, 107 tweets, 18 min read
My Authors
Read all threads
Rintih Simbok

Cerita ini cerita lama dari salah seorang narasumber yang tinggal di kabupaten asal ayah saya. Hanya ada 3 keluarga yang mengetahui tentang ini semua. Keluarga pihak narasumber, keluarga pakdhe saya, dan keluarga saya. Karena memang kisah lama ini aib yang tidak
mungkin disebarluaskan oleh keluarga mereka.

Nama tokoh akan tetap saya samarkan.
*Note : Narasumber utama telah meninggal beberapa tahun lalu

Disini saya akan menuliskan penjelasan Tarsinah (75)
Saya Tarsinah, telah menghabiskan hidup lebih dari separuh abad di desa ini. Saya hidup hanya bersama ibu dan cucu saya. Saya anak ketiga dari lima bersaudara, namun menjadi yang tertua karena kedua kakak saya telah lebih dulu berpulang ke sisi-Nya.
Saya anak wanita satu satunya dalam keluarga ini, secara otomatis sayalah yang bertugas merawat ibu (SIMBOK) yang telah berusia kurang lebih 113 tahun. #bacahorror
Suami saya telah tiada, menyisakan dua orang putra yang kini pun tengah merantau di kota orang bersama keluarga yang mereka bangun masing masing. Hanya ada Gendis, satu satunya cucu yang bersedia menemani saya digubug tua ini
Simbok telah berulang kali merasakan sakaratul maut, namun nyatanya hal itu tidak pernah benar benar mengakhiri hidupnya.

Detak jantung dan senggal napasnya selalu saja ditemukan kembali setelah ajal menjemput.

Finish. #bacahorror
Beralih ke cerita dengan penulisan sudut pandang saya sbg orang ketiga :

**Kembali ke tahun tahun sebelumnya saat simbok menghadapi ajal pertamanya**

Pagi itu terasa tiada suatu yang berarti, hingga sebuah suara membuyarkan lamunan Tarsinah yang tengah menjemur pakaian di
halaman belakang rumahnya.

*aaargh aargh eengghh*

Sayup sayup terdengar erangan dan rintihan dari arah dalam rumah. Suara rintihan yang menyayat itu terdengar merambat melalui udara dan dinding kayu.

Sinah mengerutkan dahinya, ia berjalan mendekat ke pintu belakang untuk
memperhatikan kembali bunyi apa yang baru saja ditangkap telinganya.

*Hmmmm Hhmmm*

Kembali terdengar, namun kali ini suara geraman.

Tak terasa langkah tubuh tua Sinah telah membawanya jauh masuk kedalam rumah. Kini ia tepat berada di depan kamar Simbok.
Ia mencoba mengintip keadaan didalam melalui celah celah lubang yang ada di dinding kayu. Namun percuma, mata tuanya tak mampu lagi menangkap dengan jelas apa yang ada didalam.

*Krieeeeet*

Ia membuka pintu kamar Simbok.

Pengap, gelap, bau khas orang tua dan tanah yang basah
memenuhi ruangan itu. Bau apak menyerbak, ah mungkin karena jendela kamar belum dibuka pikirnya.

"Mbok... Wes tangi toh?"
(Mbok... Udah bangun toh?)

Tanya Sinah pada seseorang yang terduduk didalam kelambu. Kelambu kumal yang teramat lusuh dengan banyak bintik bintik jamur
kain menghiasinya.

Ia bergegas membuka jendela kamar itu dan menengok kembali ke ranjang tempat ibunya berada.

Setelah cahaya menerangi ruang itu, barulah terlihat jelas selimut Simbok dipenuhi dengan muntahan darah dari mulutnya.

"Gusti Pengeran!! Hadoh Mbok sampean kenopo"
(Ya Tuhan!! Haduh Mbok kamu kenapa) ucapnya histeris sambil mengguncang bahu sang ibu yang terus menerus mengeluarkan darah dari mulutnya sembari merintih kesakitan

*GROOOKK*

Suara aneh seperti suara seekor hewan terdengar dari saluran napas Simbok.

Sinah memundurkan tubuhnya,
Ia terjatuh ketakutan ke tanah lalu segera berlari keluar rumah untuk mencari pertolongan.

"Tuluuung tuluuung... "
(Tolooog toloooong) teriaknya sambil menangis dijalanan depan

Para warga yang mendengar pun bergegas menghampirinya, beberapa orang yang melewati rumahnya
dan hendak pergi ke sawah pun menghentikan langkah mereka dan menuju kearah Sinah.

