, 58 tweets, 7 min read
My Authors
Read all threads
Setelah sekian lama, malam ini kita lanjut cerita petualangan Om Heri dan Om Wahyu di perkebunan karet ya.

Kali ini Om Wahyu yang akan bercerita, kejadian ketika dia bermalam sendiran di rumah.

Yuk simak.

Ingat, jangan pernah baca di sini sendirian, di Briistory.

***
#rhdpk
Jam 10 malam, seharusnya Pak Heri sudah pulang, tapi belum ada pergerakan di kejauhan, hanya gelap bersuara hening dan sunyi.

Beliau berkunjung ke rumah Pak Lurah memenuhi undangan selamatan atas kelahiran cucunya. Aku gak diperbolehkan ikut, karena baru saja sembuh dari sakit.
Aku duduk di teras berteman segelas kopi dan sebungkus rokok, gelas kopi sudah ku isi dua kali, sedangkan bungkus rokok tinggal menyisakan satu batang saja di dalamnya.

Sementara Pak Heri belum datang juga, semoga sebentar lagi
Rumah yang sudah dua tahun lebih kami tinggali ini, beserta perkebunan karetnya, seharusnya sudah menjadi tempat yang nyaman, seharusnya sudah menjadi rumah yang membuat kerasan, seharusnya.
Tapi ternyata gak demikian, aku dan Pak Heri masih seperti "tamu" di sini, hanya sebagai pengunjung di perkebunan ini. Ada "tuan rumah" yang sebenarnya, yang sepertinya masih menganggap wilayah ini adalah miliknya, gak boleh ada yang tinggal di sini dan menguasai, selain mereka.
Kami sudah mengerti akan kondisi ini, hanya saja belum menemukan cara untuk menyikapi, hanya bisa pasrah dan coba berusaha menjalani semuanya dengan normal.

***
Udara yang tadinya cukup dingin berangsur menghangat, awan tipis perlahan datang memenuhi ruang langit yang birunya mulai pudar menjadi abu-abu. Bulan seperti sedih karna sinarnya meredup tertutup awan, pecah menjadi serpihan tipis menerangi langit seadanya.
Tampaknya sebentar lagi turun hujan..

Menyalakan rokok lagi, batang terakhir, setelah ini aku harus masuk ke dalam rumah karena gak tau harus melakukan apa lagi.
Rintik hujan mulai turun, gerimis tipis, bulir-bulir bulir air yang bertabrakan dengan bermacam permukaan di bawahnya jadi menimbulkan suara, mengisi keheningan yang sejak tadi menemaniku di sini.
Semburan asap rokok yang keluar dari mulutku membentuk kabut tipis walau hanya beberapa detik, sejenak menghalangi pandangan untuk dapat melihat menembus gelapnya perkebunan karet.
Gelap, tapi gak pekat, aku masih dapat melihat perkebunan walau beberapa objek hanya berbentuk siluet, pantulan cahaya langit sedikit membantu membuatnya seperti itu.
Situasi seperti ini sudah beberapa kali aku alami, Pak Heri juga. Situasi dimana ketika kami terjebak sendirian pada malam hari di perkebunan ini, di rumah ini.

Iya, sendirian..
Semakin larut malam, maka kondisinya semakin jadi serba salah. Kalau mau masuk ke dalam rumah, aku pasti akan merasakan cemas dan takut, karena kemungkinan besar akan terjadi hal aneh dan menyeramkan.
Kalau memilih tetap di luar, situasinya akan sama, menyeramkan, gak mungkin juga sampai pagi berdiam diri di teras.
Pergi meninggalkan rumah? Bukan sebuah opsi, aku gak tega kalau nanti Pak Heri pulang tiba-tiba menemukan rumah dalam keadaan kosong. Gak, aku gak tega..

Jadi begitulah, serba salah.

***
Rokok terakhir sudah habis, jam sepuluh lewat, Pak Heri belum muncul juga. Dengan berat hati aku membereskan gelas kopi dan asbak di teras, lalu masuk ke dalam rumah.

Sementara hujan turun semakin deras, sesekali disertai kilat dan suara petir sesudahnya.
Setelah mengunci pintu, aku duduk di ruang tengah, membiarkan petromak dan lampu lainnya tetap menyala.

Masih penasaran, sesekali aku menghampiri jendela, mengintip dari celah tirainya, masih berharap Pak Heri menunjukkan batang hidungnya. Tapi gak ada, beliau belum muncul juga
Oh iya, motor aku biarkan berada di luar, kuncinya aku taruh di saku celana, dengan maksud supaya dapat langsung melarikan diri apa bila ada hal yang mengharuskanku untuk segera pergi.
Beberapa kali terdengar suara bambu yang bersinggungan satu sama lain di halaman belakang, karena tertiup angin. Sungguh semakin menambah sempurna keadaan.
Gak berani masuk kamar, aku tetap duduk di ruang tengah. Seluruh pintu kamar aku biarkan terbuka, supaya bisa melihat langsung ke dalamnya.
Dalam kondisi yang sangat sepi seperti ini, suara sekecil apa pun, bunyi apa pun itu, dapat membuat penasaran, meski suara hujan cukup keras terdengar.

