My Authors
Read all threads
Kisah ini direkonstruksi dari penuturan Sukarno, salah satu kawan kuliahku dulu. Dia tinggal di sebuah desa di wilayah Kabupaten S #horror #horor #ceritahorror #seram #misteri #bacahorror #bacahoror
Kala itu desanya belum banyak penghuni. Rumahnya di pinggir jalan utama penghubung 2 kabupaten. Lalu lintas pun tergolong sepi. Sebagian besar warga masih sangat tergantung pada transportasi umum untuk bepergian, seperti bus antarkota dan angkutan desa
Seperti lazimnya warga yang tinggal di pinggir jalan raya, orangtua Sukarno membuka usaha warung makan. Kebanyakan pelanggan adalah sopir angkutan desa maupun truk yang singgah untuk makan dan mengaso sejenak sembari ngopi
Warung itu buka sejak pagi hingga sore. Tapi hari itu warung tutup lebih sore karena kebetulan ada beberapa sopir dan kernetnya yang masih singgah. Mereka adalah sopir truk yang membawa barang dari luar provinsi menuju provinsi lain
Kabupaten S jadi tempat singgah yang pas karena berada di tengah2 rute perjalanan. Setidaknya sopir2 itu harus menempuh perjalanan kurang lebih setengah hari lagi untuk sampai di tujuan
“Sudah banyak yang habis Pak makanannya?” tanya seorang sopir pada Pak Pujo, si pemilik warung. “Iya mas, biasanya memang sore gini sudah tutup. Ini kebetulan ada sampeyan semua, mungkin mau dilarisi semua dagangan yang masih ada,” jawab Pak Pujo sambil tersenyum
“Ya Pak, sebentar lagi paling kami jalan. Itu teman2 saya lagi betulin ban yang bocor,” jawab si sopir. “Lebih baik nunggu habis magrib saja mas, baru jalan lagi,” saran Pak Pujo.
Selain Pak Pujo, di warung ada Sukarno dan 2 kakaknya. Adapun Bu Pujo sendiri sudah si rumah sejak habis Asar. Warung itu memang terpisah jarak sekitar 500 meter dari tempat tinggal Pak Pujo dan keluarganya
Warung itu dulu adalah rumah almarhum orang tua Pak Pujo yang kemudian disulap jadi tempat usaha. Tak seberapa besar, tapi lahan di samping warung itu cukup luas untuk menampung sekitar 3 atau 4 truk. Kadang2 Pak Pujo dan anaknya juga menginap di warung itu
“No, kamu pulang sekarang sekalian ke rumah Pakdhe Giyadi, bawa ini,” kata Pak Pujo kepada Sukarno sembari menyerahkan bungkusan berisi makanan. Pakdhe Giyadi masih kerabat Pak Pujo. Orang tua itu tinggal sendirian di sebuah rumah tak jauh dari warung
Rumah itu sebenarnya berada di antara warung dan rumah Pak Pujo. Tapi lokasinya menjauhi jalan raya. Sukarno harus belok ke Barat berjalan melewati beberapa petak sawah dan kebun kelapa untuk sampai di sana. Ada beberapa rumah di situ. Rumah Pakdhe Giyadi yang paling besar
“Ya Pak, saya ke sana sekarang saja,” kata Sukarno pada Bapaknya. “Dari sana langsung pulang lho yo,” jawab Pak Pujo mengingatkan anaknya itu. Sukarno pun berangkat, sedangkan kedua kakaknya membantu ayahnya beres2 di warung
Dasar memang Sukarno ini agak bandel, habis dari rumah Pakdhe Giyadi dia tak segera pulang, melainkan terus masuk ke sisi Barat kampung menuju rumah temannya, Rianto. Kedua remaja itu lalu menuju ke tengah areal persawahan, berburu burung gemak yang populasinya masih banyak
Namun, agaknya sore itu keduanya sedang apes. Sudah berapa kali mengintai, tak satupun burung tertangkap. Akhirnya mereka pulang karena hari sudah malam. Keduanya berpisah di pertigaan jalan desa
Sukarno mengambil jalan pintas melewati jalan kecil tak jauh dari kebun kelapa. Jalan itu berujung di pinggir sungai kecil tak jauh dari belakang rumahnya. Sambil berjalan dia membayangkan pasti di rumah akan dimarahi orangtuanya seperti hari2 sebelumnya
