, 53 tweets, 9 min read
My Authors
Read all threads
@bacahorror @InfoMemeTwit

#bacahorror #horror #ceritahorror #Spirituality #pengalamanspiritual #memetwit

A THREAD : Pengalaman pribadi sebagai anak indigo dan pelaku spiritual (Episode 27.1)

Untuk episode-episode sebelumnya bisa dilihat di tab likes profil saya yaa :D
Okee , akhirnya update lagi! Semoga lancar dan ga ada gangguan macam seminggu yang lalu. Episode kemarin banyak kehilangan poin2 utama cerita karena nggak fokus. Oke langsung aku mulai ya.
Pakaianku masih basah, dan Mbah Yudi hanya tersenyum menatapku yang kebingungan akan pakaian basahku, "Wes to, Mbak. Nanti lak kering sendiri."
"Iya, Mbah. Bodohnya, saya nggak bawa pakaian ganti.", ucapku tersenyum.
"Gimana, Mbak Putri rasanya mandi kembang? Baru pertama kali kan ya mandi kembang?", tanya Mbah Yudi.
"Saya merasa sudah mendobrak stigma buruk soal mandi kembang, Mbah. Hahahaha....", ucapku sembari tertawa.
"Maksudnya, Mbak Putri?", tanya Mbah Yudi.
"Ya, saya nggak menyangka saja, Mbah. Selama ini yang saya tahu mandi kembang merupakan sesuatu yang tidak baik, tapi saya nggak menyangka bahwa itu termasuk bentuk dari usaha seseorang untuk mendekatkan diri kepada Gusti Pengeran, terbukti dari doa-doa dari Mbah Yudi tadi.",
ucapku.
"Lha, siraman manten itu apa nggak pakai kembang ta, Mbak Putri?", tanya Mbah Yudi sembari tersenyum sedikit sinis.
"Oh, iya ya, Mbah. Saya nggak kepikiran hahaha...", jawabku tertawa.
"Tapi rasanya mandi kembang gimana, Mbak?", tanya Mbah Yudi lagi.
"Badan saya terasa ringan, Mbah. Sangat ringan. Saya nggak nyangka ternyata mandi seperti itu ada manfaatnya macam obat hahaha...", jawabku.
"Sama, aku juga ringan. Badanku ringan pol.", ucap Pak Arfian.
"Saya selama ini nggak percaya sama hal begituan, Mbah. Walaupun saya bisa melihat tapi, cara berpikir saya sangat rasional, dan menolak eksistensi mereka2 yang nggak kelihatan itu.", ucapku.
"Dulu saya berpikir bahwa sesuatu yang nggak bisa dijelaskan secara ilmiah merupakan karangan manusia belaka, termasuk khasiat dari jamasan bunga itu tadi, Mbah. Tapi saya sekarang mengerti.", aku menambahkan
"Kalau nggak percaya sama yang ghaib berarti Mbak Putri juga nggak percaya sama Tuhan dong. Kan Tuhan itu sifatnya ghaib, Maha Ghaib malahan.", ucap Mbah Yudi dengan tatapan yang tajam