***
Nyaris tengah malam, jam dinding sebentar lagi akan menunjuk angka dua belas.

Pak Heri masih belum datang juga. Aku beranggapan kalau beliau gak akan pulang malam ini, berharap besok pagi datangnya, semoga.
Hujan masih belum reda, semakin malam angin yang menyertainya semakin kencang berhembus. Udara dingin mulai masuk, melalui lubang ventilasi yang ada di atas pintu dan jendela.
Sementara aku, mulai berjuang menahan serangan kantuk yang sudah datang sejak beberapa saat yang lalu.

Udara yang semakin dingin ditambah badan baru sembuh dari sakit dan sudah teramat lelah karena bekerja seharian, membuatku perlahan mulai hilang kesadaran.
Dalam posisi duduk, sesekali aku tertidur tapi lalu terjaga, perjuangan menahan diri untuk tetap sadar sangatlah berat.
Seingatku, terakhir kali melihat jam dinding, jarum pendeknya sudah hampir menyentuh angka satu, setelah itu sudah gak ingat apa-apa lagi.

Di ruang tengah, aku akhirnya kalah, gak bisa lagi menahan kantuk yang menyerang hebat.

Terlelaplah sudah..

***
"Bang, bangun bang.."

Antara sadar dan gak sadar aku mendengar suara itu, berkali-kali. Membuatku perlahan jadi terjaga.

Suara yang sepertinya aku kenal..
Memaksa membuka mata, aku coba untuk mencari sumber suara.

Setelah sudah benar sadar dan dapat melihat dengan mata terbuka, aku mendapati kalau di ruang tengah ini ternyata aku gak sendirian.
Jelas terlihat, ada sosok yang sedang duduk di hadapan.

Bukan Pak Heri tapi aku mengenalnya..

Untuk memastikan penglihatan, aku mengucek-ngucek mata, memperjelas pandangan.

Benar, aku sangat kenal dengan sosok yang sedang duduk bersandar ini.
"Bapak..?"

Hanya itu yang bisa aku ucapkan, ketika melihat dengan jelas kalau yang sedang duduk itu adalah Bapakku..

Masih diam gak bergerak, aku terus memperhatikan sosoknya yang perlahan mulai tersenyum.

Lama kami berpandangan, diam tanpa kata.
Rasa kangen yang sangat besar terhadap sosok Bapak, menimbulkan niat untuk berdiri mendatangi lalu memeluknya dengan erat.

Tapi gak bisa, karena aku sadar kalau Bapak tercinta sudah meninggal belasan tahun yang lalu..
Nyaris menangis, tapi akhirnya dengan suara bergetar aku dapat mengucap kalimat pendek.

"Bapak ngapain di sini?. Jangan khawatir, aku baik-baik aja kok. Bapak yang tenang di sana, gak usah khawatir."
Gak tahan, air mata mulai jatuh dari pelupuk mata, rasa kangen yang amat sangat dengan sosok Bapak membuatku terharu gak karuan.

Entah berapa menit kemudian, beliau mulai berdiri dari duduknya, lalu berjalan menuju pintu depan. Aku hanya memperhatikan sambil terus menangis..
Tepat di depan pintu langkahnya terhenti, lalu menatapku sambil tersenyum.

"Bapak pulang dulu ya, kamu baik-baik di sini."

Itu ucapan terakhir yang keluar dari mulutnya, aku semakin keras menangis, air mata jatuh bercucuran.

"Iya Pak." Jawabku pelan..
Kemudian beliau membuka pintu, lalu pergi meninggalkan rumah, meninggalkan aku sendirian.

***
Kaget, aku nyaris terjatuh dari kursi.

Ah, kehadiran sosok Bapak ternyata hanya di dalam mimpi. Walau sebentar, tapi aku senang, rasa kangen sedikit terobati.
Kali ini aku benar-benar terjaga dari tidur. Ternyata masih duduk di kursi ruang tengah, memperhatikan sekeliling, dibantu oleh cahaya petromak yang berkedap-kedip karena kehabisan bahan bakar.

Pak Heri belum datang juga, sudah hampir jam dua pagi.
Tapi perasaan senang akan "kehadiran" Bapak hanya singgah sebentar saja, setelah itu aku kembali tersadar kalau situasinya masih tetap sama, sendirian di rumah.

***
Detik berganti menit berjalan sangat lambat, membuatku harus bersabar menunggu pagi tiba. Hanya itu yang aku bisa.

Perasaan cemas semakin lama semakin tinggi, rasa takut semakin menebal. Semoga perasaanku salah, karena sepertinya cekam malam belum selesai.
Memandang ke kamar depan dan kamar tengah yang pintunya terbuka, mengobati kecemasan khawatir ada sesuatu di dalamnya.

