
Di depan mess tampak berjejer 8 tong air berwarna biru dan delapan kursi panjang yang dijejer sedemikian rupa. Terlihat pula gulungan tebal kain hitam yang biasanya digunakan warga
Mayat Lastri dimandikan bersama tiga orang karyawan yang masih kejang kejang itu. Warga membagi tugas. Sebagian orang memandikan mereka dan sebagian lagi menutup kawasan itu dengan kain hitam tadi, yang kini telah dibentangkan
Selesai, proses pemandian kini telah usai. Badan badan itu di baringkan di ruang tamu, beberapa santri diundang untuk yasinan disana. Kini, ketiga tubuh itu tak lagi bergerak gerak seperti tadi.
Tepat ketika ayat terakhir surat Yaasiin dibacakan serempak
Akhirnya proses pemakaman Lastri dilanjutkan, ketiga orang tadi sudah kembali sadarkan
Kawan mereka, anak anak buah Kang Yanto entah hilang kemana. Hanya meninggalkan bekas langkah yang terlihat menerjang semak menuju kedalam hutan. Hmmm... Banyak sekali PR yang harus Pakdhe Hardi dan warga garap.
Gadis itu marah karena mereka bertiga membawa benda asing masuk ke wilayahnya, ia tak terima akan kesan menantang ketiga pemuda tersebut. Dibuatnya semengenaskan tadi lah hukuman yang harus ketiga pria itu terima untuk sementara.
Ingat saat Lastri baru saja sampai di depan mess? Ia mengatakan akan lebih baik melompat ke dalam sumur untuknya daripada harus masuk ke mess itu. Namun yang ia lakukan
Sungguh realita yang menyayat.
Siang itu setelah proses pemakaman Lastri selesai, para warga berlanjut mencari keberadaan anak buah Kang Yanto
"Pakdhe, ketingale jeru"
(Pakdhe, kayaknya dalam) ucap Mas Alam yang tampak gelisah
"Iyo pancen wes mboh ditlasakno nengdi Lam"
(Iya memang entah disesatkan kemana
Pencarian telah dilakukan lebih dari dua hari, namun sama sekali tak membuahkan hasil.
"Kancamu rapopo, tapi mesakno nek kudu kesuen neng kono"
(Teman kalian gapapa, tapi kasian kalo
"Njur pripun Pakdhe?"
(Lalu gimaan Pakdhe?) tanya Yanto
(Udah gausah dicari lagi, suruh semua orang kumpul disini) perintah Pakdhe pada Mas Alam dan Yanto
Mereka menurutinya, dan segera mengumpulkan semua warga yang tadinya membantu proses pencarian ke titik dimana Pakdhe berada
Di dalam sana sebagian besar cahaya tidak cukup kuat untuk menembus rapatnya daun daun jati yang saling berhimpitan
Tanah yang mereka pijak terasa cukup gembur untuk bisa menimbulkan jejak kaki. Ada banyak genangan disekitar sana karena hujan
"Pripun Pakdhe?"
(Gimana Pakdhe?) tanya salah seorang warga
"Tulung saloke jupukno kentongan yo sak akeh akehe. Tak enteni mene"
(Tolong beberapa orang ambilkan kentongan sebanyak mungkin. Saya tunggu disini) perintah Pakdhe Hardi.
Setelah sekitar sepuluh kentongan terkumpul dari usaha mereka meminjam di mushola mushola desa sebelah,
"Tuntungo sak bare aku mlaku, ngendi wae lakuku ojo ditutno"
(Kentonglah setelah aku berjalan, kemanapun aku melangkah jangan diikuti) perintah Pakdhe pada mereka semua
Ia mulai duduk bersila menghadap Utara, matanya memejam, mulutnya komat kamit entah apa yang ia rapalkan, hingga suhu disana terasa semakin menurun. Dingin yang mereka rasa menjadi dingin yang membuat gigil tubuh.
Selang beberapa menit, Pakdhe tiba tiba berdiri lalu berjalan kearah Timur. Matanya tetap terpejam, meskipun dalam keadaan itu ia sama sekali tak tersandung ataupun menabrak
Warga mulai membunyikan kentongan mereka, kompak serempak membentuk irama yang teratur.
*Teg teg teg*
*Tung tung tung*
Bunyi kentongan itu menggema ke segala arah. Pakdhe Hardi semakin jauh masuk ke dalam hutan
Para warga dan karyawan itu menuruti perintah Pakdhr untuk diam ditempat dan tidak mengikutinya.
