My Authors
Read all threads
Based On True Story

Gunung Gelap
“Tante satu, tante dua, tante tiga, tante empat.” hitung si kecil Ulan sambil menunjuk kami satu-persatu. Padahal perempuannya hanya kami bertiga.
-
-
-
A thread
@bacahorror l #bacahorror #horrorthread #horrorstories

Picture is taken from google
Cerita ini saya dapat adik perempuan saya saat ia dan teman-temannya pergi berlibur ke Garut tahun 2018. Demi kenyamanan semua pihak, beberapa detail tempat dan tokoh saya samarkan.
Dalam cerita ini saya menambahkan beberapa improvisasi agar pembaca dapat memahami alurnya. Mohon maaf apabila terjadi kesalahan penulisan dan selamat membaca.
Tahun 2018, sepupu Tika yang berdomisili di Garut kota akan melangsungkan pernikahan pada hari Sabtu di bulan Agustus. Akhirnya Tika mengajak teman-temannya berlibur ke Garut pada hari Jumat untuk bermalam di Garut dan esoknya pergi ke pernikahan.
Jam 1 siang setelah selesai Jumatan, Aldi, Dheka, Mita dan Isda menjemput Tika di kampusnya di daerah Buah Batu Bandung dengan menggunakan mobil ayah Dheka yang dikemudikan oleh Aldi.
Sebelumnya mereka telah sepakat untuk pergi berlibur ke Ranca Buaya di Garut Selatan lewat jalur Pangalengan, dan malamnya menginap di rumah kerabat Tika di Garut kota.
Bukan tanpa alasan mereka ingin melewati jalur Pangalengan.
Satu minggu yang lalu mereka pergi ke Perkebunan Teh Malabar di Pangalengan dan mengunjungi makam Karel Albert Rudolf Bosscha atau lebih dikenal dengan sebutan Bosscha.
Sepulang dari sana Dheka dan Isda yang merupakan kakak beradik merasakan “sesuatu” mengikutinya sampai ke rumah. Dheka dan Isda memang lebih sensitif terhadap hal ghaib dibandingkan dengan ketiga temannya.
Awalnya perjalanan terasa berat sampai akhirnya mereka pergi ke Pangalengan terlebih dahulu dan “memulangkan” sesuatu yang mengikuti mereka, barulah perasaan mereka menjadi lebih ringan.
Setelah itu mereka melanjutkan perjalanan menuju Ranca Buaya dan menemukan persimpangan. Sebenarnya jalur manapun yang mereka ambil tetap mengarahkan mereka menuju Ranca Buaya.
Tapi mereka memutuskan untuk mengambil jalur kanan yang lebih memutar, karena niatnya memang ingin berjalan-jalan.
Di tengah perjalanan, tiba-tiba ada seekor anjing yang menyebrangi jalan. Aldi yang selalu mengemudikan mobil dengan kecepatan tinggi di atas 90 km/jam langsung menginjak pedal rem dalam-dalam dan memaki anjing tersebut.
Mereka semua yang ada di dalam mobil pun ikut mengumpat pada si anjing.
Akhirnya setiap ada anjing yang mereka lihat, mereka semua kompak mengata-ngatainya. Percakapan mulai didominasi dengan umpatan anjing, anjing, dan anjing.
Selang beberapa lama, Isda yang biasanya tidak pernah mual selama diperjalanan, mulai merasakan mual. Mita dan Tika membantunya mengolesi minyak angin untuk mengurangi rasa mual.
Perjalanan ini terasa sangat panjang dan lama padahal Aldi konsisten menginjak dalam pedal gas dan jalanan sangat lancar hanya ada satu dua mobil yang melintas.
Melewati perkampungan, sawah, daerah sepi, perkampungan lagi, sawah lagi, daerah sepi lagi. Terus saja berulang-ulang pemandangan yang itu-itu saja.
“Di, masih lama?” tanya Tika yang mulai bosan dengan jalanan.
Aldi sudah beberapa kali melewati jalur itu sehingga mereka tidak terlalu mengandalkan Google Maps.
“Abis tanjakan nanti belok kiri, bentar lagi juga sampai.” jawab Aldi sambil tetap mengebut.
Harusnya mereka telah tiba di Ranca Buaya sekitar pukul 4 sore. Tapi mereka tidak kunjung sampai. Perjalan seperti berputar-putar di situ-situ saja dan untuk kesekian kalinya Aldi tetap menjawab,