“Ah, pasti sama seperti kemarin. Yang penting besok bantu2 di warung, pasti Bapak tak marah lagi,” gumamnya. Baru sebentar dia melamun, tiba2 dari arah kiri dia berjalan, muncul sosok putih dari balik rimbun pohon lamtoro yang banyak tumbuh di sepanjang jalan itu
Sukarno yang refleks melirik ke arah datangnya sosok itu dibuat kaget bukan kepalang. Dilihatnya wujud seperti manusia berambut kusut panjang menutupi wajah, tapi wujudnya hanya sebatas perut ke atas tanpa tangan, sedangkan ke bawah seperti berbentuk asap tipis tembus pandang
Tubuh Sukarno pun langsung kaku, lidahnya kelu, sulit mengeluarkan suara, hanya napasnya yang terengah2 berpacu dengan degup jantungnya, bahkan saat sosok itu melayang pelan ke arahnya, hingga bertabrakan menembus tubuhnya yang membatu. Wuss, menghempas, diiringi suara cekikik
“Ya baru itu seumur2 aku merasa merinding dari jempol kaki sampai ubun2. Masih merinding kalau ingat sekarang,” katanya saat menceritakan kisah itu padaku
Menurutnya, setelah menabrak tubuhnya sosok itu terus melayang menuju persawahan lalu hilang di balik belukar yang tumbuh membatasi areal sawah dengan sungai saluran irigasi. Di seberang sungai itu ada tegalan yang langsung berbatasan dengan alas jati
“Aku langsung lari sekencang2nya, agar cepat sampai rumah. Untung tak kulihat wajahnya, atau mungkin memang tidak punya wajah, yang dipikiranku hanya bagaimana cepat menjauhi tempat itu,” katanya
Sampai di rumah, Sukarno langsung menceritakan kejadian itu kepada kakaknya. Bapaknya rupanya belum pulang, sedangkan Ibunya sudah tidur karena memang sejak sore tadi kurang sehat
“Makanya jangan suka menyepelekan nasehat Bapak,” kata kakaknya itu. “Tapi beneran ini Mas, aku takut diikuti sampai kemari. Malam ini aku ikut tidur di kamarmu ya Mas,” kata Sukarno merengek ke kakaknya
“Yasudah, kita tunggu Bapak pulang dulu saja,” jawab kakaknya. Sukarno sedikit lega meski dia tahu kakaknya itu juga gundah mendengar ceritanya. Tapi dia sendiri masih ngeri, pikirannya dibayangi sosok menyeramkan yang dilihatnya. Hatinya tak tenteram, waswas mengawasi sekeliling
Mari kita lanjutkan lagi, sepatah dua patah kata, merajut kepingan2 informasi 👻 #horror #bacahorror #ceritahorror #ceritaseram #ceritamisteri #bacahoror
Hampir tengah malam saat Pak Pujo sampai di rumah. Sukarno dan kakaknya masih berada di ruang tengah, tiduran beralas tikar sambil menonton TV. Pak Pujo tak segera masuk rumah tapi memanggil dari luar sambil mengetuk pintu
“Wah kenapa ini Pak kok bajunya kotor sekali seperti kena darah?” tanya Suryadi yang menyongsong bapaknya di depan pintu. “Bapak habis nolong orang kecelakaan. Sekarang ambilkan baju dan handuk di belakang, Bapak mau bersih2 di jeding luar,” kata Pak Pujo pada anaknya itu
Sukarno yang ikut keluar bergegas mengambil baju dan handuk. “Ada siapa to No?” tanya Bu Pujo saat melihat anaknya mencari baju di lemari. Rupanya dia terbangun, setelah tertidur sejak sore tadi karena masuk angin
“Bapak Buk, baru pulang minta diambilkan baju, kotor kena darah habis nolongin orang kecelakaan,” jawab Sukarno. “Oh, yasudah segera ambilkan. Ibu tak bikin minum buat Bapak,” kata Bu Pujo
Nyali Sukarno sebenarnya langsung ciut begitu mendengar kata kecelakaan. Apalagi melihat noda bekas darah yang cukup banyak di baju bapaknya. Baru tadi dia bertemu memedi, sekarang harus melihat lagi hal menyeramkan