Aku pun terdiam, mataku terbelalak, mulutku terbuka lebar.
"Iya to? Bukankah di kitab suci sudah dijelaskan bahwa ada makhluk yang tak kasat mata yang juga makhluk Tuhan? Dan Tuhan itu sendiri sifatnya juga Maha Ghaib. Kalau Mbak Putri sama makhluk ghaib saja nggak percaya berarti Mbak Putri juga nggak percaya Tuhan juga to?",
Mbah Yudi menatapku tajam.
"Oh, tidak. Sepertinya Mbah Yudi marah, Oh no no no no...", ucapku dalam hati sembari menelan ludahku sendiri.
Mbah Yudi terus menatapku tajam berharap akan respon dariku. Aku tetap terdiam takut.
Suasana pun tiba-tiba menjadi tegang, tak sadar aku juga diawasi oleh para leluhur dan beliau menunggu akan responku sama seperti Mbah Yudi, mungkin Mbah Yudi dan para leluhur sudah paham akan responku namun, beliau-beliau semua menunggu ucapan langsung dariku.
Angin pun tiba-tiba berhembus sedikit kencang seperti akan tiba hujan. Aku paham ini bukan angin biasa, ini tanda eksistensi dari para leluhur. Aku bingung harus berbuat apa.
"Saya sempat menjadi orang ateis, Mbah. Saya sempat nggak percaya sama Tuhan. Itu terjadi ketika waktu saya SMA dulu", ucapku jujur.
Tatapan Mbah Yudi semakin tajam.
"Iya, Mbah. Benar itu.", aku pun membalas tatapan tajam Mbah Yudi.
"Tapi kala itu, hati saya merasakan kosong, Mbah. Saya tersiksa ketika saya memproklamirkan diri untuk tidak percaya akan eksistensi Tuhan. Hati saya rasanya seperti disayat dan tiap hari saya merasa sengsara.", ucapku lagi.
"Hingga akhirnya saya bertemu dengan Eyang Putri itu, Mbah.", ucapku.
Tatapan dan ekspresi wajah Mbah Yudi pun berubah, angin yang awalnya kencang berubah menjadi sepoi-sepoi.
"Leluhur nggak tega sampeyan jadi hilang arah, Mbak Putri.", ucap Mbah Yudi.
"Ya, namanya proses perjalanan hidup, Mbak. Kalau sampeyan nggak melalui itu mungkin sampeyan nggak akan bertemu dengan para leluhur, Mbak.", Mbah Yudi pun tersenyum.
Pak Arfian pun datang mengelus kepalaku.
"Mbah, saya sama Pak Arfian tak pamit dulu ya. Mau sowan ke Eyang Putri.", ucapku
Mbah Yudi pun mengangguk.
"Mumpung masih ada waktu banyak, mau menyempatkan diri buat sowan ke Eyangnya dulu, Mbah hehe..", ucapku menambahkan.
"Iya, Mbak Putri. Hati-hati ya.", jawab Mbah Yudi sembari mengulurkan tangan , bersalaman.
"Iya, Mbah. Makasih sudah dibantu buat jamasannya tadi hehe.", aku pun menyambut tangan dari Mbah Yudi kemudian menyalami beliau.
"Rahayu, Mbak.", Mbah Yudi memberikan salam
Aku pun berbalik arah. Namun, tak lama kemudian Mbah Yudi memanggilku kembali.
"Ya, Mbah? Barang saya ada yang ketinggalan ta?", tanyaku
"Sampeyan sama Pak Arfian harus madep mantep ke Gusti Pengeran dan para leluhur.", ucap Mbah Yudi.
"Kalau sampeyan madep mantep ke Yang Maha Kuasa dan para leluhur , sampeyan nggak akan kehilangan arah lagi.", Mbah Yudi menambahkan.
Aku mengangguk , "Siap, Mbah!"
Aku pun membungkukkan badan berpamitan kepada Mbah Yudi kemudian melanjutkan perjalanan menuju pura. Setibanya, disana nampak Mbah Rais sedang duduk bersantai di halaman rumahnya.
Mengerti maksud kedatanganku Mbah Rais tiba-tiba berkata, "Langsung masuk saja, Mbak. Nggak dikunci kok."
"Lho ada orang ta, Mbah?", tanyaku.
"Ada, Mbak. Buat persiapan hari Saraswati.", jawab Mbah Rais.
Aku pun mengangguk serta berpamitan kepada Mbah Rais untuk masuk ke pura, "Oh, ya. Monggo, Mbah."
"Nggih, Mbak, Monggo.", jawab Mbah Rais.
Berjalan kaki masuk menuju pura , aku bertanya kepada Pak Arfian, "Hari Saraswati wi opo (Hari Saraswati itu apa)?".
"He? Nggak tahu aku. Aku malah ngga mendengarkan omongannya Mbah Rais barusan.", jawabnya.