“Abis tanjakan nanti belok kiri, bentar lagi juga sampai.”
Suasana mulai membosankan, dari lagu pop Indonesia, Barat, bahkan Korea sudah mereka dengarkan dan berakhir dengan mendengarkan lagu-lagu Risa Saraswati.
Meskipun bosan, di sela-sela perjalanan mereka masih saja tetap mengatai-ngatai setiap anjing yang mereka lihat.
Sekitar pukul 5 sore mereka melintas di dataran yang lebih tinggi dan bisa melihat secara jelas pantai Ranca Buaya. Mereka kegirangan menatap lautan dan ombak yang berderu dari kejauhan.
Obrolanpun beralih membahas sejarah tentang penamaan Ranca Buaya.
Mereka tiba di daerah Ranca Buaya saat adzan magrib berkumandang. Aldi memarkirkan mobil saat melihat masjid di pinggir jalan kawasan Ranca Buaya.
Mereka turun meluruskan badan dan mengambil air wudhu untuk sholat magrib.
Orang-orang yang hendak sholat berjamaah sudah berdiam di dalam masjid dan hanya mereka saja yang mengambil air wudhu.
Saat Tika dan teman-teman masuk ke dalam masjid, semua orang yang ada di dalam masjid menatap mereka dengan tatapan yang aneh seperti keheranan namun tidak berbicara sepatah katapun.
Bukankah wajar ya ada orang lain ikut menumpang sholat di masjid pinggir jalan, kenapa mereka melihat kami seperti itu, batin Tika.
Setelah selesai sholatpun orang-orang itu masih berdiam di dalam masjid, hanya Tika dan teman-teman saja yang beranjak keluar.
Di parkiran mereka berdiskusi tentang rencana berikutnya.
Karena hari sudah gelap, mereka memutuskan untuk tidak berkunjung ke pantai dan melanjutkan perjalanan ke Garut kota untuk mencari tempat makan malam.
Kali ini mereka sepakat untuk menggunakan bantuan Google Maps agar lebih cepat sampai. Aldi melesatkan mobil meninggalkan kawasan Ranca Buaya.
Di perjalanan saat dihadapkan pada perempatan, Maps mengarahkan mobil untuk berbelok ke arah kiri, mobil pun mengikuti arahan dari Maps.
Saat berbelok, hujan langsung turun dengan lebatnya tanpa aba-aba, tapi mobil tetap mencoba menyusuri jalan.
Jalan ini bukan jalan raya seperti yang dari tadi mereka lalui. Gelap dengan jalanan rusak yang menyempit dan berbatu.
Makin masuk ke dalamnya, jalan ini mengarahkan mereka menuju ke arah perkampungan diujungnya.
Tidak mau mengambil resiko, Aldi memutar balik mobil dan melaju ke jalan raya sebelum mereka berbelok. Terlihat beberapa tukang ojek yang sedang mangkal memperhatikan mereka keluar dari jalan itu.
Tiba di jalan raya, Isda yang sedari tadi diam saja, mulai merasakan mual yang tak tertahankan.
Hujan sudah mulai berhenti, Aldi kemudian memberhentikan mobilnya di pinggir jalan yang sepi, hanya terdapat pepohonan dan semak-semak di sana sini.
Isda turun dari mobil dan mengeluarkan isi perutnya dibantu Mita yang memijiti bagian belakang leher Isda.
Dheka juga ikut turun dari mobil dan menyalakan rokoknya dengan kesusahan karena angin berhembus sangat kencang.
Saking kencangnya, pohon-pohon bergoyang miring mengikuti arah terpaan angin. Dheka menyarankan Isda untuk masuk dulu kedalam mobil dan mencari tempat yang lebih pas untuk memarkirkan mobil.
Saat mereka semua masuk, angin tiba-tiba berhenti berhembus, seolah pepohonan tidak pernah bergoyang terkena angin.
Tak lama, mobil berhenti di arah depan dekat sebuah rumah kecil yang sepertinya sudah lama tidak dihuni. Isda turun mengeluarkan isi perutnya lagi dan kini di bantu Tika.
