-sebuah utas-
@bacahorror #bacahorror
@InfoMemeTwit #memetwit
@ceritaht #ceritaht #threadhorror
Cerita ini cerita lama dari salah seorang narasumber yang tinggal di kabupaten asal ayah saya. Hanya ada 3 keluarga yang mengetahui tentang ini semua. Keluarga pihak narasumber, keluarga pakdhe saya, dan keluarga saya. Karena memang kisah lama ini aib yang tidak
Nama tokoh akan tetap saya samarkan.
*Note : Narasumber utama telah meninggal beberapa tahun lalu
Disini saya akan menuliskan penjelasan Tarsinah (75)
Detak jantung dan senggal napasnya selalu saja ditemukan kembali setelah ajal menjemput.
Finish. #bacahorror
**Kembali ke tahun tahun sebelumnya saat simbok menghadapi ajal pertamanya**
Pagi itu terasa tiada suatu yang berarti, hingga sebuah suara membuyarkan lamunan Tarsinah yang tengah menjemur pakaian di
*aaargh aargh eengghh*
Sayup sayup terdengar erangan dan rintihan dari arah dalam rumah. Suara rintihan yang menyayat itu terdengar merambat melalui udara dan dinding kayu.
Sinah mengerutkan dahinya, ia berjalan mendekat ke pintu belakang untuk
*Hmmmm Hhmmm*
Kembali terdengar, namun kali ini suara geraman.
Tak terasa langkah tubuh tua Sinah telah membawanya jauh masuk kedalam rumah. Kini ia tepat berada di depan kamar Simbok.
*Krieeeeet*
Ia membuka pintu kamar Simbok.
Pengap, gelap, bau khas orang tua dan tanah yang basah
"Mbok... Wes tangi toh?"
(Mbok... Udah bangun toh?)
Tanya Sinah pada seseorang yang terduduk didalam kelambu. Kelambu kumal yang teramat lusuh dengan banyak bintik bintik jamur
Ia bergegas membuka jendela kamar itu dan menengok kembali ke ranjang tempat ibunya berada.
Setelah cahaya menerangi ruang itu, barulah terlihat jelas selimut Simbok dipenuhi dengan muntahan darah dari mulutnya.
"Gusti Pengeran!! Hadoh Mbok sampean kenopo"
*GROOOKK*
Suara aneh seperti suara seekor hewan terdengar dari saluran napas Simbok.
Sinah memundurkan tubuhnya,
"Tuluuung tuluuung... "
(Tolooog toloooong) teriaknya sambil menangis dijalanan depan
Para warga yang mendengar pun bergegas menghampirinya, beberapa orang yang melewati rumahnya
"Nyapo to Mbah Nah kok isuk isuk gemboran? Ono maling ta?"
(Kenapa to Mbah Nah pagi pagi kok teriak teriak gitu? Ada maling ya?) tanya seorang bapak bapak dengan terburu
(Nek, nenek kenapa nek?) desak seorang warga lainnya
"Tulungi aku le nduk. Mbokku neng njero.. "
(Tolong aku nak. Ibuku di dalam..) belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya tubuh itu merasa lemas dan ambruk begitu saja.
Seorang tetangganya lalu menggotong tubuh kurus keriput itu ke dalam rumah untuk dibaringkan di kloso (tikar pandan) yang ada didalam.
Mereka semua lalu bergegas menuju kamar Simbok Buyut,
Orang orang itu tampak kaget melihat keadaan Simbok Buyut yang mengenaskan. Dua orang diantaranya mencoba untuk memastikan detak jantung dan nafas Simbok, nihil.
Tak lagi ditemukan tanda tanda kehidupan.
"Pak, Bu sedoyo, ayo monggo disiapke padusane"
(Pak, Bu semua, mari segera disiapkan pemandiannya)
Mereka semua pun bergegas gotong royong untuk membantu proses pemakaman Simbok Buyut.
Beberapa orang wanita pulang kerumahnya untuk mengambil seember beras dan bahan masakan serta bumbu dapur seadanya.
Mereka memasak di rumah Mbah Nah untuk para
Para lelaki mengatur padusan, menyiapkan air, keranda, serta menyiapkan galian kubur untuk Simbok.
Gendis belum juga pulang dari sawah, memang sedari subuh tadi remaja itu telah berangkat ke
Seorang pria yang biasa dipanggil Paklek Gono, menyusul Gendis ke pematang sawah, ia merupakan tetangga Mbah Sinah. Rumahnya memang bersebelahan dengan rumah Mbah Nah.