Belum selesai berdiskusi tak terasa aku sudah memasuki bagian dalam pura. Ya, ramai orang yang sedang beraktifitas di gazebo Pura.
"Duh, aku jadi minder....", aku memegang erat tangan Pak Arfian.
"Hayoo tadi pesannya Mbah Yudi apa? Madep mantep!", Pak Arfian menguatkanku.
"Iya, benar juga... duh tapi masih minder.", ucapku.
Mataku tiba-tiba tertuju pada sosok familiar yang tengah duduk bersantai di gazebo pura, "Lho, Pak Ketut?"
"Lho, Putri, Arfian! Mau sungkem ta?", sapa Pak Ketut
"Iya, pak. Tapi mendadak minder gegara banyak orang.", jawabku.
"Halah, ngapain minder juga.", jawabnya.
"Ini orang-orang lagi mau persiapan buat Hari Saraswati.", terang Pak Ketut.
"Hari Saraswati itu apa, pak?", tanyaku
"Oh, hari Saraswati itu hari turunnya ilmu pengetahuan. Inti dari perayaan ini adalah menghormati Dewi Saraswati, dewi ilmu pengetahuan.", jawab Pak Ketut
"Wah.. Aku baru tau ini!", ucapku terpukau akan informasi baru.
"Sudah kenalan sama ibu-ibu yang ada disana belum?", Pak Ketut menunjuk sosok ibu-ibu bersama anak-anak kecil yang sedang menari.
"Malu saya....", ucapku ragu-ragu.
"Wes to ra usah isin. Kabeh sedulur (Sudahlah tak perlu malu. Semuanya saudara).", ucap Pak Ketut.
Tak lama kemudian nampak seorang ibu-ibu memakai kebaya kuning sedang membawa besek (tempat untuk menaruh sesuatu yang terbuat dari anyaman bambu) yang berisi buah-buahan.
"Lho sopo iki? Wong anyar ta? (Lho siapa ini? Orang baru kah?)", sapa wanita itu lembut.
"Whoa, aku nggak pernah mendengar nada bicara yang selembut ini sebelumnya. Bahkan ibuku tak pernah selembut itu dalam berbicara.", batinku terpukau.
"Dia Putri, dia agak berbeda dari kita tapi dia sering datang kesini untuk memenuhi panggilan dari Eyang Putri. Dia punya koneksi kuat sama Eyangnya disini.", Pak Ketut memperkenalkanku.
"Dan ini pendampingnya, namanya Arfian.", Pak Ketut menambahkan.
"Monggo, bu. Salam kenal.", aku mengulurkan tangan untuk bersalaman dengan ibu-ibu itu.
"Monggo, monggo.", ibu itu menyambut uluran tanganku kemudian kami pun bersalaman.
"Nama saya Made. Saya jemaat disini."
"Bu Made...", ucapku lirih.
"Waduh, aku diceluk "bu" wes tuo ya aku hihihi (Waduh, aku dipanggil "bu" sudah tua ya aku).", ucap Bu Made.
"Saya, sering kok ibadah disini, tapi malam hari.", Bu Made menambahkan.
"Kalau saya, siang hari. Karena kalau malam saya nggak dibolehin keluar sama ortu.", jawabku.
"Gimana ceritanya kamu bisa sampai kesini? Gimana ceritanya kamu kok bisa ketemu sama Eyang Putri?", mata Bu Made nampak berbinar-binar.
Belum sempat aku menjawab pertanyaan dari Bu Made, perempuan yang tampak menari bersama anak-anak itu tiba-tiba datang menghampiriku.
"Lho siapa ini?", tanya perempuan itu tersenyum
"Nah ini bu Maria. Dia juga jemaat disini, dia yang mengajar anak-anak ini menari. Bu Maria, ini lho Mbak Putri punya koneksi sama Eyang Putri. Leluhur disini." ucap Bu Made
"Oalah, beneran ta? Gimana ceritanya?", tanya Bu Maria penasaran.
"Lha ini mau cerita dianya. Tapi, Bu Maria tau2 datang.", Bu Made pun tertawa.
Aku pun mulai menceritakan perjalanan supernaturalku selama ini.
"Wah leluhur memang punya cara sendiri untuk membimbing para generasi muda ya.", ucap Bu Made setelah aku menceritakan semuanya.
"Nah ini seperti bagaimana Dewi Saraswati menurunkan ilmu pengetahuan untuk membimbing umat manusia.", ucap Bu Maria merespon.
"Hebat lho, Mbak Putri. Nggak semua orang bisa dapat anugerah langsung dari para leluhur atau dewa-dewi.", Bu Maria tersenyum menatapku.
"Apa yang sampeyan dapat itu anugerah yang seribu orang cari, Put.", Pak Ketut menambahkan.
"Haha.. Iya, anugerah ya. Bagi saya itu neraka.", aku tertunduk.