Setelah memberikan pakaian dan handuk kepada Bapaknya, Sukarno kembali masuk rumah. Bapaknya melarang dia dan kakaknya ikut ke luar rumah. “Kalian temani saja Ibumu, Bapak nanti pergi lagi sebentar. Jangan dikunci pintunya,” perintah Pak Pujo pada anaknya
Tak berapa lama terdengar suara motor Pak Pujo perlahan menjauh. “Lho ke mana lagi itu Bapakmu No?” tanya Bu Pujo. “Tadi katanya pergi sebentar Buk,” jawab Sukarno. Bu Pujo hanya bisa menduga-duga ke mana suaminya pergi
Memang benar, tak lama kemudian suara motor Pak Pujo kembali terdengar memasuki halaman. Dia lalu masuk rumah. “Dari mana to Pak? Kok pergi lagi?” tanya Bu Pujo. “Buang baju, kena darah. Tadi ada kecelakaan Bu, ga jauh dari rumah Kang Jiyo,” katanya sambil duduk di dekat istrinya
“Lha siapa Pak yang kecelakaan? Tabrakan?” tanya Bu Pujo penasaran. Kedua anaknya juga ikut mendengarkan. Menunggu cerita dari bapak mereka. “Aku juga tidak kenal, orang jauh. Makanya tadi aku dan beberapa warga melapor ke Polsek, setelah membawa orang itu ke RSUD,” kata Pak Pujo
Sore itu sehabis membereskan warung, Pak Pujo dan dua anaknya pulang. Suryadi langsung ke rumah, sedangkan Pak Pujo mengantar Suryani ke rumahnya. Anak tertuanya itu sudah menikah dan tinggal bersama suaminya di desa lain yang tak begitu jauh
Suaminya bekerja di pabrik jamu di kabupaten lain, sedangkan Suryani sendiri ikut bantu2 bapaknya berjualan di warung. Selain suaminya, di rumah itu juga tinggal adik iparnya yang masih sekolah SMEA
Setelah mengantar Suryani, Pak Pujo bergegas pulang. Setelah tikungan batas desa, dia melihat beberapa warga di pinggir jalan raya. Dia pun segera menghampiri kerumunan itu
“Ternyata ada kecelakaan, laki2 belum terlalu tua, luka parah, apalagi di bagian kepala dan tangan. Waktu aku lewat kejadiannya belum lama, dan orang itu masih merintih2,” kata Pak Pujo
Warga memutuskan untuk segera membawa orang itu ke rumah sakit. Pak Pujo ikut membopong orang itu ke mobil pikap milik seorang warga sekitar dan segera membawanya ke RSUD bersama seorang korban lainnya yang hanya luka ringan
“Kasihan sekali, orang yang luka parah itu akhirnya meninggal di rumah sakit,” tutur Pak Pujo. “Aku dan warga lain langsung melapor ke Polsek, lalu pulang mengambil motor yang sebelumnya kutitipkan di rumah Kang Jiyo.”
Menurut salah satu saksi mata, peristiwa itu terjadi selepas Isya. Orang itu mengendarai motor. Dia berusaha mendahului sebuah truk. Nahas, dari arah yang berlawanan muncul mobil pikap yang langsung menyerempet motornya. Pengendara motor itu jatuh dan terseret
Pengemudi pikap yang kaget membanting ke kiri dan masuk ke areal persawahan. Pengemudinya terluka tapi tidak parah. Sopir itu juga ikut ke kantor polisi bersama warga setelah diperiksa di RSUD, sedangkan kendaraannya masih ringsek di tengah sawah
Mendengar cerita bapaknya itu, jantung Sukarno makin berdebar2. Pikirannya ke mana-mana. “Apakah ada hubungannya dengan demit yang kulihat tadi? Waktunya sepertinya juga tak berselang lama. Arah datangnya pun kalau dirunut agaknya menuju ke lokasi kecelakaan itu,” batinnya
Sebenarnya Sukarno ingin menceritakan kejadian yang dialaminya di jalan desa tadi kepada bapaknya. Tapi dia sendiri justru semakin takut kalau harus membicarakan peristiwa itu setelah apa yang terjadi malam ini