"Ndis... " ucapnya sambil menahan air mata
"Nopo Paklek? Kok njenengan nangis ki ono opo"
(Apa Paklek? Kok paklek nangis ini ada apa?) tanya Gendis kebingungan yang masih menggenggam butiran butiran benda
"Gek ayo ndang bali Ndis"
(Ayo cepetan pulang Ndis) jawab Paklek lirih
Ia mungkin tidak tega mengabarkan pada remaja itu bahwa nenek buyutnya telah tiada
Gendis hanya keheranan menatap pria itu
Mbah Sinah telah sadar dari pingsannya, ia tengah menangis sesenggukan menatap tubuh Simbok yang dibaringkan diatas meja dan dibungkus oleh dua lembar kain jarik.
Gendis yang telah masuk hanya menatap nenek dan buyutnya itu.
Semua orang yang menyaksikan situasi itu tampak berbisik karena merasa heran dengan ekspresi Gendis.
"Bocah kui ngopo to kok raono sedeh sedehe blas"
(Anak itu kenapa sih kok
"Hambuh njarne"
(Gatau, biarin)
Gendis bukannya tak mendengar apa kata orang orang itu, namun ia malas untuk menggubrisnya. Gadis itu lebih memilih menuju pawon (dapur) untuk meletakkan ember pupuk dan capil yang dibawanya tadi.
Didalam sana, ia jijik menatap bak rendaman berisi sprei, selimut, dan kelambu nenek buyutnya yang penuh darah itu.
"Njemberi"
(Menjijikkan) gerutunya sambil mendorong bak itu menjauh dengan kakinya.
Di sudut ruangan, Mbah Sinah masih saja sesenggukan menatap tubuh ibunya itu.
"Halah Mbah, wes tuo wes urip lueh seko satus taun lapo
(Halah Nek, udah tua udah hidup lebih dari seabad ngapain kamu tangisi kaya gitu. Masih beruntung yang Maha Kuasa ga lupa nyabut nyawa dia) ucap Gendis yang melangkah menuju tempat neneknya duduk.
Sudah sedih, makin sedih pula ia melihat sikap cucunya itu.
Mayat itu kini digotong ke mushola untuk disholatkan.
Namun yang terjadi disana sungguh mengejutkan, mayat itu terbangun tiba tiba saat warga meletakkannya di lantai mushola.
"Simbok tangiiii woeee" teriak salah seorang dari mereka
Warga pun berbondong bondong menuju ke mushola untuk melihat langsung apa yang dikatakan oleh orang tadi.
Gendis dan Mbah Sinah yang mendengar hal itupun kaget bukan main. Mereka berdua berlari menuju mushola. Sontak saja Mbah Nah tersimpuh lemas dilantai mendapati keajaiban itu.
Lain hal dengan Gendis yang hanya menatap sinis.
~
Di malam harinya, kedua putra Simbok datang bersama keluarganya masing masing. Mereka tidak jadi berkabung, keheranan mendapati Simbok yang tadi diberitakan telah meninggal
"Loh Yu, piye iki ceritane"
(Loh Mbak, gimana ini ceritanya) tanya seorang pria yang tampaknya tidak terpaut jauh dari usia Mbah Sinah
Mbah Nah nampak menjelaskan runtutan kejadian tadi pagi kepada kedua saudaranya.
Mereka tampak saling berpandangan sejenak satu sama lain, seakan mencerna hal hal yang mungkin bisa mereka nalar.
Di sisi lain, Gendis tengah bermain dan berbincang bincang dengan
"Mbak Endis uyut mati yo?"
(Mbak Ndis, Buyut meninggal ya?) tanya salah satu bocah yang duduk dihadapannya sambil membawa boneka
"Mboten dek, terose sinten"
(Nggak dek, kata siapa) ujar Gendis sambil tersenyum
(Lho lho dek ada apa sih) tanya Gendis yang bingung dengan tingkah bocah itu
Jari kecilnya menuntun pandangan Gendis kearah sesuatu yang ia tunjuk
Rupanya di tengah kegelapan itu nampak bayangan hitam seperti tubuh seseorang yang sedang berdiri diantara
Tubuh bungkuk, kurus seperti tengkorak yang tengah menatap mereka.
Simbok! Bayangan itu persis seperti Simbok Buyut!