Sekitar setengah jam mereka memukul mukul kentongan itu, munculah enam orang pria dari arah berbeda, ternyata mereka semua berpencar.
Warga dan kawan kawannya pun menyambut haru mereka. Warga lega akhirnya bisa menyelamatkan orang orang itu.
Kemana Pakdhe? Entahlah mereka pun tak tahu. Hendak dicari? Tidak, Pakdhe sudah memperingatkan mereka agar
Akhirnya Yanto, Alam dan kawan kawan kembali bersama ke mess. Sedangkan warga berbondong bondong menuju rumah Pakdhe dengan niat mengabarkan apa yang terjadi pada Budhe Sri.
Sesampaiya di pendopo rumah, mereka dikagetkan dengan keberadaan Pakdhe disana.
Mereka semua kebingungan, namun tiada satupun yang mampu menjelaskan situasi itu. Dan Pakdhe, pastinya ia hanya menjawab dengan senyuman lebar saat ditanya bagaimana ini bisa terjadi.
Tetiba, terdengar bisikan di telinga mereka untuk menuju kearah suara kentongan berasal. Dan ya, mereka berhasil ditemukan.
Sedangkan tiga orang anggota Mas Alam? Mereka yang telah merasakan
Setelah selesai dengan penjelasan mengapa hanya tinggal Alam, Yudi, Bowo, Guntur dan Uwak Tohar yang mendiami mess itu,
Mari kembali pada saat dimana Yudi telah menjadi korban selanjutnya dari kejahilan "mereka"
"Waalaikumussalam" jawab mereka serempak yang mendapati kehadiran Pakdhe Hardi
"Piye le ono opo?"
(Gimana nak ada apa?) tanyanya tergesa, pandangannya teralihkan
"Lho lho lho, arek iki kok iso koyo mengene ki"
(Lho lho lho, anak ini kok bisa kaya gini) tanyanya heran karena memang ia paham betul tipis kemungkinan bagi Yudi untuk melakukan hal bodoh.
"Arek iki diincer peranakan ulo"
(Anak ini diincar anak siluman ular) ucap Pakdhe tiba tiba
"Opo kancamu kurangan duit?"
(Apa temanmu kekurangan uang?) lanjutnya
*Brakkk*
Pintu kamar sebelah terdengar begitu keras dibanting. Mereka semua segera berlari untuk mengecek
Benar saja, pintu kamar yang biasanya ditempati oleh Alam, Yudi dan Uwak kini terkunci tapat
Wajah Pakdhe yang mendengar tawa itu kini berubah menjadi tegang dan merah padam
"Ulo keparat! Wes dikandani rausah ganggu ijek ae mentolo kurang ajar"
(Ular keparat! Udah dibilangun jangan ganggu masih aja tega
Hening, tawa yang sangat keras tadi tak terdengar kagi.
"Yudi gowoen nok omahku, saiki!"
(Bawa Yudi kerumahku, sekarang juga!) perintah Pakdhe kepada mereka berempat
"Nduk muliho ndisik, ibuk kon nutup warung wae. Ojo lali
(Nduk pulanglah dulu, ibuk suruh nutup warungnya aja. Jangan lupa ambilkan Bapak telur dari kandang ayam belakang) ucapnya pada Dhita
Dhita segera melangkh keluar untuk pulang, sedangkan Mas Alam dan yang lainnya menggotong tubuh Yudi
Sesampainya disana, mereka segera membopong masuk Yudi, didalam rumah sudah nampak digelar tikar pandan di lantai, tikar yang cukup lebar.
Tubuh itu dibaringkan disana, mereka semua duduk mengitarinya.
"Mas kopine tak deleh mejo ya"
(Mas kopinya tak taruh dimeja ya) ucap Budhe Sri yang lebih dulu menaruh telur telur itu dilantai, dekat dengan kepala Yudi.
Setelah menutup pintu ia segera ikut duduk diantara mereka semua.
"Amergo aku rak ngerti opo sing mari dilakoni arek iki, aku durung isok
(Karena aku gak tahu apa yang dilakuin anak ini, aku jadi belum bisa menuntaskan sampai akar masalah, tapi saya usahakan untuk mencabut apa yang ditanam ular ular itu dibadannya)
"Dhit, mbakyumu kon bali"
(Dhit, mbakmu suruh pulang) ucapnya kepada Dhita
"Mpun pak, mangke siang menawi mpun tekan mriki"
(Udah pak, nanti siang mungkin
Bapaknya merasa tenang karena putri bungsunya itu cepat tanggap menghadapi situasi genting seperti sekarang.