"Nyapo to Mbah Nah kok isuk isuk gemboran? Ono maling ta?"
(Kenapa to Mbah Nah pagi pagi kok teriak teriak gitu? Ada maling ya?) tanya seorang bapak bapak dengan terburu
"Mbah, njenengan kenopo mbah?"
(Nek, nenek kenapa nek?) desak seorang warga lainnya

"Tulungi aku le nduk. Mbokku neng njero.. "
(Tolong aku nak. Ibuku di dalam..) belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya tubuh itu merasa lemas dan ambruk begitu saja.
Ibu ibu menjerit terkejut melihat Mbah Nah yang pingsan, mereka mencoba menolongnya.

Seorang tetangganya lalu menggotong tubuh kurus keriput itu ke dalam rumah untuk dibaringkan di kloso (tikar pandan) yang ada didalam.

Mereka semua lalu bergegas menuju kamar Simbok Buyut,
ibu dari Mbah Sinah. Mereka hendak memastikan apa yang terjadi disana.

Orang orang itu tampak kaget melihat keadaan Simbok Buyut yang mengenaskan. Dua orang diantaranya mencoba untuk memastikan detak jantung dan nafas Simbok, nihil.

Tak lagi ditemukan tanda tanda kehidupan.
"Innalillahi wa ina ilaihi rojiun" ucap salah seorang dari mereka sambil menggelengkan kepala, ia lalu mengusap dan berusaha untuk menutup mata Simbok yang masih terbuka itu.

"Pak, Bu sedoyo, ayo monggo disiapke padusane"
(Pak, Bu semua, mari segera disiapkan pemandiannya)
ajak salah seorang dari mereka.

Mereka semua pun bergegas gotong royong untuk membantu proses pemakaman Simbok Buyut.

Beberapa orang wanita pulang kerumahnya untuk mengambil seember beras dan bahan masakan serta bumbu dapur seadanya.

Mereka memasak di rumah Mbah Nah untuk para
santri dan warga yang akan yasinan disana nanti dengan sukarela tanpa meminta imbalan.

Para lelaki mengatur padusan, menyiapkan air, keranda, serta menyiapkan galian kubur untuk Simbok.

Gendis belum juga pulang dari sawah, memang sedari subuh tadi remaja itu telah berangkat ke
sawah untuk menebar pupuk pada hamparan padi yang ditanamnya.

Seorang pria yang biasa dipanggil Paklek Gono, menyusul Gendis ke pematang sawah, ia merupakan tetangga Mbah Sinah. Rumahnya memang bersebelahan dengan rumah Mbah Nah.

"Ndis... " ucapnya sambil menahan air mata
Ia berjalan sempoyongan hingga terpeleset tanah karena pandangannya kabur menahan air yang menggenang dimatanya.

"Nopo Paklek? Kok njenengan nangis ki ono opo"
(Apa Paklek? Kok paklek nangis ini ada apa?) tanya Gendis kebingungan yang masih menggenggam butiran butiran benda
berwarna pink di tangannya. Ya, itu adalah pupuk yang masih belum selesai ia tebar.

"Gek ayo ndang bali Ndis"
(Ayo cepetan pulang Ndis) jawab Paklek lirih

Ia mungkin tidak tega mengabarkan pada remaja itu bahwa nenek buyutnya telah tiada

Gendis hanya keheranan menatap pria itu
Sesampainya dirumah...

Mbah Sinah telah sadar dari pingsannya, ia tengah menangis sesenggukan menatap tubuh Simbok yang dibaringkan diatas meja dan dibungkus oleh dua lembar kain jarik.

Gendis yang telah masuk hanya menatap nenek dan buyutnya itu.
Muka gadis itu datar, sama sekali tak menampakkan kesedihan. Entah apa yang ada dalam pikirannya.

Semua orang yang menyaksikan situasi itu tampak berbisik karena merasa heran dengan ekspresi Gendis.

"Bocah kui ngopo to kok raono sedeh sedehe blas"
(Anak itu kenapa sih kok
gaada tampang sedih sama sekali)

"Hambuh njarne"
(Gatau, biarin)

Gendis bukannya tak mendengar apa kata orang orang itu, namun ia malas untuk menggubrisnya. Gadis itu lebih memilih menuju pawon (dapur) untuk meletakkan ember pupuk dan capil yang dibawanya tadi.
Seakan tiada simpati, ia menuju pekiwan dan segera mandi.