Gendis dengan cepat meraih tubuh bocah disampingnya itu. Ia menggendong anak itu sambil berteriak memerintahkan adik adiknya yang lain
"Wes ayo melbuo kabeh! Cepet"
(Dah ayo masuk semua! Cepet) perintah Gendis pada bocah bocah itu. Tanpa perlu memaksa, mereka semua menuruti ucapan Gendis dan segera masuk kedalam rumah
"Ono opo nduk?"
(Ada apa nak?) tanya seorang pria yang terlihat
"Mboten nopo nopo Mbah"
(Gapapa Kek) jawab Gendis menutupi
Kakek itu paham bahwa ada yang Gendis sembunyikan namun ia tak mau bertanya lebih, ia menghargaj pilihan remaja itu.
.
.
Kejadian meninggalnya Simbok tidak hanya terjadi sekali. Itu terus menerus berulang hingga beberapa kali, mungkin sekitar 6?
Saat ajal akan menjemputnya, tubuh tua renta yang bahkan tak mampu duduk lagi itu merintih merengek kesakitan selama kurang lebih satu bulan
Rintihan yang teramat sangat membisingkan dan membuat orang orang yang mendengar pun menjadi pusing entah karena apa.
__Berlanjut__
*Ntar sore ya Qia agak sibuk nih
Mereka kesal jika harus direpotkan dengan proses persiapan pemakaman namun selalu saja tubuh itu hidup kembali.
~
Bukannya Simbok tidak pernah mendapatkan penanganan medis, bahkan ia selalu rutin di cek oleh petugas puskesmas yang sengaja mengunjungi rumahnya setiap bulan, dan beberap kali juga
Sungguh mengenaskan, tubuh itu hanya tersisa tulang yang dibalut kulit keriput. Untuk bernapas pun ia kesusahan hingga menimbulkan suara seperti mendengkur.
Hanya berbaring, ia tak bisa melakukan apapun lagi. Tangan dan kakinya lah yang masih bisa
Semua keluarga merasa gelisah dan prihatin. Namun sebenarnya mereka telah bersiap untuk menerima kenyataan terburuk sekalipun. Kalaupun memang meninggal adalah jalan terbaik agar Simbok Buyut tidak merasakan kesakitan lagi.
Sungguh rintihannya membuat pening.
Hingga pria tua itu menghubungi seseorang di telepon
"Assalamualaikum Dhi.. Piye kabare?"
(Assalamualaikum Dek gimana kabarnya?) ucap orang itu
"Saiki nok omah? Aku tak mrono yo"
(Sekarang dirumah? Aku kesana ya) timpalnya kembali
Akhirnya jenazah Simbok Buyut tetap dibiarkan diatas ranjang.
"Wah alhamdulillah pripun Kang kabare? Bali ndek apan iki"
(Wah gimana Bang kabarnya? Pulang kesini sejak kapan) tanya si tuan rumah
"Aku saben taun mulih pindo lho Dhi, ojo salah hahaha"
(Aku tiap taun pulang dua kali loh Dek, jangan salah kamu hahaha) jawab pria tua itu
Mereka larut dalam perbincangan panjang lebar hingga mereka berdua memasang ekspresi
Salah seorang membuka pembicaraan kembali
"Ngene Dhi, awak dewe mrene iki arep nyuwun pitulung marang awakmu"
(Gini Dek, kami kesini hendak minta tolong ke kamu) ucapnya
"Lho ono opo kang?"
(Lho ada apa bang?) tanya pemilik rumah dengan menatap serius
(Gini, ibuku udah beberapa tahun ini nggak hidup nggak mati pula Dek) jawab anak kedua Simbok itu
Si pemilik rumah hanya menelisik heran. Ia pun mengalihkan pandangan ke lain arah sejenak lalu menghela napas panjang.
(Hm, iya bang insyaallah aku udah paham. Yaudah ayo cepat kesana) seru pemilik rumah.
Siapa dia? Mengapa ia dimintai pertolongan oleh kedua anak Simbok?
"Ambu opo iki kang?"
(Bau apa ini bang?) tanya anak ketiga Simbok pada abangnya
"Hambuh, gek ndang anggone Simbok"
(Gatau, ayo cepat lihat Simbok)
Mereka menuju kamar Simbok karena tiada siapapun diruang tamu. Nampaknya orang orang tengah memenuhi kamar Simbok.
Pria itu hanya menatap ke sekeliling rumah, ternyata banyak sekali makhluk makhluk peliharaan Simbok.