Belum lagi kemungkinan bapaknya marah karena jadi tau kalau dia malah keluyuran setelah dari rumah Pakdhe Giyadi. “Ah tidak apa2, besok saja di warung aku cerita ke Bapak, toh Mas Yadi mungkin sudah bilang Bapak,” katanya dalam hati
Bagian terakhir dari cerita ini. Lanjuutt #horror #bacahorror #ceritahorror
Siang itu sepulang sekolah, Sukarno langsung menuju warung bapaknya. Warung itu sedang ramai. Lumrah, karena biasanya siang2 begini banyak sopir angkot yang singgah makan sebelum narik lagi sampai sore.
Sukarno segera berganti pakaian, lalu makan. Dia duduk di samping warung bersama beberapa sopir angkot yang sudah akrab dikenalnya, nimbrung ngobrol. “Gurumu gimana kondisinya sekarang No?” tanya Mas Wardi pada Sukarno yang duduk di depannya
“Guruku siapa to Mas? Memang kenapa?” jawab Sukarno. “Lah gimana to, gurumu Pak Endro semalam kan jatuh dari motor di tikungan sana,” kata Mas Wardi sambil menunjuk. “Wah baru tau aku. Tadi di sekolah ga dengar kabar itu. Dirawat di mana Mas? Gimana kejadiannya?” tanya Sukarno
“Aku juga cuma dengar kabar dari Lek Jiyo tadi pagi dia naik angkotku. Katanya semalam dibawa ke RSUD, tangan dan kakinya patah,” kata Mas Wardi. Menurutnya, Pak Endro kecelakaan tunggal, mungkin karena licin habis hujan
“Atau bisa jadi masih ada sisa oli bekas kecelakaan 2 hari lalu itu Di. Lokasinya hampir sama,” sambung Lek Daryono dari dalam warung. Ternyata dia ikut mendengarkan obrolan di luar
“Atau ada yang iseng cari tumbal di situ Kang, masak kejadian 2 kali di tempat yang sama dalam waktu berdekatan,” timpal Lek Gondo. Ucapannya sontak menarik minat orang2 di warung itu
“Ah yang bener aja Ndo, masak ya ada seperti itu,” timpal Lek Daryono. “Lha sekarang kalau dipikir ini ada 2 kecelakaan di tempat yang sama, malah ada yang meninggal, terus apa kita ga curiga ada yang usil?,” kata Lek Gondo.
“Omongan Kang Gondo itu ada benarnya juga, mungkin memang perlu manggil kyai, kalau memang benar ada seperti itu biar segera dimusnahkan, kalaupun tidak ya biar didoakan agar semua yang lewat selamat,” kata Mas Wardi.
“Ya memang rencananya begitu. Tadi pagi itu Kang Jiyo pergi ke rumah saudaranya, katanya kenal dengan salah satu kyai, mereka mau minta bantuan,” kata Pak Pujo yang ternyata sudah lebih banyak tau tentang masalah itu
“Tadi aku ketemu dia di dekat pasar kota, katanya malam ini juga mau dilihat, malah sudah dirembuk sama Pak Lurah, nanti sore mulai dari rumah Kang Jiyo,” ujar Pak Pujo panjang lebar
Menurutnya, ada salah satu pemuda desa, Gunadi namanya, yang melihat sesuatu yang aneh pada malam sebelum kecelakaan yang pertama. Dia pulang berburu gemak. Dia melihat 2 orang berboncengan dengan motor mondar-mandir di jalan itu. Mereka sempat berhenti di tugu dekat tikungan
Salah satu orang itu lalu turun dan seperti menaruh sesuatu di pinggir jalan. Orang itu lalu menyalakan api yang segera dipadamkan lagi dan tinggal asap. Gunadi mengira orang itu sedang menyalakan rokok saja. Makanya dia langsung pulang dan tak mempedulikan kedua orang itu lagi
Baru setelah beberapa hari kemudian dia mendegar kabar kecelakaan di lokasi itu. “Karena curiga, dia bercerita kepada pakleknya yang tinggal tak jauh dari lokasi kecelakaan, lha ya Kang Jiyo itu,” jelas Pak Pujo kepada orang2 di warungnya yang kini berkumpul, menyimak
“Wah aku harus ikut nanti sore ini. Penasaran aku,” kata Lek Gondo. “Sama Ndo, aku ya ingin ikut melihat juga,” sahut Lek Daryono. “Ya nanti sore paling habis magrib atau isya di rumah Kang Jiyo,” kata Pak Pujo