Didalam sana, ia jijik menatap bak rendaman berisi sprei, selimut, dan kelambu nenek buyutnya yang penuh darah itu.

"Njemberi"
(Menjijikkan) gerutunya sambil mendorong bak itu menjauh dengan kakinya.
Selesai mandi dan berganti pakaian ia kembali ke ruang tamu dimana semua orang berkumpul. Tampak Simbok Buyut juga telah selesai dimandikan.

Di sudut ruangan, Mbah Sinah masih saja sesenggukan menatap tubuh ibunya itu.

"Halah Mbah, wes tuo wes urip lueh seko satus taun lapo
sampean tangisi koyo ngono. Sukur sing kuoso seh ileng, orak lali nyabut nyawane"
(Halah Nek, udah tua udah hidup lebih dari seabad ngapain kamu tangisi kaya gitu. Masih beruntung yang Maha Kuasa ga lupa nyabut nyawa dia) ucap Gendis yang melangkah menuju tempat neneknya duduk.
Mbah Sinah hanya menatap Gendis seakan tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Mengapa bisa, cucunya sendiri berkata seperti itu? Mana Gendis penyayang dan tidak tegaan yang ia kenal?

Sudah sedih, makin sedih pula ia melihat sikap cucunya itu.
Jenazah Simbok Buyut tidak segera dimakamkan karena menunggu kedatangan kedua putranya.

Mayat itu kini digotong ke mushola untuk disholatkan.

Namun yang terjadi disana sungguh mengejutkan, mayat itu terbangun tiba tiba saat warga meletakkannya di lantai mushola.
Para pria itu terkejut bukan main menatap tubuh yang telah dipocong itu bisa duduk begitu saja.

"Simbok tangiiii woeee" teriak salah seorang dari mereka

Warga pun berbondong bondong menuju ke mushola untuk melihat langsung apa yang dikatakan oleh orang tadi.
Benar benar bangun! Simbok benar benar hidup kembali.

Gendis dan Mbah Sinah yang mendengar hal itupun kaget bukan main. Mereka berdua berlari menuju mushola. Sontak saja Mbah Nah tersimpuh lemas dilantai mendapati keajaiban itu.

Lain hal dengan Gendis yang hanya menatap sinis.
Akhirnya Simbok dibawa pulang kembali, acara pemakaman dibatalkan, dan para warga berangsur pulang.

~

Di malam harinya, kedua putra Simbok datang bersama keluarganya masing masing. Mereka tidak jadi berkabung, keheranan mendapati Simbok yang tadi diberitakan telah meninggal
kini terbaring kembali di ranjangnya dalam keadaan bernyawa.

"Loh Yu, piye iki ceritane"
(Loh Mbak, gimana ini ceritanya) tanya seorang pria yang tampaknya tidak terpaut jauh dari usia Mbah Sinah

Mbah Nah nampak menjelaskan runtutan kejadian tadi pagi kepada kedua saudaranya.
Kedua pria tua dihadapannya itu hanya diam sambil sesekali menyesap rokok dan kopi mereka.

Mereka tampak saling berpandangan sejenak satu sama lain, seakan mencerna hal hal yang mungkin bisa mereka nalar.

Di sisi lain, Gendis tengah bermain dan berbincang bincang dengan
adik adik mindoan (anak dari sepupu ayahnya) di luar rumah.

"Mbak Endis uyut mati yo?"
(Mbak Ndis, Buyut meninggal ya?) tanya salah satu bocah yang duduk dihadapannya sambil membawa boneka

"Mboten dek, terose sinten"
(Nggak dek, kata siapa) ujar Gendis sambil tersenyum
Bocah itu hanya menatap dan tidak bertanya lagi, ia menatap kearah rerimbunan pohon pisang di sebelah rumah. Ia nampak tengah mengamati sesuatu namun dengan rasa takut yang tak bisa ia bendung. Tubuh mungil itu beringsut membenamkan wajahnya ke lengan Gendis.
"Lho lho dek ono opo se"
(Lho lho dek ada apa sih) tanya Gendis yang bingung dengan tingkah bocah itu

Jari kecilnya menuntun pandangan Gendis kearah sesuatu yang ia tunjuk

Rupanya di tengah kegelapan itu nampak bayangan hitam seperti tubuh seseorang yang sedang berdiri diantara
gerombolan pohon pisang.