"Lho kenapa?!", Bu Maria dan Bu Made kaget mendengar ucapanku.
"Ya, karena itu saya jadi berbeda diantara keluarga saya, teman-teman saya.", jawabku
"Tak banyak orang termasuk keluarga saya sendiri menyebut saya sebagai orang yang tersesat dan pembangkang Tuhan. Mereka jadi menjauhkan dan meremehkan saya, nggak jarang juga menghancurkan mental saya sampai saya depresi.", aku menambahkan.
Bu Made dan Bu Maria menatap diriku iba, "Yah sama seperti saudara kita, di Jawa ini ya. Juga mendapat pressure yang sama seperti Mbak Putri."
"Lho iya kah?", tanyaku
"Iya, Mbak. Banyak dari mereka mendapat tekanan yang sama seperti Mbak Putri. Sampai ada yang dikecam aneh-aneh.", jawab Bu Maria
"Tapi, syukuri saja Mbak Putri. Benar kata Pak Ketut ini , anugerah yang seribu orang cari", Bu Made menambahkan
"Kalau boleh tau, orangtuamu kerja dimana?", tanya Bu Made.
Aku pun menjelaskan sedikit tentang latar belakang orangtuaku. Mendengar penjelasanku Bu Made pun berkata, "Lho , berarti aku kenal sama ayahmu. Ayahmu dulu pernah sekantor sama aku."
"Lho iya, aku juga kenal ayahmu.", ucap Bu Maria
Seketika itu juga, aku berkeringat dingin. Aku merasa jatuh dalam kandang singa. Dengan sigap aku bersujud memohon kepada Bu Made dan Bu Maria, "Bu, saya mohon rahasiakan ini kepada orangtua saya. Saya mohon."
Beliau berdua pun saling memandang.
"Saya, paham mungkin njenengan akan membela orangtua saya. Saya paham apa yang saya lakukan ini mungkin sesat. Tapi, saya nggak tahu harus bagaimana lagi, saya tiap minggu harus dipanggil kesini menemui Eyangnya,
dan saya tak menceritakan ini semua ke orangtua saya. Karena saya tau, mereka berdua tak bisa menerima informasi seperti ini, jadi mohon bu. Tolong jaga rahasia ini dari ayah saya.", aku pun menangis
"Duh duh cup cup jangan, nangis, nak!", Bu Maria tampak gelisah
"Kami nggak akan cerita ini ke ayahmu, nak. Karena kami paham situasi Putri ini. Percayalah sama kami, nak.", Bu Made meyakinkanku. Sembari menghapus air mataku, aku menjawab, "Terima kasih bu.".
"Dharma bakti kepada Tuhan itu harus dijalankan nak apapun rintangannya. Dharma bakti bentuk apapun pasti akan diterima oleh Tuhan. Jadi , jangan berpikir apa yang kamu lakukan ini sesat.
Apa yang kamu lakukan ini sama seperti apa yang keluargamu lakukan dalam menjalankan perintah Tuhan, hanya saja caramu berbeda dari keluargamu. Sudahlah, jangan minder ya.", ucap Pak Ketut.
"Sudah, sudah daripada sedih. Ayo lihat aku nari sama anak-anakku.", ucap Bu Maria.
Aku pun mencoba untuk tersenyum kembali, "Baik, bu."
Oke berikut akhir dari episode ini! Phew, panjang juga Threadnya hahaha... Terima kasih sudah membaca!
Oh ya, untuk episode selanjutnya. Kemungkinan agak molor karena ada kegiatan hehe
Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh.

Enjoying this thread?

Keep Current with Yanto S.

Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

Twitter may remove this content at anytime, convert it as a PDF, save and print for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video

1) Follow Thread Reader App on Twitter so you can easily mention us!

2) Go to a Twitter thread (series of Tweets by the same owner) and mention us with a keyword "unroll" @threadreaderapp unroll

You can practice here first or read more on our help page!

Follow Us on Twitter!

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just three indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3.00/month or $30.00/year) and get exclusive features!

Become Premium

Too expensive? Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal Become our Patreon

Thank you for your support!