Ternyata, bukan dua kamar itu yang harusnya aku cemaskan, tapi ruangan belakang.

Pada detik itu, teror dimulai..
Tiba-tiba lampu petromak mati total, ruang tengah menjadi gelap, penerangan seadanya hanya bergantung dari cahaya lampu templok dari dalam kamar.

Tuhan, aku semakin ketakutan..

***
Aku hanya diam duduk gak berani beranjak berdiri. Suasananya sangat mencekam, hujan deras yang sudah jadi gerimis semakin menambah syahdu.
"Creek, creek, creek.."

Suara itu tiba-tiba muncul, suara yang sudah sangat aku kenal, suara yang biasanya menandakan kehadiran sosok yang sangat aku takutkan..
"Creek, creek, creek.."

Sekali lagi terdengar, bersumber dari ruang belakang, antara dapur atau kamar mandi.

Aku gak berani untuk melihat langsung ke ruang belakang yang gelap itu, gak berani. Lebih memilih untuk menundukkan kepala, dan membaca doa sebisanya.
"Creek, creek, creek.."

Entah sudah bunyi yang keberapa kalinya, akhirnya secara reflek aku menoleh ke sumber suara..
Benar dugaan, dalam keremangan cahaya aku melihat ada pocong yang sedang berdiri tegak, di lorong antara dapur dan kamar mandi..

Dia diam berdiri dengan balutan kain kafan kusamnya.

Terpaku, aku gak bisa memalingkan pandangan dari sosok pocong itu.
Menangis kecil, tubuhku semakin gemetar ketika pocong mulai bergerak perlahan, berjalan mendekat ke tempat di mana aku sedang duduk mematung ketakutan.
Sangat lambat, sepertinya waktu akan berhenti berputar, sampai akhirnya sosok pocong sudah benar-benar berdiri di hadapan, kami hanya berjarak desahan nafas.

Wajahnya hitam legam, dengan mata yang membentuk garis putih, sungguh sangat menyeramkan..
"Ya Allah, tolong aku.." Menangis dalam diam aku meminta pertolonganNya.
Dalam situasi yang amat sangat mengerikan itu, tiba-tiba pintu depan terbuka.dengan sendirinya, pintu yang letaknya persis di sebelahku yang sedang duduk.
Entah dapat kekuatan dari mana, akhirnya aku mampu berdiri untuk lari ke luar.

Setelah berada di luar, aku langsung menyalakan motor, lalu mengendarainya, pergi dari rumah.

Malam itu, aku membelah perkebunan karet, menuju rumah Amri di kota.

***
Pagi-pagi sekali, aku pulang dari rumah Amri menuju perkebunan, dengan niat untuk bekerja seperti biasanya.

Sungguh malam tadi sangat menyeramkan..
Singkat cerita, sesampainya di rumah, aku menemukan Pak Lurah sedang duduk di teras.
"Kamu dari mana Wahyu? Pak Heri ke mana?"

Jadi begini, karena khawatir dengan nasib Pak Heri, pagi-pagi sekali pak Lurah mampir ke tampat kami. Tapi dia menemukan rumah dalam keadaan kosong.
Dia bilang, kalau Pak Heri sudah pulang dari rumahnya sejak malam tadi, setelah acara selesai.

"Aduh, Pak Heri ke mana ya Pak, dia belum sampai juga di rumah. Saya tadi malam menginap di rumah teman, di kota."
Mendengar itu, Pak Lurah mengajakku dan beberapa pekerja untuk mencari Pak Heri, menyisir perkebunan dan hutan di belakangnya.
Singkat cerita, akhirnya kami menemukan motor Pak Heri terparkir di depan bangunan kosong di tengah hutan, Pak Heri berada di dalam bangunan itu.

Alhamdulillah, beliau baik-baik aja, tapi memiliki cerita seram sendiri, kenapa sampai terdampar di tengah hutan seperti itu.

***
Sekian kisah om Wahyu malam ini, semoga bisa jadi pelepas rindu dari cerita petualangannya bareng om Heri di perkebunan karet.

Sampai jumpa minggu depan. Tetap sehat, supaya bisa terus merinding bareng.

Met bobo, semoga mimpi indah.

Salam,
~Brii~
Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh.

Enjoying this thread?

Keep Current with Brii

Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

Twitter may remove this content at anytime, convert it as a PDF, save and print for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video

1) Follow Thread Reader App on Twitter so you can easily mention us!

2) Go to a Twitter thread (series of Tweets by the same owner) and mention us with a keyword "unroll" @threadreaderapp unroll

You can practice here first or read more on our help page!

Follow Us on Twitter!

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just three indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3.00/month or $30.00/year) and get exclusive features!

Become Premium

Too expensive? Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal Become our Patreon

Thank you for your support!