#bacahorror #horror #ceritahorror #Spirituality #pengalamanspiritual #memetwit
A THREAD : Pengalaman pribadi sebagai anak indigo dan pelaku spiritual (Episode 27.1)
Untuk episode-episode sebelumnya bisa dilihat di tab likes profil saya yaa :D
"Iya, Mbah. Bodohnya, saya nggak bawa pakaian ganti.", ucapku tersenyum.
"Saya merasa sudah mendobrak stigma buruk soal mandi kembang, Mbah. Hahahaha....", ucapku sembari tertawa.
"Maksudnya, Mbak Putri?", tanya Mbah Yudi.
"Lha, siraman manten itu apa nggak pakai kembang ta, Mbak Putri?", tanya Mbah Yudi sembari tersenyum sedikit sinis.
"Oh, iya ya, Mbah. Saya nggak kepikiran hahaha...", jawabku tertawa.
"Badan saya terasa ringan, Mbah. Sangat ringan. Saya nggak nyangka ternyata mandi seperti itu ada manfaatnya macam obat hahaha...", jawabku.
"Saya selama ini nggak percaya sama hal begituan, Mbah. Walaupun saya bisa melihat tapi, cara berpikir saya sangat rasional, dan menolak eksistensi mereka2 yang nggak kelihatan itu.", ucapku.
Aku pun terdiam, mataku terbelalak, mulutku terbuka lebar.
"Oh, tidak. Sepertinya Mbah Yudi marah, Oh no no no no...", ucapku dalam hati sembari menelan ludahku sendiri.
Mbah Yudi terus menatapku tajam berharap akan respon dariku. Aku tetap terdiam takut.
Tatapan Mbah Yudi semakin tajam.
"Iya, Mbah. Benar itu.", aku pun membalas tatapan tajam Mbah Yudi.
Tatapan dan ekspresi wajah Mbah Yudi pun berubah, angin yang awalnya kencang berubah menjadi sepoi-sepoi.
"Leluhur nggak tega sampeyan jadi hilang arah, Mbak Putri.", ucap Mbah Yudi.
Pak Arfian pun datang mengelus kepalaku.
Mbah Yudi pun mengangguk.
"Mumpung masih ada waktu banyak, mau menyempatkan diri buat sowan ke Eyangnya dulu, Mbah hehe..", ucapku menambahkan.
"Iya, Mbah. Makasih sudah dibantu buat jamasannya tadi hehe.", aku pun menyambut tangan dari Mbah Yudi kemudian menyalami beliau.
"Rahayu, Mbak.", Mbah Yudi memberikan salam
"Ya, Mbah? Barang saya ada yang ketinggalan ta?", tanyaku
"Sampeyan sama Pak Arfian harus madep mantep ke Gusti Pengeran dan para leluhur.", ucap Mbah Yudi.
Aku mengangguk , "Siap, Mbah!"
"Lho ada orang ta, Mbah?", tanyaku.
"Ada, Mbak. Buat persiapan hari Saraswati.", jawab Mbah Rais.
"Nggih, Mbak, Monggo.", jawab Mbah Rais.
Berjalan kaki masuk menuju pura , aku bertanya kepada Pak Arfian, "Hari Saraswati wi opo (Hari Saraswati itu apa)?".
Belum selesai berdiskusi tak terasa aku sudah memasuki bagian dalam pura. Ya, ramai orang yang sedang beraktifitas di gazebo Pura.
"Hayoo tadi pesannya Mbah Yudi apa? Madep mantep!", Pak Arfian menguatkanku.
"Iya, benar juga... duh tapi masih minder.", ucapku.
"Lho, Putri, Arfian! Mau sungkem ta?", sapa Pak Ketut
"Iya, pak. Tapi mendadak minder gegara banyak orang.", jawabku.
"Halah, ngapain minder juga.", jawabnya.
"Hari Saraswati itu apa, pak?", tanyaku
"Oh, hari Saraswati itu hari turunnya ilmu pengetahuan. Inti dari perayaan ini adalah menghormati Dewi Saraswati, dewi ilmu pengetahuan.", jawab Pak Ketut
"Sudah kenalan sama ibu-ibu yang ada disana belum?", Pak Ketut menunjuk sosok ibu-ibu bersama anak-anak kecil yang sedang menari.
"Malu saya....", ucapku ragu-ragu.
Tak lama kemudian nampak seorang ibu-ibu memakai kebaya kuning sedang membawa besek (tempat untuk menaruh sesuatu yang terbuat dari anyaman bambu) yang berisi buah-buahan.
"Whoa, aku nggak pernah mendengar nada bicara yang selembut ini sebelumnya. Bahkan ibuku tak pernah selembut itu dalam berbicara.", batinku terpukau.
"Dan ini pendampingnya, namanya Arfian.", Pak Ketut menambahkan.
"Monggo, monggo.", ibu itu menyambut uluran tanganku kemudian kami pun bersalaman.
"Nama saya Made. Saya jemaat disini."
"Bu Made...", ucapku lirih.
"Saya, sering kok ibadah disini, tapi malam hari.", Bu Made menambahkan.
"Kalau saya, siang hari. Karena kalau malam saya nggak dibolehin keluar sama ortu.", jawabku.
Belum sempat aku menjawab pertanyaan dari Bu Made, perempuan yang tampak menari bersama anak-anak itu tiba-tiba datang menghampiriku.
"Nah ini bu Maria. Dia juga jemaat disini, dia yang mengajar anak-anak ini menari. Bu Maria, ini lho Mbak Putri punya koneksi sama Eyang Putri. Leluhur disini." ucap Bu Made
"Lha ini mau cerita dianya. Tapi, Bu Maria tau2 datang.", Bu Made pun tertawa.
Aku pun mulai menceritakan perjalanan supernaturalku selama ini.
"Nah ini seperti bagaimana Dewi Saraswati menurunkan ilmu pengetahuan untuk membimbing umat manusia.", ucap Bu Maria merespon.
"Apa yang sampeyan dapat itu anugerah yang seribu orang cari, Put.", Pak Ketut menambahkan.
"Lho kenapa?!", Bu Maria dan Bu Made kaget mendengar ucapanku.
"Ya, karena itu saya jadi berbeda diantara keluarga saya, teman-teman saya.", jawabku
"Lho iya kah?", tanyaku
"Tapi, syukuri saja Mbak Putri. Benar kata Pak Ketut ini , anugerah yang seribu orang cari", Bu Made menambahkan
Aku pun menjelaskan sedikit tentang latar belakang orangtuaku. Mendengar penjelasanku Bu Made pun berkata, "Lho , berarti aku kenal sama ayahmu. Ayahmu dulu pernah sekantor sama aku."
Seketika itu juga, aku berkeringat dingin. Aku merasa jatuh dalam kandang singa. Dengan sigap aku bersujud memohon kepada Bu Made dan Bu Maria, "Bu, saya mohon rahasiakan ini kepada orangtua saya. Saya mohon."
"Saya, paham mungkin njenengan akan membela orangtua saya. Saya paham apa yang saya lakukan ini mungkin sesat. Tapi, saya nggak tahu harus bagaimana lagi, saya tiap minggu harus dipanggil kesini menemui Eyangnya,
"Duh duh cup cup jangan, nangis, nak!", Bu Maria tampak gelisah
"Sudah, sudah daripada sedih. Ayo lihat aku nari sama anak-anakku.", ucap Bu Maria.
Oh ya, untuk episode selanjutnya. Kemungkinan agak molor karena ada kegiatan hehe