*Grooook Grooook*
Terdengar suara seperti kerongkongan yang tersumbat dari arah kamar itu. Dan benar saja, Simbok yang tadi mereka tinggalkan dalam keadaan tidak bernyawa kini hidup
"Ngeneiki Dhi sing tak maksud"
(Beginilah Dek yang kumaksudkan tadi) ucap anak kedua Simbok pada temannya
Kawannya itu hanua menatap tajam tubuh Simbok yang terbaring dengan mulut menganga lebar dan kepala terdongak.
"Piye Ndis kabarmu? Kok gatau dolan nomah (Kok gapernah main kerumah)" ucap Pak Hardi
"Alhamdulillah Paklik" jawabnya
(Gendis ga pernah keluar, ga bisa main soalnya gaada yang ngurus sawah Paklik. Mbah Nah ya harus ngurusin Simbok) jelas Gendis pada Paklik Hardi
Tetiba, Simbok mulai merintih lagi, rupanya ia merasakan kehadiran Hardi.
"Tuluuung... Tuluuung..." ucapnya lirih sambil meneteskan air mata
Hardi yang mendengarnya pun menatap iba.
(Gimana Mbok? Masih kuat atau nggak) tanya Pak Hardi sambil menggenggam tangan tua keriput dihadapannya itu
"Tuluuuung aaargh eeenghh" ucap Simbok dengan rintihannya yang tampak kesakitan
Tak terasa Pak Hardi pun ikut menahan tangisnya
Wanita tua itu tampak kesusahan mengatur arus tenggorokannya yang harus terbagi antara udara dan air karena tak lagi dapat
Miris, semua orang disana sedih menatap tubuh yang nampak susah menelan air itu.
Hanya satu orang yang bersikap dingin. Ya, Gendis menatapnya tanpa rasa iba sama sekali seakan memendam rasa kesal yang teramat besar.
Setelah hari itu, keadaan Simbok berangsur pulih. Ia dapat lagi berbicara dengan jelas dan nafsu makannya meningkat. Semua orang merasa bahagia dan menganggap ini mukjizat dari yang Kuasa.
Tubuh tua itu dengan lahap melalap bubur dan obatnya, kini ia tampak sangat sehat dan berisi.
Pihak keluarga kembali terkejut karena Simbok yang tadinya sembuh kini kembali meninggal secara tiba tiba dengan keadaan sama seperti sebelumnya. Memuntahkan banyak darah berbau busuk dari mulutnya.
Ia menjauhkan pegangan pegangan Simbok yang membuat tubuh itu merasa kesakitan, namun tidak mencabutnya karena ia merasa iba dan
Ia tidak berani mencabut karena jika itu dilakukan Simbok akan sepenuhnya tiada, memang itulah yang akan terjadi jika
"Sebenere nopo ilmu gadahe Simbok Buyut Mbah"
(Sebenernya apa ilmu yang dimiliki Simbol Buyut Mbah) tanya Timur pada Mbah Sinah
Gendis mendekekat kearah Pak Hardi dan Timur, nampaknya ada sesuatu ynag ingin ia sampaikan.
Kini Gendis lah yang membuka suara, nampaknya ia sedikit banyak mengetahui tentang Nenek Buyutnya itu.
"Mbak.. Kulo ngertos (Aku tahu)" ucapnya
(Gimana nduk.. Sini ceritakan) pinta Timur pada teman adiknya itu
Gendis tampak gugup, ia menelan ludah lalu mulai menjelaskan
"Sampun dangu, Simbok mendhem kucing urip urip Paklik"
(Sudah sejak lama, Simbok mengubur kucing hidup hidup Paklik)
"Maksudmu nduk?" tanya Pak Hardi pada remaja itu
Tangan Gendis berkeringat, ia seakan berusaha keras menggali ingatan ingatan buruk dalam otaknya. Detak jantungnya mulai berpacu lebih cepat.
Sejak bertahun tahun lalu saat ia masih kecil dan Simbok masih sehat, nenek buyutnya itu rutin mengubur kucing kucing di sekeliling rumah mereka. Entah apa yang membuatnya melakukan perbuatan itu.
Dan pada suatu ketika saat sepulang dari sekolah, Gendis mendapati Simbok yang tengah memakan seekor kucing di pekiwan belakang rumahnya itu. Menjijikkan!
"Njaluk?"
(Minta?) tanya Simbok pada Gendis saat itu sambil menyeringai seram
Gendis yang ketakutan pun hanya berlari keluar rumah dan
Ia sangat syok dengan apa hang baru saja dilihatnya. Mana mungkin ada manusia yang bisa melakukan hal mengerikan seperti itu. Ia mual dan memuntahkan seluruh isi perutnya.
