, 49 tweets, 8 min read
My Authors
Read all threads
@bacahorror @InfoMemeTwit

#bacahorror #horror #ceritahorror #Spirituality #pengalamanspiritual #memetwit

A THREAD : Pengalaman pribadi sebagai anak indigo dan pelaku spiritual (Episode 12)

Untuk episode-episode sebelumnya bisa dilihat di tab likes profil saya yaa :D
Haloo! Bertemu lagi di thread utamaku! Seperti yang udah aku post sebelumnya, kali ini aku bahas pengalaman spiritualku selama liburan ke Jogja dan Solo saat Idul Fitri tahun lalu. Bagaimana ceritanya? Kuy simak!
Malam takbiran untuk menyambut Idul Fitri pun telah tiba. Takbir berkumandang di seluruh penjuru kota Kediri. Kakak pertamaku Mas Pratama telah pulang kampung dari tanah rantaunya, Makassar bersama istrinya Mbak Ani.
Satu keluarga berkumpul pada malam itu Ayah, Ibu, Mas Pratama, Mbak Ani dan kakak keduaku, Mas Putra. Aku hanya menatap mereka dari kejauhan dan melihat langit malam.
Dalam lamunanku , aku tenggelam dalam bayanganku akan keraton Jogja dan keraton Surakarta. Entah mengapa aku merindukan suasana keraton dan sudah menjadi impianku sejak lama untuk berkunjung lagi kesana.
Aku dikagetkan oleh suara Mas Pratama , "Gimana , dek? Mau liburan ke Jogja?"
"Loh? Kita ga mudik?", tanyaku.
"Nggak lah, kamu ga dengerin tadi?", tanya Mas Pratama kembali.
"Buat apa mudik ke Situbondo? Kita udah ga punya kakek dan nenek, mereka semua sudah meninggal. Ga ada lagi ambisi untuk mudik, lagian kita kan sudah nyekar ke makamnya sebelum puasa kan?", ucap Mas Putra.
"Eh...", aku membuka mulutku kaget
"G-gimana menurut Ayah?", aku menatap Ayah serius
"Ya itu tadi, bener kata Putra. Kita ga ke Situbondo lebaran tahun ini dan pergi liburan ke Jogja dan Solo.", jawabnya.
Ya, memang keluargaku seperti itu. Sulit untuk dikatakan kalau mereka adalah orang-orang yang tidak pernah memperhatikan perasaan. Bahkan rasa dan esensi Hari Raya Idul Fitri itu sudah musnah di hati mereka. Entahlah, ini hanya aku yang terlalu membawa perasaan atau bagaimana.
"Ya udah, ayo cepetan packing. Setelah sholat Ied kita berangkat.", ucap Ibu. Kami pun bergegas untuk bersiap-siap untuk packing.