~
Di sisi lain, Timur sedang dalam perjalanan untuk pulang. Ia diantar Damar, mereka memang bersahabat dari kecil. Ditambah lagi dengan
Mereka sama sama kuliah di salah satu daerah yang masih satu provinsi dengan rumah keduanya, meskipun berbeda universitas.
(Mar, barang dirumahmu apa gabisa diam, kok bikin masalah terus) ujar Timur yang duduk di jok belakang motor Damar
Motor tua warisan dari Eyang kakungnya, motor yang terlihat makin tua makin menawan saja
(Entahlah Mur, ibuk ya gaada bilang ke aku. Malah aku baru tau dari kamu) jawab Damar pada Timur, ia sedikit memelankan laju motornya agar dapat mengobrol dengan lebih jelas
Beberapa jam perjalanan telah mereka lalui, kini mentari telah berada tepat diatas kepala mereka.
Motor Damar memasuki halaman sebuah rumah, ia memarkirkan motornya tepat di sisi pendopo.
*Tok Tok Tok*
"Sinten?"
(Siapa?) tanya seseorang dari dalam, pintu belum juga dibuka
"Timur mantuk Buk"
(Timur pulang Buk) ucapnya yang menenteng helm di tangan kiri dan ransel besar dipunggungnya
"Waduh oleh olehe iki kanggo aku ya"
(Waduh oleh olehnya yang ini buat aku ya) ucap Dhita dengan gemas sambil meraih lengan pria yang biasa ia panggil Mas Damar itu.
Ia menggandengnya manja
(Buk anak kambingmu itu coba ditali) ucap Pakdhe Har pada istrinya, ia berniat mengejek Dhita sambil tertawa terkekeh kekeh
"Aku cempe Bapak wedhuse" jawab Dhita yang ikut tertawa
Timur segera menyalami bapak ibunya, ia merasa sangat merindukannya
"Kula Timur, putri mbarepe Pak Hardi mas"
(Saya Timur, anak perempuannya Pak Hardi mas) ucapnya pada para pria itu, mereka mengangguk.
Tatapan mereka tak teralihkan dari wajah Timur, seperti saat pertama kali
Memang wajah keduanya lumayan mirip dan sama sama cantik, kulitnya yang bersih kuning langsat, dan cantiknya yang masih alami khas gadis desa membuat para pria itu seakan lupa sejenak dengan kemolekan wanita wanita yang biasa mereka jumpai di kota.
"Iya mas insyaallah saya bisa bantu kok, semuanya milik Allah, saya cuma perantara"
Mereka semua sangat terkejut mendengar itu, seakan Timur bisa membaca pikiran mereka. Akhirnya mereka mempercayai apa yang dikatakan Pakdhe Hardi
Timur dan Damar ikut duduk bersimpuh diantara mereka
"Namine sinten pak?"
Ia lalu menengok ke piring yang ada di sebelah tubuh itu. Disana tampak berjejer lima buah telur yang telah dipecah, terdapat tulang yang terlihat seperti tulang ikan, namun ia tahu persis
"Yudi nduk, kari dilanjutno bareng bareng"
(Yudi nak, tinggal kita lanjutin sama sama) jawab Pakdhr Hardi
Timur pamit untuk sholat dzuhur sebentar sebelum memulai proses penyembuhan.
"Orak wani moro"
(Gak berani datang) ucapnya pada mereka
"Trus gimana Mbak Timur?" tanya Mas Alam
"Kalo dia gamau dateng ya kita yang jemput paksa mas"
"Ndak bisa Pak, bisa bahaya kalo disana, itu kekuasaan mereka. Mungkin memang saya sama bapak saya bisa ngatasin lebih dari separuh, tapi itu terlalu nguras tenaga" ia menghela
"Lebih baik yang punya urusan aja dibawa kesini" jelas Timur
Mereka semua hanya mengangguk
Sedari tadi pagi sampai siang ini tiada satupun dari mereka yang memikirkan makan ataupun minum. Mereka semua fokus pada Yudi, berharap kawannya
"Mas mas sedoyo kula nyuwun tulung ragane Mas Yudi dijogo ampun ngantos ucul nggih" ucap Timur
Mas Alam tampak menerjemahkan itu pada ketiga kawannya
"Katanya raga Yudi jangan
"Iya mbak kami usahakan sebaik mungkin" jawab Bowo yang terlihat serius namun justru mengundang tawa mereka semua
"Dhit, Mar, tulung mengarep yo pageri omah"
(Dhit, Mar, tolong kedepan ya pagarin rumah) pinta Timur
Pakdhe tampak mengambil ratusan barang dari dalam lemari kamarnya, ia meletakkan semua pusaka dan benda benda itu di atas tikar tempatnya duduk
(Jaga jaga kalo ribut semua hehehe) ucapnya pada mereka
"Ayo pak" ucap Timur yang telah merubah posisi duduknya menjadi bersila, disusul oleh Pakdhe Hardi.