Dheka pun turun untuk merokok sebatang lagi.
Ada hal tak biasa terjadi, sebelum mereka turun dari mobil, angin tidak berhembus sekencang saat mereka turun, dan saat mereka menaiki mobil, angin kembali berhenti. Dheka dan yang lainnya hanya bisa mengerutkan kening memikirkan keanehan yang terjadi.
Setelah rasa mual Isda sudah mereda, mobil kembali melalu sampai akhirnya mereka mulai memasuki jalanan di kawasan Gunung Gelap.
“Eh liat deh nama gunung ini Gunung Gelap loh, serem banget sih namanya” ujar Tika memulai percakapan sambil melihat Maps dari HP yang sedang digenggamnya. Yang kemudian disahut dengan santai dan candaan dari teman-temannya.
“Setelah lewat jalan ini, gak lama lagi kita bakal nyampe di Garut kota.” ujar Aldi santai.
Tidak sampai 5 menit berselang, jalanan tiba-tiba mendadak sepi, tidak ada yang melintas dijalan itu kecuali mobil mereka.
Ditambah kabut tebal yang dengan cepat menyelimuti jalanan membuat jarak pandang menjadi terbatas, hanya sekitar 2 meter kedepan saja. Penerangan jalanpun hanya mengandalkan lampu sorot dari mobil yang terbatas.
Keadaan jalan yang gelap dan curam dengan sisi kiri tebing dan sisi kanan jurang membuat Aldi memperlambat laju mobil dan ekstra hati-hati mengemudikannya.
Isda yang sedari tadi lemas akibat mual akhirnya tertidur disusul oleh Mita disebelahnya. Tika dan Dheka tetap terjaga menemani Aldi.
Dalam keadaan gelap, samar-samar Dheka melihat siluet seorang laki-laki berdiri di pinggir jalan sebelah kiri. Orang itu hanya berdiri saja seperti mematung tanpa melakukan apapun.
Tak lama, Tika melihat hal sama di sebelah kanan jalan. Sedang apa orang berdiri di pinggir jalan Gunung Gelap malam-malam begini, batin mereka tanpa membahasnya.
Aldi masih fokus mengemudikan mobil sampai akhirnya mereka bertiga melihat sesuatu seperti kain putih terbang dengan cepat dari bawah kap depan mobil ke arah atas dan menghilang begitu saja.
Mereka bertiga refleks saling tatap satu sama lain, tapi tetap tidak ada yang berani membahasnya.
Keadaan semakin mencekam, hawa dingin seolah menjalar keseluruh tubuh. Aldi menelan ludah dengan berat dan berusaha tidak kehilangan kefokusannya berkendara.
Dheka dan Tika tetap diam, mereka hanya bergumam “ada apa ini?!” di benak masing-masing.
Tidak lama, sebuah mobil bak yang mengangkut galon melaju cepat menyalip dari sisi kanan mobil, menyusul mobil mereka.
Di tengah ketegangan ini, mereka sedikit merasa lega, karena tahu di jalan itu mereka tidak sendiri. Akhirnya, Aldi mulai mempercepat laju mobilnya agar bisa menyeimbangi kecepatan mobil bak di depannya.
Kabut yang semakin tebal membuat mobil bak di depannya sudah tidak terlihat. Semakin dikejar malah semakin tidak terlihat.
Mobil bak itu seolah hilang tanpa jejak, padahal Aldi sudah tancap gas berusaha untuk menyusulnya.
“Al, pelanin mobilnya, bahaya kalau ngebut gini.” ujar Dheka mengingatkan Aldi yang masih mencoba mengejar mobil bak.
Disaat bersamaan, entah mengapa Dheka tergerak melihat ke bagian depan bawah ban mobil sebelah kiri dari kaca mobil.
Tiba-tiba, Dheka melihat jalan aspal yang dilintasi ban mobil sudah tidak ada, berganti menjadi batu-batu kerikil dan tanah.
Dengan cepat Dheka berteriak kencang,