Esoknya, setelah sholat Ied, kami pun langsung pergi menuju Solo menggunakan kendaraan mobil.
Kami tinggal di salah satu hotel di Solo, disana kami menginap selama dua malam. Kami pun merencanakan untuk pergi ke Jogja esok hari setelah kami tiba di Solo.
Malamnya, aku tidak bisa tidur. Meskipun hotel tempat kami menginap terbilang hotel yang modern dan tidak memberikan kesan yang angker namun, aku terus melihat sosok-sosok ghaib sedang mengelilingiku.
Mereka bukanlah sosok ghaib yang mengerikan. Mereka berpakaian seperti orang-orang di era kerajaan Mataram Islam. Mayoritas dari mereka adalah laki-laki, memakai baju hitam, blangkon hitam, dan jarik serta keris yang menghiasi punggung mereka.
"Tidur aja deh.", gumamku menghiraukan mereka. Namun, ketika aku memjamkan mata, aku melihat sebuah vision keraton dengan ornamen yang serba berwarna biru. Sontak, aku membuka mataku lagi kaget. "Gimana caranya aku tidur?!", gumamku ketus.
Esoknya, kami berkumpul di lobby hotel untuk sarapan. Aku tidak bisa tidur nyenyak, aku sungguh merasa kurang tidur karena meskipun aku memejamkan mata, vision keraton itu masih ada .
"Kamu kenapa Putri?", tanya Mbak Ani.
"Kurang tidur, Mbak." jawabku jujur
"Kok bisa? Padahal bantal sama kasurnya empuk loh.", ucap Ibu tidak percaya
"Alah, hoax nih, wong kamu tidur nyenyak gitu mata kamu tertutup rapat gitu.", Ucap Mas Putra memancing emosiku.
Aku melirik ke Mas Putra memberi isyarat padanya, "Nyenyak, ndasmu iku." . Aku tahu dia tidak memperhatikannya dan memang tidak memperhatikan perasaan lawan bicaranya namun, aku langsung pergi mengambil makanan yang ada.
Setelah sarapan, kami berangkat menuju Jogja. Namun, sebelum itu kami mampir ke Candi Prambanan terlebih dahulu. Ketika di Candi Prambanan aku mencoba memaksimalkan kemampuan mata batinku untuk mendeteksi leluhur disana, aku sangat berharap beliau ada disana.
Namun, dugaanku salah. Beliau tidak ada! Rasa kecewa ini menyerangku sampai aku lemas ditambah lagi cuaca disana sungguh terik dan membuatku kelelahan. Bagaikan mayat hidup, aku mengikuti kakak-kakakku berjalan mengelilingi candi.
Puas mengelilingi Candi Prambanan, kami melanjutkan perjalanan kami menuju ke Keraton Jogja. Karena macet yang parah ditambah tersesat, kami tiba di keraton di kala keraton sudah tutup.
Walaupun itu, aku tetap merasakan aura mistis di sekitar keraton. Lagi-lagi, aku serasa di bawa ke masa lalu dimana aku melihat sebagian besar orang-orang disana memakai jarik. Aku tahu ini adalah alam lain karena aku melihat mereka memiliki kaki yang transparan.
Aku seperti "disambut" oleh beberapa sosok laki-laki dan perempuan berpakaian hitam dan memakai jarik. Beliau-beliau tampaknya mengerti aku bisa melihatnya.
"Keratonnya ngeri.", ucap Mbak Ani memegang lenganku erat.
"Disini nggak ada mereka-mereka yang memiliki aura negatif, Mbak.", jawabku dingin.
"Kalau begitu, sosok seperti Nyi Roro Kidul itu ada beneran ya?", tanya Mbak Ani.
"Ya iya---", ucapanku seperti terpotong ketika hendak memberikan jawaban kepada Mbak Ani. Aku sempat membentaknya karena memang Nyi Roro Kidul itu benar adanya, namun aku lupa jika Mbak Ani adalah orang Makassar yang tidak mengerti seputar mitologi Jawa.
Dengan cepat aku menurunkan emosiku dan menjawab dengan sabar, "Iya. Mbak."
"Hii! Ngerinya! Duh merinding aku, ayo kita keluar dari sini!", Mbak Ani menarik lenganku keluar halaman keraton.
Melihat tingkah Mbak Ani yang nampaknya belum terbiasa dengan hal-hal ghaib, aku hanya tertawa kecil.
Setelah, mengunjungi keraton kami pun berbelanja sekaligus makan malam kemudian melanjutkan perjalanan kembali ke hotel.
Esoknya , kami sarapan sembari "rapat" untuk menentukan tujuan wisata kami di pagi ini sebelum kembali ke Kediri, dan yap! Aku tidak bisa tidur lagi karena vision yang sama.
"Gimana kalau kita ke keraton Surakarta aja?", usul Ayah.
"Ah bosen, keraton Surakarta cuma gitu-gitu aja isinya, ga se-mistis keraton Jogja!", Ibu menyangkal.
"Tapi , Mbak Ani kan belum pernah kesana.", ucap Ayah
"Oh, iya ya! Benar juga!", Ibu nampaknya setuju.
"Ayo kita perkenalkan Mbak Ani keraton di Jawa! Mbak Ani kan orang Makassar!", ucap Ayah tersenyum.
Keluargaku pun sepakat untuk pergi ke keraton Surakarta sebagai tujuan wisata.
Seusai sarapan kami meletakkan tas kami di mobil, kemudian check out dari hotel . Kami pun bergegas menuju keraton Solo.
Setibanya di keraton, kami disambut oleh abdi dalem yang bertugas sebagai pemandu wisata.
Abdi dalem itu sempat menatapku kemudian mengamatiku sejenak. Aku hanya melirik berusaha menyembuyikan dari beliau kalau aku adalah lelaku spiritual.
"Nah! Panjenengan semua ini asalnya darimana?", sapa Abdi dalem itu ramah.
"Dari Kediri.", jawab Ayah