Mereka berdua memejamkan mata dan memulai merapalkan sesuatu. Hawa dirumah Pakdhe tetiba
Selang beberapa menit Timur dan ayahnya melakukan kepentingan mereka, terdengar suara dentuman yang sangat keras dari luar.
"Astaghfirullah" ucap Budhe Sri yang terkejut pula
Hawa dingin merambat disekitar tubuh mereka, berbanding terbalik dengan suhu panas
"Apaan nih bang kok aneh gini udaranya. Panas gini tapi napa gua merinding ya" keluh Guntur pada Alam dengan berbisik
"Gatau ah udah diem" Mas Alam pun tampak menahan tegang rasa takut yang mulai merambat didadanya
Sekali lagi dentuman terdengar lebih keras dari arah belakang rumah. Entah apakah yang sedang berlangsung saat ini.
*Krieeettt*
Suara decit pintu yang dibuka, dibaliknya tampak Damar tengah dibantu berjalan oleh Dhita, mulutnya berlumuran darah, sepertinya ia baru
"Buk tulung" ucap Dhita
Budhe Sri keheranan menatap keadaan Damar. Ia segera berlari untuk membantu Dhita membawa Damar. Bowo pun segera berdiri dan ikut membantu.
Damar didudukkan di lantai dengan bersandar pada dinding rumah itu.
(Maaf Budhe, pagarnya jebol) ucap Damar lirih dan masih terbatuk batuk
Dhita segera berlari ke dapur dan kembali membawa segelas air untuk Damar, pria itu segera meminumnya.
"Wes rapopo tak aku ae"
(Udah gapapa biar aku aja) ucap Dhita
Tapi tetap saja, sebagian makhluk itu telah masuk ke rumah mereka
Dhita duduk didepan pintu depan yang tertutup
Budhe Sri masih mengurusi Damar yang tampak kehilangan banyak tenaganya, ia lemas dan wajahnya tampak pucat.
"Wes le lereno sik, njarne"
(Udah nak istirahat dulu, biarin)
Budhe Sri pun bisa melihat makhluk makhluk yang berhasil masuk kedalam rumahnya itu. Meskipun ia tidak mempunyai kekuatan apa apa seperti suami dan anaknya, namun ia mempunyai mata batin yang terbuka.
Di dinding pun banyak sekali yang tengah merayap seperti
Namun hanya satu yang tidak terlihat sama sekali disana, ya, ular.
Guntur, Bowo, Uwak dan Alam yang masih menjaga Yudi pun merasa merinding tak karuan, tentu saja karena banyak sekali makhluk yang
"Astaghfirullah gimana mau kuat kalo caranya kaya gini" ucap Alam tiba tiba sambil menggaruk garuk badannya agar rasa geli yang ia terima hilang.
Keempat temannya itupun terkejut lalu segera memegangi tubuh Yudi agar tidak bisa kabur kemanapun sesuai perintah Timur.
Tiba tiba terdengar suara serak dan parau berasal dari mulut Yudi. Terdengar seperti kakek kakek yang sedang marah dan menggeram geram
Yang kemudian berganti lagi menjadi suara kemayu seperti perempuan yang memanja
"A.. Hihihihi.. Aduh emh hihihi" ucap Yudi seperti tengah malu malu
"Mas bagus sun... "
(Mas ganteng cium...) pinta Yudi sambil menyodorkan bibirnya mencoba untuk
*Plaakkkk*
Lagi lagi Mas alam menampar Yudi seperti saat pertama kesurupan kemarin
"Gilo jancuk demit gateli"
(Geli dasar demit kegatelan) umpat Mas Alam
Damar dan Budhe yang melihatnya pun tertawa.