Tubuh bungkuk, kurus seperti tengkorak yang tengah menatap mereka.

Simbok! Bayangan itu persis seperti Simbok Buyut!

Gendis dengan cepat meraih tubuh bocah disampingnya itu. Ia menggendong anak itu sambil berteriak memerintahkan adik adiknya yang lain
untuk segera masuk ke dalam.

"Wes ayo melbuo kabeh! Cepet"
(Dah ayo masuk semua! Cepet) perintah Gendis pada bocah bocah itu. Tanpa perlu memaksa, mereka semua menuruti ucapan Gendis dan segera masuk kedalam rumah

"Ono opo nduk?"
(Ada apa nak?) tanya seorang pria yang terlihat
baru saja keluar dari kamar Simbok berbarengan dengan Gendis yang juga baru saja masuk kerumah.

"Mboten nopo nopo Mbah"
(Gapapa Kek) jawab Gendis menutupi

Kakek itu paham bahwa ada yang Gendis sembunyikan namun ia tak mau bertanya lebih, ia menghargaj pilihan remaja itu.
~
.
.

Kejadian meninggalnya Simbok tidak hanya terjadi sekali. Itu terus menerus berulang hingga beberapa kali, mungkin sekitar 6?

Saat ajal akan menjemputnya, tubuh tua renta yang bahkan tak mampu duduk lagi itu merintih merengek kesakitan selama kurang lebih satu bulan
sebelum kematian berikutnya yang akan datang.

Rintihan yang teramat sangat membisingkan dan membuat orang orang yang mendengar pun menjadi pusing entah karena apa.

__Berlanjut__

*Ntar sore ya Qia agak sibuk nih
Hal itu sangat memusingkan warga, karena hampir setiap enam bulan sekali nenek tua yang telah uzur tersebut mati dan hidup kembali seperti sebuah rutinitas.

Mereka kesal jika harus direpotkan dengan proses persiapan pemakaman namun selalu saja tubuh itu hidup kembali.
Lucu, seperti seorang tua yang telah hidup lebih dari seabad mengerjai orang sekampung.

~

Bukannya Simbok tidak pernah mendapatkan penanganan medis, bahkan ia selalu rutin di cek oleh petugas puskesmas yang sengaja mengunjungi rumahnya setiap bulan, dan beberap kali juga
ia dirawat di rumah sakit.

Sungguh mengenaskan, tubuh itu hanya tersisa tulang yang dibalut kulit keriput. Untuk bernapas pun ia kesusahan hingga menimbulkan suara seperti mendengkur.

Hanya berbaring, ia tak bisa melakukan apapun lagi. Tangan dan kakinya lah yang masih bisa
ia kendalikan.

Semua keluarga merasa gelisah dan prihatin. Namun sebenarnya mereka telah bersiap untuk menerima kenyataan terburuk sekalipun. Kalaupun memang meninggal adalah jalan terbaik agar Simbok Buyut tidak merasakan kesakitan lagi.

Sungguh rintihannya membuat pening.
Hingga pada suatu hari, saat kematian kelimanya menghampiri, putra keduanya menyuruh untuk merahasiakan berita itu dari warga. Ia malu bila harus merepotkan lagi dan lagi. Dia khawatir peristiwa peristiwa sebelumnya terulang kembali.
Anak kedua Simbok merasakan ada kejanggalan pada kejadian yang rutin terjadi ini. Ia merasa pasti ada hal gaib dibalik ini semua.

Hingga pria tua itu menghubungi seseorang di telepon

"Assalamualaikum Dhi.. Piye kabare?"
(Assalamualaikum Dek gimana kabarnya?) ucap orang itu
"Oooh alhamdulillah, isok tak jaluki tulung gak (Bisa aku mintain tolong gak)" tanyanya kembali

"Saiki nok omah? Aku tak mrono yo"
(Sekarang dirumah? Aku kesana ya) timpalnya kembali

Akhirnya jenazah Simbok Buyut tetap dibiarkan diatas ranjang.
Kedua putranya menuju ke sebuah rumah di desa di kecamatan sebelah. Mereka disambut hangat oleh seseorang yang jauh lebih muda dari mereka.