Benar saja, sore itu sehabis isya rumah Kang Jiyo sudah ramai warga. Sukarno dan kakaknya, Suryadi, datang juga setelah mendapat izin dari bapaknya. Pak Pujo sendiri justru tak bisa datang karena mengantar Bu Pujo periksa ke mantri kesehatan di dekat kecamatan karena flu berat
Di rumah Kang Jiyo juga sudah ada Pak Lurah dan Pak Kyai. Mereka masih bercakap2, tak langsung memeriksa lokasi kecelakaan. “Pak Kyai ternyata sudah sempat lewat tempat itu sore tadi. Katanya memang merasa ada hawa yang tidak enak,” kata Sukarno menceritakan kejadian malam itu
“Pak Kyai minta dicarikan daun kelor. Lalu berangkatlah kami ke lokasi. Ada banyak warga yang ikut.” Menurut Sukarno sesampainya di lokasi Pak Kyai meminta warga untuk bersama2 berzikir, sedangkan dia sendiri langsung menuju ke dekat tugu
“Beliau lalu berjongkok dan membaca doa, lalu dengan hati2 mengaduk tanah gembur di pinggir jalan. Tak berapa lama beliau terlihat mengangkat sebuah benda yang sepertinya tertimbun tanah. Sepertinya sebuah kayu,” papar Sukarno
“Pak Kyai lalu meletakkan benda itu di atas daun kelor. Kami yang segera mendekat baru mengetahui kalau yang diambil itu adalah sebilah kayu.”
“Tapi setelah diamati lagi ada tulisan di permukaan kayu itu, nama dan angka. Barulah kami semua paham bahwa kayu itu berasal patok kuburan, ada nama, ada tanggal lahir dan meninggal. Merinding aku mengingatnya,” kata Sukarno
Namun, patok itu ternyata sudah tidak utuh, nama lengkap dan tanggal yang tertulis tidak lengkap. Sisi kanan patok sudah patah, entah hilang di mana. “Menurut orang2, itu menjelaskan kenapa 2 korban kecelakaan di tempat itu terluka parah di tubuh bagian kanan saja,” kata Sukarno
Tapi menurutnya Pak Kyai tidak menjelaskan banyak soal itu. Beliau hanya meminta warga untuk membersihkan tempat itu besok. Adapun patok yang ditemukan itu akan dikubur di pemakamam umum terdekat malam itu juga. Pak Kyai sendiri yang memimpin
“Aku tak ikut ke pemakaman, takut,” kata Sukarno. Tapi menurutnya ada hal yang membuatnya kaget malam itu
“Tiba2 saat melihatku Pak Kyai mendekat dan bilang ‘yang nurut sama orangtua ya Le, banyak berdoa minta perlindungan Tuhan’. Beliau lalu tersenyum dan menepuk punggungku.”
“Aku sendiri heran, tapi tiba2 aku teringat peristiwa beberapa hari sebelumnya saat aku bertemu sosok menakutkan di jalan dusun. Apa Pak Kyai tau? Aku langsung lemas seperti mau pingsan,” pungkas Sukarno. (The End)
Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh.

Enjoying this thread?

Keep Current with Pusat Studi Horror

Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

Twitter may remove this content at anytime, convert it as a PDF, save and print for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video

1) Follow Thread Reader App on Twitter so you can easily mention us!

2) Go to a Twitter thread (series of Tweets by the same owner) and mention us with a keyword "unroll" @threadreaderapp unroll

You can practice here first or read more on our help page!

Follow Us on Twitter!

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just three indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3.00/month or $30.00/year) and get exclusive features!

Become Premium

Too expensive? Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal Become our Patreon

Thank you for your support!