“ALDI AWAS!!!!!”
Aldi membelalakkan matanya dan sangat kaget karena kini yang ia lihat adalah tebing tinggi yang tanpa ia sadari sudah berhadapan dengan mobilnya.
Dengan sekuat tenaga Aldi membanting stir ke arah kanan dan menginjak rem dalam-dalam. Mobil berhenti mendadak membuat penumpang yang duduk di kursi belakang terpental menabrak kursi depan.
"Gila! Hampir aja!!" teriak Aldi.

Isda dan Mita yang terbangun akibat terpental kaget karena mobil berhenti mendadak.

"Kenapa ini? Ada apa?" tanya Mita, sementara Isda mengaduh memegangi kepalanya yang menghantam kursi.
"Lu ga liat di depan ada tebing?!" tanya Dheka panik.

"Sumpah dari tadi gue ngikutin jalan aspal." sahut Aldi.

"Kamu ga ngantuk kan Di?" tanya Tika.

Aldi menggelengkan kepalanya.
Napas mereka berderu kencang tak kalah dengan detak jantung yang seolah melonjak dari tempatnya. Keadaan hening sesaat. Masih dalam sepi. Kini mereka diselimuti perasaan takut yang luar biasa.
Tahu ada yang tidak beres, Dheka mengajak semua temannya berdoa.
Dheka membatin sambil berkata dalam hati, "Kami tahu kami sudah berlebihan, kelewatan batas. Kami salah, kami minta maaf. Tolong dimengerti, kami tidak bermaksud merusak atau mengganggu, kami hanya ingin bersenang-senang saja."
Setelah mereka bisa menguasai diri dari kepanikan, Aldi kembali menjalankan mobil dengan perlahan dan hati-hati.
Kabut tebal yang sedari tadi menyelimuti, kini mulai menipis membuat ujung sisi kanan dan kiri jalan terlihat.
Selang beberapa lama kemudian, akhirnya mereka keluar dari jalur Gunung Gelap. Mereka menghela napas, bersyukur masih ditolong Yang Maha Kuasa dan diberi kesempatan hidup.
Setelah menemukan daerah berpenduduk, Dheka meminta Aldi untuk berhenti di minimarket terdekat. Ia merasa sangat lemas dan mual.
Saat tiba di minimarket, Dheka langsung muntah, walaupum hanya cairan yang ia keluarkan dari dalam perutnya.
Dheka dan teman-teman kemudian berdoa kembali sebelum akhirnya mereka melanjutkan perjalanan dan tiba di kediaman kerabat Tika sekitar pukul 1 malam. Mereka menghabiskan begitu banyak waktu padahal seharusnya mereka sudah tiba pukul 9-10 malam di Garut kota.
Kerabat Tika yang menyambut mereka tengah malam, merasa keheranan karena mereka baru tiba. Tapi tak satu pun dari mereka yang menceritakan kejadian janggal yang dialami.
Mereka lalu beristirahat dan esok harinya dari pagi sampai siang menghadiri pernikahan sepupu Tika.
Setelah itu mereka berpamitan dan segera pulang ke Bandung. Perjalanan pulang terasa sangat ringan dan cepat. Tidak ada hambatan sama sekali sampai akhirnya mereka tiba di Bandung dan beristirahat sejenak di rumah Dheka di daerah Ujung Berung.
Di rumah berlantai dua itu mereka berkumpul di lantai atas sambil bersantai dan menikmati cemilan yang disodorkan oleh ibu Dheka.
Mereka akhirnya menceritakan apa yang dirasakan oleh masing-masing saat perjalanan ke Garut kemarin. Mereka sangat bersyukur dan lega bisa sampai dengan selamat dan kembali ke Bandung.
Mengetahui pamannya telah kembali ke rumah, Ulan kecil berlari menaiki tangga dan bergabung dengan Dheka dan teman-temannya.
“Om dari mana?” tanya Ulan.

“Habis dari jalan-jalan.” jawab Dheka.
“Oh habis jalan-jalan ya. Sama tante satu” hitung Ulan sambil menunjuk Tika yang duduk di samping Dheka.
“Tante dua, tante tiga.” kini giliran Mita dan Isda yang ditunjuk.
“Tante empat.” Ulan kecil menunjuk pojokan ruangan di dekat Aldi berdiri.
Padahal tidak ada siapa-siapa di sana dan hanya kami bertiga perempuan yang ada di ruangan itu kecuali Ulan. Ulan kecil lalu melompat kepangkuan Dheka sambil memeluk pamannya erat-erat.
Mereka yang ada di ruangan lalu saling melempar pandangan. Tidak tahu siapa orang terakhir yang ditunjuk Ulan. Mereka hanya berharap siapapun itu tidak datang untuk mengganggu mereka.
Setelah selesai menceritakan kejadian ini pada saya, Dheka dan Tika menyadari bahwa sebelumnya mereka dan teman-temannya sudah sompral berkata kasar dan berlebihan.
Mereka berharap kejadian ini bisa jadi pelajaran untuk siapapun dan dimanapun agar tidak sompral dan berlebihan.
Mereka sangat bersyukur masih bisa selamat dan kejadian saat itu dijadikan pelajaran yang sangat berharga.
Akhir kata, saya doakan semoga kita selalu diberi keselamatan dan terhindar dari segala bahaya dimanapun dan kapanpun.
Gunung Gelap –Tamat–
Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh.

Enjoying this thread?

Keep Current with ⒸⒾⓃⓉⒶ ⓀⒾⓇⒶⓃⒶ

Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

Twitter may remove this content at anytime, convert it as a PDF, save and print for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video

1) Follow Thread Reader App on Twitter so you can easily mention us!

2) Go to a Twitter thread (series of Tweets by the same owner) and mention us with a keyword "unroll" @threadreaderapp unroll

You can practice here first or read more on our help page!

Follow Us on Twitter!

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just three indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3.00/month or $30.00/year) and get exclusive features!

Become Premium

Too expensive? Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal Become our Patreon

Thank you for your support!