"Wah alhamdulillah pripun Kang kabare? Bali ndek apan iki"
(Wah gimana Bang kabarnya? Pulang kesini sejak kapan) tanya si tuan rumah
Istri pemilik rumah menyuguhkan kopi kepada mereka.

"Aku saben taun mulih pindo lho Dhi, ojo salah hahaha"
(Aku tiap taun pulang dua kali loh Dek, jangan salah kamu hahaha) jawab pria tua itu

Mereka larut dalam perbincangan panjang lebar hingga mereka berdua memasang ekspresi
serius.

Salah seorang membuka pembicaraan kembali

"Ngene Dhi, awak dewe mrene iki arep nyuwun pitulung marang awakmu"
(Gini Dek, kami kesini hendak minta tolong ke kamu) ucapnya

"Lho ono opo kang?"
(Lho ada apa bang?) tanya pemilik rumah dengan menatap serius
"Ngene, mbokku wes pirang taun iki urip ora mati ora Dhi"
(Gini, ibuku udah beberapa tahun ini nggak hidup nggak mati pula Dek) jawab anak kedua Simbok itu

Si pemilik rumah hanya menelisik heran. Ia pun mengalihkan pandangan ke lain arah sejenak lalu menghela napas panjang.
"Hm, iyo kang insyaallah aku wes paham. Yowes ayo gek ndang mrono"
(Hm, iya bang insyaallah aku udah paham. Yaudah ayo cepat kesana) seru pemilik rumah.

Siapa dia? Mengapa ia dimintai pertolongan oleh kedua anak Simbok?
Mereka bertigapun bergegas menuju rumah Simbok. Setibanya disana, ia disambut oleh bau anyir arus darah yang memenuhi seisi rumah.

"Ambu opo iki kang?"
(Bau apa ini bang?) tanya anak ketiga Simbok pada abangnya

"Hambuh, gek ndang anggone Simbok"
(Gatau, ayo cepat lihat Simbok)
"Ayo Dhi" ajak mereka yang disambut anggukan pria tadi

Mereka menuju kamar Simbok karena tiada siapapun diruang tamu. Nampaknya orang orang tengah memenuhi kamar Simbok.

Pria itu hanya menatap ke sekeliling rumah, ternyata banyak sekali makhluk makhluk peliharaan Simbok.
Rupanya ibu dari kawannya itu penganut ilmu hitam. Pantas saja ia kesulitan menghadapi ajalnya.

*Grooook Grooook*

Terdengar suara seperti kerongkongan yang tersumbat dari arah kamar itu. Dan benar saja, Simbok yang tadi mereka tinggalkan dalam keadaan tidak bernyawa kini hidup
kembali.

"Ngeneiki Dhi sing tak maksud"
(Beginilah Dek yang kumaksudkan tadi) ucap anak kedua Simbok pada temannya

Kawannya itu hanua menatap tajam tubuh Simbok yang terbaring dengan mulut menganga lebar dan kepala terdongak.
*Bentar ngaso dulu, Qia laper*
"Paklik Hardi" ucap Gendis yang berdiri di pintu kamar Simbok menyambut tamu kedua kakeknya itu. Ia mengulurkan tangan untuk bersalaman dengan pria tersebut.

"Piye Ndis kabarmu? Kok gatau dolan nomah (Kok gapernah main kerumah)" ucap Pak Hardi

"Alhamdulillah Paklik" jawabnya
"Gendis mboten nate medal, mboten saget dolan amergi mboten wonten sing ngurus sabin. Mbah Nah nggih ngurusi Simbok"
(Gendis ga pernah keluar, ga bisa main soalnya gaada yang ngurus sawah Paklik. Mbah Nah ya harus ngurusin Simbok) jelas Gendis pada Paklik Hardi
Pria itu hanya manggut manggut dan tersenyum pada Gendis lalu melangkah memasuki kamar Simbok

Tetiba, Simbok mulai merintih lagi, rupanya ia merasakan kehadiran Hardi.

"Tuluuung... Tuluuung..." ucapnya lirih sambil meneteskan air mata

Hardi yang mendengarnya pun menatap iba.
"Pripun Mbok? Tasik kiat nopo mboten"
(Gimana Mbok? Masih kuat atau nggak) tanya Pak Hardi sambil menggenggam tangan tua keriput dihadapannya itu

"Tuluuuung aaargh eeenghh" ucap Simbok dengan rintihannya yang tampak kesakitan

Tak terasa Pak Hardi pun ikut menahan tangisnya
Pak Hardi pun meminta keluarga Simbok untuk mengambilkan segelas air minum. Entah apa yang ia baca namun ia segera meminumkan air itu kepada Simbok.