"WAH KEDIRI! Berarti Jenggala ya! Wah! Wah! Kerajaan Jenggala itu adalah leluhur kami!", Abdi dalem itu nampak kegirangan terlihat dari matanya yang berbinar-binar.
Sekali lagi, beliau menatapku lagi dan tersenyum. Dalam hati aku berkata, "Please , jangan diumbar ke keluarga kalau aku adalah lelaku spiritual!"
Tour singkat kami di keraton Surakarta pun dimulai.
Dalam tour keliling keraton, kami didampingi oleh abdi dalem itu sekaligus beliau menceritakan sejarah seputar kerajaan di Jawa.
"Apakah njenengan (singkatan dari panjenengan) tahu kerajaan selanjutnya setelah kerajaan Majapahit?", tanya beliau.
"Demak.", jawabku singkat.
"Benar sekali!", jawabnya dengan mata yang berbinar. Dalam penjelasannya, beliau banyak memberikan pertanyaan kepada kami seputar kerajaan Mataram Islam, dan sebagian besar pertanyaan itu bisa aku jawab secara tidak sadar.
Ayah dan Mas Putra berjalan mendahului, aku dan sang abdi dalem. Hanya kami berdua tersisa, dan beliau menoleh secara tiba-tiba dan menatapku tajam.
Aku terdiam, dan membiarkan beliau untuk bertanya terlebih dahulu.
"Mbaknya ini terlihat berbeda dari anggota keluarga lainnya, asmane sinten? (namanya siapa?).", tanya sang abdi dalem.
"Putri. Saya sebenarnya adalah lelaku spiritual namun, saya rahasiakan ini dari keluarga saya.". ucapku tanpa menunggu pertanyaan dari beliau.
"Saya sering mendapat panggilan dari leluhur Kediri, Eyang Putri.", tambahku sembari memberi tahu nama asli dari Eyang Putri.
"Oh beliau? Dari Pantai Selatan ya?", tanya sang abdi dalem berusaha menebak identitas Eyang Putri.
"Uhh.. bukan tapi memang dekat dengan Ratu Pantai Selatan.", jawabku jujur.
"Hoho! Baiklah, ayo kita lanjutkan perjalanan kita!", sang abdi dalem itu tersenyum.
Selanjutnya kami membahas tentang pengasingan Sultan Pakubuwono VI ke Ambon beserta pengasingan Pangeran Diponegoro ke Makassar.
"Jika Sultan Pakubowono diasingkan, apakah dulu terjadi kekosongan kekuasaan?", tanyaku.
"Lalu, apakah terjadi perebutan kekuasaan saat itu?", tanyaku lagi.
Lagi-lagi sang abdi dalem itu menatapku tajam kemudian tersenyum , "Wah.. wah..! Kritis sekali Mbak Putri ini, njenengan memang diikuti leluhur njenengan untuk belajar tentang leluhur kami!"
Kami pun tiba di sebuah menara di keraton. sang abdi dalem itu menjelaskan, "Menara itu dulunya dipakai oleh para sultan untuk berkomunikasi dengan penguasa Laut Selatan , ya yang dekat sama leluhur njenengan itu." beliau menunjukku.
Ayah tiba-tiba menengokku menatap kaget. Aku memalingkan pandanganku darinya seraya berkata dalam hati "ADUH BAPAKE JANGAN CERITA ITU!!"
Tour kami pun selesai, keluargaku bergegas keluar dari keraton dan meninggalkanku di belakang bersama sang abdi dalem.
"Njenengan perlu mendalami tentang leluhur Jenggala, termasuk Eyang Putri itu.", ucap sang abdi dalem tersenyum.
"Iya, saya juga berusaha untuk mencari guru untuk membantu saya. Sekalian perlahan melepas nafsu duniawi saya.", jawabku jujur
"Aduh Gusti! Bagus itu! Njenengan memang dibimbing oleh leluhur njenengan! Njenengan adalah orang pilihan!", respon beliau girang.
Sang abdi dalem pun mengantarku untuk berkumpul kembali dengan keluargaku. "Terima kasih atas kunjungannya, Panjenengan sekalian!", ucap sang abdi dalem tersenyum.
"Njenengan harus bersyukur, pak! Anak perempuan njenengan ini adalah orang yang dipilih leluhur Jenggala untuk mempelajari sejarah seputar Jenggala!", ucap sang abdi dalem kepada ayahku.
Ayahku tersenyum tidak percaya, kemudian tidak menghiraukan ucapan beliau.
Terakhir, aku menengok kebelakang menatap sang abdi dalem.
Abdi dalem itu tersenyum dan berkata, "Sampai jumpa di lain kesempatan!"
Aku melambaikan tangan kepada beliau dan kemudian kembali ke keluargaku. Kami pun melanjutkan perjalanan kami pulang ke Kediri.
Yak berikut akhir dari Thread ini! Terima kasih telah membaca! Maaf agak panjang thread nya ya! Stay tuned untuk episode selanjutnya di malam Jumat minggu depan ya!
Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh.

Enjoying this thread?

Keep Current with Yanto S.

Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

Twitter may remove this content at anytime, convert it as a PDF, save and print for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video

1) Follow Thread Reader App on Twitter so you can easily mention us!

2) Go to a Twitter thread (series of Tweets by the same owner) and mention us with a keyword "unroll" @threadreaderapp unroll

You can practice here first or read more on our help page!

Follow Us on Twitter!

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just three indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3.00/month or $30.00/year) and get exclusive features!

Become Premium

Too expensive? Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal Become our Patreon

Thank you for your support!