Ini adalah kelompok Islam yg jarang diketahui publik. Skg kelompok ini mulai dikenal ttp gara2 wabah corona. Sayang sekali.
Hadir di desa saya (Cebolek, Pati) pada awal 90an.
Mereka sama sekali tidak sama, bahkan tidak "akur" secara aqidah dan ideologi.
Meski prakteknya tentu lain.
Memang, ciri kelompok ini: ndak mau terlibat dlm perbedaan mazhab, atau aqidah.
Mereka jg tak mau berdekat2 dg politik, menjauhi "politisasi agama".
Di mata pendiri gerakan ini: politik adalah sumber pertengkaran dlm Islam.
Pendekatan mereka lebih pada amar ma'ruf saja. Dg amar ma'ruf, yg munkar pelan2 tereliminasi. Ini filosofi mereka.
Mereka bergerak "under radar", tak mau kelihatan di permukaan. Mereka cenderung memghindari media exposure.
Kritik yg muncul biasanya: nanti siapa yg ngasih makan anak-isteri?
"Quietism". Kelompok ini ndak mau masuk politik, terlibat dalam demo, dsb.
Mereka bahkan cenderung memandang politik ini sbg "barang kotor" yg harus dihindari.
Kelompok ini mencoba tampil inklusif, dalam pengertian menerima keanggotaan dari kalangan Islam apa saja, dari mazhab apa saja, sekte apapun, dan mereka menghindar untuk mendirikan mazhab baru (meskipun hasil akhirnya mungki malah kebalikannya).
Gerakan Jamaah Tabligh bisa kita sebut sebagai gerakan Islam tradisional, meskipun dlm pengertian yg berbeda dg NU. Tradisional di sini dlm pengertian: mengikuti sunnah Nabi dan dua generasi sesudahnya.
Tetapi mereka jg beda dg gerakan salafi.
Mereka mengembangkan pemahaman Islam yg sederhana, tak mau terlibat dalam perdebatab mazhab yg canggih secara intelektual.
Literatur pokok yg mereka baca adalah, misalnya: Riyadus Salihin, kitab kumpulan hadis karya Imam Nawawi (w. 1277).
Masjid menjadi pusat gerakan ini. Misi mereka memang memakmurkan masjid.
Takmir masjid bisa tersinggung.
Mereka ini adalah "peace loving Muslim", pecinta damai, bukan ancaman.
Sekian.