Tiba tiba saja, benda benda pusaka milik Pakdhe yang digeletakkan dibawah tadi bergetar hebat, bahkan beberapa
Nampaknya memang siluman ular itu tidak mau berdiam diri, ia pasti meminta bantuan kepada kawan kawan sebangsanya.
*Jderrrr*
Lagi lagi dentuman itu terdengar namun kali ini disusul oleh suara gedoran pada pintu rumah Pakdhe.
Suara itu terdengar keras dari pintu depan dimana Dhita terduduk dan kedua pintu dapur yang ada di belakang
*DOK DOK DOKKK*
Semakin banyak pukulan pukulan itu terdengar, semakin intens dan semakin rapat jaraknya
Sekitar dua jam lebih Pakdhe dan Timur terpejam, keringat mengucur deras dari wajah dan tubuh mereka hingha bajunya sedikit basah oleh peluh. Mungkin pergelutan besar yang kali ini mereka lakukan.
Tubuh Yudi terkejut menatap Timur, matanya terbelalak hebat yang kemudian kembali pingsan. Timur hanya tersenyum melihatnya.
"Pak tulung" pinta Timur pada ayahnya yang kemudian membuka mata batin para pemuda itu
Mereka tercekat dengan apa yang mata mereka tangkap.
Mereka berdua terikat terjerat tertahan oleh tali yang nampaknya terbuat dari sabut kelapa yang membuat kulit mereka melepuh.
Timur terlihat mendekati sosok itu, ia seperti mencabut sesuatu dari ujung ekor yang sangat besar dan panjang itu lalu mengusapkannya pada kening Yudi.
"Pakdhe mata batin saya ditutup aja gapapa, saya takut gak kuat nanti" ucap Bowo
Akhirnya mereka semua kembali pada penglihatan normal.
Semua orang disana kelelahan melalui hari yang terasa amat sangat panjang itu.
"Tadi gimana Mbak?" tanya Guntur penasaran
"Babat hahaha"
(Tumpas hahaha) ucap Pakdhe yang ikut
"Enggakpapa memang sebagian besar udah hilang. Tapi sebaiknya kalian cari tempat tinggal baru aja, soalnya mau digimanain juga rumah Bu Retno ya memang tetap angker" jelas Timur
Para pria itu tampak berfikir, menimbang usul Timur untuk pindah.
"Em... " belum sempat Mas Alam berkata apa apa Damar sudah menyambung
~
Beberapa hari berlalu, mereka semua tinggal di rumah Pakdhe Hardi dan hanya beberapa kali kembali ke mess jika ada keperluan.
Yudi sudah sembuh total, ia menceritakan segalanya. Mulai dari awal mula
~
Awal kesalahan Yudi adalah membersihkan area belakang mess itu. Ia sering merokok di dekat sumur dan sesekali membawa kopi kesana, karena ia merasa tempat
Saat dikurung, ia merasa akan dijadikan pengantin oleh ular itu. Meskipun memang cantik, namun tetap saja
Di ingatan Yudi masih tergambar jelas bagaimana saat Timur meminta sukma Yudi secara baik baik pada anak ular itu, namun sama sekali tak diindahkan. Akhirnya terjadilah pertarungan gaib antara makhluk makhluk sendang itu
~
Bu Retno mengembalikan uang sewa rumah kepada Alam dan kawan kawan tanpa sepengetahuan perusahaan mereka. Uang itu mereka gunakan untuk kost dirumah Pakdhe. Rumah kayu besar dengan banyak kamar itu kini ramai selalu.
Mess mereka kini dibiarkan kosong. Bu Retno mengijinkan barang barang perusahaan yang menjadi tanggung jawab Mas Alam dan kawan kawan tetao berada disana, tentunya tanpa ditarik biaya sewa sepeserpun.
Mereka tidak takut kemalingan, sebab kata Timur, maling akan berpikir
Timur? Ia pastinya kembali ke kota sebelah untuk melanjutkan studinya begitupula dengan Damar
Guntur dan Dhita? Tidak, mereka sama sekali tidak ada perasaan lagi entah karena apa
Namun mereka semua tidak berani berbuat apa apa dan hanya bisa mengamati dari kejauhan.
cukup sampai disini kisah mengenai para pemilik jalan.
Terimakasih kepada semua narasumber yang telah banhak berpartisipasi.
Begitu pula dengan para pembaca setia saya.
Dimanapun kalian berada, ingatlah untuk tetap berhati hati dalam berucap serta bertindak.
~
See you soon 👋🏻