"Ngoten Mbak" tutupnya pada Timur yang memperhatikan ia dengan seksama
"Suwun yo nduk wes ngomong"
(Makasih ya nduk udah ngomong)
Gendis hanya mengangguk dan mencoba menyingkirkan rasa gelisahnya.
Mereka semua memandang kearah tubuh Simbok dibaringkan, memang saat itu nyawanya entah pergi kemana lagi. Namun pasti akan kembali beberapa saat lagi.
Mbak Timur duduk di sebelah ayahnya dan dua orang pria tua yang pernah
"Ngeten Mbah, amalane Simbok niku katah sanget. Kersane kula cobi medalke rumiyen nggih. Mugi mugi saget"
(Gini Kek, amalan milik Simbok itu sangat banyak. Biar saya coba keluarin
Kedua pria itu hanya pasrah, mereka menyerahkan sepenuhnya keputusan pada Timur dan ayahnya. Memang akan lebih baik jika Simbok dapat tenang dialam lain terbebas dari jerat kesakitan di dunia akibat perbuatannya sendiri.
Setelah mneunggu beberapa lama, tubuh Simbok tersadar kembali dari mati surinya.
Timur mendekati tubuh itu, ia paham dengan situasi itu. Bukan Simbok yang kini berada dalam raga itu.
Ia menatap tajam Timur dalam diam hingga saat Timur berada tepat di hadapannya, ia membuang muka.
Timur hanya tersenyum simpul, ia mengode ayahnya agar menyuruh beberapa orang
Kini Timur mulai mengambil seluruh ilmu ilmu hitam dalam diri Simbok, ia meletakkan potongan pelepah pohon pisang pada perut dan dahi Simbok lalu menekannya kuat kuat
Timur melakukan itu sambil menahan tangis, namun tetap saja air matanya tak mampu ia bendung lagi. Hal itu ia lakukan dalam beberapa menit,
Timur mengelap air matanya dengan lengan baju, mata dan hidungnya tampak memerah.
Semua orang tampak tak percaya melihat bukti nyata bahwa Simbok menganut ilmu sesat.
~
Timur kembali berunding dengan pihak keluarga Simbok, ia menjelaskan bahwa seluruh pegangan Simbok telah
"Ajen isi sing sanget gawe dowo umure Mbah, kalih sing setunggale..."
(Isi ajian yang bisa membuat panjang umur Nek, sama satunya lagi...) Timur tidak segera menyelesaikan ucapannya, raut wajah Gadis itu
Ia memandang ayahnya, yang dibalas oleh anggukan
Timur menghela napas lalu mencoba untuk menjelaskan kembali
"Niku ilmu... Kula boten ngertos kangge nopo nanging Simbok sampun nglakoni sarate"
(Itu ilmu... Saya gatau kegunaannya apa tapi Simbok
Jika sebuah ilmu sudah disempurnakan dengan melakukan semua persyaratannya maka ia akan bertahan kuat di tubuh si pemilik.
Mbah Sinah kebingungan mendengar perkataan Timur, ia kembali bertanya
"Saratan opo Nduk?"
Timur masih merasa sungkan hendak mengatakan hal itu, namun ia ingin masalah ini cepat selesai.
Akhirnya ia pun mengatakan yang sejujurnya bahwa Simbok mendaaptkan ilmu itu dengan cara mengambil keperjakaan sepuluh orang pria. Entahlah, tidak ada yang
Semua orang disana tertegun, seakan wajah mereka disayat sayat oleh kenyataan pahit. Seperti telah dilempar kotoran hingga rasa malu memenuhi dada mereka.
Ketiga anak Simbok pun menangis, mereka merasa hancur sehancur hancurnya
Timur kembali menjelaskan bahwa kedua makhluk itu hanya meminta untuk menempel ke satu orang, dan akan melepaskan diri jika sudah waktunya.
Akhirnya Mbah Sinah mengambil keputusan bahwa ialah yang akan mewarisinya.
Akhirnya Timur berhasil memindahkan kedua pegangan itu ke tubuh Mbah Sinah. Dan setelah itu, tubuh Simbok seperti mayat hidup.
Akhirnya selang beberapa hari Simbok menghembuskan napas terakhirnya saat petang, langit tampak temaram dan adzan maghrib berkumandang.
.
.
.
Ingat, jangan gadaikan kehidupanmu sendiri dengan angan angan yang diberikan oleh setan. Apalagi jika hanya demi ilmu yang bahkan tak mungkin memberi manfaat apapun.
#bacahorror #threadhorror #ceritaht
.
.
Qiana
See you soon