#bacahorror #horror #ceritahorror #Spirituality #pengalamanspiritual #memetwit
A THREAD : Pengalaman pribadi sebagai anak indigo dan pelaku spiritual (Episode 21.2)
Untuk episode-episode sebelumnya bisa dilihat di tab likes profil saya yaa :D
"Iya, pak.", jawabku sembari mengangguk.
"Lho? Nggak kok , nggak apa-apa.", pak Arfian kaget.
Dia berusaha untuk menutupi suasana hati itu. Aku paham, namun aku memilih untuk menghiraukannya, "Ayo ke Mbah Yudi."
Ini kali pertamanya tanganku disentuh oleh laki-laki. Biasanya aku memukul kecil tangan laki-laki jika mereka memegang tanganku pertanda sebuah penolakan, namun entah mengapa aku tidak memukulnya ketika Pak Arfian memegangnya.
Aku pun menceritakan mimpiku yang aku alami kepada Mbah Yudi.
"Iya, Mbah. Dugaan saya benar, wanita yang di dalam mimpi itu adalah beliau.", jawabku.
"Ya memang, beliau itu dekat dengan Eyang Putri. Tak jarang Eyang Putri bersemedi untuk bertemu dengan beliau.", ujarnya.
"Apa tempat Eyang Putri bertemu dengan beliau itu ada di Goa Selomangleng yang bagian selatan sendiri, Mbah?", tanyaku.
"Wah...", jawabku tertegun.
Setelah hening beberapa saat Pak Arfian memohon izin untuk bersemedi di depan arca Eyang Nagaraja, Mbah Yudi pun mempersilahkan.
"Mbak Putri tidak ikut?", tanya Mbah Yudi.
"Nggak usah, Mbah. Biar saya sendiri saja." ucapnya
"Bukannya saya sudah bilang Mbak Putri nanti kemana-mana selalu bersama dengan Mas Arfian?", tanyanya.
"Madep mantep marang Gusti lan para leluhur, Mbak Putri.", ucap Mbah Yudi.
"Berarti saya..... dengan.... Pak Arfian...", ucapku sedikit terbata-bata.
Lagi-lagi Mbah Yudi membaca pikiranku! Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, beliau sudah menjawabnya.
Aku terdiam kaget beberapa saat sembari menunggu pak Arfian selesai bersemedi.
"Sampeyan berdua tidak bisa pisah. Sudahlah, madep mantep ya, Mbak Putri.", Mbah Yudi menepuk pundakku.
"Baik, Mbah.", jawabku.
Benar apa yang aku rasakan ketika di pura tadi, aku sedikit tersipu malu.
"Ada apa?", tanya Pak Arfian.
"Nggak, nggak apa-apa.", jawabku memalingkan wajah dari Pak Arfian.
"eleh... eleh kamu itu..", Pak Arfian mencubit pipiku.
"Opo to opo! (Apa sih apa!)", ucapku tersipu malu.
Melihat tingkah kami berdua Mbah Yudi pun tersenyum. Kami berdua pun kembali berdiskusi dengan beliau sampai sore hari tiba.
Melihat ucapan Pak Arfian spontan aku mengatakan, "Ga usah bilang, aku sudah tau. Percuma sampeyan bilang besok."
"Njir!", respon Pak Arfian.
"Apa perlu aku kasih tau jawabannya sekarang?", tanyaku
"JANGAN! Besok saja, langsung. Jangan via chat.", ucap Pak Arfian.
"Nggak apa-apa pengen jawaban langsung dari kamu saja.", ucap Pak Arfian.
"Kan sama saja, dari chat sama langsung. Sumbernya sama-sama dari akunya", ucapku
"Pokoknya jangan.", jawab Pak Arfian.
"Nggak!", jawab Pak Arfian mendadak , aku merasakan detak jantungnya berdetak cepat seperti sedang berolahraga.
"Jangan! Jangan!", jawab Pak Arfian dengan nada cepat.
Aku pun tertawa melihat tingkah Pak Arfian yang seperti anak kecil, aku tak tahu bagaimana menjelaskannya dalam Bahasa Indonesia namun dalam Bahasa Jawa, pak Arfian saat ini sedang "gupuh".
"K-kamu besok kembali ke Malang ya?", tanya Pak Arfian.
"Mati aku!", ucap Pak Arfian menepuk dahinya.
Kami berdua pun terdiam.
Aku pun tersenyum melihat kemantapan hati dari Pak Arfian. Perlahan pula aku mulai membuka hatiku untuk Pak Arfian, setelah sekian lama aku tutup karena trauma.