Wanita tua itu tampak kesusahan mengatur arus tenggorokannya yang harus terbagi antara udara dan air karena tak lagi dapat
bernapas melalui hidung.

Miris, semua orang disana sedih menatap tubuh yang nampak susah menelan air itu.

Hanya satu orang yang bersikap dingin. Ya, Gendis menatapnya tanpa rasa iba sama sekali seakan memendam rasa kesal yang teramat besar.
Wait.. Qia makan sesi kedua nih
Pak Hardi tampak menyadari sikap Gendis, namun ia memilih diam dan melanjutkan tugasnya.

Setelah hari itu, keadaan Simbok berangsur pulih. Ia dapat lagi berbicara dengan jelas dan nafsu makannya meningkat. Semua orang merasa bahagia dan menganggap ini mukjizat dari yang Kuasa.
Mereka sangat berterimakasih kepada Pak Hardi karena telah membantu sukarela yang mengakibatkan perubahan signifikan terjadi pada Simbok Buyut.

Tubuh tua itu dengan lahap melalap bubur dan obatnya, kini ia tampak sangat sehat dan berisi.
Hingga selang beberapa bulan, kematian terakhir Simbok datang menghampiri.

Pihak keluarga kembali terkejut karena Simbok yang tadinya sembuh kini kembali meninggal secara tiba tiba dengan keadaan sama seperti sebelumnya. Memuntahkan banyak darah berbau busuk dari mulutnya.
Lagi lagi Pak Hardi diminta untuk kesana, namun kali ini ia bersama Timur putrinya. Ia menjelaskan apa yang sebenarnya ia lakukan tempo hari.

Ia menjauhkan pegangan pegangan Simbok yang membuat tubuh itu merasa kesakitan, namun tidak mencabutnya karena ia merasa iba dan
merasa setidaknya harus memberikan waktu pada Simbok untuk berpamitan dengan anak cucunya dahulu. Namun kini, makhluk makhluk itu berhasil kembali ke inangnya.

Ia tidak berani mencabut karena jika itu dilakukan Simbok akan sepenuhnya tiada, memang itulah yang akan terjadi jika
sang inang telah menyerahkan sepenuhnya jiwa miliknya.

"Sebenere nopo ilmu gadahe Simbok Buyut Mbah"
(Sebenernya apa ilmu yang dimiliki Simbol Buyut Mbah) tanya Timur pada Mbah Sinah

Gendis mendekekat kearah Pak Hardi dan Timur, nampaknya ada sesuatu ynag ingin ia sampaikan.
Mbah Nah mengaku tak tahu menahu sama sekali perihal urusan ibunya itu. Selama ini ia tidak pernah mendapati keanehan pada sang ibu.

Kini Gendis lah yang membuka suara, nampaknya ia sedikit banyak mengetahui tentang Nenek Buyutnya itu.

"Mbak.. Kulo ngertos (Aku tahu)" ucapnya
"Piye nduk.. Mene ceritakke"
(Gimana nduk.. Sini ceritakan) pinta Timur pada teman adiknya itu

Gendis tampak gugup, ia menelan ludah lalu mulai menjelaskan

"Sampun dangu, Simbok mendhem kucing urip urip Paklik"
(Sudah sejak lama, Simbok mengubur kucing hidup hidup Paklik)
Mata mereka semua melebar karena terkejut dengan apa yang Gendis katakan

"Maksudmu nduk?" tanya Pak Hardi pada remaja itu

Tangan Gendis berkeringat, ia seakan berusaha keras menggali ingatan ingatan buruk dalam otaknya. Detak jantungnya mulai berpacu lebih cepat.
Ia menceritakan semua yang ia ketahui tentang Simbok

Sejak bertahun tahun lalu saat ia masih kecil dan Simbok masih sehat, nenek buyutnya itu rutin mengubur kucing kucing di sekeliling rumah mereka. Entah apa yang membuatnya melakukan perbuatan itu.
Setiap tiga bulan sekali setidaknya wanita tua itu menguburkan seekor kucing di halaman rumahnya. Dalam keadaan hidup hidup!

Dan pada suatu ketika saat sepulang dari sekolah, Gendis mendapati Simbok yang tengah memakan seekor kucing di pekiwan belakang rumahnya itu. Menjijikkan!
Dia mengunyah ngunyah tubuh hewan itu dengan lahapnya. Darah berceceran disana, di wajah dan tangannya pun nampak belepotan oleh darah.

"Njaluk?"
(Minta?) tanya Simbok pada Gendis saat itu sambil menyeringai seram

Gendis yang ketakutan pun hanya berlari keluar rumah dan
bersembunyi di kanal depan rumahnya. Memang kanal itu selaku kering dan bersih saat musim kemarau tiba.

Ia sangat syok dengan apa hang baru saja dilihatnya. Mana mungkin ada manusia yang bisa melakukan hal mengerikan seperti itu. Ia mual dan memuntahkan seluruh isi perutnya.
Gendis hanya memendam kejadian itu seorang diri tanpa menceritakannya pada siapapun. Ia ketakutan saat mengingat apa yang pernah ia lihat sebelumnya

"Ngoten Mbak" tutupnya pada Timur yang memperhatikan ia dengan seksama

"Suwun yo nduk wes ngomong"
(Makasih ya nduk udah ngomong)
ucap Timur pada Gendis menenangkan

Gendis hanya mengangguk dan mencoba menyingkirkan rasa gelisahnya.

Mereka semua memandang kearah tubuh Simbok dibaringkan, memang saat itu nyawanya entah pergi kemana lagi. Namun pasti akan kembali beberapa saat lagi.
Mereka semua menunggu tubuh Simbok untuk kembali bangun dari kematian. Seluruh keluarga ada disana memandangi mayat itu, namun tiada satupun warga desa yang diberitahu tentang kematian Simbok kali ini.

Mbak Timur duduk di sebelah ayahnya dan dua orang pria tua yang pernah
berkunjung ke rumahnya beberapa bulan lalu. Mereka tampaknya tengah membahas sesuatu yang serius.

"Ngeten Mbah, amalane Simbok niku katah sanget. Kersane kula cobi medalke rumiyen nggih. Mugi mugi saget"
(Gini Kek, amalan milik Simbok itu sangat banyak. Biar saya coba keluarin
dulu ya. Semoga saja masih bisa) ucap Timur pada mereka

Kedua pria itu hanya pasrah, mereka menyerahkan sepenuhnya keputusan pada Timur dan ayahnya. Memang akan lebih baik jika Simbok dapat tenang dialam lain terbebas dari jerat kesakitan di dunia akibat perbuatannya sendiri.
Mereka bukan berniat membunuh, namun inilah satu satunya jalan terbaik yang dapat diambil.

Setelah mneunggu beberapa lama, tubuh Simbok tersadar kembali dari mati surinya.

Timur mendekati tubuh itu, ia paham dengan situasi itu. Bukan Simbok yang kini berada dalam raga itu.
Kini sebagian besar kesadarannya telah dikuasai oleh makhluk makhluk yang Simbok puja puja selama ini.

Ia menatap tajam Timur dalam diam hingga saat Timur berada tepat di hadapannya, ia membuang muka.

Timur hanya tersenyum simpul, ia mengode ayahnya agar menyuruh beberapa orang
membantunya memegangi tubuh Simbok. Pak Hardi yang paham betul segera melakukan apa yang anaknya itu isyaratkan.

Kini Timur mulai mengambil seluruh ilmu ilmu hitam dalam diri Simbok, ia meletakkan potongan pelepah pohon pisang pada perut dan dahi Simbok lalu menekannya kuat kuat
Entah apa yang ia lakukan itu, Simbok menjerit menggeram kesakitan namun tidak dapat memberontak karena ditahan oleh orang orang.

Timur melakukan itu sambil menahan tangis, namun tetap saja air matanya tak mampu ia bendung lagi. Hal itu ia lakukan dalam beberapa menit,
Tubuh Simbok nampak melemas kembali, ia pingsan. Denyut nadi dan napasnya masih ada, artinya ia masih hidup.

Timur mengelap air matanya dengan lengan baju, mata dan hidungnya tampak memerah.

Semua orang tampak tak percaya melihat bukti nyata bahwa Simbok menganut ilmu sesat.
Pelepah yang tadi diletakkan ditubuhnya, hanya dalam beberapa menit bisa berubah warna menjadi hitam legam dan bau seperti pelepah yang telah lama mengalami pembusukan.

~

Timur kembali berunding dengan pihak keluarga Simbok, ia menjelaskan bahwa seluruh pegangan Simbok telah
ia cabut. Namun ada dua pegangan lagi yang susah untuk ia keluarkan, ia mengatakan bahwa makhluk itu tidak mau keluar, mereka pun tidak mau dipindahkan ke benda apapun. Makhluk itu meminta inang baru, satu orang untuk mewarisinya dari Simbok. Memang sifat parasit, menyusahkan.
Mbok Sinah tampak menangis, ia menanyakan ilmu apakah yang Timur maksud.

"Ajen isi sing sanget gawe dowo umure Mbah, kalih sing setunggale..."
(Isi ajian yang bisa membuat panjang umur Nek, sama satunya lagi...) Timur tidak segera menyelesaikan ucapannya, raut wajah Gadis itu
tampak ragu untuk mengatakannya.

Ia memandang ayahnya, yang dibalas oleh anggukan

Timur menghela napas lalu mencoba untuk menjelaskan kembali

"Niku ilmu... Kula boten ngertos kangge nopo nanging Simbok sampun nglakoni sarate"
(Itu ilmu... Saya gatau kegunaannya apa tapi Simbok
sudah melakukan syaratnya) ucap Timur sambil menunduk

Jika sebuah ilmu sudah disempurnakan dengan melakukan semua persyaratannya maka ia akan bertahan kuat di tubuh si pemilik.

Mbah Sinah kebingungan mendengar perkataan Timur, ia kembali bertanya

"Saratan opo Nduk?"
(Syarat apa saja Nduk?)

Timur masih merasa sungkan hendak mengatakan hal itu, namun ia ingin masalah ini cepat selesai.

Akhirnya ia pun mengatakan yang sejujurnya bahwa Simbok mendaaptkan ilmu itu dengan cara mengambil keperjakaan sepuluh orang pria. Entahlah, tidak ada yang
tahu kapan dan bagaimana cara Simbok melakukannya.

Semua orang disana tertegun, seakan wajah mereka disayat sayat oleh kenyataan pahit. Seperti telah dilempar kotoran hingga rasa malu memenuhi dada mereka.

Ketiga anak Simbok pun menangis, mereka merasa hancur sehancur hancurnya
Tiada yang menyangka Simbok bisa melakukan hal macam itu.

Timur kembali menjelaskan bahwa kedua makhluk itu hanya meminta untuk menempel ke satu orang, dan akan melepaskan diri jika sudah waktunya.

Akhirnya Mbah Sinah mengambil keputusan bahwa ialah yang akan mewarisinya.
Ia bersedia menerima limpahan itu walaupun berat hati. Ia tidak tega melihat ibunya yang terus menerus merintih kesakitan setiap waktu.

Akhirnya Timur berhasil memindahkan kedua pegangan itu ke tubuh Mbah Sinah. Dan setelah itu, tubuh Simbok seperti mayat hidup.
Ia seperti tubuh hidup yang kosong dan tak memiliki sukma.

Akhirnya selang beberapa hari Simbok menghembuskan napas terakhirnya saat petang, langit tampak temaram dan adzan maghrib berkumandang.
Bagaimana nasib Mbah Sinah? Beberapa tahun setelahnya ia meninggal dengan wajar seperti orang pada umumnya, mungkin saja saat itu kedua makhluk yang mendiami dirinya telah lebih dulu pergi meninggalkan tubuh itu.

.
.
.
Itulah sepenggal kisah yang mungkin banyak terjadi di berbagai daerah.

Ingat, jangan gadaikan kehidupanmu sendiri dengan angan angan yang diberikan oleh setan. Apalagi jika hanya demi ilmu yang bahkan tak mungkin memberi manfaat apapun.

#bacahorror #threadhorror #ceritaht
Terimakasih

.

.

Qiana

See you soon
Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh.

Enjoying this thread?

Keep Current with Its Qiana

Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

Twitter may remove this content at anytime, convert it as a PDF, save and print for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video

1) Follow Thread Reader App on Twitter so you can easily mention us!

2) Go to a Twitter thread (series of Tweets by the same owner) and mention us with a keyword "unroll" @threadreaderapp unroll

You can practice here first or read more on our help page!

Follow Us on Twitter!

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just three indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3.00/month or $30.00/year) and get exclusive features!

Become Premium

Too expensive? Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal Become our Patreon

Thank you for your support!